Thursday, July 12, 2012

PERAN PENGAWAS PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENJAMIN MUTU PENDIDIKAN DI SMPN KABUPATEN SUKOHARJO

A.  Latar Belakang Masalah 
Salah  satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan  standar dalam penyelenggaraan pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan, dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah  memerlukan  disiplin, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.
Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangungn pendidikan nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang membawa perubahan yang mendasar pada segala sendi kehidupan berbangsa. Hal  itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang  ini membawa semangat dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan. Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang. 
Landasan bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti yang tertuang pada pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa, ”Ketentuan mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di masa yang akan daatang. 
Penetapan Peraturan Pemerintah (PP)  Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun, dicanangkan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, yakni meliputi : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian. 
Tujuan dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu : “standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat”. Pasal  ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual peserta didik tapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara pada kemajuan di semua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan. 
Mengingat demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi kelangsungan dan kualitas generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan pada jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. Kemudian penjaminan mutu pendidikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau melampaui Standar Nasional Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan (2) ). Dengan demikian penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang pendidikan dan dilaksanakan di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain penjaminan mutu pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat satuan pendidikan yaitu sekolah. 
Dalam konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan bagian dari penerapan manajemen mutu yang diaplikasikan melalui perangkat-perangkat seperti perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu (quality improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua tingkatan manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua unit dalam organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten dan pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas dalam pasal 91 ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap, sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki target dan kerangka waktu yang jelas.
Perencanaan mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya adalah pemenuhan kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, sasaran dari program sekolah adalah pencapaian indikator-indikator kunci pada setiap standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus disusun oleh segenap unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen untuk memperbaiki dan meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula dikemas dan disusun secara sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa yang akan dicapai sesuai dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala upaya yang dilakukan untuk mencapai mutu yang terbaik harus terencana dan  semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian antara apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai.  
Sementara itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control) dalam PP No.19 tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu akan dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, organisasi tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan Badan Akreditasi Nasional (BAN).  Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang penjaminan mutu pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance)  dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang akan dan telah dicapai dan menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu, memberikan bahan untuk pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen,  dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh kepuasan. 
Penjaminan mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses yang dinamis yang berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia manufaktur atau bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi yang baik diletakkan dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku produksi. Proses produksi tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality control) apalagi dengan konsep inspeksi.       
Akan tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses penjaminan mutu (Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses yang panjang dan terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang berfungsi untuk mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi pengawasan sangat vital dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi.  Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga berfungsi sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada Satuan Pendidikan.       
Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering  dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.
Keadaan di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja pengawas satuan pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari pengalaman penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini kinerja pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan pengalaman Adaski sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat, masih ada tindakan tidak terpuji oknum pengawas dengan cara  ”nangok”  atau meminta sejumlah uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti jelas sangat disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan arahan dan binaan yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena beberapa faktor, diantaranya :
a)      Rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi birokrat 
b)      Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu. 
c)      Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas
d)     Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi pembiayaan yang memadai.      
Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang  baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan memahaminya. 
Supervisi pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut perbaikan mutu belajar siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses perbaikan mutu secara berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula mutunya. Dengan demikian meningkat pula kejelasan pengaruh pelaksanaan tugas profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjunjung target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.
Kemudian ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh pusat maupun daerah untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Akan tetapi pelatihan dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang memadai untuk menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif singkat. Selama ini, pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya yang singkat maka intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal Berdasarkan kenyataan ini maka upaya peningkatan kompetensi pengawas harus dilakukan dengan strategi yang lain yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang dapat ditempuh dengan melibatkan lebih banyak pengawas, dalam waktu yang singkat dan pada saat yang bersamaan serta sebaran wilayah yang luas, adalah dengan memanfaatkan forum Kelompok Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) sebagai wahana belajar bersama.
Forum dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat para pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis. Para pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman guna bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping  pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerah masing-masing.
Berdasarkan Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari :
a)      Pengawas Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA)
b)      Pengawas Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI). 
c)      Pengawas Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)
d)     Pengawas Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya). 
e)      Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni Budaya, Teknik dan Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata, Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan). 
Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas pengawas satuan pendidikan menurut Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 adalah melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan jumlah sekolah yang di bina yang diuraikan sebagai berikut :
a)      Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah.
b)      Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
c)      Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
d)     Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
e)      Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
f)       Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah.
Saat ini seorang pengawas sekolah termasuk pengawas pendidikan agama Islam harus mempunyai 6 (enam) kompetensi dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah yakni : 
a)      Kompetensi supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah dalam melaksanakan pengawasan akademik yakni menilai dan membina guru dalam rangka mempertinggi kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas hasil belajar siswa. Oleh karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru dalam proses pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses pembelajaran, penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi/metode/teknik pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam pembelajaran, menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian tindakan kelas.
b)      Kompetensi supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi,  pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM) kependidikan, dan sumberdaya lainnya.
c)      Kompetensi evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun kriteria dan indikator keberhasilan pendidikan dalam bidang pengembangan serta menilai kinerja kepala sekolah, guru, dan staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung jawabnya untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
d)     Kompetensi penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam menguasai berbagai pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan serta mampu menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk diteliti baik untuk tugas kepengawasan maupun untuk pengembangan karirnya sebagai pengawas.
e)      Kompetensi kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan diri, pengembangan diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam menjalin komunikasi yang efektif guna menumbuhkan peran serta dan kerjasama dengan pihak lain.
f)       Kompetensi penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan pendalaman lebih lanjut dari kompetensi penelitian dan pengembangan. Salah satu peran yang diharapkan dari seorang pengawas adalah menjadi agen perubahan (agent of change). Untuk melaksanakan peran tersebut, akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode action research seperti penelitian tindakan sekolah ini. Dengan kompetensi ini pengawas memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus mengupayakan tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya. 
Berbekal 6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas bisa tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya adalah dapat memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu sekolah dalam hal ini adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan, kinerja dan kompetensi guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah yang dilaksanakan oleh guru dan kepala sekolah. 
Peningkatan mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar kompetensi pengawas saja. Standar mutu pengawas dengan penguasaan kompetensi minimal akan sulit dicapai apabila dilaksanakan secara invidual. Kalaupun terjadi peningkatan mutu pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan pencapaian standar kompetensi yang beragam diantara pengawas dan akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk mencapai standar mutu yang memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk semacam organisasi profesi pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini dibentuk untuk mewadahi pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan dan keahlian kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi itu bernama Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah Guru Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD atau guru kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi antar anggota yang seprofesi  dan terjadi dalam suasana kesejawatan yang akrab antar anggota. Interaksi yang terjadi juga berupa saling berbagi informasi, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dan saling memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.

B.  Perumusan Masalah/Rumusan masalah 
Di dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus (Moleong, 1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah rumusan masalah (Idrus, 2009: 48). Rumusan masalah ditetapkan karena begitu banyak fakta yang ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah yang disebut dengan rumusan masalah. Penetapan batas area penelitian ini untuk mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30).
 Rincian mengenai maksud dari penetapan rumusan masalah adalah seperti yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, rumusan masalah dapat membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian. Kedua, penetapan rumusan masalah berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan  – mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari lapangan. Dengan panduan dan arahan dari rumusan masalah maka peneliti dapat tahu data mana yang perlu dikumpulkan dan data mana yang, walaupun menarik, karena tidak relevan, tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan dianalisis di tahap selanjutnya.
Kemudian, dari penetapan rumusan masalah, akan “dipecah” atau diuraikan lagi menjadi pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk lebih mengoperasionalkan rumusan masalah (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi rumusan masalah nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah penelitiannya. Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam membuat pedoman wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan, menentukan aspek data dan informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu melakukan koding pada saat analisis data. 
Sebagai ilustrasi untuk memperjelas penetapan rumusan masalah dapat dinyatakan disini bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan bisa tampil sebagai pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan bermartabat. Dalam rangka lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka pemerintah membentuk sebuah wadah sebagai sarana untuk meningkatkan keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah. Wadah ini berupa sanggar pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Salah satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya kemudian mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling berbagi informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7). Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu sekolah.  
    Berdasarkan hal tersebut diatas maka rumusan masalah rumusan masalah ini akan mencoba mengungkapkan bagaimana aktifitas dan peran pengawas terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah bidang PAI. Kemudian dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu di sekolah binaannya. 
Rumusan masalah diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan penelitian maka seperti di bawah ini : 
a.       Bagaimanakah peran pengawas PAI dalam proses penjaminan mutu pendidikan di sekolah binaannya?
b.      Bagaimanakah kinerja pengawas PAI terutama berkaitan dengan visitasi dan teknik supervisi yang digunakan dalam pembinaan pada sekolah binaanya?


C.  Tujuan Penelitian 
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan pengaruh pengawas PAI dalam hal meningkatkan kompetensi dan kinerja pengawas PAI si sekolah. Di samping itu secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah. 

D.  Manfaat Penelitian 
Pengawas sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi. Sebagai sebuah organisasi profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar pengetahuan dan informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip inipun sesuai dengan apa yang disebut community of practice. Konsep ini mengacu pada sebuah perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi tentang ketrampilan dan keahlian tersebut agar posisi mereka di hadapan publik pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh dan mantap serta dapat mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam Organization 2000   7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan juga dikenal dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam Komariah, 2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang memberikan fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi tranformasi secara terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan diri dan dalam rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles (1985: 803-813)  juga menyatakan bahwa organizational learning adalah organisasi yang yang selalu memperbaiki tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas. Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan penelitian ini antara lain adalah : 
1.      Secara teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas seperti yang dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar pengawas yang dalam hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi. Aktifitas yang dimaksud adalah berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman diantara para anggotanya. 
2.      Berkaitan dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat apakah kinerja pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa yang diungkapkan Burton (dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto (2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan atau dalam kenyataan di masyarakat pendidikan.      
3.      Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang bagaimana peran dan kinerja pengawas sekolah terhadap mutu sekolah binaanya. Selain itu juga akan dipaparkan pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam hal ini Kelompok Kerja Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan kinerja pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas akan berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah bersangkutan. 

DAFTAR PUSTAKA
Adaski, Rensta. (2010). “Peranan Pengawas Sekolah dalam Pelaksanan Supervisi”. Jurnal Tenaga Kependidikan, Edisi 4, No.1 pp 48-53.
Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta : Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah, Jakarta: Depdiknas.
………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.
 ………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan,  Jakarta : Depdiknas.
………(2005).  Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 19 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional Pengawas, Jakarta: Depdiknas.
 Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidi dan Tenaga Kependidikan. (2009). Analisis Data Guru. Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
 Direktorat Pendidikan Menengah Umum. (1998). Petunjuk Penyelenggaraan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.
 Emzir. (2010). Metodologi Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa.
Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya. 
Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya.   

1 comment: