A. Latar Belakang Masalah
Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya
manusia di suatu negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara
tersebut. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar dalam penyelenggaraan pendidikan.
Setiap penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai
standar itu agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan
perencanaan dan proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan
rancangan tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu
ditingkatkan, dan menghasilkan output yang paling unggul di antara
sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan
komitmen yang tinggi dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah
tersebut. Tiap langkah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di
sekolah memerlukan disiplin, tanggung jawab bersama, dan
komitmen bersama.
Landasan
bagi percepatan peningkatan mutu pendidikan adalah seperti yang tertuang pada
pasal 1 ayat (17) yang berbunyi ” Standar nasional pendidikan adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan
Indonesia”. Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan di seluruh
Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal di bidang
pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa
melampaui standar yang telah ditentukan. Kemudian ketentuan hukum ini juga
bermakna amanah kepada pemerintah untuk merancang peraturan lanjutan sebagai
penjabarannya. Pada pasal 35 ayat (4) UU Sisdiknas dinyatakan bahwa, ”Ketentuan
mengenai standar nasional pendidikan akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Pemerintah”. Inilah yang disebut amanah yang harus dilaksanakan di masa yang
akan daatang.
Penetapan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran
dari UU Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu
disusun, dicanangkan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, yakni
meliputi : (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan;
(4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana;
(6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.
Tujuan
dari diberlakukannya standar nasional pendidikan ini adalah seperti yang
tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yaitu : “standar
nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat”. Pasal ini mempunyai makna
dan semangat bahwa penerapan standar dalam pendidikan tidak saja untuk
meningkatkan kecerdesan intelektual peserta didik tapi juga membangun karakter
bangsa. Semuanya ini akan bermuara pada kemajuan di semua sendi kehidupan
masyarakat dan menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di
mata dunia. Selain itu pasal ini juga bermakna bahwa penerapan standar, dalam
hal ini standar pelayanan minimal pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan
tahap awal dari proses panjang dan komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu
pendidikan.
Mengingat
demikian pentingnya penjaminan mutu pendidikan bagi kelangsungan dan kualitas
generasi penerus bangsa, maka diamanatkan bahwa setiap satuan pendidikan pada
jalur formal dan nonformal wajib melakukan penjaminan mutu pendidikan. Kemudian
penjaminan mutu pendidikan yang dimaksud adalah bertujuan untuk memenuhi atau
melampaui Standar Nasional Pendidikan (PP No.19 / 2005 pasal 91 ayat (1) dan
(2) ). Dengan demikian penjaminan mutu pendidikan dilaksanakan di semua jenjang
pendidikan dan dilaksanakan di seluruh wilayah nusantara. Dengan kata lain
penjaminan mutu pendidikan secara nasional sebenarnya dimulai dari tingkat
satuan pendidikan yaitu sekolah.
Dalam
konteks manajemen mutu, PP No.19 tahun 2005 ini merupakan bagian dari penerapan
manajemen mutu yang diaplikasikan melalui perangkat-perangkat seperti
perencanaan mutu (quality planning), pengendalian mutu (quality
control), jaminan mutu (quality assurance), dan peningkatan mutu (quality
improvement). Tanggung jawab manajemen mutu terdapat pada semua tingkatan
manajemen dan implementasinya melibatkan semua orang pada semua unit dalam
organisasi pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kota/kabupaten dan
pada organisasi tingkat satuan pendidikan. Hal ini dipertegas dalam pasal 91
ayat (3) bahwa penjaminan mutu pendidikan dilakukan secara bertahap,
sistematis, dan terencana dalam suatu program penjaminan mutu yang memiliki
target dan kerangka waktu yang jelas.
Perencanaan
mutu (quality planning) dalam konteks sekolah tentunya adalah pemenuhan
kebijakan mutu terhadap 8 Standar Nasional Pendidikan. Dengan demikian, sasaran
dari program sekolah adalah pencapaian indikator-indikator kunci pada setiap
standar yang ditetapkan. Perencanaan mutu harus disusun oleh segenap
unsur-unsur sekolah dengan juga membangun komitmen untuk memperbaiki dan
meningkatkan kinerja. Perencanaan mutu harus pula dikemas dan disusun secara
sistematis mulai dari apa yang telah dicapai dan apa yang akan dicapai sesuai
dengan target yang ditetukan secara rasional. Segala upaya yang dilakukan untuk
mencapai mutu yang terbaik harus terencana dan
semuanya berada dalam kerangka waktu yang jelas. Jadi ada kesesuaian
antara apa yang akan dicapai dan kapan hal itu tercapai.
Sementara
itu dalam melaksanankan pengendalian mutu (quality control) dalam PP No.19
tahun 2005 dijelaskan bahwa dalam rangka pengendalian mutu akan dilakukan oleh
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, organisasi
tingkat satuan pendidikan, Badan Standar Nasional Pendidikan (BNSP), dan Badan
Akreditasi Nasional (BAN). Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 juga menjelaskan tentang penjaminan mutu
pendidikan. Proses penjaminan mutu (quality assurance) dilakukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang
akan dan telah dicapai dan menentukan prioritas-prioritas peningkatan mutu,
memberikan bahan untuk pengambilan keputusan berbasis data, dan membantu
membangun budaya peningkatan mutu berkelanjutan. Setiap satuan pendidikan wajib
melakukan penjaminan mutu pendidikan melalui pemenuhan 8 standar pendidikan
secara konsisten dan berkelanjutan, sehingga konsumen, produsen, dan pihak lain yang berkepentingan memperoleh
kepuasan.
Penjaminan
mutu atau mutu bukanlah suatu tujuan akan tetapi suatu proses yang dinamis yang
berlangsung terus menerus. Sebuah proses yang dalam dunia manufaktur atau
bisnis, harus menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang ditetapkan
sebelumnya. Dalam konsep penjaminan mutu, proses produksi yang baik diletakkan
dan dilekatkan pada tanggung jawab pribadi pelaku produksi. Proses produksi
tidak begitu memerlukan kendali mutu (QC : quality control) apalagi dengan
konsep inspeksi.
Akan
tetapi sebenarnya inspeksi juga mempunyai peranan dalam proses penjaminan mutu
(Sallis, 2010:59), namun dalam konteks yang berbeda. Proses yang panjang dan
terus-menerus tentu sangat membutuhkan suatu unsur yang berfungsi untuk
mengawasi dan mengontrol. Oleh karena itu maka fungsi pengawasan sangat vital
dalam kerangka pemantauan proses yang terjadi.
Dunia pendidikan juga mengenal fungsi pengawasan yaitu yang disebut
pengawas sekolah. Pengawas sekolah merupakan pegawai negeri sipil yang diberi
tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang
untuk melakukan pengawasan pendidikan di sekolah dengan melaksanakan penilaian
dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan
pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah (Kepmendikbud RI Nomor 020/U/1998
tanggal 6 Pebruari 1998 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Jabatan Fungsional
Pengawas Sekolah dan Angka Kreditnya). Pengawas sekolah juga berfungsi sebagai
mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator,
asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam
rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) dan
penilaian (evaluasi). Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 39
Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan,
pada ayat 3 dinyatakan “Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi:
mengawasi, memantau, mengolah dan melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan)
Standar Nasional Pendidikan pada Satuan Pendidikan.
Kenyataannya
pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada
level satuan pendidikan sering
dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di
sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut
disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini
menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di
kalangan sekolah.
Keadaan
di lapangan juga memperlihatkan terjadinya penurunan kinerja pengawas satuan
pendidikan di Indonesia. Hal ini seperti yang terungkap dari pengalaman
penelitian dari Adaski (2010: 48-53) yang menyatakan bahwa saat ini kinerja
pengawas menjadi bahan pembicaraan warga sekolah. Berdasarkan pengalaman Adaski
sewaktu memimpin sebuah sekolah swasta di Jawa Barat, masih ada tindakan tidak
terpuji oknum pengawas dengan cara
”nangok” atau meminta sejumlah
uang kepada sekolah swasta yang baru buka. Tindakan seperti jelas sangat
disesalkan mengingat seharusnya pengawas bertugas memberikan arahan dan binaan
yang baik pada sekolah. Kejadian seperti ini bisa terjadi karena beberapa
faktor, diantaranya :
a)
Rekrutmen
pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi
birokrat
b)
Masih
dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu.
c)
Belum
adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas
d)
Dalam
penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi
pembiayaan yang memadai.
Hal
ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di
dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan
sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak
psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan
memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang
hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan
pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas
semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas
merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari
pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan
program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala
sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan
kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu
mengetahui dan memahaminya.
Supervisi
pendidikan bertujuan menghimpun informasi atau kondisi nyata pelaksanaan tugas
pendidik dan tenaga kependidikan sesuai dengan tugas pokoknya sebagai dasar
untuk melakukan pembinaan, akreditasi, dan tindak lanjut perbaikan mutu belajar
siswa. Tujuan lanjut adalah bermanfaatnya hasil akreditasi untuk melakukan
perbaikan mutu. Target puncak supervisi adalah berkembangnya proses perbaikan
mutu secara berkelanjutan; meningkatnya kebiasaan melaksanakan tugas sejak awal
dengan mutu yang terukur, dan membiasakan tiap tahap pekerjaan jelas pula
mutunya. Dengan demikian meningkat pula kejelasan pengaruh pelaksanaan tugas
profesi pengawas terhadap hasil belajar siswa. Pada akhirnya supervisi
menumbuhkan budaya mutu karena mutu itu adalah budaya yang selalu menjunjung
target yang tinggi pada setiap langkah kegiatan.
Kemudian
ada banyak pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan baik oleh pusat maupun
daerah untuk meningkatkan kompetensi pengawas sekolah. Akan tetapi pelatihan
dan sosialisasi yang dilaksanakan selama ini dipandang kurang memadai untuk
menjangkau keseluruhan pengawas dalam waktu yang relatif singkat. Selama ini,
pelatihan dan sosialisasi yang dilakukan karena waktunya yang singkat maka
intensitas dan penguasaan materinya kurang optimal Berdasarkan kenyataan ini maka
upaya peningkatan kompetensi pengawas harus dilakukan dengan strategi yang lain
yang lebih inovatif. Salah satu strategi yang dapat ditempuh dengan melibatkan
lebih banyak pengawas, dalam waktu yang singkat dan pada saat yang bersamaan
serta sebaran wilayah yang luas, adalah dengan memanfaatkan forum Kelompok
Kerja Pengawas Sekolah (KKPS) dan Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS)
sebagai wahana belajar bersama.
Forum
dan wahana belajar ini diharapkan akan lebih efisien dan efektif mengingat para
pengawas belajar dalam suasana kesejawatan yang akrab namun akademis. Para
pengawas diharapkan dapat saling berbagi pengetahuan dan pengalaman guna
bersama-sama meningkatkan kompetensi dan kinerja mereka di samping pula untuk memperkuat komitmen mereka untuk meningkatkan
mutu pendidikan di daerah masing-masing.
Berdasarkan
Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah,
menyatakan bahwa jenis pengawas terdiri dari :
a)
Pengawas
Taman Kanak-Kanak/Raudatul Athfal (TK/RA)
b)
Pengawas
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI).
c)
Pengawas
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs)
d)
Pengawas
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) dalam Rumpun Mata Pelajaran yang
Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, atau Seni Budaya).
e)
Pengawas
Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) dalam Rumpun Mata
Pelajaran yang Relevan (MIPA dan TIK, IPS, Bahasa, Olahraga Kesehatan, Seni
Budaya, Teknik dan Industri, Pertanian dan Kehutanan, Bisnis dan Manajemen, Pariwisata,
Kesejahteraan Masyarakat, atau Seni dan Kerajinan).
Pengawas
sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau
pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas pengawas satuan pendidikan
menurut Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 adalah melaksanakan supervisi
manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan jumlah sekolah yang di bina
yang diuraikan sebagai berikut :
a)
Pengawas
Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah
dan paling banyak 15 sekolah.
b)
Pengawas
Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan
paling banyak 15 sekolah,
c)
Pengawas
Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 7
sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
d)
Pengawas
Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah
dan paling banyak 10 sekolah,
e)
Pengawas
Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5
sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
f)
Pengawas
Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah
dan paling banyak 10 sekolah.
Saat
ini seorang pengawas sekolah termasuk pengawas pendidikan agama Islam harus
mempunyai 6 (enam) kompetensi dasar sesuai dengan Permendiknas No.12 tahun 2007
tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah yakni :
a)
Kompetensi
supervisi akademik yaitu kemampuan pengawas sekolah dalam melaksanakan
pengawasan akademik yakni menilai dan membina guru dalam rangka mempertinggi
kualitas proses pembelajaran yang dilaksanakannya, agar berdampak pada kualitas
hasil belajar siswa. Oleh karena itu sasaran supervisi akademik adalah guru
dalam proses pembelajaran, yang terdiri dari materi pokok dalam proses
pembelajaran, penyusunan silabus dan RPP, pemilihan strategi/metode/teknik
pembelajaran, penggunaan media dan teknologi informasi dalam pembelajaran,
menilai proses dan hasil pembelajaran serta penelitian tindakan kelas.
b)
Kompetensi
supervisi manajerial yaitu supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan
sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas
sekolah yang mencakup perencanaan, koordinasi,
pelaksanaan, penilaian, pengembangan kompetensi sumberdaya manusia (SDM)
kependidikan, dan sumberdaya lainnya.
c)
Kompetensi
evaluasi pendidikan yakni kemampuan untuk menyusun kriteria dan indikator
keberhasilan pendidikan dalam bidang pengembangan serta menilai kinerja kepala
sekolah, guru, dan staf sekolah dalam melaksanakan tugas pokok dan tanggung
jawabnya untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
d)
Kompetensi
penelitian dan pengembangan yakni kemampuan dalam menguasai berbagai
pendekatan, jenis, dan metode penelitian dalam pendidikan serta mampu
menentukan masalah kepengawasan yang penting untuk diteliti baik untuk tugas
kepengawasan maupun untuk pengembangan karirnya sebagai pengawas.
e)
Kompetensi
kepribadian dan sosial yakni kemampuan dalam pengenalan diri, pengembangan
diri, dan memberdayakan diri serta kemampuan dalam menjalin komunikasi yang
efektif guna menumbuhkan peran serta dan kerjasama dengan pihak lain.
f)
Kompetensi
penelitian tindakan sekolah merupakan pengkhususan dan pendalaman lebih lanjut
dari kompetensi penelitian dan pengembangan. Salah satu peran yang diharapkan
dari seorang pengawas adalah menjadi agen perubahan (agent of change). Untuk
melaksanakan peran tersebut, akan lebih efektif apabila mereka menguasai metode
action research seperti penelitian tindakan sekolah ini. Dengan kompetensi ini
pengawas memiliki kemampuan metodologis untuk melakukan penelitian, sekaligus mengupayakan
tindakan untuk memperbaiki sekolah binaannya.
Berbekal
6 (enam) kompetensi dasar inilah diharapkan seorang pengawas bisa tampil
sebagai pengawas yang berkompeten dan profesional. Dengan tampil sebagai
pengawas yang berkompeten dan profesional maka tujuan selanjutnya adalah dapat
memberikan kontribusi pada peningkatan mutu sekolah. Mutu sekolah dalam hal ini
adalah baik mutu proses belajar mengajar, mutu lulusan, kinerja dan kompetensi
guru, maupun manajemen pengelolaan kelas dan sekolah yang dilaksanakan oleh
guru dan kepala sekolah.
Peningkatan
mutu pengawas tidak berhenti dengan penetapan standar kompetensi pengawas saja.
Standar mutu pengawas dengan penguasaan kompetensi minimal akan sulit dicapai
apabila dilaksanakan secara invidual. Kalaupun terjadi peningkatan mutu
pengawas maka yang terjadi adalah perbedaan pencapaian standar kompetensi yang
beragam diantara pengawas dan akan memerlukan waktu yang relatif lama untuk
mencapai standar mutu yang memadai. Oleh karena itu pemerintah membentuk
semacam organisasi profesi pengawas yang bersifat non kedinasan. Organisasi ini
dibentuk untuk mewadahi pengawas dalam rangka untuk meningkatkan ketrampilan
dan keahlian kepengawasan di antara rekan sejawat mereka sendiri. Organisasi
itu bernama Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) atau sering disebut dengan
sanggar pengawas sekolah. Sanggar ini juga sama dengan sanggar lainnya yang
dibentuk untuk guru mata pelajaran tertentu yang dikenal dengan Musyarawah Guru
Mata Pelajaran (MGMP) atau Kelompok Kerja Guru (KKG) untuk guru SD atau guru
kelas. Di dalam organisasi atau wadah ini diharapkan terjadi interaksi antar
anggota yang seprofesi dan terjadi dalam
suasana kesejawatan yang akrab antar anggota. Interaksi yang terjadi juga
berupa saling berbagi informasi, saling berbagi pengalaman dan pengetahuan dan
saling memberi solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapi.
B. Perumusan Masalah/Rumusan masalah
Di
dalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus (Moleong,
1989:68) atau dengan istilah yang lengkap adalah rumusan masalah (Idrus, 2009:
48). Rumusan masalah ditetapkan karena begitu banyak fakta yang ingin diketahui
dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak temuan lapangan
yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh. Namun
demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya agar
penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah
yang disebut dengan rumusan masalah. Penetapan batas area penelitian ini untuk
mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan menganalisis
data (Satori dan Komariah, 2009: 30).
Rincian mengenai maksud dari penetapan rumusan
masalah adalah seperti yang dinyatakan oleh Moleong (1989: 69) bahwa, pertama, rumusan
masalah dapat membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di
luar penelitian. Kedua, penetapan rumusan masalah berfungsi untuk memenuhi
kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan
– mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari lapangan. Dengan
panduan dan arahan dari rumusan masalah maka peneliti dapat tahu data mana yang
perlu dikumpulkan dan data mana yang, walaupun menarik, karena tidak relevan,
tidak perlu dimasukkan ke kumpulan data yang akan dianalisis di tahap
selanjutnya.
Kemudian,
dari penetapan rumusan masalah, akan “dipecah” atau diuraikan lagi menjadi
pertanyaan penelitian. Pertanyaan penelitian dimaksudkan untuk lebih
mengoperasionalkan rumusan masalah (Idrus. 2009: 48). Operasionalisasi rumusan
masalah nantinya akan membantu peneliti dalam mempertajam arah penelitiannya.
Pertanyaan penelitian ini juga akan membantu peneliti dalam membuat pedoman
wawancara guna mengumpulkan data dari lapangan, menentukan aspek data dan
informasi yang perlu dikumpulkan, dan membantu melakukan koding pada saat
analisis data.
Sebagai
ilustrasi untuk memperjelas penetapan rumusan masalah dapat dinyatakan disini
bahwa pengawas dengan 6 (enam) kompetensi dasar diharapkan bisa tampil sebagai
pengawas sekolah yang berkompeten, profesional dan bermartabat. Dalam rangka
lebih meningkatkan standar mutu pengawas maka pemerintah membentuk sebuah wadah
sebagai sarana untuk meningkatkan keprofesionalan kompetensi pengawas sekolah.
Wadah ini berupa sanggar pengawas yang dikenal juga dengan Musyawarah Kerja
Pengawas Sekolah. Salah satu tujuan dari pembentukan sanggar pengawas adalah
untuk mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan mencari pemecahannya
kemudian mengaplikasikannya kepada sekolah binaan serta sebagai sarana saling
berbagi informasi dan pengalaman dalam pembinaan sekolah (Depdikbud, 1989: 7).
Dengan demikian pengawas akan memberikan kontribusi yang besar kepada mutu
sekolah.
Berdasarkan hal tersebut diatas maka rumusan
masalah rumusan masalah ini akan mencoba mengungkapkan bagaimana aktifitas dan peran
pengawas terhadap kinerja dan kompetensi pengawas sekolah bidang PAI. Kemudian
dari hasil interaksi dan belajar mandiri dengan sesama pengawas akan ditelaah
pula bagaimana peran pengawas sekolah tersebut dalam proses penjaminan mutu di
sekolah binaannya.
Rumusan masalah
diatas apabila diturunkan dan diuraikan dalam pertanyaan penelitian maka
seperti di bawah ini :
a.
Bagaimanakah
peran pengawas PAI dalam proses penjaminan mutu pendidikan di sekolah
binaannya?
b.
Bagaimanakah
kinerja pengawas PAI terutama berkaitan dengan visitasi dan teknik supervisi
yang digunakan dalam pembinaan pada sekolah binaanya?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana peran dan pengaruh pengawas PAI dalam
hal meningkatkan kompetensi dan kinerja pengawas PAI si sekolah. Di samping itu
secara mendasar penelitian ini juga bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana
peran pengawas sekolah baik terhadap kegiatan peningkatan mutu pembelajaran
maupun pada proses penjaminan mutu di sekolah.
D. Manfaat Penelitian
Pengawas
sekolah dapat dianggap sebagai organisasi profesi. Sebagai sebuah organisasi
profesi, di dalamnya akan terjadi saling tukat menukar pengetahuan dan
informasi yang berkaitan dan menunjang profesinya. Prinsip inipun sesuai dengan
apa yang disebut community of practice. Konsep ini mengacu pada sebuah
perkumpulan bagi orang-orang yang mempunyai keahlian dan ketrampilan yang
spesifik dan kemudian bersepakat untuk saling berbagi pengetahuan dan informasi
tentang ketrampilan dan keahlian tersebut agar posisi mereka di hadapan publik
pengguna jasa keahlian mereka, akan semakin kokoh dan mantap serta dapat
mengikuti tuntutan pengguna (Wenger dalam Organization 2000 7 : 225 - 245). Di dalam dunia pendidikan
juga dikenal dengan istilah Learning Organization yang menurut McGill (dalam
Komariah, 2004: 58) bermakna organisasi pembelajar adalah organisasi yang
memberikan fasilitas belajar bagi semua anggotanya sehingga akan terjadi
tranformasi secara terus dengan sendirinya sebagai cara untuk mengembangkan
diri dan dalam rangka mengembangkan efektifitas organisasi. Fiol dan Lyles
(1985: 803-813) juga menyatakan bahwa
organizational learning adalah organisasi yang yang selalu memperbaiki
tindakan-tindakan melalui pengetahuan dan pemahaman yang lebih luas.
Berdasarkan paparan diatas, beberapa hal yang dapat disumbangkan penelitian ini
antara lain adalah :
1.
Secara
teoritis penelitian ini hendak mengungkapkan apakah aktifitas seperti yang
dikemukakan oleh McGill dan Fiol telah terjadi pada sanggar pengawas yang dalam
hal ini adalah juga sebuah organisasi profesi. Aktifitas yang dimaksud adalah
berbagi informasi, pengetahuan dan pengalaman diantara para anggotanya.
2.
Berkaitan
dengan kinerja pengawas sekolah, penelitian ini hendak melihat apakah kinerja
pengawas sekolah dalam melakukan supervisi seperti apa yang diungkapkan Burton
(dalam Purwanto, 2008 : 27) dan Arikunto (2004 :2 ) dapat terjadi di lapangan
atau dalam kenyataan di masyarakat pendidikan.
3.
Secara
praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan gambaran
menyeluruh kepada pihak berwenang di bidang pendidikan yang terkait, tentang
bagaimana peran dan kinerja pengawas sekolah terhadap mutu sekolah binaanya.
Selain itu juga akan dipaparkan pula bagaimana peran sanggar pengawas, dalam
hal ini Kelompok Kerja Pengawas Sekolah, terhadap peningkatan kompetensi dan
kinerja pengawas sekolah. Peningkatan kemampuan dan unjuk kerja pengawas akan
berujung pada peningkatan mutu sekolah dan pendidikan di daerah
bersangkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Adaski, Rensta. (2010). “Peranan Pengawas Sekolah dalam Pelaksanan
Supervisi”. Jurnal Tenaga Kependidikan, Edisi 4, No.1 pp 48-53.
Arikunto, Suharsimi. (2004). Dasar-dasar Supervisi . Jakarta :
Rineka Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. (2007). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 12 tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah,
Jakarta: Depdiknas.
………..(2009). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 63 tentang
Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan, Jakarta: Depdiknas.
………..(2009). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 39 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas
Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
………(2005). Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 19 tentang Penilaian Angka Kredit Jabatan Fungsional
Pengawas, Jakarta: Depdiknas.
Direktorat Jenderal
Peningkatan Mutu Pendidi dan Tenaga Kependidikan. (2009). Analisis Data Guru.
Jakarta: Sekretariat Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga
Kependidikan.
Direktorat Pendidikan
Menengah Umum. (1998). Petunjuk Penyelenggaraan Musyawarah Kerja Pengawas
Sekolah. Jakarta: Ditjen Dikdasmen, Depdiknas.
Emzir. (2010). Metodologi
Penelitian Kualitatif : Analisis Data. Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa.
Moleong, L.J. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: Rosdakarya.
Mulyasa, E. (2004). Menjadi Kepala Sekolah Profesional, Bandung:
Remaja Rosda Karya.
Izin share ya admin!
ReplyDelete