Membeli surga?
Rasanya kok mengada-ada. Tapi fenomena seperti ini banyak kita rasakan dan
cukup “ngetrend” di negeri kita. Gelombang “simbolis religius” akhir-akhir ini
banyak terjadi, khususnya di kalangan artis, pejabat dan orang-orang superkaya.
Surga dan malaikat, seolah-olah bisa disuap dengan uang dan harta kekayaan
mereka.
Meski tak banyak, ada
saja kalangan pejabat yang nampak alim ketika pulang kampung. Bersedekah
kemana-mana, membantu masjid dan royal pada anak yatim. Sebaliknya, di luar
rumah, dia justru di kenal sebagai pejabat paling korup dan suka memarkup dana
APBN/APBD. Pernah suatu kali, di sebuah surat pembaca konsultasi fikih di
majalah Islam, seseorang pembaca bertanya, “Ustad, sebelum ramai-ramai istilah
KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme), saya bergelimang uang haram. Bisakah dosa
saja terhapus bila kami sumbangkan pada yayasan Yatim Piatu?’
Ini adalah fenomena
nyata di masyarakat. Artis-artis kita, nampak sopan di kala Ramadhan. Seorang
penyanyi erotis seperti Inul Dara Tista, bahkan berjanji mengenakan jilbab bila
di panggung selama puasa. Artis-artis lain juga beramai-ramai bersedekah. Meski
selesai Ramadhan, kegiatannya mengundang syahwat kembali lebih ‘gila’ dari bulan
puasa.
Uang, seolah bisa
“menyuap malaikat Rokib”, malaikan pencacat amal ibadah.Inilah adalah fenomena
“pragmatisme ibadah”, yang dilematis bagi Muslimin.
Makelar Surga
Para artis dan para koruptor, yang
mulutnya sering meletup-letup memproklamirkan diri katanya “cinta agama”,
mayoritas –mestik tidak untuk dimaksud tidak semuanya-- mereka adalah para
“makelar surga” paling berpengaruh. Di depan publip, ia mempromosikan, bahwa
surga adalah “komoditas” yang bisa diraih dengan bermodal materi.
Kalaulah hal itu dianggap ibadah
sampingan, tentu tidak masalah. Ironisnya mengesampingkan esensialitas ibadah
kepada Allah SWT. Memang, dalam hati kecilnya, mereka pun mungkin takut atas
dosa-dosanya. Namun magnet godaan setan dengan umpan fatamorgana duniawi eksis lebih
kuat mengalahkan keimanannya.
Kroposnya akar-akar Islam “di lapangan Ibadah”, baik
vertical (kepada Allah) maupun horizontal (sesama ummat beragama), adalah
resiko dominan dari “komoditas surga”.
Faktor utamanya, mereka, umumnya berpikir pragmatis. Bahwa dalam konteks
ibadah cukup mengeluarkan sebagian duitnya saja. Naifnya lagi, sering tanpa
memperdulikan uang halal atau haram. Lebih menggelikan, ada yang berceletuk ,
"Berbuat demikian itu lebih baik, daripada tidak sama sekali ".
Karena itu, para koruptor, yang tak malu mengeruk duit
rakyat atau artis, tak terkecuali artis bintang porno, yang mempublikasikan
diri melalui berbagai media massa secara gegap gempita menjadi “santri” dan
sopan. Bergagah-gagahan
berebut membangun masjid-masjid dan menyantuni para yatim piatu dengan
mengundang wartawan.
Seolah-olah mereka adalah "teladan
beribadah” bagi segenap Muslimin. Ia hanya ingin menunjukkan pada public,
sesungguhnya, surga masih bisa dibeli. Fenomena tak menarik seperti ini jelas
jauh dari autentisitas ibadah secara syar’i.
Hak surga dan neraka adalah perogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, “Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu." (QS 5:18).
Hak surga dan neraka adalah perogratif Allah SWT sebagamana surat yang berbunyi, “Dia (Allah) mengampuni bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Kepunyaan Allah-lah kerajaan antara keduanya. Dan kepada Allah-lah kembali (segala sesuatu." (QS 5:18).
Tapi merupakan kesalahan fatal, bila
ada manusia bermaksud "mengaveling surga", hanya dengan mengandalkan
seonggok harta. Apalagi, I’tikad dari ibadahnya itu tetap tidak merubah
kebiasaan buruk sehari-hari.
Islam adalah agama yang tak bisa
dipraktekkan seenaknya. Ada syarat dan rukun dalam ibadah. Dan itu tidaklah
berdasarkan karangan akal-akalan.
Dalam perspektif hukum fiqih, empat madzahib fuqoha
ahlissunnah waljama'ah (Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Hanafi dan Imam
Syafi’i) ada kesepakatan, bahwa generalitas dalam beribadah selain ada rukun
yang dilaksanakan, juga sebelum memulai ibadah terlebih dulu harus
memperhatikan terhadap syarat-syaratnya.
Selain ada syarat diwajibankannya
(beribadah), utamanya harus memenuhi syarat syah, agar sesuai prosedur
(ibadah)nya menjadi syah. Beragama
jelas ada prosedurnya. Bolehkan membangun pesantren dengan uang hasil
memamerkan aurat badan di berbagai media massa? Misalnya hasil dari goyang
erotis? Jelas tidak. Beribadah jelas ada ketentuannya. Misalnya, Meski
sama-sama air, tidak boleh mencuci lantai masjid dengan air kencing. Ini sama
halnya menyantuni anak yatim dengan uang hasil korupsi.
Dalam Qawa’id al-Fiqh, dikenal “al-Ashlu baqou ma kana
a’la makana” (hukum sesuatu hal, itu sesuai dengan kondisi asalnya). Umpamanya, uang haram
dijariahkan ke masjid, maka tetap haramlah hukum menyalurkan duit (haram) itu.
Sedekah atau dermawan, memang dianjurkan. Namun dengan
harta haram, dalam konteks ibadah, hal itu hanya melaksanakan rukun, sedangkan
menafikan syarat (ibadah) tentunya menyebabkan tidak syah.
Sebuah hadis mengatakan, “Dan memang,
harta itu, hisabnya (pertanggung jawaban di hadapan Allah) dua hal; dari mana
(dengan cara apa) diperoleh, dan untuk apa dipergunakan.” (HR. at-Tirmidzi dari
Abu Barzah R.A.).
Karena itu, Nabi pernah menghancurkan
masjid dhirar karena karena dianggap dapat memecah belah umat dan menimbulkan
keresahan. Jika hanya menggunakan akal, penghancuran itu jelas perbuatan tidak
waras. Bukankah masjid adalah rumah Allah tempat orang bersujud?
Karenanya, tidaklah tepat, menjadikan
hal haram atau subhat itu, sebagai argumentasi "untuk mencari modal"
beribadah. Bukankah sangat banyak jalan untuk mencari rezeki sekaligus tanpa
mencampakkan konstitusi (syariat) Ilahi?
Bila beribadah orientasinya
masuk surga-menjauhi neraka, otomatis signifikan mengikis kualitas orisinilitas
ibadah. Perspektif Tauhid adalah termasuk asy-Syirku al-Asghar (bagian dari
penyekutuan kepada Allah SWT).
Efek Samping
Kompfleksnya sistem media informasi,
berperan aktif menularkan hedonisme. Kenaifan itu pun telah kronis mewabah ke
plosok-plosok. Kini di daerah-daerah pun telah "ngetrend" terjangkit
virus "Menyuap Malaikat-Membeli Surga". Berujung semakin terpinggirkannya
implementasi kualitas ibadah.
Fenomenanya, mereka mau menyumbangkan
materi untuk pembangunan masjid, namun berat untuk melangkahkan kaki shalat
berjamaah ke masjid. Atau marak pula (orang-orang daerah) gemar menyumbangkan
duit untuk acara-acara pengajian/majlis ta’lim, namun enggan mengikuti
pengajian di majlis yang didonasinya itu.
Inilah, kaum hedonis (pemuja harta)
yang gede rasa (GR) bisa “membeli surga”. Prinsipnya, “Boleh berpuas-puas
berbuat dosa dengan kemewahan harta, termasuk cara (haram) memperoleh hartanya.
Toh, dengan harta itu, akan mampu ‘menyuap malaikat sekaligus membeli surga!’
.”
Allah berfirman, “Akan datang suatu
hari, yaitu pada hari di mana tidak bermanfaat lagi harta dan anak-anak.
Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih." (QS.
Asy-Syu'araa': 88-89)
Melaksanakan perintah Alah dan menjauhi
laranganNya sesuai orisinilitas syariat itulah sesungguhnya esensi dari
kehidupan manusia dan beribadah. Karenanya, bagi mereka yang merasa bisa
"menyuap malaikat dan membeli surga", Anda jangan merasa GR!. Wa
Allohu A'lamu bi ash-Showab.
No comments:
Post a Comment