Tuesday, July 3, 2012

PENINGKATAN MUTU MANAJEMEN PENDIDIKAN

Tinjauan Tentang Perubahan Organisasi Dalam Pendidikan

A.    PENGANTAR
Pendekatan Total Quality Management adalah salah satu upaya untuk meraih nilai atau mutu yang optimal dengan melibatkan keseluruhan unsur organisasi di bawah satu visi bersama. Proses kerja yang lebih efektif dan efisien, diikuti oleh sumber daya manusia yang berkompeten dengan loyalitas dan daya juang yang tinggi, akan menghasilkan peningkatan kinerja yang berujung pada kepuasan konsumen atau stakeholder. Al Qur’an dalam surat al-Ashr, mengingatkan kepada manusia  untuk menjaga dan meningkatkan kualitas/mutu hidup dari waktu ke waktu, bahwa manajemen waktu adalah urgen bagi manusia dalam upaya menjadi manusia yang berdayaguna dan bermanfaat bagi orang lain.
Total Quality Mangement (TQM) berasal dari dunia bisnis dan khususnya dalam dunia perusahaan. Oleh karena itu, untuk memahami TQM harus merujuk pada dunia asalnya. Hal ini bukan berarti bahwa metode bisnis lebih unggul dari pada praktek pendidikan, atau bahwa pendidikan akan bisa ditingkatkan hanya dengan mengadopsi bahasa komersial. Lebih dari itu, justru dunia bisnis dapat belajar dari metode yang diterapkan di beberapa sekolah.[1]

Di era kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini menuntut adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah "Total Quality Education (TQE)", dan di dunia pendidikan nasional dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Total Quality Mangement (TQM) dalam pendidikan ini mendapatkan perhatian serius dalam National Quality Servey (1991). Hal ini menunjukkan bahwa TQM dan isu-isu mutu secara umum mengundang perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, isu tersebut semakin meningkat. Masyarakat dari semua sektor pendidikan sekarang telah menunjukkan minatnya. Beberapa institusi mulai mewujudkan filosofi TQM ke dalam praktek. Perkembangan minat ini telah memberikan stimulan pada tuntutan publikasi isu-isu TQM dalam dunia pendidikan.
Salah satu masalah penting di dalam dunia pendidikan adalah masih rendahnya mutu keluarannya. Indikator yang menjadi acuan untuk menguatkan pernyataan tersebut adalah Nilai Ujian Nasional yang secara umum belum terlalu menggembirakan, artinya batas minimal lulus masih rendah bandingkan negara tetangga. Upaya meningkatkan mutu pendidikan telah lama diangkat oleh pemerintah sebagai salah satu kebijaksanaan pembangunan pendidikan, dengan membuat empat kebijaksanaan strategis yang terdiri atas perluasan kesempatan belajar, meningkatkan mutu pendidikan, peningkatan relevansi, serta efisiensi, dan efektivitas penyelenggara pendidikan. Kemudian mengadakan serangkaian kegiatan penataran guru, pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejenis (MGMP), didirikannya Pusat Kegiatan Guru (PKG), Lembaga Balai Penataran Guru (BPG) dan lain sebagainya. Namun tidak serta merta persoalan tersebut bisa terselesaikan.
Lalu di manakah letak kesalahannya ? Mengapa input yang begitu banyak dan berharga tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produk pndidikan, khususnya di Indonesia? Menurut Slamet PH (2000), sumber penyebab rendahnya kualitas pendidikan tersebut adalah aspek pengelolaan atau manajemen. Secara internal hal tersebut disebabkan oleh penerapan pendekatan input-output yang keliru. Terlalu mengedepankan aspek input pada penyelesaian hampir semua kasus pendidikan di sekolah. Seakan-akan mutu pendidikan akan meningkat dengan sendirinya apabila sejumlah input ditambahkan. Misalnya kekurangan guru, ditambah guru, membangun laboratorium, dan seterusnya. Ada satu faktor yang terlupakan, yaitu bagaimana berbagai input tersebut dipertemukan dan berinteraksi di dalam proses belajar-mengajar.
  
B.     HAKEKAT PENINGKATAN MUTU MADRASAH/SEKOKAH
Hampir semua bangsa-bangsa negara di dunia ini terus melakukan proses untuk meningkatkan mutu pendidikan di negara masing-masing. Sebab kunci masa depan suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan sistem pendidikan yang berkualitas, yang ditunjukkan oleh keberadaan sekolah-sekolah yang berkualitas pula. Sebagaimana dikatakan Khursid Khan (dalam Muhaimin dkk) bahwa: of all the problem that confront the muslim world today the educational problem is the most challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it responds to this challenge.[2] Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang. Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab dan memecahkan tantangan itu.
Peningkatan mutu pendidikan yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang musti dilakukan secara sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu. Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat instan, melainkan suatu proses yang harus dilalui dengan sabar, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang jelas dan pasti. Dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang gampang segampang teori, seperti yang disitir oleh Kurt Lewin: “There is nothing to practical as good as a theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori.[3] Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat dikendalikan oleh sekolah.
Peningkatan mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill, art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan, pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini. Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Pembelajaran adalah proses yang kompleks rumit dimana berbagai variable saling berinteraksi. Banyak variable dalam proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan dengan suatu materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat keterkaitan berbagai yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi dan mana yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara matematis, pasti. Anak yang kecapekan atau kurang gizi atau memiliki persoalan pribadi jelas akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula kemiskinan dan kondisi keluarga akan berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi dan yang tidaki memiliki akan berbeda dalam kaitan dengan proses dan hasil pembelajaran. Dengan singkat, apa pengaruh eksternal dan internal dalam diri siswa yang akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, tidak semua pengaruh tersebut dapat dikendalikan oleh kepala sekolah dan guru.
Sebagai suatu proses interaksi antara siswa dan guru berkaitan dengan materi tertentu, maka tidak hanya kondisi siswa yang berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak kalah pentingnya mempengaruhi kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau ingin melihat prestasi siswa lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang bervariasi berarti kualitas dan hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin tinggi kesenjangan kualitas guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa. Kualitas interaksi juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas, termasuk kurikulum yang dipergunakan.
Peningkatan mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di negara manapun. Hal disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran, seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif, kerja guru dan pembelajaran, retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi yang semuanya ini bermuara pada suatu pernyataan, “apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas sekolah sebagai satu kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus ditingkatkan” [4]
Dalam kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan mutu. Seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde Reformasi.
UNESCO[5] Sebagai lembaga internasional yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan, UNESCO banyak memberikan perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu sekolah di banyak negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap tahun UNESCO kantor Asia & Pasifik bekerjasama pemerintah China dan Thailand secara bergantian menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang difokuskan pada peningkatan mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup antara lain:
1.      Sekolah harus siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
2.      Pilar kualitas sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
3.      Menetapkan standar pendidikan dengan indikator yang jelas.
4.      Memperbaharui dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5.      Meningkatkan pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.
6.      Menekankan pada pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.
7.      Mengembangkan kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8.      Meningkatkan partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9.      Melaksanakan Quality Assurance.
Sedangkan untuk meningkatkan mutu sekolah seperti dapat menggunakan yang sebagaimana disarankan oleh Sudarwan Danim[6] yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
1.      Kepemimpinan Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang kuat.
2.      Siswa; pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa.
3.      Guru; pelibatan guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4.      Kurikulum; adanya kurikulum yang tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara maksimal;
5.      Jaringan Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain, seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap didalam dunia kerja
Berdasarkan pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork) yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target (goals ) akan tercipta dengan baik.
Mutu produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik, proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu.[7]
Gerakan mutu terpadu dalam pendidikan masih tergolong baru, hanya ada sedikit literatur yang memuat referensi tentang hal ini sebelum tahun 1980-an. Inisiatif untuk menerapkan metode ini berkembang lebih dahulu di Amerika baru kemudian di Inggris, namun baru di awal 1990-an kedua negara tersebut betul-betul dilanda gelombang metode ini. Ada banyak gagasan yang dihubungkan dengan mutu juga dikembangkan dengan baik oleh institusi-institusi pendidikan tinggi dan gagasan-gagasan mutu tersebut terus menerus diteliti dan diimplementasikan di sekolah-sekolah.
Peningkatan mutu menjadi semakin penting bagi institusi yang digunakan untuk memperoleh kontrol yang lebih baik melalui usahanya sendiri. Institusi-institusi harus mendemonstrasikan bahwa mereka mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada peserta didik. Bagi setiap institusi, mutu adalah agenda utama dan meningkatkan mutu merupakan tugas yang paling penting. Walaupun demikian, sebagian orang ada yang menganggap mutu sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu dianggap sebagai suatu hal yang membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu dalam pandangan seseorang terkadang berbeda dengan mutu dalam pandangan orang lain. Sehingga tidak aneh jika ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.
Seseorang bisa mengetahui mutu ketika mengalaminya, tetapi tetap merasa kesulitan ketika ia mencoba mendeskripsikan dan menjelaskannya. Satu hal yang bisa diyakini adalah mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah dan meraih status di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan yang kian keras.
Strategi yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia pendidikan adalah; institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa, yakni institusi yang memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan (Customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan kepada mereka. Maka pada saat itulah dibutuhkan suatu sistem manajemen yang mampu memberdayakan institusi pendidikan agar lebih bermutu.
Manajemen pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasran utama, baik pelanggan dalam (Internal Customer) maupun pelanggan luar (External Customer). Dalam dunia pendidikan, yang termasuk pelanggan dalam adalah penglola institusi pendidikan, guru, staff, dan penyelenggara institusi. Sedangkan pelanggan luar adalah masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Jadi suatu institusi pendidikan disebut bermutu apabila antara pelanggan internal dan eksternal telah terjalin kupuasan atas jasa yang diberikan.

C.     IMPLEMENTASI TQM DALAM PENDIDIKAN
Sesuai dengan tujuan TQM dalam pendidikan yaitu merubah institusi yang mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan.[8]
Beranjak dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam pendidikan ada beberapa hal pokok yang perlu diperhatikan:[9]
1.      Perbaikan Secara Terus Menerus (Continuous Improvement).
Konsep ini mengandung pengertian bahwa pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan secara terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan telah mencapai standar mutu yang diterapkan.
2.      Menentukan Standar Mutu (Quality Assurance)
Paham ini digunakan untuk menetapkan standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi atau transformasi lulusan institusi pendidikan.
3.      Perubahan Kultur (Change Of Culture)
Konsep ini bertujuan membentuk budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi semua komponen organisasional.
4.      Perubahan Organisasi (Upside- Down Organization)
Jika visi dan misi, serta tujuan organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepegawaian dalam organisasi, yang menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab.
5.      Mempertahankan Hubungan Dengan Pelanggan (Keeping Close To The Customer)
Karena organisasi pendidikan menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik dengan pelanggan menjadi sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam unit Public Relation.
Keberhasilan penerapan manajemen mutu terpadu tersebut memang tidak mudah, diperlukan komitmen dan kerja sama yang baik antara departemen terkait, antara departemen pusat dengan departemen daerah serta institusi pendidikan setempat sebagai pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya kejelasan secara sistemik dalam memberi kewenangan antar institusi terkait. Jika manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan segala dinamika dan fleksibelitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu dan mutu pendidikan nasional.
Mutu terpadu (Total Quality) membutuhkan manajer yang mampu mengesampingkan sejenak keuntungan jangka pendek dan menetapkan tujuan keberhasilan jangka panjang. Untuk tetap terdepan dalam kompetisi, sebuah organisasi harus mengetahui kebutuhan pelanggan, kemudian menyatukan pikiran untuk bertindak memenuhi kebutuhan mereka.[10]

D.    MANAJEMEN PERUBAHAN ORGANISASI DALAM PENDIDIKAN
Dikaitkan dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition, dan change.[11] Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi konstan.  Tidak banyak orang yang suka akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik positif.
Banyak masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara sembarangan.
Penolakan atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar. Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat (implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang, motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat, dan lain sebagainya. [12]
Whiteside (1978), Schermerhorn, Hunt, Osborn (1982), Bennis, Benne, Chin, dan Corey (1969) membagi strategi perubahan berbasis sekolah menjadi 3 strategi yaitu:
1.      Strategi kekuatan paksaan
Strategi ini menggunakan kekuatan, penghargaan, dan hukuman sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah. Asumsi ini menganggap bahwa sifat masyarakat sekolah adalah sebagai orang ekonomi. Fokus dari perubahan ini adalah keterbukaan sikap masyarakat sekolah. Manajemen perubahan mengutamakan pendekatan atas ke bawah yang tergantung pada kewenangan atau perintah agen perubah. Pengaruh hasil dari perubahan ini hanya berlangsung jangka pendek. Hal itu mungkin hanya bisa digunakan untuk perubahan teknologi bukan untuk perubahan budaya. 
2.      Strategi empiris rasional
Strategi ini menganggap bahwa masyarakat sekolah adalah orang yang rasional. Hal itu digunakan sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah dan menempatkan fokus perubahan pada perubahan kognitif masyarakat sekolah. Manajemen perubahan menekankan pada ajakan rasional dan empiris untuk menunjukkan nilai dari perubahan sekolah. Jika strategi ini berhasil, pengaruh akan dipertahankan untuk jangka panjang. Strategi ini sesuai untuk perubahan budaya dan teknologi di sekolah.
3.      Strategi normatif pendidikan
Strategi ini menganggap bahwa masyarakat sekolah menjadi mitra kerjasama di dalam fungsi sekolah. Dasar yang digunakan untuk perubahan berbasis sekolah mengutamakan kekuatan dan pengaruh personal sebagai agen perubah. Fokus perubahan ini adalah perubahan afektif masyarakat sekolah. Norma, misi sekolah, nilai dan kepercayaan terhadap sekolah menjadi peran penting untuk mendukung perubahan. Manajemen perubahan mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan perubahan. Karena para anggota sekolah benar-benar terlibat dan berkomitmen dalam perubahan, efek perubahan atau hasil dapat diinternalisasikan dan diabadikan secara jangka panjang. Strategi ini sesuai digunakan untuk perubahan budaya.[13]
Pembaharuan terjadi dimana-mana. Pembaharuan dan kata sejenis seperti kata “perkembangan”, “perbaikan”, “evolusi” dan “pengembangan” merupakan beberapa bentuk  konsep modern. Beberapa teori percaya bahwa maksud dari pembaharuan telah  kehilangan makna pentingnya pada akhir-akhir ini. Akan tetapi hasil analisis lebih  lanjut, membantah dan dilihat sebagai intensifikasi, percepatan dan peningkatan kompleksitas proses pembaharuan. Pada tahun 1990-an gagasan pembaharuan, inovasi, reform, pengembangan, perbaikan dan sebagainya kembali diperbincangkan dalam pendidikan, Perbincangan tersebut terjadi pada sekolah negeri, pendidikan guru, metode pengajaran, penilik sekolah, dan evaluasi keuangan sekolah.
Dan berkaitan dengan perubahan organisasi dalam sekolah/pendidikan paling tidak ada beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam pengelolaan sekolah tersebut, antara lain:
1.      Tuntutan masyarakat terhadap sekolah
Semakin tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan tersebut bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan dating. Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
2.      Perkembangan kebijakan politik sentralisasi dan desentralisasi
Perubahan suasana sosial politik di Indonesia yang muncul dari adanya krisis ekonomi kemudian berkembang menjadi krisis sosial politik berimplikasi kepada perubahan dalalm berbagai bidang antara lain bidang pendidikan. Isu sentralisasi dan desentralisasi yang sebelumnya telah dimunculkan sebagai upaya pemberdayaan daerah telah semakin menguat  terdorong oleh suasana perubahan politik kenegaraan semakin diyakini bahwa salah satu upaya penting yang harus dilakukan dalam peningkatan kualitas pendidikan, adalah dengan pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), yang intinya memberikan kewenangan (delegation of outhority) kepada sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan (Quality continous improvement).
Untuk mengembangkan manajemen/perubahan organisasi suatu lembaga pendidikan yang berkualitas subtansi manajemen pengembangan lembaga pendidikan yang harus diperhatikan dan bidang yang harus dirubah, antara lain:
1.      Kurikulum dan Pembelajaran
Kurikulum dan pembelajaran merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam pendidikan. Keduanya saling mendukung satu sama lainnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dalam kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini menuntut kerjasama satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat mengejewatahkan nilai, ide dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dari kurikulum inilah akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari aktivitas pendidikan. Sedangkan pembelajaran menjadi tiang dalam kurikulum. Pembelajaran yang diterapkan dalam lembaga pendidikan itu sangat berpengaruh bagi psikis siswa. Dalam teori ilmu pendidikan modern ataupun ilmu pendidikan Islam berbagai macam model pembelajaran pilihan yang harus diterapkan oleh pendidik. Seperti model pembelajaran kooperatif, kuantum, pembelajaran dengan membacakan kisah-kisah, tematik dan lain sebagainya. Kesemuanya itu bermuara pada satu tujuan yakni bagaimana membuat murid itu senang, nyaman dan menikmati pembelajaran yang disajikan. Dengan begitu dalam pembelajran semakin mudah dimengerti dengan materi yang diajarkan.
2.      Personalia
Dalam lembaga pendidikan, personalia (sumber daya manusia) terlebih kepala sekolah/madrah memiliki peran vital. Sebagai puncak pimpinan tertinggi dan penanggung jawab pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah/madrasah, ia memiliki peran sentral dalam pengelolaan personalia. Beberapa prinsip dasar manajemen personalia, yang dijadikan pedoman kepala sekolah/madrasah adalah:
a.      Dalam mengembangkan sekolah/madrasah, sumber daya manusia adalah komponen paling berharga;
b.      Sumber daya manusia akan berperan secara optimal, jika dikelola dengan baik, sehingga mendukung tercapainya tujuan institusi;
c.       Kultur dan suasana organisai/sekolah, serta perilaku manajerialnya sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pengembangan madrasah.
d.      Manajemen personalia di sekolah/madrasah pada prinsipnya mengupaya kan agar setiap warga (guru, staf administrasi, peserta didik, serta orang tua, dan stakeholders) dapat bekerja sama dan saling mendukung untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah.[14]
3.      Peserta didik
Suryasubrata memberi batasan defenisi manajemen peserta didik, sebagai berikut: Manajemen peserta didik menunjuk pada pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan pencatan murid, semenjak dari proses penerimaan sampai saat murid meninggalkan sekolah/madrasah, karena sudah tamat mengiktui pendidikan pada sekolah/madrasah itu.[15]
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa manajemen peserta didik adalah upaya penataan peserta didik. Mulai dari mereka masuk hingga lulus. Manajemen peserta didik termasuk salah satu bagian dari manajemen pendidikan secara keseluruhan. Manajemen peserta didik menempati posisi yang sangat penting, karena yang sentral di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah, diarahkan agar peserta didik mendapat layanan pendidikan yang baik dan tercipta suasana belajar yang kondusif.
4.      Administrasi Sekolah/Madrasah
Secara terminologis adalah suatu kegiatan atau proses, terutama mengenai cara-cara (alat-alat) sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Administrasi dalam perspektif manajemen, dipandang mempunyai peran penting sebagai “prevoyange” atau kemampuan melihat masa depan. Hal ini berarti administrasi dinilai mampu melihat keadaan masa yang akan datang dan mempunyai kesiapan untuk menghadapinya. Dalam manajemen administrasi terdapat yang Tata Usaha, adapun pekerjaan mereka ke dalam tiga kelompok, antara lain: pembukuan, surat-menyurat dan sarana dan prasarana.
5.      Sarana dan Prasarana
Manajemen sarana prasarana adalah suatu kegiatan bagaimana mengatur dan mengelola sarana dan prasarana pendidikan secara efesien dan efektif dalam rangka pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Tim Pakar Manajemen Universitas Negeri Malang, manajemen sarana prasarana pendidikan adalah proses kerjasama pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efesien.
Manajemen sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya bertujuan:1) meciptakan sekolah/madrasah yang rapi, bersih, indah sehingga menyenangkan bagi masyarakat sekolah/madrasah, 2) tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai, baik secara kualitatif maupun kualitatif dan relevan dengan kepentingan pendidikan.


6.      Keuangan
Manajemen keuangan atau pembiayaan merupakan serangkaian kegiatan perencanaan, melaksanakan, mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam manajemen pendidikan, masalah dana merupakan potensi yang sangat menentukan dan tidak bisa dipisahkan dari kajian manajemen pendidikan. Adapun biaya adalah keseluruhan dana baik secara langsung maupun tidak langsung yang diperoleh dari berbagai sumber.
7.      Hubungan Masyrakat
Berfungsi sebagai pencitraan sekolah atau lembaga pendidikan. Humas itu sendiri merupakan fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap publik, menyesuaikan kebijakan dan prosedur instansi atau organisasi untuk mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat.
Setiap perubahan akan memengaruhi siapapun, apakah dia pihak manajemen ataukah anggota organisasi. Perubahan bisa ditanggapi secara positif ataukah negatif bergantung pada jenis dan derajat perubahan itu sendiri. Ditanggapi secara negatif atau dalam bentuk penolakan kalau perubahan yang terjadi dinilai merugikan diri manajemen dan anggota organisasi. Sementara kalau perubahan itu terjadi pada inovasi proses perbaikan mutu maka perubahan yang timbul pada manajemen dan anggota organisasi adalah dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan mengoperasikan teknologi baru. Kalau itu terjadi pada perubahan motivasi anggota organisasi staf dalam suatu tim kerja maka perubahan yang semestinya terjadi adalah terjadinya perubahan manajemen mutu sumberdaya manusia. Itu semua tanggapan positif atas terjadinya perubahan.
Untuk mencapai keberhasilan suatu program perubahan maka setiap orang harus siap dan mampu merubah perilakunya. Hal ini sangat bergantung pada apa yang mempengaruhi perilaku dan apa pula yang mendorong seseorang untuk berubah. Faktor-faktor internal yang diduga mempengaruhi perilaku meliputi pengetahuan, ketrampilan, kepercayaan/keyakinan, lingkungan dan visi organisasi. Sementara faktor-faktor  pendorong seseorang untuk berubah adalah kesempatan memperoleh keuntungan nyata atau menghindari terjadinya kerugian pribadi. Beragam Faktor Mempengaruhi Perubahan perilaku  dimaksud diuraikan sebagai berikut.
  
1.      Pengetahuan
Pengetahuan merupakan unsur pokok bagi setiap anggota organisasi untuk merubah perilakunya dalam mengerjakan sesuatu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan anggota organisasi semakin mudah dia untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya. Karena itu pengetahuan ditempatkan secara strategis sebagai salah satu syarat penting bagi kemajuan perilaku anggota organisasi. Anggota organisasi yang hanya menggunakan pengetahuan yang sekedarnya akan semakin tertinggal kinerjanya dibanding anggota organisasi yang selalu menambah pengetahuannya yang baru.
2.      Ketrampilan
Ketrampilan, baik fisik maupun non-fisik, merupakan kemampuan seseorang yang diperlukan untuk melaksanakan suatu pekerjaan baru. Ketrampilan fisik dibutuhkan untuk pekerjaan-pekerjaan fisik, misalnya mengoperasikan komputer, mesin produksi dsb. Ketrampilan non-fisik dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang sudah jadi. Misalnya kemampuan memimpin rapat, membangun komunikasi, dan mengelola hubungan dengan para pelanggan secara efektif. Jadi disitu terdapat hubungan antara proses dan ketrampilan komunikasi antarpersonal. Ketrampilan lebih sulit untuk diubah atau dikembangkan ketimbang pengetahuan.
Perubahan ketrampilan sangat terkait dengan pola perilaku naluri (instink). Proses perubahan respon instink anggota organisasi membutuhkan waktu relatif cukup panjang karena faktor kebiasaan apalagi budaya tidak mudah untuk diubah. Misalnya anggota organisasi yang biasanya bertanya pada anggota organisasi dengan ucapan “apa yang manajer inginkan” (kurang sopan) sulit untuk segera berubah menjadi ucapan”apa yang dapat saya kerjakan untuk manajer” atau “bolehkah saya membantu manajer” (lebih sopan).
3.      Kepercayaan
Kepercayaan anggota organisasi menentukan sikapnya dalam menggunakan pengetahuan dan ketrampilannya untuk mengerjakan sesuatu. Boleh jadi anggota organisasi diberikan pengetahuan dan ketrampilan baru dengan cara berbeda. Namun hal itu dipengaruhi oleh kepercayaan yang dimilikinya apakah pengetahuan dan ketrampilan yang diterimanya akan berguna atau tidak. Dengan kata lain suatu kepercayaan relatif sulit untuk diubah. Jadi kalau  ingin melatih anggota organisasi harus diketahui dahulu kepercayaan yang dimiliki anggota organisasi sekurang-kurangnya tentang aspek persepsi dari kegunaan suatu pelatihan.
4.      Lingkungan
Suatu lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi apakah melalui pemberian penghargaan atas perilaku yang diinginkan ataukah dengan mengoreksi perilaku yang tidak diinginkan. Lingkungan organisasi seperti keteladanan pimpinan dan model kepemimpinan serta masa depan organisasi yang cerah akan berpengaruh pada derajat dan mutu perubahan perilaku anggota organisasi. “Apa yang organisasi berikan pada anggota organisasi dan apa pula yang organisasi dapatkan”. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh apa yang bisa diberikan organisasi kepada anggota organisasinya. Semakin tinggi kadar insentif yang diberikan semakin efektif terjadinya perubahan perilaku anggota organisasinya. Sebaliknya organisasi yang tidak efektif  atau gagal  cenderung akan menciptakan perubahan perilaku yang juga tidak efektif.
5.      Tujuan organisasi
Tujuan organisasi ditentukan oleh kepercayan kolektif dari para pimpinan organisasi dan ini menciptakan lingkungan tertentu. Selain itu tujuan merupakan turunan dari visi masa depan dan sistem nilai organisasi. Pemimpin organisasi yang memiliki visi dan tujuan yang jelas akan menciptakan lingkungan yang mendorong perilaku produktif. Sebaliknya hanya akan menciptakan kebingungan di kalangan anggota organisasi.
Kombinasi dari lima faktor di atas menentukan keefektifan suatu perubahan perilaku anggota organisasi. Dengan pengembangan pengetahuan yang ada anggota organisasi semakin mengetahui atau memahami apa yang dibutuhkan untuk mampu mengerjakan pekerjaannya. Ketrampilan dalam bentuk kemampuan fisik dan non-fisik dibutuhkan agar anggota organisasi mampu mengerjakan pekerjaan yang baru. Kepercayaan menentukan apakah anggota organisasi akan menggunakan ketrampilan dan teknik barunya dalam praktek. Sementara lingkungan organisasi akan menciptakan tujuan organisasi dalam merumuskan standar apa yang bisa diterimanya. Tujuan organisasi itu sendiri ditentukan oleh visi organisasi dan dapat menciptakan lingkungan baru. Selain itu bisa jadi faktor pengaruh menguatnya kecerdasan emosional dan spiritual dari anggota organisasi akan membantu organisasi lebih siap dalam mengelola perubahan. [16]

E.      PENUTUP
Kunci kesuksesan sebuah lembaga pendidikan terletak pada manajemennya. Manajemen lembaga Pendidikan dianggap berhasil manakala mutu pendidikan itu diakui dan bisa bersaing dengan pendidikan di dalam maupun di luar negeri, demikian juga dengan pendidikan Islam. Menurut Malik Fadjar bahwa manajemen pendidikan Islam seharusnya menerapkan manajemen berbasis sekolah (School Based Managemet) pendapat ini tidak ada bedanya dengan manajemen TQM yakni melalui kedua manajemen ini masyarakat sekolah memiliki kemandirian dalam merencanakan, mengelola dan mengatur rumah tangga sekolahnya sendiri.[17]
Menurut Abudin Nata bahwa untuk mewujudkan sekolah atau organisasi pengelola keagamaan yang efektif dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut;
1.      Organisasi tersebut harus memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas dan diarahkan pada upaya mewujudkan cita-cita Islam.
2.      Organisasi tersebut harus dipimpin oleh orang yang memiliki visi, capability, loby dan morality. Visi berkaitan dengan gagasan cita-cita dan imajinasi yang terus mengalir. Sedangkan capability berkaitan dengan kesanggupan untuk mewujudkan cita-cita dan visi tersebut. Sementara loby terkait dengan kemampuan berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang memungkinkan dapat diakses untuk mencapai tujuan. Selanjutnya morality berkaitan dengan akhlak yang mulia seperti keikhlasan dalam bekerja, jujur, amanah dan lain sebagainya.
3.      Organisasi tersebut harus memiliki sumber ekonomi yang dihasilkan melalui berbagai usaha.
4.      Organisasi tersebut harus mampu membaca peluang yang memungkinkan dapat dilakukan berbagai kegiatan yang dibutuhkan oleh jama’ah.
5.      Organisasi tersebut harus didukung oleh sarana dan prasarana pendukung yang baik. Keenam, organisasi tersebut harus memperoleh legitimasi dari masyarakat dengan cara menciptakan berbagai kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.[18]
Pengelolaan pendidikan telah melalui berbagai proses demi tercapainya pendidikan yang berkualitas. Akan tetapi, perkembangan zaman dan lingkungan datang bergejolak menuntut segala aspek kehidupan untuk berubah sesuai kondisi saat itu. Maka dalam hal ini, membangun ketrampilan dalam menghadapi perubahan menjadi lebih penting. Dalam bidang pendidikan, reformasi pendidikan akhirnya menjadi agenda penting yang harus dilakukan dari level pusat sampai tingkat sekolah.
Sekolah dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa. Sebagai salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusisa serta peningkatan derajat sosial masyarakat bangsa, sekolah sebagai institusi pendidikan perlu dikelola, dimanaj, diatur, ditata dan diberdayakan, agar sekolah dapat menghasilkan produk atau hasil secara optimal. Sekolah merupakan sistem yang memiliki berbagai perangkat guru, murid, kurikulum, sarana, dan prasarana. Secara eksternal, sekolah memiliki dan berhubungan dengan instansi lain baik secara vertikal maupun horizontal. Didalam konteks pendidikan, sekolah memiliki stakeholders (yang berkepentingan), antara lain murid, guru, masyarakat, pemerintah, dunia usaha, oleh karena itulah sekolah memerlukan pengelolaan (manajemen) yang akurat agar dapat memberikan hasil optimal sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan semua pihak yang berkepentingan.
Dalam upaya memajukan kualitas pendidikan, tentunya sekolah juga harus senantiasa melakukan perubahan ke arah kebaikan. Perubahan itu memang pasti terjadi dan semua masyarakat sekolah harus bisa memprediksi dan menyiapkan segala kebutuhan untuk perubahan tersebut. Perubahan itu sendiri tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata. Perubahan memerlukan tahapan agar bisa diterima oleh semua masyarakat sekolah yang meliputi pencairan (unfreezing), perubahan (changing), dan pembekuan ulang (refreezing). Untuk menghindari adanya penolakan terhadap perubahan, pihak agen perubah bisa menggunakan salah satu atau gabungan dari strategi dan teknik dalam menghadapi perubahan. Dengan mengelola perubahan secara maksimal, harapannya perubahan yang dilakukan dapat bertahan lama dan memberi manfaat yang baik bagi seluruh masyarakat sekolah. 



DAFTAR KEPUSTAKAAN

Cheng, Yin Cheong. (1996).  School Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press.
Danim, Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara
Ety Rochaety, Pontjorini, dkk. (2006). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Everard K.B, Morris, (2004) Wilson. Effective School Management. London: Paul   Chapman Pub.
Fadjar, Malik. (1999). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2
Hardjosoedarmo, Soerwarso. (1999). Total Quality Management. cetakan ke 10, Yogyakarta: Andi
http://taufiknurohman25.blogspot.com, diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam. 19.45
McLaughlin, M.W, & Talbert, J.E.(1993, March). Contexts that matter for teaching and learning: Strategic opportunities for meeting the nation's educational goals. Stanford, CA: Stanford University, Center for Research On The Context of Secondary School Teaching
Michael Hammer dan James Champy. (1994).  Reengineering the Corporation : A Manifesto for Business Revolution.
Muhaimin dkk. (2010). Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah. Jakarta: Kecana
Mulyasa, E. (2005).  MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya
Nata, Abudin. (2008). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Prenada Media Group
Nurkholis. (2006). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo
Poerwanegara, Suryadi. (2002). Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Purkey,S. and Smith, M. (1983). Effective schools: a review. The Elementary School Journal 83, 42
Sallis, Edward. (2006). Total Quality Management In Education: Manajemen Mutu Pendidikan. (Penerjemah: Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta: IRCISoD
Subrata, Surya. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta
Suyanto dan MS. Abbas. (2001). Wajah dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. edisi pertama, Yogyakarta: Adi Cita Karya Nusa
Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (2003). Total Quality Management. cet. 10, Yogyakarta: Andi Ofset.
UNESCO (2001) Final Report [of the] Second International Forum on Quality Improvement in Education: Policy, Research and Innovative Practices in Improving Quality of Education. Beijing, China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.
Winardi. (2006). Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana
Yin Cheong Cheng. (1996). School Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press


[1] Manajemen adalah pusat administrasi, administrasi berawal dan berakhir pada manajemen. Manajemen adalah inti dari administrasi (Siagian, 1979: 5). Menurut Giegold (1978: 2) manajemen merupakan aktivitas yang melingkar, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, sampai dengan pengawasan kemudian kembali lagi pada perencanaan dan seterusnya tidak pernah berhenti. Dengan demikian tidak ada pembagian waktu atau langkah yang benar-benar terpisah antara manajemen dan supervisi dalam manajemen pendidikan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan atau lebih populer dengan Total Quality Education atau TQM dalam pendidikan, secara filosofis menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan pendidikan.
[2] Muhaimin dkk. (2010). Manajemen Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah, Jakarta: Kecana. hlm. 19
[3] Ety Rochaety, Pontjorini, dkk. (2006).  Sistem Informasi Manajemen Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.  hlm. 97
[4] Purkey,S. and Smith, M. (1983). Effective schools: a review. The Elementary School Journal 83, 427-462, lihat juga McLaughlin, M.W, & Talbert, J.E.(1993, March). Contexts that matter for teaching and learning: Strategic opportunities for meeting the nation's educational goals. Stanford, CA: Stanford University, Center for Research On The Context of Secondary School Teaching, p. 105
[5] UNESCO (2001) Final Report [of the] Second International Forum on Quality Improvement in Education: Policy, Research and Innovative Practices in Improving Quality of Education, Beijing, China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.
[6] Danim, Sudarwan. (2007). Visi Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara. hlm. 56
[7] Lihat Poerwanegara, Suryadi. (2002). Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT.Bumi Aksara. hlm. 12 bahwa dalam menyampaikan ada enam unsur dasar yang mempengaruhi suatu produk yakni 1) Manusia 2) Metode 3) Mesin 4) Bahan 5) Ukuran dan 6) Evaluasi Berkelanjutan. Demikian juga dalam pendidikan, bahwa keenam hal tersebut cocok untuk dijadikan pedoman dalam menyusun manajemen, khususnya administrasi pendidikan.
[8] Sallis, Edward. (2006). Total Quality Management In Education: Manajemen Mutu Pendidikan. (Penerjemah: Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta: IRCISoD. Hlm. 69. Adapun pelanggan dalam dunia pendidikan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu 1). pelanggan internal yaitu para pengelola sekolah seperti guru, pustakawan laborat, teknisi dan tenaga administrasi; 1) pelanggan eksternal yang terbagi menjadi: (a) pelanggan primer yaitu siswa. 2) pelanggan sekunder yaitu orang tua, pemerintah, dan sponsor; (b) pelanggan tersier seperti perguruan tinggi dan dunia kerja yang menerima lulusan sekolah (Depdikbud, 1998: 171).
[9] Selengkapnya lihat Sallis, Edward. Op.Cit. hlm. 7-11
[10] Sebagai catatan tambahan, bahwa total quality management merupakan suatu konsep yang berupaya melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. Menurut Hensler dan Brunell, ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu: (1). Kepuasan Pelanggan: memberikan kepuasan kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dalam segala aspek, termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan ketepatan waktu. (2). Respek Terhadap Setiap Orang: dalam perusahaan yang berkelas dunia, setiap karyawan dipandang sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas yang unik. Dengan demikian, karyawan merupakan sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh karena itu, setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan. (3) Manajemen Berdasarkan Fakta: perusahaan kelas dunia berorientasi pada fakta, setiap keputusan didasarkan pada data, dengan mengacu pada konsep prioritisasi (prioritization) dan variasi (variation), dan bukan sekedar pada perasaan (feeling). (4) Perbaikan Berkesinambungan: agar dapat sukses, setiap perusahaan perlu melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan perbaikan berkesinambungan. Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCA (plan-do-check-act), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan rencana, dan tindakan korektif terhadap hasil yang diperoleh. (lihat, Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (2003). Total Quality Management. cet. 10, Yogyakarta: Andi Ofset. Hlm. 101)
Prinsip inipun dapat diterapkan pada manajemen pendidikan, misalnya kepuasan pelanggan adalah kepuasan warga belajar (murid, orang tua murid maupun masyarakat). Demikian juga respek/penghargaan terhadap orang bahwa dalam struktur organisasi pendidikan hak dan kewajiban guru adalah sama yang meniadakan diskriminasi apapun, dan lain-lain.
[11] Michael Hammer dan James Champy. (1994).  Reengineering the Corporation : A Manifesto for Business Revolution.
[12] Munculnya penolakan terhadap perubahan bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1). Kebiasaan. Jika kebiasaan sudah terbentuk, hal itu memberikan kenyamanan dan kepuasan sehingga masyarakat sekolah enggan untuk merubah kebiasaannya. (2). Keselarasan. Masyarakat sekolah menyukai keselarasan dengan kebiasaan dan mengharapkan cara-cara berperilaku berdasarkan kebiasaan tersebut. Segala sesuatu yang baru akan mengganggu. (3). Ancaman. Perubahan di dalam organisasi sekolah mungkin menimbulkan ancaman. Masyarakat sekolah khawatir karena melihat perubahan akan membahayakan mereka bukan untuk kebaikan mereka. Mereka menyadari kemungkinan hilangnya uang, kemanan, dan status. (4). Kesalahpahaman. Benyak orang sering salah memahami maksud dari perubahan dan percaya bahwa hal tersebut akan banyak merugikan daripada menguntungkan. (5). Pandangan yang berbeda. Masyarakat sekolah mungkin berbeda penilaian terhadap suatu keadaan. Hal ini tentu bisa menjadi penghambat sebuah perubahan. 
[13] Cheng, Yin Cheong. (1996).  School Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press. Hlm. 200
[14] Mulyasa, E. (2005).  MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi. Bandung: Rosdakarya. hlm. 126
[15] Subrata, Surya. (2004). Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta. hlm. 74
[16] http://taufiknurohman25.blogspot.com diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam. 19.45
[17] Fadjar, Malik. (1999). Madrasah dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2. Hlm. 55
[18] Nata, Abudin. (2008). Manajemen Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi II. Jakarta: Prenada Media Group. hlm. 237

No comments:

Post a Comment