Tinjauan
Tentang Perubahan Organisasi Dalam Pendidikan
A. PENGANTAR
Pendekatan
Total Quality Management adalah salah satu upaya untuk meraih nilai atau mutu
yang optimal dengan melibatkan keseluruhan unsur organisasi di bawah satu visi
bersama. Proses kerja yang lebih efektif dan efisien, diikuti oleh sumber daya
manusia yang berkompeten dengan loyalitas dan daya juang yang tinggi, akan
menghasilkan peningkatan kinerja yang berujung pada kepuasan konsumen atau
stakeholder. Al Qur’an dalam surat al-Ashr, mengingatkan kepada manusia untuk menjaga dan meningkatkan kualitas/mutu
hidup dari waktu ke waktu, bahwa manajemen waktu adalah urgen bagi manusia
dalam upaya menjadi manusia yang berdayaguna dan bermanfaat bagi orang lain.
Total
Quality Mangement (TQM) berasal dari dunia bisnis dan khususnya dalam dunia
perusahaan. Oleh karena itu, untuk memahami TQM harus merujuk pada dunia
asalnya. Hal ini bukan berarti bahwa metode bisnis lebih unggul dari pada
praktek pendidikan, atau bahwa pendidikan akan bisa ditingkatkan hanya dengan
mengadopsi bahasa komersial. Lebih dari itu, justru dunia bisnis dapat belajar
dari metode yang diterapkan di beberapa sekolah.[1]
Di era kontemporer, dunia pendidikan dikejutkan dengan adanya model pengelolaan pendidikan berbasis industri. Pengelolaan model ini menuntut adanya upaya pihak pengelola institusi pendidikan untuk meningkatkan mutu pendidikan berdasarkan manajemen perusahaan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan ini lebih populer dengan sebutan istilah "Total Quality Education (TQE)", dan di dunia pendidikan nasional dikenal dengan istilah Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (MPMBS). Dasar dari manajemen ini dikembangkan dari konsep TQM, yang pada mulanya diterapkan pada dunia bisnis. Secara filosofis, konsep ini menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Total
Quality Mangement (TQM) dalam pendidikan ini mendapatkan perhatian serius dalam
National Quality Servey (1991). Hal ini menunjukkan bahwa TQM dan isu-isu mutu
secara umum mengundang perhatian publik. Dalam beberapa tahun terakhir, isu
tersebut semakin meningkat. Masyarakat dari semua sektor pendidikan sekarang
telah menunjukkan minatnya. Beberapa institusi mulai mewujudkan filosofi TQM ke
dalam praktek. Perkembangan minat ini telah memberikan stimulan pada tuntutan
publikasi isu-isu TQM dalam dunia pendidikan.
Salah
satu masalah penting di dalam dunia pendidikan adalah masih rendahnya mutu
keluarannya. Indikator yang menjadi acuan untuk menguatkan pernyataan tersebut
adalah Nilai Ujian Nasional yang secara umum belum terlalu menggembirakan,
artinya batas minimal lulus masih rendah bandingkan negara tetangga. Upaya
meningkatkan mutu pendidikan telah lama diangkat oleh pemerintah sebagai salah
satu kebijaksanaan pembangunan pendidikan, dengan membuat empat kebijaksanaan
strategis yang terdiri atas perluasan kesempatan belajar, meningkatkan mutu
pendidikan, peningkatan relevansi, serta efisiensi, dan efektivitas
penyelenggara pendidikan. Kemudian mengadakan serangkaian kegiatan penataran
guru, pembentukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran Sejenis (MGMP), didirikannya
Pusat Kegiatan Guru (PKG), Lembaga Balai Penataran Guru (BPG) dan lain
sebagainya. Namun tidak serta merta persoalan tersebut bisa terselesaikan.
Lalu
di manakah letak kesalahannya ? Mengapa input yang begitu banyak dan berharga
tidak berpengaruh secara signifikan terhadap produk pndidikan, khususnya di
Indonesia? Menurut Slamet PH (2000), sumber penyebab rendahnya kualitas
pendidikan tersebut adalah aspek pengelolaan atau manajemen. Secara internal
hal tersebut disebabkan oleh penerapan pendekatan input-output yang keliru.
Terlalu mengedepankan aspek input pada penyelesaian hampir semua kasus
pendidikan di sekolah. Seakan-akan mutu pendidikan akan meningkat dengan
sendirinya apabila sejumlah input ditambahkan. Misalnya kekurangan guru,
ditambah guru, membangun laboratorium, dan seterusnya. Ada satu faktor yang
terlupakan, yaitu bagaimana berbagai input tersebut dipertemukan dan
berinteraksi di dalam proses belajar-mengajar.
B. HAKEKAT
PENINGKATAN MUTU MADRASAH/SEKOKAH
Hampir
semua bangsa-bangsa negara di dunia ini terus melakukan proses untuk
meningkatkan mutu pendidikan di negara masing-masing. Sebab kunci masa depan
suatu bangsa ditentukan oleh keberadaan sistem pendidikan yang berkualitas,
yang ditunjukkan oleh keberadaan sekolah-sekolah yang berkualitas pula. Sebagaimana
dikatakan Khursid Khan (dalam Muhaimin dkk) bahwa: of all the problem that
confront the muslim world today the educational problem is the most
challenging. The future of the muslim world will depend upon the way it
responds to this challenge.[2]
Dari sekian banyak permasalahan yang merupakan tantangan terhadap dunia Islam
dewasa ini, maka masalah pendidikan merupakan masalah yang paling menantang.
Masa depan dunia Islam tergantung kepada cara bagaimana dunia Islam menjawab
dan memecahkan tantangan itu.
Peningkatan
mutu pendidikan yang berpusat pada peningkatan mutu sekolah/madarsah merupakan
suatu proses yang dinamis, berjangka panjang yang musti dilakukan secara
sistematis lagi konsisten untuk diarahkan menuju suatu tujuan tertentu.
Peningkatan mutu sekolah tidak bersifat instan, melainkan suatu proses yang
harus dilalui dengan sabar, tahap demi tahap, yang terukur dengan arah yang
jelas dan pasti. Dalam peningkatan mutu sekolah tidak dikenal sesuatu yang
gampang segampang teori, seperti yang disitir oleh Kurt Lewin: “There is
nothing to practical as good as a theory”. Pendapat ini berarti pula, bahwa
tidak mungkin ada peningkatan mutu sekolah tanpa didasari oleh suatu teori.[3]
Peningkatan mutu sekolah memerlukan teori, namun implementasinya tidak akan
bisa mulus dan semudah teori yang ada. Sebab peningkatan mutu bersifat dinamis
yang amat terkait dengan berbagai faktor atau variabel yang tidak semua dapat
dikendalikan oleh sekolah.
Peningkatan
mutu sekolah, dapat disebut sebagai suatu perpaduan antara knowledge-skill,
art, dan entrepreneurship. Suatu perpaduan yang diperlukan untuk membangun
keseimbangan antara berbagai tekanan, tuntutan, keinginan, gagasan-gagasan,
pendekatan dan praktik. Perpaduan tersebut di atas berujung pada bagaimana
proses pembelajaran dilaksanakan sehingga terwujud proses pembelajaran yang
berkualitas. Semua upaya peningkatan mutu sekolah harus melewati variabel ini.
Proses pembelajaran merupakan faktor yang langsung menentukan kualitas sekolah.
Pembelajaran
adalah proses yang kompleks rumit dimana berbagai variable saling berinteraksi.
Banyak variable dalam proses interaksi antara guru dan siswa berkaitan dengan
suatu materi tertentu yang tidak dapat dikendalikan secara pasti. Terdapat
keterkaitan berbagai yang sulit untuk diindentifikasi mana yang mempengaruhi
dan mana yang dipengaruhi. Hasil pembelajaran tidak bisa diestimasi secara
matematis, pasti. Anak yang kecapekan atau kurang gizi atau memiliki persoalan
pribadi jelas akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran. Demikian pula
kemiskinan dan kondisi keluarga akan berpengaruh. Siswa yang memiliki motivasi
dan yang tidaki memiliki akan berbeda dalam kaitan dengan proses dan hasil
pembelajaran. Dengan singkat, apa pengaruh eksternal dan internal dalam diri
siswa yang akan mempengaruhi proses dan hasil pembelajaran, tidak semua
pengaruh tersebut dapat dikendalikan oleh kepala sekolah dan guru.
Sebagai
suatu proses interaksi antara siswa dan guru berkaitan dengan materi tertentu,
maka tidak hanya kondisi siswa yang berpengaruh, tetapi juga kondisi guru tidak
kalah pentingnya mempengaruhi kualitas pembelajaran. Pepatah mengatakan, “kalau
ingin melihat prestasi siswa lihatlah kualitas gurunya”. Kondisi guru yang
bervariasi berarti kualitas dan hasil pembelajaran juga akan bervariasi. Semakin
tinggi kesenjangan kualitas guru, semakin tinggi kesenjangan prestasi siswa.
Kualitas interaksi juga dipengaruhi oleh keberadaan dan kualitas fasilitas,
termasuk kurikulum yang dipergunakan.
Peningkatan
mutu atau kualitas pembelajaran merupakan inti dari reformasi pendidikan di
negara manapun. Hal disebabkan oleh asumsi bahwa, peningkatan mutu sekolah yang
memiliki peran penting dalam peningkatan mutu pendidikan nasional, tergantung
pada kualitas pembelajaran. Namun, peningkatan kualitas pembelajaran sangat
bersifat kontekstual, sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan kultural
sekolah dan lingkungannya. Berbagai penelitian menunjukan bagaimana bagaimana
pentingnya kondisi dan lingkungan sekolah mempengaruhi kualitas pembelajaran,
seperti, dalam penelitian tentang sekolah efektif, kerja guru dan pembelajaran,
retrukturisasi sekolah dan kinerja organisasi yang semuanya ini bermuara pada
suatu pernyataan, “apabila ingin meningkatkan kualitas pembelajaran, kualitas
sekolah sebagai satu kesatuan dimana pembelajaran berlangsung harus
ditingkatkan” [4]
Dalam
kaitan dengan peningkatan mutu, pengalaman menunjukan terdapat berbagai model
yang dilaksanakan yang mencakup berbagai kebijakan dalam upaya meningkatkan
mutu. Seperti model UNESCO, Model Bank Dunia, Model Orde Baru dan Model Orde
Reformasi.
UNESCO[5]
Sebagai lembaga internasional yang bergerak di bidang budaya dan pendidikan,
UNESCO banyak memberikan perhatian dan berupaya mendorong peningkatan mutu
sekolah di banyak negara, khususnya negara-negara sedang berkembang. Setiap
tahun UNESCO kantor Asia & Pasifik bekerjasama pemerintah China dan
Thailand secara bergantian menyelenggarakan seminar innovasi pendidikan yang
difokuskan pada peningkatan mutu sekolah. UNESCO memiliki resep bahwa untuk
meningkatkan kualitas sekolah diperlukan berbagai kebijakan, yang mencakup
antara lain:
1. Sekolah harus
siap dan terbuka dengan mengembangkan a reactive mindset, menanggalkan “problem
solving” yang menekankan pada orientasi masa lalu, berubah menuju “change
anticipating” yang berorientasi pada “how can we do things differently”.
2. Pilar kualitas
sekolah adalah Learning how to learn, learning to do, learning to be, dan
learning to live together.
3. Menetapkan
standar pendidikan dengan indikator yang jelas.
4. Memperbaharui
dan kurikulum sehingga relevan dengan kebutuhan masyarakat dan peserta didik.
5. Meningkatkan
pemanfaatan ICT dalam pembelajaran dan pengeloaan sekolah.
6. Menekankan pada
pengembangan sistem peningkatan kemampuan professional guru.
7. Mengembangkan
kultur sekolah yang kondusif pada peningkatan mutu.
8. Meningkatkan
partisipasi orang tua masyakat dan kolaborasi sekolah dan fihak-fihak lain.
9. Melaksanakan
Quality Assurance.
Sedangkan
untuk meningkatkan mutu sekolah seperti dapat menggunakan yang sebagaimana disarankan
oleh Sudarwan Danim[6]
yaitu dengan melibatkan lima faktor yang dominan :
1. Kepemimpinan
Kepala sekolah; kepala sekolah harus memiliki dan memahami visi kerja secara
jelas, mampu dan mau bekerja keras, mempunyai dorongan kerja yang tinggi, tekun
dan tabah dalam bekerja, memberikanlayananyang optimal, dan disiplin kerja yang
kuat.
2. Siswa;
pendekatan yang harus dilakukan adalah “anak sebagai pusat “ sehingga
kompetensi dan kemampuan siswa dapat digali sehingga sekolah dapat
menginventarisir kekuatan yang ada pada siswa.
3. Guru; pelibatan
guru secara maksimal , dengan meningkatkan kopmetensi dan profesi kerja guru
dalam kegiatan seminar, MGMP, lokakarya serta pelatihan sehingga hasil dari
kegiatan tersebut diterapkan disekolah.
4. Kurikulum;
adanya kurikulum yang tetap tetapi dinamis , dapat memungkinkan dan memudahkan
standar mutu yang diharapkan sehingga goals (tujuan) dapat dicapai secara
maksimal;
5. Jaringan
Kerjasama; jaringan kerjasama tidak hanya terbatas pada lingkungan sekolah dan
masyarakat semata (orang tua dan masyarakat) tetapi dengan organisasi lain,
seperti perusahaan / instansi sehingga output dari sekolah dapat terserap
didalam dunia kerja
Berdasarkan
pendapat diatas, perubahan paradigma harus dilakukan secara bersama-sama antara
pimpinan dan karyawan sehingga mereka mempunyai langkah dan strategi yang sama
yaitu menciptakan mutu dilingkungan kerja khususnya lingkungan kerja
pendidikan. Pimpinan dan karyawan harus menjadi satu tim yang utuh (teamwork)
yangn saling membutuhkan dan saling mengisi kekurangan yang ada sehingga target
(goals ) akan tercipta dengan baik.
Mutu
produk pendidikan akan dipengaruhi oleh sejauh mana lembaga mampu mengelola
seluruh potensi secara optimal mulai dari tenaga kependidikan, peserta didik,
proses pembelajaran, sarana pendidikan, keuangan dan termasuk hubungannya
dengan masyarakat. Pada kesempatan ini, lembaga pendidikan Islam harus mampu
merubah paradigma baru pendidikan yang berorientasi pada mutu semua aktifitas
yang berinteraksi didalamnya, seluruhnya mengarah pencapaian pada mutu.[7]
Gerakan
mutu terpadu dalam pendidikan masih tergolong baru, hanya ada sedikit literatur
yang memuat referensi tentang hal ini sebelum tahun 1980-an. Inisiatif untuk
menerapkan metode ini berkembang lebih dahulu di Amerika baru kemudian di
Inggris, namun baru di awal 1990-an kedua negara tersebut betul-betul dilanda
gelombang metode ini. Ada banyak gagasan yang dihubungkan dengan mutu juga
dikembangkan dengan baik oleh institusi-institusi pendidikan tinggi dan
gagasan-gagasan mutu tersebut terus menerus diteliti dan diimplementasikan di
sekolah-sekolah.
Peningkatan
mutu menjadi semakin penting bagi institusi yang digunakan untuk memperoleh
kontrol yang lebih baik melalui usahanya sendiri. Institusi-institusi harus
mendemonstrasikan bahwa mereka mampu memberikan pendidikan yang bermutu pada
peserta didik. Bagi setiap institusi, mutu adalah agenda utama dan meningkatkan
mutu merupakan tugas yang paling penting. Walaupun demikian, sebagian orang ada
yang menganggap mutu sebagai sebuah konsep yang penuh dengan teka-teki. Mutu
dianggap sebagai suatu hal yang membingungkan dan sulit untuk diukur. Mutu
dalam pandangan seseorang terkadang berbeda dengan mutu dalam pandangan orang
lain. Sehingga tidak aneh jika ada dua pakar yang tidak memiliki kesimpulan
yang sama tentang bagaimana cara menciptakan institusi yang baik.
Seseorang
bisa mengetahui mutu ketika mengalaminya, tetapi tetap merasa kesulitan ketika
ia mencoba mendeskripsikan dan menjelaskannya. Satu hal yang bisa diyakini
adalah mutu merupakan suatu hal yang membedakan antara yang baik dan yang
sebaliknya. Bertolak dari kenyataan tersebut, mutu dalam pendidikan akhirnya
merupakan hal yang membedakan antara kesuksesan dan kegagalan. Sehingga, mutu
jelas sekali merupakan masalah pokok yang akan menjamin perkembangan sekolah
dan meraih status di tengah-tengah persaingan dunia pendidikan yang kian keras.
Strategi
yang dikembangkan dalam penggunaan manajemen mutu terpadu dalam dunia
pendidikan adalah; institusi pendidikan memposisikan dirinya sebagai institusi
jasa atau dengan kata lain menjadi industri jasa, yakni institusi yang
memberikan pelayanan (service) sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelanggan
(Customer). Jasa atau pelayanan yang diinginkan oleh pelanggan tentu saja
merupakan sesuatu yang bermutu dan memberikan kepuasan kepada mereka. Maka pada
saat itulah dibutuhkan suatu sistem manajemen yang mampu memberdayakan
institusi pendidikan agar lebih bermutu.
Manajemen
pendidikan mutu terpadu berlandaskan pada kepuasan pelanggan sebagai sasran
utama, baik pelanggan dalam (Internal Customer) maupun pelanggan luar (External
Customer). Dalam dunia pendidikan, yang termasuk pelanggan dalam adalah
penglola institusi pendidikan, guru, staff, dan penyelenggara institusi.
Sedangkan pelanggan luar adalah masyarakat, pemerintah dan dunia industri. Jadi
suatu institusi pendidikan disebut bermutu apabila antara pelanggan internal
dan eksternal telah terjalin kupuasan atas jasa yang diberikan.
C. IMPLEMENTASI
TQM DALAM PENDIDIKAN
Sesuai
dengan tujuan TQM dalam pendidikan yaitu merubah institusi yang
mengoperasikannya menjadi sebuah tim yang ikhlas, tanpa konflik dan kompetisi
internal, untuk meraih sebuah tujuan tunggal, yaitu memuaskan pelanggan.[8]
Beranjak
dari pembahasan tersebut, dalam operasi TQM dalam pendidikan ada beberapa hal
pokok yang perlu diperhatikan:[9]
1. Perbaikan
Secara Terus Menerus (Continuous Improvement).
Konsep ini mengandung pengertian
bahwa pihak pengelola senantiasa melakukan berbagai perbaikan dan peningkatan
secara terus menerus untuk menjamin semua komponen penyelenggara pendidikan
telah mencapai standar mutu yang diterapkan.
2. Menentukan
Standar Mutu (Quality Assurance)
Paham ini digunakan untuk menetapkan
standar-standar mutu dari semua komponen yang bekerja dalam proses produksi
atau transformasi lulusan institusi pendidikan.
3. Perubahan
Kultur (Change Of Culture)
Konsep ini bertujuan membentuk
budaya organisasi yang menghargai mutu dan menjadikan mutu sebagai orientasi
semua komponen organisasional.
4. Perubahan
Organisasi (Upside- Down Organization)
Jika visi dan misi, serta tujuan
organisasi sudah berubah atau mengalami perkembangan, maka sangat dimungkinkan
terjadinya perubahan organisasi. Perubahan organisasi ini bukan berarti
perubahan wadah organisasi, melainkan sistem atau struktur organisasi yang
melambangkan hubungan-hubungan kerja dan kepegawaian dalam organisasi, yang
menyangkut perubahan kewenangan, tugas-tugas dan tanggung jawab.
5. Mempertahankan
Hubungan Dengan Pelanggan (Keeping Close To The Customer)
Karena organisasi pendidikan
menghendaki kepuasan pelanggan, maka perlunya mempertahankan hubungan baik
dengan pelanggan menjadi sangat penting. Dan inilah yang dikembangkan dalam
unit Public Relation.
Keberhasilan
penerapan manajemen mutu terpadu tersebut memang tidak mudah, diperlukan
komitmen dan kerja sama yang baik antara departemen terkait, antara departemen
pusat dengan departemen daerah serta institusi pendidikan setempat sebagai
pihak yang berhubungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu, perlu
adanya kejelasan secara sistemik dalam memberi kewenangan antar institusi
terkait. Jika manajemen ini diterapkan sesuai dengan ketentuan yang ada dengan
segala dinamika dan fleksibelitasnya, maka akan menjadi perubahan yang cukup
efektif bagi pengembangan dan peningkatan mutu dan mutu pendidikan nasional.
Mutu
terpadu (Total Quality) membutuhkan manajer yang mampu mengesampingkan sejenak
keuntungan jangka pendek dan menetapkan tujuan keberhasilan jangka panjang.
Untuk tetap terdepan dalam kompetisi, sebuah organisasi harus mengetahui
kebutuhan pelanggan, kemudian menyatukan pikiran untuk bertindak memenuhi
kebutuhan mereka.[10]
D. MANAJEMEN
PERUBAHAN ORGANISASI DALAM PENDIDIKAN
Dikaitkan
dengan konsep ‘globalisasi”, maka Michael Hammer dan James Champy menuliskan
bahwa ekonomi global berdampak terhadap 3 C, yaitu customer, competition,
dan change.[11]
Pelanggan menjadi penentu, pesaing makin banyak, dan perubahan menjadi
konstan. Tidak banyak orang yang suka
akan perubahan, namun walau begitu perubahan tidak bisa dihindarkan. Harus
dihadapi. Karena hakikatnya memang seperti itu maka diperlukan satu manajemen
perubahan agar proses dan dampak dari perubahan tersebut mengarah pada titik
positif.
Banyak
masalah yang bisa terjadi ketika perubahan akan dilakukan. Masalah yang paling
sering dan menonjol adalah “penolakan atas perubahan itu sendiri”. Istilah yang
sangat populer dalam manajemen adalah resistensi perubahan (resistance to
change). Penolakan atas perubahan tidak selalu negatif karena justru karena
adanya penolakan tersebut maka perubahan tidak bisa dilakukan secara
sembarangan.
Penolakan
atas perubahan tidak selalu muncul dipermukaan dalam bentuk yang standar.
Penolakan bisa jelas kelihatan (eksplisit) dan segera, misalnya mengajukan
protes, mengancam mogok, demonstrasi, dan sejenisnya; atau bisa juga tersirat
(implisit), dan lambat laun, misalnya loyalitas pada organisasi berkurang,
motivasi kerja menurun, kesalahan kerja meningkat, tingkat absensi meningkat,
dan lain sebagainya. [12]
Whiteside
(1978), Schermerhorn, Hunt, Osborn (1982), Bennis, Benne, Chin, dan Corey
(1969) membagi strategi perubahan berbasis sekolah menjadi 3 strategi yaitu:
1. Strategi
kekuatan paksaan
Strategi ini
menggunakan kekuatan, penghargaan, dan hukuman sebagai kekuatan perubahan
berbasis sekolah. Asumsi ini menganggap bahwa sifat masyarakat sekolah adalah
sebagai orang ekonomi. Fokus dari perubahan ini adalah keterbukaan sikap
masyarakat sekolah. Manajemen perubahan mengutamakan pendekatan atas ke bawah
yang tergantung pada kewenangan atau perintah agen perubah. Pengaruh hasil dari
perubahan ini hanya berlangsung jangka pendek. Hal itu mungkin hanya bisa
digunakan untuk perubahan teknologi bukan untuk perubahan budaya.
2. Strategi
empiris rasional
Strategi ini
menganggap bahwa masyarakat sekolah adalah orang yang rasional. Hal itu
digunakan sebagai kekuatan perubahan berbasis sekolah dan menempatkan fokus
perubahan pada perubahan kognitif masyarakat sekolah. Manajemen perubahan
menekankan pada ajakan rasional dan empiris untuk menunjukkan nilai dari
perubahan sekolah. Jika strategi ini berhasil, pengaruh akan dipertahankan untuk
jangka panjang. Strategi ini sesuai untuk perubahan budaya dan teknologi di
sekolah.
3. Strategi
normatif pendidikan
Strategi ini
menganggap bahwa masyarakat sekolah menjadi mitra kerjasama di dalam fungsi
sekolah. Dasar yang digunakan untuk perubahan berbasis sekolah mengutamakan
kekuatan dan pengaruh personal sebagai agen perubah. Fokus perubahan ini adalah
perubahan afektif masyarakat sekolah. Norma, misi sekolah, nilai dan
kepercayaan terhadap sekolah menjadi peran penting untuk mendukung perubahan. Manajemen
perubahan mendorong partisipasi dalam pengambilan keputusan dan perencanaan
perubahan. Karena para anggota sekolah benar-benar terlibat dan berkomitmen
dalam perubahan, efek perubahan atau hasil dapat diinternalisasikan dan
diabadikan secara jangka panjang. Strategi ini sesuai digunakan untuk perubahan
budaya.[13]
Pembaharuan
terjadi dimana-mana. Pembaharuan dan kata sejenis seperti kata “perkembangan”, “perbaikan”,
“evolusi” dan “pengembangan” merupakan beberapa bentuk konsep modern. Beberapa teori percaya bahwa
maksud dari pembaharuan telah kehilangan
makna pentingnya pada akhir-akhir ini. Akan tetapi hasil analisis lebih lanjut, membantah dan dilihat sebagai
intensifikasi, percepatan dan peningkatan kompleksitas proses pembaharuan. Pada
tahun 1990-an gagasan pembaharuan, inovasi, reform, pengembangan, perbaikan dan
sebagainya kembali diperbincangkan dalam pendidikan, Perbincangan tersebut
terjadi pada sekolah negeri, pendidikan guru, metode pengajaran, penilik
sekolah, dan evaluasi keuangan sekolah.
Dan
berkaitan dengan perubahan organisasi dalam sekolah/pendidikan paling tidak ada
beberapa alasan pokok yang menuntut terjadinya perubahan kebijakan dalam
pengelolaan sekolah tersebut, antara lain:
1. Tuntutan
masyarakat terhadap sekolah
Semakin
tingginya kehidupan sosial masyarakat sejalan dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, telah semakin meningkatkan tuntutan tersebut
bermuara kepada pendidikan, karena masyarakat meyakini bahwa pendidikan mampu
menjawab dan mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Pendidikan merupakan
salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh sekolah sebagai institusi tempat
masyarakat berharap tentang kehidupan yang lebih baik di masa yang akan dating.
Pendidikan perlu perubahan yang dapat dilakukan melalui perubahan dan
peningkatan dalam pengelolaan atau manajemen pendidikan di sekolah.
2. Perkembangan
kebijakan politik sentralisasi dan desentralisasi
Perubahan
suasana sosial politik di Indonesia yang muncul dari adanya krisis ekonomi
kemudian berkembang menjadi krisis sosial politik berimplikasi kepada perubahan
dalalm berbagai bidang antara lain bidang pendidikan. Isu sentralisasi dan
desentralisasi yang sebelumnya telah dimunculkan sebagai upaya pemberdayaan
daerah telah semakin menguat terdorong
oleh suasana perubahan politik kenegaraan semakin diyakini bahwa salah satu
upaya penting yang harus dilakukan dalam peningkatan kualitas pendidikan,
adalah dengan pemberdayaan sekolah melalui Manajemen Berbasis Sekolah (MBS),
yang intinya memberikan kewenangan (delegation of outhority) kepada
sekolah untuk melakukan perbaikan dan peningkatan kualitas secara berkelanjutan
(Quality continous improvement).
Untuk
mengembangkan manajemen/perubahan organisasi suatu lembaga pendidikan yang
berkualitas subtansi manajemen pengembangan lembaga pendidikan yang harus
diperhatikan dan bidang yang harus dirubah, antara lain:
1. Kurikulum dan
Pembelajaran
Kurikulum
dan pembelajaran merupakan salah satu elemen yang terdapat dalam pendidikan.
Keduanya saling mendukung satu sama lainnya. Di dalam Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Islam Nasional dinyatakan bahwa “kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan
pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu”.
Dalam
kurikulum terdapat prinsip kolektivitas tim, yang mana ini menuntut kerjasama
satu sama lainnya. Selain itu, kurikulum pula tempat mengejewatahkan nilai, ide
dan pembelajaran serta kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dari kurikulum inilah
akan diketahui arah pendidikan serta hasil pendidikan yang hendak dicapai dari
aktivitas pendidikan. Sedangkan pembelajaran menjadi tiang dalam kurikulum.
Pembelajaran yang diterapkan dalam lembaga pendidikan itu sangat berpengaruh
bagi psikis siswa. Dalam teori ilmu pendidikan modern ataupun ilmu pendidikan
Islam berbagai macam model pembelajaran pilihan yang harus diterapkan oleh
pendidik. Seperti model pembelajaran kooperatif, kuantum, pembelajaran dengan
membacakan kisah-kisah, tematik dan lain sebagainya. Kesemuanya itu bermuara
pada satu tujuan yakni bagaimana membuat murid itu senang, nyaman dan menikmati
pembelajaran yang disajikan. Dengan begitu dalam pembelajran semakin mudah
dimengerti dengan materi yang diajarkan.
2. Personalia
Dalam
lembaga pendidikan, personalia (sumber daya manusia) terlebih kepala
sekolah/madrah memiliki peran vital. Sebagai puncak pimpinan tertinggi dan
penanggung jawab pelaksanaan otonomi pendidikan di tingkat sekolah/madrasah, ia
memiliki peran sentral dalam pengelolaan personalia. Beberapa prinsip dasar
manajemen personalia, yang dijadikan pedoman kepala sekolah/madrasah adalah:
a.
Dalam mengembangkan sekolah/madrasah, sumber daya
manusia adalah komponen paling berharga;
b.
Sumber daya manusia akan berperan secara optimal, jika
dikelola dengan baik, sehingga mendukung tercapainya tujuan institusi;
c.
Kultur dan suasana organisai/sekolah, serta perilaku
manajerialnya sangat berpengaruh pada pencapaian tujuan pengembangan madrasah.
d.
Manajemen personalia di sekolah/madrasah pada
prinsipnya mengupaya kan agar setiap warga (guru, staf administrasi, peserta
didik, serta orang tua, dan stakeholders) dapat bekerja sama dan saling
mendukung untuk mencapai tujuan sekolah/madrasah.[14]
3. Peserta didik
Suryasubrata
memberi batasan defenisi manajemen peserta didik, sebagai berikut: Manajemen
peserta didik menunjuk pada pekerjaan-pekerjaan atau kegiatan-kegiatan pencatan
murid, semenjak dari proses penerimaan sampai saat murid meninggalkan
sekolah/madrasah, karena sudah tamat mengiktui pendidikan pada sekolah/madrasah
itu.[15]
Dari
definisi di atas, dapat dipahami bahwa manajemen peserta didik adalah upaya
penataan peserta didik. Mulai dari mereka masuk hingga lulus. Manajemen peserta
didik termasuk salah satu bagian dari manajemen pendidikan secara keseluruhan.
Manajemen peserta didik menempati posisi yang sangat penting, karena yang
sentral di sekolah adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah
adalah peserta didik. Semua kegiatan yang ada di sekolah, diarahkan agar
peserta didik mendapat layanan pendidikan yang baik dan tercipta suasana
belajar yang kondusif.
4. Administrasi
Sekolah/Madrasah
Secara
terminologis adalah suatu kegiatan atau proses, terutama mengenai cara-cara
(alat-alat) sarana untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Administrasi
dalam perspektif manajemen, dipandang mempunyai peran penting sebagai
“prevoyange” atau kemampuan melihat masa depan. Hal ini berarti administrasi
dinilai mampu melihat keadaan masa yang akan datang dan mempunyai kesiapan
untuk menghadapinya. Dalam manajemen administrasi terdapat yang Tata Usaha,
adapun pekerjaan mereka ke dalam tiga kelompok, antara lain: pembukuan,
surat-menyurat dan sarana dan prasarana.
5. Sarana dan
Prasarana
Manajemen
sarana prasarana adalah suatu kegiatan bagaimana mengatur dan mengelola sarana
dan prasarana pendidikan secara efesien dan efektif dalam rangka pencapaian
tujuan yang telah ditetapkan. Menurut Tim Pakar Manajemen Universitas Negeri
Malang, manajemen sarana prasarana pendidikan adalah proses kerjasama
pendayagunaan semua sarana dan prasarana pendidikan secara efektif dan efesien.
Manajemen
sarana dan prasarana pendidikan pada dasarnya bertujuan:1) meciptakan
sekolah/madrasah yang rapi, bersih, indah sehingga menyenangkan bagi masyarakat
sekolah/madrasah, 2) tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang memadai,
baik secara kualitatif maupun kualitatif dan relevan dengan kepentingan
pendidikan.
6. Keuangan
Manajemen
keuangan atau pembiayaan merupakan serangkaian kegiatan perencanaan,
melaksanakan, mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana
secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam
manajemen pendidikan, masalah dana merupakan potensi yang sangat menentukan dan
tidak bisa dipisahkan dari kajian manajemen pendidikan. Adapun biaya adalah
keseluruhan dana baik secara langsung maupun tidak langsung yang diperoleh dari
berbagai sumber.
7. Hubungan
Masyrakat
Berfungsi
sebagai pencitraan sekolah atau lembaga pendidikan. Humas itu sendiri merupakan
fungsi manajemen yang diadakan untuk menilai dan menyimpulkan sikap-sikap
publik, menyesuaikan kebijakan dan prosedur instansi atau organisasi untuk
mendapatkan pengertian dan dukungan dari masyarakat.
Setiap perubahan
akan memengaruhi siapapun, apakah dia pihak manajemen ataukah anggota
organisasi. Perubahan bisa ditanggapi secara positif ataukah negatif bergantung
pada jenis dan derajat perubahan itu sendiri. Ditanggapi secara negatif atau
dalam bentuk penolakan kalau perubahan yang terjadi dinilai merugikan diri
manajemen dan anggota organisasi. Sementara kalau perubahan itu terjadi pada
inovasi proses perbaikan mutu maka perubahan yang timbul pada manajemen dan
anggota organisasi adalah dalam hal pengetahuan, sikap dan ketrampilan
mengoperasikan teknologi baru. Kalau itu terjadi pada perubahan motivasi
anggota organisasi staf dalam suatu tim kerja maka perubahan yang semestinya
terjadi adalah terjadinya perubahan manajemen mutu sumberdaya manusia. Itu
semua tanggapan positif atas terjadinya perubahan.
Untuk
mencapai keberhasilan suatu program perubahan maka setiap orang harus siap dan
mampu merubah perilakunya. Hal ini sangat bergantung pada apa yang mempengaruhi
perilaku dan apa pula yang mendorong seseorang untuk berubah. Faktor-faktor
internal yang diduga mempengaruhi perilaku meliputi pengetahuan, ketrampilan,
kepercayaan/keyakinan, lingkungan dan visi organisasi. Sementara
faktor-faktor pendorong seseorang untuk
berubah adalah kesempatan memperoleh keuntungan nyata atau menghindari terjadinya
kerugian pribadi. Beragam Faktor Mempengaruhi Perubahan perilaku dimaksud diuraikan sebagai berikut.
1. Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan unsur pokok bagi setiap anggota organisasi untuk merubah perilakunya
dalam mengerjakan sesuatu. Semakin tinggi tingkat pengetahuan anggota
organisasi semakin mudah dia untuk mengikuti perubahan sesuai dengan tugasnya.
Karena itu pengetahuan ditempatkan secara strategis sebagai salah satu syarat
penting bagi kemajuan perilaku anggota organisasi. Anggota organisasi yang
hanya menggunakan pengetahuan yang sekedarnya akan semakin tertinggal
kinerjanya dibanding anggota organisasi yang selalu menambah pengetahuannya
yang baru.
2. Ketrampilan
Ketrampilan,
baik fisik maupun non-fisik, merupakan kemampuan seseorang yang diperlukan
untuk melaksanakan suatu pekerjaan baru. Ketrampilan fisik dibutuhkan untuk
pekerjaan-pekerjaan fisik, misalnya mengoperasikan komputer, mesin produksi
dsb. Ketrampilan non-fisik dibutuhkan untuk mendapatkan sesuatu yang sudah
jadi. Misalnya kemampuan memimpin rapat, membangun komunikasi, dan mengelola
hubungan dengan para pelanggan secara efektif. Jadi disitu terdapat hubungan
antara proses dan ketrampilan komunikasi antarpersonal. Ketrampilan lebih sulit
untuk diubah atau dikembangkan ketimbang pengetahuan.
Perubahan
ketrampilan sangat terkait dengan pola perilaku naluri (instink). Proses
perubahan respon instink anggota organisasi membutuhkan waktu relatif cukup
panjang karena faktor kebiasaan apalagi budaya tidak mudah untuk diubah.
Misalnya anggota organisasi yang biasanya bertanya pada anggota organisasi
dengan ucapan “apa yang manajer inginkan” (kurang sopan) sulit untuk segera
berubah menjadi ucapan”apa yang dapat saya kerjakan untuk manajer” atau
“bolehkah saya membantu manajer” (lebih sopan).
3. Kepercayaan
Kepercayaan
anggota organisasi menentukan sikapnya dalam menggunakan pengetahuan dan
ketrampilannya untuk mengerjakan sesuatu. Boleh jadi anggota organisasi
diberikan pengetahuan dan ketrampilan baru dengan cara berbeda. Namun hal itu
dipengaruhi oleh kepercayaan yang dimilikinya apakah pengetahuan dan
ketrampilan yang diterimanya akan berguna atau tidak. Dengan kata lain suatu
kepercayaan relatif sulit untuk diubah. Jadi kalau ingin melatih anggota organisasi harus
diketahui dahulu kepercayaan yang dimiliki anggota organisasi
sekurang-kurangnya tentang aspek persepsi dari kegunaan suatu pelatihan.
4. Lingkungan
Suatu
lingkungan organisasi mempengaruhi perilaku anggota organisasi apakah melalui
pemberian penghargaan atas perilaku yang diinginkan ataukah dengan mengoreksi
perilaku yang tidak diinginkan. Lingkungan organisasi seperti keteladanan
pimpinan dan model kepemimpinan serta masa depan organisasi yang cerah akan
berpengaruh pada derajat dan mutu perubahan perilaku anggota organisasi. “Apa
yang organisasi berikan pada anggota organisasi dan apa pula yang organisasi
dapatkan”. Keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh apa yang bisa
diberikan organisasi kepada anggota organisasinya. Semakin tinggi kadar
insentif yang diberikan semakin efektif terjadinya perubahan perilaku anggota
organisasinya. Sebaliknya organisasi yang tidak efektif atau gagal
cenderung akan menciptakan perubahan perilaku yang juga tidak efektif.
5. Tujuan
organisasi
Tujuan
organisasi ditentukan oleh kepercayan kolektif dari para pimpinan organisasi
dan ini menciptakan lingkungan tertentu. Selain itu tujuan merupakan turunan
dari visi masa depan dan sistem nilai organisasi. Pemimpin organisasi yang
memiliki visi dan tujuan yang jelas akan menciptakan lingkungan yang mendorong perilaku
produktif. Sebaliknya hanya akan menciptakan kebingungan di kalangan anggota
organisasi.
Kombinasi
dari lima faktor di atas menentukan keefektifan suatu perubahan perilaku
anggota organisasi. Dengan pengembangan pengetahuan yang ada anggota organisasi
semakin mengetahui atau memahami apa yang dibutuhkan untuk mampu mengerjakan
pekerjaannya. Ketrampilan dalam bentuk kemampuan fisik dan non-fisik dibutuhkan
agar anggota organisasi mampu mengerjakan pekerjaan yang baru. Kepercayaan
menentukan apakah anggota organisasi akan menggunakan ketrampilan dan teknik
barunya dalam praktek. Sementara lingkungan organisasi akan menciptakan tujuan
organisasi dalam merumuskan standar apa yang bisa diterimanya. Tujuan
organisasi itu sendiri ditentukan oleh visi organisasi dan dapat menciptakan
lingkungan baru. Selain itu bisa jadi faktor pengaruh menguatnya kecerdasan
emosional dan spiritual dari anggota organisasi akan membantu organisasi lebih
siap dalam mengelola perubahan. [16]
E. PENUTUP
Kunci
kesuksesan sebuah lembaga pendidikan terletak pada manajemennya. Manajemen
lembaga Pendidikan dianggap berhasil manakala mutu pendidikan itu diakui dan
bisa bersaing dengan pendidikan di dalam maupun di luar negeri, demikian juga
dengan pendidikan Islam. Menurut Malik Fadjar bahwa manajemen pendidikan Islam
seharusnya menerapkan manajemen berbasis sekolah (School Based Managemet)
pendapat ini tidak ada bedanya dengan manajemen TQM yakni melalui kedua
manajemen ini masyarakat sekolah memiliki kemandirian dalam merencanakan, mengelola
dan mengatur rumah tangga sekolahnya sendiri.[17]
Menurut
Abudin Nata bahwa untuk mewujudkan sekolah atau organisasi pengelola keagamaan
yang efektif dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut;
1. Organisasi
tersebut harus memiliki visi, misi dan tujuan yang jelas dan diarahkan pada
upaya mewujudkan cita-cita Islam.
2. Organisasi
tersebut harus dipimpin oleh orang yang memiliki visi, capability, loby dan
morality. Visi berkaitan dengan gagasan cita-cita dan imajinasi yang terus
mengalir. Sedangkan capability berkaitan dengan kesanggupan untuk mewujudkan
cita-cita dan visi tersebut. Sementara loby terkait dengan kemampuan
berkomunikasi dan menjalin hubungan dengan berbagai pihak yang memungkinkan
dapat diakses untuk mencapai tujuan. Selanjutnya morality berkaitan dengan
akhlak yang mulia seperti keikhlasan dalam bekerja, jujur, amanah dan lain
sebagainya.
3. Organisasi
tersebut harus memiliki sumber ekonomi yang dihasilkan melalui berbagai usaha.
4. Organisasi
tersebut harus mampu membaca peluang yang memungkinkan dapat dilakukan berbagai
kegiatan yang dibutuhkan oleh jama’ah.
5. Organisasi
tersebut harus didukung oleh sarana dan prasarana pendukung yang baik. Keenam,
organisasi tersebut harus memperoleh legitimasi dari masyarakat dengan cara
menciptakan berbagai kegiatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.[18]
Pengelolaan
pendidikan telah melalui berbagai proses demi tercapainya pendidikan yang
berkualitas. Akan tetapi, perkembangan zaman dan lingkungan datang bergejolak
menuntut segala aspek kehidupan untuk berubah sesuai kondisi saat itu. Maka
dalam hal ini, membangun ketrampilan dalam menghadapi perubahan menjadi lebih
penting. Dalam bidang pendidikan, reformasi pendidikan akhirnya menjadi agenda
penting yang harus dilakukan dari level pusat sampai tingkat sekolah.
Sekolah
dipandang sebagai suatu organisasi yang didesain untuk dapat berkontribusi
terhadap upaya peningkatan kualitas hidup bagi masyarakat suatu bangsa. Sebagai
salah satu upaya peningkatan kualitas sumber daya manusisa serta peningkatan
derajat sosial masyarakat bangsa, sekolah sebagai institusi pendidikan perlu
dikelola, dimanaj, diatur, ditata dan diberdayakan, agar sekolah dapat
menghasilkan produk atau hasil secara optimal. Sekolah merupakan sistem yang
memiliki berbagai perangkat guru, murid, kurikulum, sarana, dan prasarana.
Secara eksternal, sekolah memiliki dan berhubungan dengan instansi lain baik
secara vertikal maupun horizontal. Didalam konteks pendidikan, sekolah memiliki
stakeholders (yang berkepentingan), antara lain murid, guru, masyarakat,
pemerintah, dunia usaha, oleh karena itulah sekolah memerlukan pengelolaan
(manajemen) yang akurat agar dapat memberikan hasil optimal sesuai dengan
kebutuhan dan tuntutan semua pihak yang berkepentingan.
Dalam
upaya memajukan kualitas pendidikan, tentunya sekolah juga harus senantiasa
melakukan perubahan ke arah kebaikan. Perubahan itu memang pasti terjadi dan
semua masyarakat sekolah harus bisa memprediksi dan menyiapkan segala kebutuhan
untuk perubahan tersebut. Perubahan itu sendiri tidak bisa dilakukan dengan
sekejap mata. Perubahan memerlukan tahapan agar bisa diterima oleh semua
masyarakat sekolah yang meliputi pencairan (unfreezing), perubahan (changing),
dan pembekuan ulang (refreezing). Untuk menghindari adanya penolakan
terhadap perubahan, pihak agen perubah bisa menggunakan salah satu atau
gabungan dari strategi dan teknik dalam menghadapi perubahan. Dengan mengelola
perubahan secara maksimal, harapannya perubahan yang dilakukan dapat bertahan lama
dan memberi manfaat yang baik bagi seluruh masyarakat sekolah.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
Cheng, Yin Cheong. (1996). School Effectiveness and School-Based
Management. London: Falmer Press.
Danim, Sudarwan. (2007). Visi
Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara
Ety Rochaety, Pontjorini, dkk.
(2006). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara
Everard K.B, Morris, (2004) Wilson. Effective
School Management. London: Paul Chapman
Pub.
Fadjar, Malik. (1999). Madrasah
dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2
Hardjosoedarmo, Soerwarso. (1999). Total
Quality Management. cetakan ke 10, Yogyakarta: Andi
http://taufiknurohman25.blogspot.com,
diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam. 19.45
McLaughlin, M.W, & Talbert,
J.E.(1993, March). Contexts that matter for teaching and learning: Strategic
opportunities for meeting the nation's educational goals. Stanford, CA:
Stanford University, Center for Research On The Context of Secondary School
Teaching
Michael Hammer dan James Champy.
(1994). Reengineering the Corporation
: A Manifesto for Business Revolution.
Muhaimin dkk. (2010). Manajemen
Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah.
Jakarta: Kecana
Mulyasa, E. (2005). MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi.
Bandung: Rosdakarya
Nata, Abudin. (2008). Manajemen
Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi II.
Jakarta: Prenada Media Group
Nurkholis. (2006). Manajemen
Berbasis Sekolah. Jakarta: Grasindo
Poerwanegara, Suryadi. (2002). Filosofi
Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu. Jakarta: PT.Bumi Aksara.
Purkey,S. and Smith, M. (1983). Effective
schools: a review. The Elementary School Journal 83, 42
Sallis, Edward. (2006). Total
Quality Management In Education: Manajemen Mutu Pendidikan. (Penerjemah:
Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta: IRCISoD
Subrata, Surya. (2004). Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta
Suyanto dan MS. Abbas. (2001). Wajah
dan Dinamika Pendidikan Anak Bangsa. edisi pertama, Yogyakarta: Adi Cita
Karya Nusa
Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana.
(2003). Total Quality Management. cet. 10, Yogyakarta: Andi Ofset.
UNESCO (2001) Final Report [of
the] Second International Forum on Quality Improvement in Education: Policy,
Research and Innovative Practices in Improving Quality of Education. Beijing,
China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.
Winardi. (2006). Manajemen Perubahan.
Jakarta: Kencana
Yin Cheong Cheng. (1996). School
Effectiveness and School-Based Management. London: Falmer Press
[1] Manajemen adalah pusat
administrasi, administrasi berawal dan berakhir pada manajemen. Manajemen
adalah inti dari administrasi (Siagian, 1979: 5). Menurut Giegold (1978: 2)
manajemen merupakan aktivitas yang melingkar, mulai dari perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan, sampai dengan pengawasan kemudian kembali lagi
pada perencanaan dan seterusnya tidak pernah berhenti. Dengan demikian tidak
ada pembagian waktu atau langkah yang benar-benar terpisah antara manajemen dan
supervisi dalam manajemen pendidikan. Penerapan manajemen mutu dalam pendidikan
atau lebih populer dengan Total Quality Education atau TQM dalam pendidikan,
secara filosofis menekankan pada pencarian secara konsisten terhadap perbaikan
yang berkelanjutan untuk mencapai kebutuhan dan kepuasan pelanggan pendidikan.
[2] Muhaimin dkk. (2010). Manajemen
Pendidikan: Aplikasinya dalam Penyusunan Rencana Pengembangan Sekolah/Madrasah,
Jakarta: Kecana. hlm. 19
[3] Ety Rochaety, Pontjorini, dkk.
(2006). Sistem Informasi Manajemen
Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara.
hlm. 97
[4] Purkey,S. and Smith, M. (1983). Effective
schools: a review. The Elementary School Journal 83, 427-462, lihat juga
McLaughlin, M.W, & Talbert, J.E.(1993, March). Contexts that matter for
teaching and learning: Strategic opportunities for meeting the nation's
educational goals. Stanford, CA: Stanford University, Center for Research
On The Context of Secondary School Teaching, p. 105
[5] UNESCO (2001) Final Report [of the]
Second International Forum on Quality Improvement in Education: Policy,
Research and Innovative Practices in Improving Quality of Education, Beijing,
China, 12-15 June 2001. Bangkok: UNESCO. University Press.
[6] Danim, Sudarwan. (2007). Visi
Baru Manajemen Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara. hlm. 56
[7] Lihat
Poerwanegara, Suryadi. (2002). Filosofi Baru Tentang Manajemen Mutu Terpadu.
Jakarta: PT.Bumi Aksara. hlm. 12 bahwa dalam menyampaikan ada enam unsur dasar
yang mempengaruhi suatu produk yakni 1) Manusia 2) Metode 3) Mesin 4) Bahan 5)
Ukuran dan 6) Evaluasi Berkelanjutan. Demikian juga dalam pendidikan, bahwa
keenam hal tersebut cocok untuk dijadikan pedoman dalam menyusun manajemen,
khususnya administrasi pendidikan.
[8] Sallis, Edward. (2006). Total
Quality Management In Education: Manajemen Mutu Pendidikan. (Penerjemah:
Ahmad Ali Riyadi dan Fahrurrozi), Cet. V, Yogyakarta: IRCISoD. Hlm. 69. Adapun
pelanggan dalam dunia pendidikan dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu
1). pelanggan internal yaitu para pengelola sekolah seperti guru, pustakawan laborat,
teknisi dan tenaga administrasi; 1) pelanggan eksternal yang terbagi menjadi:
(a) pelanggan primer yaitu siswa. 2) pelanggan sekunder yaitu orang tua,
pemerintah, dan sponsor; (b) pelanggan tersier seperti perguruan tinggi dan
dunia kerja yang menerima lulusan sekolah (Depdikbud, 1998: 171).
[9] Selengkapnya lihat Sallis, Edward. Op.Cit.
hlm. 7-11
[10] Sebagai catatan
tambahan, bahwa total quality management merupakan suatu konsep yang berupaya
melaksanakan sistem manajemen kualitas kelas dunia. Untuk itu diperlukan
perubahan besar dalam budaya dan sistem nilai suatu organisasi. Menurut Hensler
dan Brunell, ada empat prinsip utama dalam TQM, yaitu: (1). Kepuasan Pelanggan:
memberikan kepuasan kebutuhan pelanggan (internal dan eksternal) dalam segala aspek,
termasuk di dalamnya harga, keamanan, dan ketepatan waktu. (2). Respek Terhadap
Setiap Orang: dalam perusahaan yang berkelas dunia, setiap karyawan dipandang
sebagai individu yang memiliki talenta dan kreativitas yang unik. Dengan
demikian, karyawan merupakan sumber daya organisasi yang paling bernilai. Oleh
karena itu, setiap orang dalam organisasi diperlakukan dengan baik dan diberi
kesempatan untuk terlibat dan berpartisipasi dalam tim pengambil keputusan. (3)
Manajemen Berdasarkan Fakta: perusahaan kelas dunia berorientasi pada fakta,
setiap keputusan didasarkan pada data, dengan mengacu pada konsep prioritisasi
(prioritization) dan variasi (variation), dan bukan sekedar pada perasaan
(feeling). (4) Perbaikan Berkesinambungan: agar dapat sukses, setiap perusahaan
perlu melakukan proses secara sistematis dalam melaksanakan perbaikan
berkesinambungan. Konsep yang berlaku di sini adalah siklus PDCA
(plan-do-check-act), yang terdiri dari langkah-langkah perencanaan, pelaksanaan
rencana, pemeriksaan hasil pelaksanaan rencana, dan tindakan korektif terhadap
hasil yang diperoleh. (lihat, Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. (2003). Total
Quality Management. cet. 10, Yogyakarta: Andi Ofset. Hlm. 101)
Prinsip inipun dapat diterapkan pada
manajemen pendidikan, misalnya kepuasan pelanggan adalah kepuasan warga belajar
(murid, orang tua murid maupun masyarakat). Demikian juga respek/penghargaan
terhadap orang bahwa dalam struktur organisasi pendidikan hak dan kewajiban
guru adalah sama yang meniadakan diskriminasi apapun, dan lain-lain.
[11] Michael Hammer dan James Champy.
(1994). Reengineering the Corporation
: A Manifesto for Business Revolution.
[12] Munculnya penolakan terhadap
perubahan bisa disebabkan oleh beberapa hal antara lain: (1). Kebiasaan. Jika
kebiasaan sudah terbentuk, hal itu memberikan kenyamanan dan kepuasan sehingga
masyarakat sekolah enggan untuk merubah kebiasaannya. (2). Keselarasan. Masyarakat
sekolah menyukai keselarasan dengan kebiasaan dan mengharapkan cara-cara
berperilaku berdasarkan kebiasaan tersebut. Segala sesuatu yang baru akan
mengganggu. (3). Ancaman. Perubahan di dalam organisasi sekolah mungkin
menimbulkan ancaman. Masyarakat sekolah khawatir karena melihat perubahan akan
membahayakan mereka bukan untuk kebaikan mereka. Mereka menyadari kemungkinan
hilangnya uang, kemanan, dan status. (4). Kesalahpahaman. Benyak orang sering
salah memahami maksud dari perubahan dan percaya bahwa hal tersebut akan banyak
merugikan daripada menguntungkan. (5). Pandangan yang berbeda. Masyarakat sekolah
mungkin berbeda penilaian terhadap suatu keadaan. Hal ini tentu bisa menjadi
penghambat sebuah perubahan.
[13] Cheng, Yin Cheong.
(1996). School Effectiveness and
School-Based Management. London: Falmer Press. Hlm. 200
[14] Mulyasa, E. (2005). MBS: Konsep, Strategi, dan Implementasi.
Bandung: Rosdakarya. hlm. 126
[15] Subrata, Surya. (2004). Manajemen
Pendidikan di Sekolah. Jakarta. PT.Rineka Cipta. hlm. 74
[16]
http://taufiknurohman25.blogspot.com diunduh pada Kamis, 28 Juni 2012, jam.
19.45
[17] Fadjar, Malik. (1999). Madrasah
dan Tantangan Modernitas. Bandung: Mizan, Cet. 2. Hlm. 55
[18] Nata, Abudin. (2008). Manajemen
Pendidikan: Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. Edisi II.
Jakarta: Prenada Media Group. hlm. 237
No comments:
Post a Comment