Wednesday, October 28, 2015

ESSAI: EFEK JERA KORUPTOR YANG TIDAK PERNAH MEMPAN

Ketika Anas Urbaningrum akan tersandung kasus korupsi, serta merta mengeluarkan jurus mempertahankan diri "gantung saya di Monas jika melakukan korupsi", begitulah kira-kira kata yang meluncur dari mulutnya. Dan gelombang protes-protes baik turun ke jalan maupun di media sosial sangat mewarnai dalam menanggapi perkataan Anas tersebut, mumcullah lagu plesetan, gantung-gantung-gantung urbaningrum, gantung Anas di puncak Monas. Akhir kisah, Anas Urbaningrum benar-benar di prodeo KPK, dan tuntutan gantung Monas tinggal kenangan, apakah ini sifat masyarakat yang pemaaf?.
Lalu mengapa banyak pejabat negara ataupun tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik yang tersandung kasus korupsi? Baik itu dari kalangan pejabat tinggi negara, politisi, akademisi, birokrat, maupun pengusaha. Bukankah seharusnya mereka bekerja sebagai pembawa amanah. Diberikan kekuasaan berdasarkan kontrak sosial guna mengurusi urusan masyarakat. Tidakkah itu pengkhianatan moral skala besar yang sulit termaafkan? Karena korupsi mengambil hak-hak rakyat secara tidak wajar. Yang sebenarnya bisa untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Ternyata komitmen memerangi korupsi hanya omong kosong.
Seorang murid bertanya, bukankah koruptor yang beragama Islam sudah mengetahui dosa dan bahayanya korupsi, mereka tahu ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi tentang riswah, mengapa masih berani korupsi? Dan saya jawab dengan meminjam pernyataan Almarhum KH. Zainuddin MZ bahwa, apa bedanya orang dahulu dengan orang sekarang?. Orang dahulu sedikit yang mengenyam pendidikan tetapi banyak orang yang jujur, namun orang sekarang banyak yang berpendidikan tinggi tetapi sedikit yang berprilaku jujur. Artinya pendidikan tinggi bukan jaminan seseorang bisa berbuat baik walaupun idelanya harus lebih baik, dan disinilah letak kelemahan pendidikan dalam mewujudkan mental, akhlaq, karakter yang baik. Sebagai contoh budaya menyontek, curang dalam ujian adalah diantara budaya korupsi nilai, termasuk para pengajar yang sering "ngaji dikir", ngarang biji dikiro-kiro (mengarang nilai dengan perkiraan nilai).
Banyak koruptor yang sudah nyata dipenjara, mengapa masih banyak pula pejabat-pejabat lain masih korupsi juga? Tidaklah mudah dan sederhana untuk menjawab hal tersebut, banyak masalah yang saling mengkait, diantaranya, kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah, kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hukum, rakyat yang cuek-tidak tertarik atau mudah dibohongi yang gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
Gagasan pinggir dalam efek jera korupsi adalah pertama, hukuman berat sebagai sanksi hukum, seperti hukuman mati, pemiskinan, pengasingan di pulau tertentu tanpa adanya remisi sedikitpun, dan mengembalikan ke kas negara nominal 100% yang dikorupsi. Hal ini melihat data dari ICW, bahwa tren vonis korupsi semester I tahun 2015, rata-rata putusan pidana hanya 2 tahun 1 bulan. Rendahnya putusan pidana tidak terlepas dari jatah remisi yang diterima terpidana korupsi. Jika mereka bisa menerima empat kali jatah remisi seperti remisi Hari Raya Idul Fitri, remisi 17 Agustus, remisi tahun baru, dan remisi lainnya dengan rata-rata pengurangan hukuman 1 sampai 2 bulan. Bisa dibayangkan akan sangat mungkin seorang terpidana korupsi tidak menjalani separuh vonis pidana yang diterima di dalam proses persidangan.
Kedua, sanksi sosial, masyarakat akan tahu siapa saja orang yang melakukan korupsi. Sehingga diharapkan bisa membuat jera para pelaku tindak korupsi. Selain itu, hal ini diharapkan juga sebagai bahan pemikiran bagi mereka yang akan melakukan tindak korupsi. Sebagai contoh: (1) Perlu dibuatkan museum koruptor yang didalamnya terpasang replika diri koruptor, dan ditulisi data nama anak isterinya atau keturunannya. Sehingga dari jaman ke jaman akan terus diketahui oleh publik. (2) Dicabut hak politik seumur hidup, di KTP tertulis EK, eks koruptor sebagaimana dulu diberlakukan untuk anggota atau simpatisan komunis dengan kode ET, eks tahanan politik.  (3) Kerja paksa sosial, seorang pelaku korupsi dihukum buat melakukan kerja sosial seperti menyapu jalanan atau membersihkan fasilitas umum lainnya dengan menggunakan seragam khusus. Hal ini akan memunculkan rasa malu pada pelaku korupsi. Tiga gagasan pinggir itu barangkali terasa aneh, tetapi dari segi efek jera akan lebih membuktikan daripada hanya sekedar di penjara yang setiap tahun mendapat beberapa kali remisi.
(dikirim untuk berpartisipasi gerakan anti korupsi KPK 2015)