Thursday, June 21, 2012

KH HASYIM MUZADI NU LURUS VS LIBERALISME/PLURALISME

oleh GP ANSOR, BANSER, & IPNU-IPPNU PAKISAJI MALANG pada 8 Juni 2012 pukul 14:24 ·

      Baru-baru ini beredar pidato menghebohkan dari mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi melalui pesan berantai BlackBerry Messenger (BBM) dan media sosial.
Bagi umat Muslim yang komitmen dengan syariat Islam, pidato Hasyim Muzadi itu adalah pidato yang brilian dan patut mendapat acungan jempol. Namun, bagi kalangan liberal dan pihak-pihak yang “memusuhi” Islam, pidato itu dianggap “radikal.”
      Seperti apa pidato yang menghebohkan itu? Berikut isi pidato Hasyim Muzadi yang juga Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) tentang tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia oleh Sidang PBB di Jeneva :
      "Selaku Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.
      Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah AHMADIYAH, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam.
      Kalau yang jadi ukuran adalah GKI YASMIN Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional & dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai.
      Kalau ukurannya PENDIRIAN GEREJA, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi.
      Kalau ukurannya LADY GAGA & IRSHAD MANJI, bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan Intelektualisme Kosong ?
      Kalau ukurannya HAM, lalu di Papua kenapa TNI / Polri / Imam Masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawiman Sejenis. Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis ?!
      Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar (humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme".

Wednesday, June 20, 2012

SALAH KAPRAH DALAM BID'AH-2

Semoga Kyai Ini Masuk Neraka!

Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang Pencipta.
Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid- ia 'titipkan' pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang 'alim' lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam dilahirkan.

Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.
Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid'ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.

Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, --sebut saja Kyai Umar-- memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: "Tidak ada tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid'ah dan doa orang yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil insani illa ma sa'a (dan sungguh tidaklah bermanfaat bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakannya). Sekian terima kasih!".Lalu ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget.
Lalu, Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. "Benar saudara-saudaraku sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa'a. Karena Gus Zaid sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan. Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan kedalam Surga!".
Para pelayat serentak meneriakkan, "Amiiiiin!".
Gus Zaid: "?????". "Kok mendoakan begitu untuk bapakku".
Kyai Umar dengan enteng menjawab: "Kan Allah berfirman, wa an laysa lil insani illa ma sa'a?".
Gus Zaid: Ya sudah nanti malam tahlilan.....!

Sumber: Salah satu isi mauidhoh hasanah dalam rangka Haul XVII KH. Jauhari Zawawi Kencong Jember

Wednesday, June 13, 2012

PETA DAKWAH KECAMATAN GROGOL KAB. SUKOHARJO

Upaya Penanganan Pluralitas Aliran, Paham dan Gerakan Keagamaan
 (Proposal Penelitian, 2012)

A.           LATAR BELAKANG
Fenomena aliran sesat atau gerakan sempalan di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini menjadi sangat populer seiring dengan sepak terjang dan catatan yang menyertainya. Aliran sesat atau gerakan sempalan menunjuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap menyimpang (devian) dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat yang baku. Istilah sempalan itu sendiri ini memiliki konotasi negatif, seperti protes terhadap dan pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku, klaim monopoli atas kebenaran dan fanatisme. 
Di Indonesia kesan negatif terhadap kelompok sempalan semakin menguat setelah kecenderungan gerakannya menjadi ancaman terhadap stabilitas dan keamanan berbangsa dan bernegara. Fakta terbaru tentang stigma ini seperti terlihat dari kelompok Ahmadiyyah di Kabupaten Kuningan Jawa Barat yang mengarah kepada perilaku anarkis. Tak pelak pemerintah merasa perlu membatasi gerakan-gerakan sempalan untuk mewujudkan keamanan dalam berbangsa dan bernegara. Keterlibatan pemerintah yang terkesan intervensi terhadap kelompok sempalan sangat beralasan, lantaran gerakan yang pernah dicap "sempalan" pada umumnya  telah dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama  Indonesia (MUI). Beberapa contoh yang terkenal adalah  Islam Jamaah, Ahmadiyah Qadian,  DI/TII,  kelompok  Mujahidin   Warsidi (Lampung),  Syi'ah,   Baha'i, Inkarus Sunnah,  Darul Arqam  (Malaysia), al-Qiyadah al-Islamiyah, gerakan  Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah, Lia Eden, dan lain-lain. (lihat juga Fanny Febiana, “MUI: Ada 9 Aliran sesat”, http://www. tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/11/02/brk, 20071102-110679,id.html, pada 22 Januari 2008.)

MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM

Oleh:  Siti Rochmijatun, S.Ag.
 (Guru SMPN 1 Sukoharjo)

Ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan menyangkut pendidikan. Kita berharap akan muncul masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia, dan peduli terhadap lingkungannya, tapi pada kenyataannya sekolah hanya menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak kreatif, bermental penjahat, dan terasing dari masyarakat sekitarnya. Ini menandakan ada masalah dalam pendidikan kita.
Ada beberapa problem besar sulitnya mewujudkan pendidikan sebagai agen perubahan masyarakat. Pertama, belum berubahnya paradigma pada masyarakat tentang makna pendidikan. Selama ini, pendidikan dianggap sama dengan sekolah yang lebih menekankan pada proses mendapatkan  pengetahuan (pengajaran) atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas saja. Padahal, lebih dari itu, yang perlu dikembangkan dari seorang individu mencakup berbagai potensi lain seperti budi pekerti dan pembentukan karakter yang memiliki sifat seperti integritas, kerendahan hati, tenggang rasa, menahan diri, kesetiaan, keadilan, kesabaran, kesederhanaan, dan sebagainya. Yang terakhir ini, tidak dapat dan tidak mungkin dilakukan hanya lewat pengajaran di sekolah. Tetapi juga pendidikan dalam masyarakat individu tersebut, termasuk di dalamnya pendidikan keluarga dan lingkungannnya.
Dalam Islam, pendidikan memiliki makna sentral dan berarti proses pencerdasan secara utuh, dalam rangka mencapai sa’adatuddarain,  kebahagiaan dunia akhirat, atau keseimbangan materi dan religious-spiritual. Oleh karenanya, untuk menjadi insan kamil seseorang harus memiliki kesempurnaan iman, ilmu, dan amal. Dan untuk mencapai tingkatan tersebut, seorang anak seharusnya tidak dididik di sekolah formal saja tapi juga dalam kehidupan mereka di masyarakat.

PENGEMBANGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

Catatan Pribadi: Seandainya ِAku Menjadi Kepala Madrasah/Sekolah

Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.

MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU

Tinjauan Pada Pembiayaan Pendidikan (Manajemen Keuangan)
dipresentasikan di Pasca IAIN Surakarta, Juni 2012 Oleh Siti Rochmiyatun (SMPN 1 Sukoharjo)

 A.  Pendahuluan
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya sendiri secara langsung.[1] Menurut Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah  merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah masyarakat dan pemerintah.[2] Sedangkan Sudarwan Danim MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah, otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan penddikan dan pembelajaran secara bermutu.[3]
Manajemen Berbasis Sekolah dapat diartikan sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan memberikan kewenangan yang lebih besar pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan pemerataan pendidikan supaya lebih baik dan lebih memadai agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah, masyarakat dan poemerintah.
Manajemen berbasis sekolah menurut Syaiful Sagala diartikan sebagai wujud reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah pertama kali muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu dianggap tidak sesuai dengan tuntutan pesera didik untuk terjun keduani  usaha dan sekolah dianggap tidak mampu memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global. Fenomena tersebut segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan manajemen sekolah. Pemerintah dan sekolah sepakat untuk melakukan perubahan terhadap manajemen sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah di selenggarakan melaui beberapa model, yaitu model (1) peningkatan peranan guru; (2) peningkatan wawasan pengelolaan pengajaran melalui studi penelitian dan kajian pustaka, dan (3) penyamaan visi semua pihak dalam proses perubahan untuk memfokuskan arah barau merealisasikan penyelenggaraan program dengan sistem manajemen berbasis sekolah.[4]

KONSEP PENDIDIKAN AL-ZARNUJI

Manajemen Pengelolaan Kelas

Al Quran secara khusus tidak menyebutkan istilah manajemen, akan tetapi menyinggung istilah manajemen dengan menggunakan kalimat yudabbiru mengandung arti mengarahkan, melaksanakan, menjalankan, mengendalikan, mengatur, mengurus dengan baik, mengkoordinasikan, membuat rencana yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen mengandung istilah lain adalah mengelola, mengelola sesuatu dibutuhkan perangkat-perangkat tersediri, perangkat-perangkat untuk mengelola sesuatu dibutuhkan ketrampilan, ketrampilan akan muncul apabila sering diaplikasikan atau dipraktektek perangkat-perangkat tersebut. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan juga mengenal suatu konsep ketrampilan mengelola kelas.

Selengkapnya... silahkan donlot  di sini


Pemikiran al-Zarnuji Terhadap Pendidikan


A.  Riwayat Hidup al-Zarnuji
Plessner mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui nama dan waktu hidupnya secara pasti.[1] Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah Turkistan,[2] tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu bukan di Turkistan, melainkan di Turki.[3] Dengan demikian diperkirakan bahwa ia berasal dari Turki. Mengenai masa hidupnya juga masih belum jelas, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan saja. Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun wafatnya adalah Fuad al-Ahwani. Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194.[4] Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197), penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.[5]