Tinjauan Pada Pembiayaan
Pendidikan (Manajemen Keuangan)
dipresentasikan di Pasca IAIN Surakarta, Juni 2012 Oleh Siti Rochmiyatun (SMPN 1 Sukoharjo)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan sekolah dengan memberikan
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya
sendiri secara langsung.[1] Menurut
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah
merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan
pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat
serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah masyarakat dan pemerintah.[2]
Sedangkan Sudarwan Danim MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja
komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah, otonomi, akuntabilitas,
partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan penddikan dan
pembelajaran secara bermutu.[3]
Manajemen Berbasis Sekolah dapat
diartikan sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan memberikan kewenangan
yang lebih besar pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan
pemerataan pendidikan supaya lebih baik dan lebih memadai agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat
antara sekolah, masyarakat dan poemerintah.
Manajemen berbasis sekolah menurut Syaiful Sagala
diartikan sebagai wujud reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi
struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah pertama kali
muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat
mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan
di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu
dianggap tidak sesuai dengan tuntutan pesera didik untuk terjun keduani usaha dan sekolah dianggap tidak mampu
memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global.
Fenomena tersebut segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan manajemen
sekolah. Pemerintah dan sekolah sepakat untuk melakukan perubahan terhadap manajemen sekolah. Manajemen
Berbasis Sekolah di
selenggarakan melaui beberapa model, yaitu model (1) peningkatan peranan guru;
(2) peningkatan wawasan pengelolaan pengajaran melalui studi penelitian dan
kajian pustaka, dan (3) penyamaan visi semua pihak dalam proses perubahan untuk
memfokuskan arah barau merealisasikan penyelenggaraan program dengan sistem
manajemen berbasis sekolah.[4]
Peningkatan kualitas pengelolaan dengan menggunakan
MBS dalam lingkup negara adalah suatu pendekatan politik yang bertujuan
meningktkan kualitas pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan dan
meningkatkan partisipasi sekolah dalam upaya perbaikan kerja di sekolah.
Pihak-pihak yang berpartisipasi dalam manajemen sekolah meliputi guru, peserta
didik, orang tua peserta didik, dan masyarakat dengan memodifikasi struktur
penghambilan keputusan. Dilihat dari dimensi politik, keputusan ini tentu
berlingkip pemerintah mulai dari pemerintah pusat, ke pemerintah provinsi dan
kabupaten dan seterusnya ke satuan pendidikan yaitu sekolah.
Dengan model MBS ini, sekolah lebih mandiri atau
otonom dan mampu menentukan arah pengembangan visi dan misis sesuai dengan
kondisi dan tuntutan lingkungan masyarakatnya. Pengelolaan pendidikan tingkat
pusat hanya berperan melayani kebutuhan standar sekolah, sedangkan pemerintah
daerah berperan memfasilitasi dan melayani kebutuhan sumber daya manusia,
anggaran, sarana dan prasarana, serta anggaran sekolah.
Sesuai dengan pasal 35 ayat 2 UUSPN No. 20 Tahun
2003, bahwa “Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan
kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan”,[6] maka dalam implementasi MBS, komponen-komponen
inilah yang harus dimanaj, sehingga
output-nya lebih profesional dan akuntabel.
Menurut Zainuddin bahwa pengembangan konsep
manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan satuan pendidikan dan
masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan. Pendekatan ini menuntut adanya
perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen satuan pendidikan dalam
memahami, membantu, dan memantau pengelolaannya dengan didukung oleh pengelolaan
sistem informasi yang valid.[7]
Kehadiran pola manajemen berbasis sekolah membawa konsekuensi adanya sorotan
terhadap kinerja satuan pendidikan, khususnya dari sudut pandang input, proses,
output, dan dampaknya.[8]
Kemudian untuk mengimplementasikan MBS pada satuan
pendidikan keagamaan Islam, paling tidak didukung oleh lima aspek, yaitu: iklim
madrasah yang kondusif, otonomi madrasah, kewajiban madrasah, kepemimpinan
madrasah yang demokratis dan profesional, dan revitalisasi partisipasi
masyarakat.[9]
Setiap satuan pendidikan perlu memperhatikan
komponen-komponen Manajemen Sekolah. Dalam penerapan Manajemen Berbasis Sekolah
beberapa komponen sekolah yang perlu dikelola yaitu kurikulum dan program
pengajaran, manajemen tenaga kependidikan, manajemen kesiswaan, manajemen
keuangan, manajemen sarana dan prasarana pendidikan, dan manajemen pengelolaan
hubungan sekolah dan orang tua/wali murid/masyarakat.[10]
Didalam makalah ini penulis konsentrasikan pada
masalah pembiayaan pendidikan di sekolah/madrasah. Adalah menurut Niron D.
(2000: 10) yang dimaksud pembiayaan pendidikan adalah penyediaan sumber daya
keuangan yang diperlukan untuk penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan.
Sedangkan Sudjud A ( 2002 : 36 ) mengartikan bahwa pembiayaan pendidikan adalah
upaya untuk memenuhi segala sesuatu yang diperlukan guna terselenggaranya
proses pendidikan yang diinginkan. Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama antara pemerintah dan masyarakat. Sesuai dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 48 tahun 2008, yang dimaksud masyarakat adalah penyelenggara atau satuan
pendidikan yang didirikan oleh masyarakat, peserta didik, orang tua murid dan
pihak lain yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan.
B.
Pembahasan
B.1. Konsep dan Landasan Filosofi Pembiayaan
Pendidikan
Seperti yang dikemukakan didepan bahwa proses
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya, karena segala kegiatan
yang dilakukan sekolah perlu dana. Hampir dapat dipastikan bahwa proses
pendidikan tidak dapat berjalan tanpa dukungan biaya yang memadai. Implikasi
diberlakukannya kebijakan desentralisasi pendidikan, membuat para pengambil
keputusan sering kali mengalami kesulitan dalam mendapatkan referensi tentang
komponen pembiayaan pendidikan. Kebutuhan tersebut dirasakan semakin mendesak
sejak dimulainya pelaksanaan otonomi daerah yang juga meliputi bidang
pendidikan. Apalagi masalah pembiayaan ini sangat menentukan kesuksesan program
MBS, KBK, ataupun KTSP yang saat ini diberlakukan.
Berangkat dari filosofis “Jer
Basuki Mawa Beya”[11] bahwa segala kegiatan yang dilakukan sekolah perlu
dana. Pada dasarnya penyelenggaraan pendidikan perlu uang, oleh karenanya
pendidikan terkesan mahal. Hal ini disebabkan pengelolaan pendidikan di sekolah
dalam segala aktivitasnya perlu sarana dan prasarana untuk proses pengajaran,
layanan dan pelaksanaan program supervisi, penggajian dan kesejahteraan para
guru dan staf lainnya, kesemuanya itu memerlukan anggaran dan keuangan.
Sehubungan dengan itu kepala sekolah dalam mengelola sekolah perlu memahami manajemen
biaya pendidikan.
Hal paling krusial yang dihadapi pendidikan kita
adalah masalah pembiayaan/keuangan, karena seluruh komponen pendidikan di
sekolah erat kaitannya dengan komponen pembiayaan sekolah. Meskipun masalah
pembiayaan tersebut tidak sepenuhnya berpengaruh langsung terhadap kualitas
pendidikan, namun pembiayaan berkaitan dengan sarana-prasarana dan sumber
belajar. Berapa banyak sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan
belajar mengajar secara optimal, hanya masalah keuangan, baik untuk menggaji
guru maupun untuk mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan
ini, meskipun tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas,
namun pendidikan yang berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Biaya merupakan elemen yang sangat penting walaupun
bukan satu-satunya komponen yang paling penting. Bagaimanapun bagusnya
rancangan kurikulum, matangnya perencanaan pendidikan, akan tetapi ketika
sampai pada tahap operasional dan terbentur adanya keterbatasan biaya maka
perencanaan yang bagus tersebut kurang memiliki makna yang berarti, bahkan
mungkin program pendidikan yang direncanakan sulit terealisasikan.
Secara umum pembiayaan pendidikan adalah sebuah
kompleksitas, yang didalamnya akan terdapat saling keterkaitan pada setiap
komponennya, yang memiliki rentang yang bersifat mikro (satuan pendidikan)
hingga yang makro (nasional), yang meliputi sumber-sumber pembiayaan
pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan efisiensi
dalam penggunaanya, akuntabilitas hasilnya yang diukur dari perubahan-perubahan
yang terjadi pada semua tataran, khususnya sekolah, dan
permasalahan-permasalahan yang masih terkait dengan pembiayaan pendidikan,
sehingga diperlukan studi khusus untuk lebih spesifik mengenal pembiayaan
pendidikan ini.
Membangun organisasi yang sukses, diperlukan suatu
informasi yang dapat menunjang pengambilan keputusan oleh seorang manajer atau
pimpinan. Dalam kaitannya dengan manajemen biaya, terlebih dahulu perlu
mengetahui informasi yang berkaitan dengan manajemen biaya, yang sering dikenal
dengan sebutan informasi manajemen biaya.[12]
Informasi manajemen biaya adalah suatu konsep yang sangat luas. Infromasi
tersebut merupakan informasi yang dibutuhkan oleh manajer untuk dapat mengelola
perusahaan atau organisasi nirlaba secara efektif dan mencakup informasi
keuangan mengenai biaya dan pendapatan, serta informasi non keuangan yang
relevanmengenai produktivitas,
kualitas, dan faktor-faktor penentu keberhasilan lainnya.
Informasi manajemen biaya disediakan untuk tiap-tiap
fungsi dari keempat fungsi utama manajemen, yaitu manajemen strategis;
perencanaan dan pengambilan keputusan; pengendalian manajemen dan operasional;
serta penyusunan laporan keuangan. Fungsi yang paling penting adalah Manajemen
Strategis yang merupakan pengembangan dari posisi kompetitif yang
berkesinambungan di mana keunggulan kompetitif perusahaan dapat menyebabkan
kesuksesan yang berkesinambungan. Dalam konsep ini, Strategis
adalah seperangkat tujuan dan rencana tindakan spesifik yang
apabila dapat dicapai akan memberikan keunggulan kompetitif yang diharapkan.
Manajemen strategis meliputi pengidentifikasian dan pengimplementasian tujuan
dan rencana tindakan.[13]
Pada dasarnya pembiayaan pendidikan (educational
finance) dapat dimaknai sebagai kajian tentang bagaimana pendidikan dibiayai atau didana. Dalam hubungan ini
Elchanan Cohn dalam Suharsaputra menguraikan lingkup pembiayaan pendidikan
sebagai berikut:
Educational
Finance. Who should pay for education? Should the government support public and
private education? If so, which level of government should take what share of
the burden? And what share of total costs should be borne by the taxpayers as
opposed to direct beneficiaries of the educational endeavor? Also, if subsidies
are justified, should they be given to educational institution or to individual
in the form of a voucher? [14]
Uraian di atas mempertanyakan bagaimana biaya
pendidikan dapat dipenuhi. Siapa yang akan membiayai. Siapa yang dibiayai. Dan
bagaimana dana yang telah didapat dikelola demi tercapainya tujuan pendidikan,
yaitu untuk mencerdaskan bangsa.
Pengertian dari pembiayaan pendidikan adalah
sebagaimana yang diutarakan Nanang Fattah[15] bahwa
pembiayaan pendidikan merupakan jumlah uang yang dihasilkan dan dibelanjakan
untuk berbagai keperluan penyelenggaraan pendidikan yang mencakup gaji guru,
peningkatan profesional guru, pengadaan sarana ruang belajar, perbaikan ruang,
pengadaan peralatan/mobile, pengadaan alat-alat dan buku pelajaran, alat tulis
kantor (ATK), kegiatan ekstrakulikuler, kegiatan pengelolaan pendidikan, dan
supervisi pendidikan.
Dapat dikatakan pula bahwa pembiayaan pendidikan
sesungguhnya adalah sebuah analisis terhadap sumber-sumber pendapatan (revenue)
dan penggunaan biaya (expenditure) yang diperuntukkan sebagai pengelolaan
pendidikan secara efektif dan efisien dalam rangka mencapat tujuan yang telah
ditentukan.
Sejalan dengan berlakunya otonomi daerah,
dikembangkannya manajemen berbasis sekolah atau school-based management (SBM)
menuntut terjadinya perubahan dalam manajemen sekolah, termasuk dalam mengelola
(manajemen) keuangan. Menurut Rugaiyah & Sismiati,[16]
manajemen keuangan adalah kegiatan mengelola dana untuk dimanfaatkan sesuai
kebutuhan secara efektif dan efisien. Dalam mengelola keuangan harus dilakukan
dengan menganut system: transparan, akuntabel, responsible, relevan, efektif
dan efisien. Manajemen keuangan meliputi perencanaan financial, pelaksanaan,
dan evaluasi.
Menurut Mulyasa,[17]
strategi sekolah dalam menggali dana pendidikan secara administrative sangat
tepat karena berkaitan dengan bagaimana seorang kepala sekolah melakukan
upaya-upaya pengelolaan sumber daya dan sumber dana yang terdapat di dalam
lingkungan sekolah. Dalam MBS strategi tersebut dapat direalisasikan melalui
penyelenggara berbagai kegiatan berikut:
1) Melakukan analisis internal dan eksternal terhadap
berbagai potensi sumber dana;
2) Mengidentifikasi, mengelompokkan dan memperkirakan
sumber-sumber dana yang dapat digali dan dikembangkan;
3) Menetapkan sumber-sumber dana melalui:
a. musyawarah dengan orang tua siswa baru, pada awal
tahun ajaran,
b. musyawarah dengan para guru untuk mengembangkan
koperasi sekolah,
c. menggalang partisipasi masyarakat melalui dewan
sekolah, dan
d. menyelenggarakan kegiatan olah raga dan kesenian
peserta didik untuk mengumpulkan dana dengan memanfaatkan fasilitas sekolah.
Dalam pelaksanaannya, manajemen keuangan dilakukan oleh:[18]
1) Otorisator: pejabat yang berwenang untuk mengambil tindakan
mengakibatkan penerimaan dan pengeluaran anggaran.
2) Ordonator: pejabat yang berwenang melakukan
pengujian memerintahkan pembayaran atas segala tindakan yang dilakukan
berdasarkan otorisasi yang telah ditetapkan.
3) Bendaharawan: pejabat yang berwenang melakukan
penerimaan, penyimpanan, dan pengeluaran uang atau surat-surat berharga lainnya
yang dapat dinilai dengan uang serta diwajibkan membuat perhitungan dan
pertanggung jawaban.
B.2. Sumber Pembiayaan Pendidikan
Anggaran biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang
berkaitan satu sama lain, yaitu sisi anggaran penerimaan dan anggaran
pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Anggaran penerimaan adalah
pendapatan yang diproleh setiap tahun oleh sekolah dari berbagai sumber resmi
dan diterima secara teratur. Sedangkan anggaran dasar pengeluaran adalah jumlah
uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan pelaksanaan pendidikan di
sekolah. Belanja sekolah sangat ditentukan oleh komponen-komponen yang jumlah
dan proporsinya bervariasi diantara sekolah yang satu dan daerah yang
lainnya. Berdasarkan pendekatan unsur
biaya pengeluaran sekolah dapat dikategorikan ke dalam beberapa item pengeluaran, yaitu (1).
Pengeluaran untuk pelaksanaan pelajaran (2). Pengeluaran untuk tata usaha
sekolah (3). Pemeliharaan sarana-prasarana sekolah (4). Kesejahteraan pegawai
(5). Administrasi (6). Pembinaan teknis edukatif (7). Pendataan.
Keuangan merupakan sumber daya yang secara langsung
dapat berpengaruh pada keefektifan dan efisiensi pengelolaan pendidikan yang
diselaggarakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Manajerial kepala sekolah
pada keuangan sangat dibutuhkan dalam penerapan Manajemen Beerbasis Sekolah.
Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah menuntut kemampuan sekolah dalam
merencanakan melaksanakan, dan mengevaluasi serta memepertanggungjawabkan
penggunaan anggaran pengelolaan dana secara transparan kepada masyarakat
dan pemerintah.[19]
Manajemen Berbasis Sekolah
memberi kewenangan pada sekolah untuk menggali dan menggunakan sumber dana
sesuai keperluan sekolah. Sumber dana dalam proses pendidikan dapat
dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu: (1) pemerintah pusat dan atau
pemerintah daerah, (2) orang tua/wali atau peserta didik, dan (3) masyarakat,
baik mengikat maupun tidak mengikat. Berkaitan dengan penerimaan keuangan dari
orang tua/wali murid dan masyarakat ditegaskan dalam Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional atau UU No. 2 tahun 1989 yaitu kemampuan pemerintah
terbatas dalam pemenuhan kebutuhan dana pendidikan merupakan tanggung jawab
bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua/wali murid.
Meskipun dalam prakteknya menurut pendapat penulis
implementasi Manajemen Berbasis Sekolah terkadang sebagian sekolah menggunakan
kesempatan ini terkesan secara berlebih lebihan seperti kasus tes mandiri
berdampak pada kecemburuan sosial bagi mereka yang kurang mampu, dengan kata
lain siswa yang diterima pada sebuah sekolah yang dianggap favorit
oleh lapisan masyarakat tertentu maka dapat ditentukan oleh kesiapan orang tua
dari berapa kesanggupan membayar yang disepakati oleh pihak sekolah, sementara
keadaan sosial ekonomi orang tua, masyarakat belum tentu dapat menjakau
kebijakan sekolah. Secara hukum praktek seleksi mandiri memang sah karena tidak
bertentangan dengan karakter dan komponen-komponen Manajemen Berbasis Sekolah
hal ini banyak terjadi pada jenjang pendidikan SMP dan SMA.
Biaya pendidikan harus diperhitungkan pada setiap
awal pelaksanaan pendidikan dalam satuan waktu tertentu. Ada dua cara untuk
memperkirakan biaya pendidikan, yaitu (1) memperkirakan biaya atas dasar
sumber-sumber pembiayaan, dan (2) memperkirakan biaya atas dasar laporan dari
lembaga-lembaga pendidikan.
Cara yang pertama dilakukan dengan meneliti laporan dari sumber-sumber
pembiayaan pendidikan. Menurut sifatnya sumber-sumber ini dibedakan atas (1)
pengeluaran yang menyeluruh, dan (2) pengeluaran menurut status, tingkat, dan
sifatnya. Pengeluaran menyeluruh terdiri atas (a) sumber-sumber pemerintah,
yang terdiri atas (1) pemerintah pusat, (2) pemerintah daerah, dan (3) bantuan
luar negeri. Menurut statusnya pengeluaran dibedakan atas pengeluaran dari lembaga
pendidikan pemerintah dan pengeluaran pendidikan swasta. Kemudian menurut
tingkatnya, yaitu TK, SD, SLTP, SLTA (SMA dan SMK), dan perguruan tinggi. Selanjutnya menurut
sifatnya pengeluaran dibedakan atas pengeluaran berulang, pengeluaran modal,
dan pengeluaran lainnya.
Cara yang kedua, ialah menggunakan secara langsung laporan dari lembaga-lembaga
pendidikan. Untuk keperluan membuat perkiraan tersebut harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut. Yang pertama,
adalah harus ada laporan dari lembaga-lembaga pendidikan. Kedua, laporan
tersebut harus dibuat menurut pola standar fungsional yang seragam. Ketiga,
laporan harus memperlihatkan keseluruhan biaya operasi dari lembaga tersebut.
B.3.
Implementasi Pembiayaan Pendidikan
Beberapa bentuk/teori pembiayaan pendidikan yang
dapat menjadi acuan pelaksanaan pembiayaan sekolah atau madrasah adalah:
1. Biaya Langsung dan Biaya Tidak Langsung
Dalam
teori dan praktek pembiayaan pendidikan, baik pada tataran makro maupun mikro,
dikenal bebarapa kategori biaya pendidikan. Pertama, biaya langsung (direct
cost) dan biaya tidak langsung (indirect cost).
Biaya langsung adalah segala pengeluaran yang secara
langsung menunjang penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung terdiri dari
biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan pengajaran dan kegiatan belajar
siswa berupa pembelian alat-alat pelajaran, sarana belajar, biaya transportasi,
gaji guru baik yang dikeluarkan oleh pemerintah, orang tua maupun siswa
sendiri.
Biaya
tidak langsung adalah pengeluaran yang tidak secara langsung menunjang proses
pendidikan tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut terjadi di sekolah,
misalnya biaya hidup siswa, biaya transportasi ke sekolah, biaya jajan, dan
harga kesempatan (opportunity cost).
2. Biaya Pribadi dan Biaya Sosial
Biaya
pribadi (private cost) dan biaya sosial (social cost). Biaya
pribadi adalah pengeluaran keluarga untuk pendidikan atau pengeluaran rumah
tangga. Biaya social adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat untuk
pendidikan, baik melalui sekolah maupun melalui pajak yang dihimpun oleh
pemerintah kemudian digunakan untuk membiayai pendidikan.
Dalam
konteks ini, biaya pendidikan mencakup semua jenis pengeluaran yang berkenaan
dengan penyelenggaraan pendidikan, baik dalam bentuk uang maupun barang dan
tenaga (yang dapat dihargakan dengan uang). Misalnya, iuran siswa adalah biaya,
demikian juga sarana fisik, buku-buku pelajaran juga merupakan biaya.
Anggaran
biaya pendidikan terdiri dari dua sisi yang berkaitan satu sama lain, yaitu
sisi anggaran penerimaan dan anggaran pengeluaran untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidiaka. Anggaran penerimaan adalah pendapatan yang diperoleh setiap tahun
oleh sekolah dari berbagai sumber resmi dan diterima secara teratur. Anggaran
pengeluaran adalah jumlah uang yang dibelanjakan setiap tahun untuk kepentingan
pelaksanaan pendidikan di sekolah.
Adapun
pengeluaran sekolah dapat dikategorikan dalam beberapa item, yaitu: pengeluaran
untuk pelaksanaan pelajaran, pengeluaran untuk tata usaha sekolah, pemeliharaan
sarana dan prasarana sekolah, kesejahteraan pegawai, administrasi, pembinaan
teknis edukatif dan pendataan.
Dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2007 pasal 62 disebutkan bahwa:
a. Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi,
biaya operasi dan biaya personal.
b. Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya
penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal
kerja tetap.
c. Biaya personal meliputi biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bias mengukuti proses pembelajaran secara
teratur dan berkelanjutan.
d. Biaya operasional satuan pendidikan meliputi: gaji
pendidik dan tenaga kependidikan serta segala tunjangan yang melekat pada gaji;
bahan atau peralatan habis pakai; dan biaya operasi pendidikan tak langsung
berupa daya, air, jasa telekomunikasi, uang lembur, transportasi, konsumsi,
pajak, asuransi, dan lain sebagainya.
3. Biaya Rutin dan Biaya Modal
Secara
umum, pembiayaan pendidikan dibedakan menjadi dua jenis, yaitu; (1) biaya rutin
(recurring cost) dan biaya modal (capital cost). Recurring cost
pada intinya mencakup keseluruhan biaya operasional penyelenggaraaan
pendidikan, seperti biaya administrasi, pemeliharaan fasilitas, pengawasan,
gaji, biaya untuk kesejahteraan, dan lain-lain. Sementara, capital cost atau
sering pula disebut biaya pembangunan mencakup biaya untuk pembangunan fisik,
pembelian tanah, dan pengadaan barang-barang lainnya yang didanai melalui
anggaran pembangunan.
Biaya
rutin adalah biaya yang harus dikeluarkan dari tahun ke tahun, seperti gaji
pegawai (guru dan non guru), serta biaya operasional, biaya pemeliharaan
gedung, fasilitas dan alat-alat pengajaran (barang-barang habis pakai).
Sementara biaya pembangunan, misalnya, biaya pembelian atau pengembangan tanah,
pembangunan gedung, perbaikan atau rehab gedung, penambahan furnitur, serta
biaya atau pengeluaran lain unutk barang-barang yang tidak habis pakai.
Dalam
implementasi MBS, manajemen komponen keuangan harus dilaksanakan dengan baik
dan teliti mulai dari tahap penyusunan anggaran, penggunaan, sampai pengawasan
dan pertanggungjawaban sesuai dengan ketentuan yang berlaku agar semua dana
sekolah benar-benar dimanfaatkan secara efektif, efisien, tidak ada
kebocoran-kebocoran, serta bebas dari penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme.
Sedangkan di Indonesia baru ada kebijakan wajib
belajar 9 tahun, artinya seluruh warga negara Indonesia yang belajar pada
sekolah negeri dibebaskan pungutan berupa uang sekolah. Meskipun kenyataannya
diantara sekolah-sekolah tersebut ada yang memungut iuran siswa dengan alasan iuran
BP3 atas persetujuan orang tua siswa. Pengalaman pembiayaan pendidikan yang
dikemukakan tersebut dapat dijadikan perbandingan dalam pembangunan pendidikan di Indonesia,
dimana pada akhir tahun 1999 Indonesia menerapkan sistem pemerintahan dengan
konsep otonomi daerah.
Sistem ini menunjukkan bahwa sumber dana pendidikan
selain dari pusat juga dapat diperoleh dari daerah, hanya saja pengalokasian
dana pada setiap daerah dimungkinkan berbeda antara satu daerah dengan lainnya,
karena sangat tergantung pada daerah itu untuk menentukan prioritas pembangunan
pendidikannya. Karena posisi dan fungsi pembiayaan ini begitu penting, maka
diperlukan adanya suatu sistem pembiayaan yang merupakan subsistem dari sistem
manajemen pendidikan. Peran pemerintah daerah menentukan dan memutuskan
prioritas pembiayaan pendidikan untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan di sekolah akan menunjukkan kontribusi yang signifikan terhadap mutu
pendidikan.
Dukungan terhadap pembiayaan ini datang dari
anggaran pemerintah daerah, bantuan dari pemerintah pusat dan bantuan lainnya
seperti dari masyarakat. Namun demikian strategi pembiayaan pendidikan dilihat
dari formulasi pembiayaan di sekolah yang telah berlangsung secara tradisional
di Indonesia adalah melalui pola DIP dan DIK yang implementasinya menganut pola
top down system. Ada beberapa faktor dalam manajemen pembiayaan pendidikan yang
dikemukakan oleh Gaffar yaitu sistem manajemen pembiayaan harus diikuti oleh
pengelola keuangan, pengelolaannya tergantung apakah sistem itu cukup atau tidak. Formulasi dan implementasi
strategi pembiayaan tersebut terpusat pada pemerintahan, hal ini
menunjukkan sistem pendanaan sangat
sentralistis, dalam arti menurut pemerintah pusat pedoman anggaran yang sudah
ada diatur dan diurus secara sentral.[20]
Dengan sistem ini, maka pengelolaan dana yang mudah
untuk difahami dan dikendalikan oleh pemerintah pusat, meskipun dalam paradigma
otonomi sekolah hal ini tentu tidak dapat merespon kebutuhan secara penuh,
karena sistem pembiayaan ditentukan atas dasar subjetifitas pemerintah baik
pada tingkat pemerintah pusat mapun pemerintah daerah provinsi dan
kabupaten/kota. Karenanya untuk lebih memberdayakan manajemen pendidikan sistem
pembiayaan perlu dibenahi agar kesulitan dalam pemanfaatan dana oleh sekolah
bisa diatasi. Salah satu solusi yang paling mendasar yang telah ditetapkan oleh
pemerintah adalah kebijakan otonomi daerah. Kebijakan ini, disamping membuka
peluang untuk meningkatkan mutu pendidikan, memang juga akan membuka persoalan
baru. Namun pilihan otonomi manajemen ini cenderung lebih aspiratif ketimbang
pemerintah yang sentralistik.
C. Penutup
Kebijakan pemerintah melalui Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bertekad menghilangkan diskriminasi.
Berdasarkan UU ini pula, Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) menjadi prinsip dalam
penyelenggaran satuan pendidikan dasar dan menengah, dan harus memenuhi mutu
minimal yang ada dalam Standar Nasional Pendidikan. Sedangkan untuk
penyelenggaraan satuan pendidikan keagamaan, pemerintah mengaturnya melalui PP
No. 55 Tahun 2007. Tuntutan UU dalam hal pengelolaan satuan pendidikan,
merupakan beban berat bagi satuan pendidikan keagamaan Islam yang memiliki
sumber daya sangat terbatas, dan pengelolaannya diserahkan kepada Departemen
Agama yang masih sentralistik. Padahal untuk pendidikan umum, pengelolaannya
dilimpahkan ke Pemerintah Daerah. Di sini masih tampak ada diskriminasi dalam
pengeloaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Akdon. Strategic Management For Educational
Management. Bandung: PT Alfabeta, 2006
Anonim. Manajemen
Berbasis Sekolah (MBS). Jakarta: Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah
Pertama, Ditjen Mandikdasmen. Depdiknas, 2007
Blanchard, Ken., & O’Connor, Michael. Managing
By Values. (First published Berret-Koehler Publisher. Inc San Fransisco,
CA, 1998)
Blocher, Chen, Cokins, Lin, Cost
Management (Manajemen Biaya: Penekanan Strategis), (Jakarta: Salemba Empat,
2007)
Craig, James C., & Grant Robert M., Alih
bahasa Molan, Benyamin, Manajemen Strategik. (Bekasi: Penerbit Mediator,
2003)
E. Mulyasa, Pedoman Manajemen Berbasis Madrasah,
(Departemen Agama RI: Direktorat Kelembagaan Agama Islam dan Direktorat
Madrasah dan Pendidikan Agama Islam, 2003)
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Bandung: Remaja Roosdakarya, 2002)
Gaffar, M. F., Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan. (Bandung: Mimbar Pendidikan
No.1 Tahun X April 1991)
H.A.R. Tilaar, Membenahi
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet.I)
Hasbullah, Otonomi
Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007)
Hunger, J. David., & Wheelen, Thomas L.,
alih bahasa Agung, Julianto, Manajemen Strategis. (Yogyakarta: Penerbit
Andi, 2003)
Mulyasa, Manajemen
Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002)
Nanang Fattah, Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan, (Bandung:
Rosdakarya, 2000)
Nurkolis. Manajemen
berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia, 2006)
Rugaiyah dan A. Sismiati, Profesi
Kependidikan,( Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011)
Sri Minarti, Manajemen Sekolah,
(Jakarta: Ar Ruzz Media, 2011)
Sudarwan Danim, Visi
Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2006, Cet.I)
Suharsaputra, Uhar, Administrasi Pendidikan (Bandung: Refika Aditama. 2010)
Syaiful Sagala, Manajemen
Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan. (Bandung:
Penerbit Alfabeta, 2007)
Zainuddin, Reformasi
Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2008)
[1] Nurkolis. Manajemen berbasis Sekolah, (Jakarta: PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, 2006), hlm. 11
[2] Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2002), hlm. 5
[3] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2005), hlm. 8
[4] Lihat Syaiful Sagala, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu
Pendidikan, (Bandung: Penerbit
Alfabeta, 2007),
hlm. 153
[6] Lihat
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan, h. 19.
[7] Lihat Zainuddin, Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan
Manajemen Berbasis Sekolah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I, 2008), hlm. 71. Baca juga H.A.R. Tilaar, Membenahi
Pendidikan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002, Cet.I), hlm. 76-77.
Bandingkan dengan Hasbullah, Otonomi Pendidikan: Kebijakan Otonomi Daerah
dan Implikasinya terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.
3.
[8] Sudarwan Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah:
Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006, Cet.I),
hlm. vii.
[9] E. Mulyasa, Pedoman
Manajemen Berbasis Madrasah, (Departemen Agama RI: Direktorat Kelembagaan
Agama Islam dan Direktorat Madrasah dan Pendidikan Agama Islam, 2003), hlm.
22-26.
[10] Selengkapnya lihat Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah,
(Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 40-50
[11] Dalam
kalangan pesantren, kitab Ta’limul Muta’alim karya Syekh al-Zarnuji
memberikan prasyarat dalam menuntut ilmu, adalah "Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu
kecuali dengan enam perkara; sebagaimana
saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan
guru dan waktu yang lama". Bahwa memiliki bekal dapat diartikan mempunyai biaya untuk pendidikan.
[12] Blocher, Chen, Cokins,
Lin, Cost Management (Manajemen Biaya: Penekanan Strategis), (Jakarta:
Salemba Empat, 2007), hlm. 4
[16] Rugaiyah dan A. Sismiati, Profesi Kependidikan,( Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia, 2011),
hlm. 78
[20] Gaffar, M. F., Konsep dan Filosofi Biaya Pendidikan. (Bandung: Mimbar Pendidikan No.1 Tahun X April 1991), hlm. 15
thanks ya infonya !!!
ReplyDeletewww.bisnistiket.co.id