Oleh: Siti
Rochmijatun, S.Ag.
Ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan menyangkut
pendidikan. Kita berharap akan muncul masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia,
dan peduli terhadap lingkungannya, tapi pada kenyataannya sekolah hanya
menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak kreatif, bermental penjahat, dan
terasing dari masyarakat sekitarnya. Ini menandakan ada masalah dalam
pendidikan kita.
Ada beberapa problem besar sulitnya mewujudkan pendidikan sebagai
agen perubahan masyarakat. Pertama, belum berubahnya paradigma pada
masyarakat tentang makna pendidikan. Selama ini, pendidikan dianggap sama
dengan sekolah yang lebih menekankan pada proses mendapatkan pengetahuan
(pengajaran) atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas saja. Padahal,
lebih dari itu, yang perlu dikembangkan dari seorang individu mencakup berbagai
potensi lain seperti budi pekerti dan pembentukan karakter yang memiliki sifat
seperti integritas, kerendahan hati, tenggang rasa, menahan diri, kesetiaan,
keadilan, kesabaran, kesederhanaan, dan sebagainya. Yang terakhir ini, tidak
dapat dan tidak mungkin dilakukan hanya lewat pengajaran di sekolah. Tetapi
juga pendidikan dalam masyarakat individu tersebut, termasuk di dalamnya
pendidikan keluarga dan lingkungannnya.
Dalam Islam, pendidikan memiliki makna sentral dan berarti proses
pencerdasan secara utuh, dalam rangka mencapai sa’adatuddarain, kebahagiaan
dunia akhirat, atau keseimbangan materi dan religious-spiritual. Oleh
karenanya, untuk menjadi insan kamil seseorang harus memiliki kesempurnaan
iman, ilmu, dan amal. Dan untuk mencapai tingkatan tersebut, seorang anak
seharusnya tidak dididik di sekolah formal saja tapi juga dalam kehidupan
mereka di masyarakat.
Kedua, yang termasuk masalah mendasar
dari sistem pendidikan di negeri kita berakar pada ketidakmampuan seluruh
anggota masyarakat untuk berbagi tugas dan tanggung jawab dalam mendidik, mengajar,
dan melatih tunas-tunas bangsa. Hal ini ditunjukkan dengan minimnya tingkat
kepedulian masyarakat terhadap pendidikan di lingkungan sekitarnya. Bahkan para
orangtua sendiri, entah karena ketidakmengertian mereka atau karena memang
tidak mau peduli dengan nasib pendidikan anak-anaknya, menganggap bahwa
‘mendidik’ anak itu hanya berarti mampersiapkan uang sekolah, membelikan
seragam, buku-buku, dan perlengkapan belajar lainnya. Padahal, pendidikan tidak
hanya sebatas pada hal-hal tadi, tapi juga mencakup kehidupan sehari-hari.
Apapun yang terjadi di masyarakat merupakan juga pendidikan dan akan
berpengaruh pada perilaku seorang anak.
Oleh karena itu,
penulis sajikan dalam makalah ini tentang pemikiran pendidikan berlandasan
Al-Qur'an dan Hadits dengan alasan, pertama, penulis ingin membangun
kesadaran baru bahwa dasar-dasar keilmuan yang ditampilkan oleh Kitab Allah dan
Sunnah RasulNya belum dan tak akan tertandingi oleh konsep keilmuan manapun
juga. Kedua, penulis juga ingin membangun sebuah kesadaran kiranya kaum
intelektual Muslim, terbiasa mengolah otak/ijtihad dalam memahami dan
menjabarkan konsep-konsep dasar keilmuan dalam berbagai bidang yang tertuang
secara jelas dalam Kitab Sucinya. Tidak sebagaimana sering terjadi dimana kaum
intelektual terperosok ke dalam kutipan-kutipan orang lain, yang belum tentu
beri'tiqad baik terhadap agama Allah. Belajar menegakkan independensi
intelektual ummat adalah aset besar masa depannya.
Namun hal ini tidaklah berarti bahwa ummat Islam tidak mau atau
tidak perlu mengambil pendapat orang lain. Melainkan belajar untuk tidak
selamanya bergantung pada pendapat orang lain. Dengan demikian, ummat ini
betul-netul merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya, termasuk kemerdekaan
intelektual. Bahkan harapan kita, ummat ini harus menjadi pedoman keilmuan bagi
ummat manusia sebagaimana masa-masa lalunya yang indah.
MAKNA PENDIDIKAN
Dalam Islam, berbicara mengenai pendidikan tidak dapat dilepaskan
dari asal muasal manusia itu sendiri. Kata "pendidikan" yang dalam
bahasa arabnya disebut "tarbiyah" (mengembangkan, menumbuhkan,
menyuburkan) berakar satu dengan kata "Rabb" (Tuhan). Hal ini
mengindikasikan bahwa pendidikan adalah sebuah nilai-nilai luhur yang tidak
dapat dipisahkan dari, serta dipilah-pilah dalam kehidupan manusia. Terpisahnya
pendidikan dan terpilah-pilahnya bagian-bagiannya dalam kehidupan manusia
berarti terjadi pula disintegrasi dalam kehidupan manusia, yang konsekwensinya
melahirkan ketidak-harmonisan dalam kehidupannya itu sendiri.
Pendidikan atau tarbiyah berasal dari kata "rabaa-yarbuu-riban
wa rabwah" yang berarti "berkembang, tumbuh, dan subur".
Dalam Al Qur'an, kata "rabwah" berarti bukit-bukit yang
tanahnya subur untuk tanam-tanaman. Lihat QS: Al Baqarah [2]: 265.[1]
ã@sWtBur tûïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã ãNßgs9ºuqøBr& uä!$tóÏGö/$# ÅV$|ÊötB «!$# $\GÎ7ø[s?ur ô`ÏiB öNÎgÅ¡àÿRr& È@sVyJx. ¥p¨Yy_ >ouqö/tÎ/ $ygt/$|¹r& ×@Î/#ur ôMs?$t«sù $ygn=à2é& Éú÷üxÿ÷èÅÊ bÎ*sù öN©9 $pkö:ÅÁã ×@Î/#ur @@sÜsù 3 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? îÅÁt/
Sedangkan
kata "riba" mengandung makna yang sama. Lihat QS: Ar Ruum [30]:39.[2]
!$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB $\/Íh (#uqç/÷zÏj9 þÎû ÉAºuqøBr& Ĩ$¨Z9$# xsù (#qç/öt yYÏã «!$# ( !$tBur OçF÷s?#uä `ÏiB ;o4qx.y crßÌè? tmô_ur «!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqàÿÏèôÒßJø9$#
Dengan pengertian ini jelas bahwa mendidik atau "rabba"
bukan berarti "mengganti" (tabdiil) dan bukan pula berarti
"merubah" (taghyiir). Melainkan menumbuhkan, mengembangkan dan
menyuburkan, atau lebih tepat "mengkondisikan" sifat-sifat dasar (fithrah)
seorang anak yang ada sejak awal penciptaannya agar dapat tumbuh subur dan
berkembang dengan baik. Jika tidak, maka fithrah yang ada dalam diri seseorang
akan terkontaminasi oleh "kuman-kuman" kehidupan itu sendiri.
Kuman-kuman kehidupan inilah yang diistilahkan oleh hadits tadi dengan "tahwiid"
(mengyahudikan) "tanshiir" (menasranikan) dan "tamjiis"
(memajusikan). Pada hadits yang lain disebutkan "ijtaalathu as
Syaithaan" (digelincirkan oleh syetan).
Kuman-kuman kehidupan atau meminjam istilah hadits lain
"duri-duri perjalanan" (syawkah) tentu semakin nyata dan
berbahaya di zaman dan di mana kita hidup saat ini. Masalahnya, apakah
kenyataan ini telah membawa kesadaran bagi kita untuk membentengi diri dan
keluarga kita?[3]
Imam al-Baidhawi dalam tafsirnya Anwar at-Tanzil wa 'Asrar
at-Ta'wil, mengatakan bahwa pada dasarnya ar-rab itu bermakna tarbiyah
yang makna lengkapnya adalah menyampaikan sesuatu hingga mencapai kesempurnaan.
Ar-Raghib al-Ashfahani dalam bukunya Mufradat, mengatakan bahwa tarbiyah
adalah menumbuhkan perilaku-perilaku secara bertahap hingga mencapai batasan
kesempurnaan.[4]
Menurut Al Qur'an, asal muasal komposisi manusia itu terdiri dari
tiga hal yang tidak terpisahkan: 1. Jasad. 2. Ruh. 3. Intelektualitas. QS. As
Sajdah [32]: 7-9 [5]
Semua manusia adalah sama dalam komposisi ini. Mereka semua tercipta
dan dilahirkan ke alam dunia ini dengan dasar penciptaan dan kehidupan yang
tidak berbeda. Kesimpulan ini telah ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam
berbagai haditsnya, diantaranya :[6]
حَدَّثَنَا
آدَمُ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَبِي سَلَمَةَ بْنِ
عَبْدِالرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِي اللَّهم عَنْهم قَالَ قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى
الْفِطْرَةِ فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
كَمَثَلِ الْبَهِيمَةِ تُنْتَجُ الْبَهِيمَةَ هَلْ تَرَى فِيهَا جَدْعَاء
Bahkan Al Qur'an itu sendiri dengan tegas menyatakan bahwa komposisi
penciptaan yang sempurna ini (ahsanu taqwiim) dan diistilahkan dengan
"fithrah Allah" (insaniyah/kemanusiaan), tidak mungkin terganti atau
terubah.[7]
Manzoor Ahmed mendefinisikan pendidikan sebagai suatu usaha yang
dilakukan individu-individu dan masyarakat untuk mentransmisikan nilai-nilai,
kebiasaan-kebiasaan dan bentuk-bentuk ideal kehidupan mereka kepada generasi
muda untuk membantu mereka dalam meneruskan aktifitas kehidupan secara efektif
dan berhasil.[8]
Dengan demikian, makna pendidikan dalam Islam adalah sebuah proses
pendewasaan seseorang melalui pentahapan-pentahapan untuk kesempurnaan fisik,
ruh/iman dan intelektual.
FUNGSI PENDIDIKAN
Sangat disayangkan, mutu pendidikan masyarakat muslim (seperti pada
pesantren, sekolah agama, dan lain-lain), yang berfungsi sebagai media
pengembangan masyarakat muslim, keadaannya masih sangat memprihatinkan. Baik
dari segi metode, manajemen, kurikulum, maupun dari fasilitas penunjang
pendidikan. Sebagian pesantren misalnya, entah karena alasan untuk menjaga
kemurnian ajaran agama atau karena ketakutan terhadap sebuah perubahan, dalam
pendidikannya terkesan tertutup terhadap usaha-usaha pembaruan, penelaahan
ulang, apalagi usaha untuk mendekonstruksi “kebenaran-kebenaran” yang telah
lama mengakar di dunia pesantren.
Implikasi dari ketertutupan dan eksklusivisme ini terwujud dalam
tiadanya budaya kritis, analitis, dan reflektif terhadap tradisi pendidikan
pesantren. Akibat besarnya, dalam melihat ajaran lain yang berbeda; selalu
merasa paling benar dan menganggap ajaran lain salah, apapun alasannya. Bila keadaannya
demikian, pendidikan hanya menjadi media perpecahan dalam masyarakat dan telah
melenceng dari fungsinya sebagai media pengembangan masyarakat.
Untuk itu, dengan semangat yang terkandung dalam kaidah “al-muhafadzah
‘ala al-qadim ash-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah” (membina
budaya-budaya klasik yang baik dan terus menggali budaya-budaya baru yang lebih
konstruktif), perlu kiranya sebuah usaha membangun kembali segala hal dalam
pendidikan Islam. Terutama dalam rangka menjadikan pendidikan Islam sebagai
pendidikan yang tanggap terhadap perubahan dan tuntutan zaman, berwawasan masa
depan dan berada di garda depan dalam membentuk masyarakat yang terbuka
terhadap segala perbedaan. Semua itu tentu memerlukan sebuah kontrol yang dapat
membatasi perubahan tersebut untuk tidak keluar dari orientasi, nilai-nilai,
dan idealisme yang dibangun sejak awal.
Ummat Islam saat ini nampaknya membuktikan prediksi Rasulnya lima
belas abad yang lalu. Dalam haditsnya Rasulullah menjelaskan :[9]
يُوشِكُ
الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا
فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ
كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ
صُدُورِ عَدُوِّكُمُ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي
قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ
حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Cinta dunia yang berlebihan, sebagai konsekwensi logis dari
tertanamnya faham materialisme dalam diri kita melahirkan sikap-sikap yang
seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi (abadi).[10]
Sikap yang demikian pula yang menyebabkan kita menyikapi pendidikan
anak-anak kita seolah-olah tak ada aspek lain dalam hidupnya kecuali memburu
dunia dengan segala manifestasinya. Sehingga kita bersikap buta hati terhadap
kisah Ibrahim dan Ya'quub untuk menghayati bagaimana mereka telah mendidik anak
keturunan mereka. Al Qur'an mengisahkan, Ibrahim dan Ya'qub senantiasa
mewasiatkan anak-anaknya tentang agama ini.[11]
Bahkan Ya'qub AS disaat-saat menjelang maut menjemputnya, menyempatkan diri
bertanya kepada anak-anaknya: "madzaa ta'buduuna min ba'di"
(Apa gerangan yang akan kamu sembah setelah kematianku)?[12]
Bukan dengan kata-kata "maadza ta'kuluuna" (apa yang akan kamu
makan setelah aku meninggal). Kepedulian terhadap kelangsungan kesadaran
beragama anak-anak kita sangat minim sekali. Sehingga sebagai ilustrasi,
seringkali jika anak kembali dari sekolah yang ditanyakan adalah nilai berapa
yang kamu dapatkan? Sementara shalatnya tidak terpedulikan sama sekali.
Islam sendiri menempatkan pendidikan di tempat sangat terhormat.
Saksinya adalah ayat-ayat alqur’an dan ratusan hadits yang berhubungan dengan
pendidikan, terutama yang berhubungan dengan ilmu. Salah satu yang populer
adalah: “Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan menuntut ilmu beberapa
tingkatan”[13] Ayat
ini diperkuat dengan perintah Nabi yang mewajibkan bagi setiap muslim laki-laki
dan perempuan untuk menuntut ilmu.[14]
Hal ini sangat ironis dengan kondisi masyarakat Islam yang dinilai sebagian
kalangan sebagai masyarakat yang jauh tertinggal di banding masyarakat lain
selain Islam.
M. Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tujuan pendidian adalah
mencapai akhlak yang sempurna, pendidikan budi pekerti dan akhlak adalah jiwa
pendidikan Islam.[15] Demikian pula
al-Farabi dalam filsafatnya dapat diketahui bahwa tujuan pendidikan adalah mengantarkan
peserta didik mencapai tujuan tertinggi jiwanya, yaitu kebahagiaannya di dunia
dan akhirat, melalui aktualisasi potensi jiwa dan bagaimana hidup bersama
dengan kerja sama, saling bantu, dan mengenal kebenaran dan keutamaan, juga
hidup sesuai dengan tuntunan kebenaran dan keutamaan tersebut.[16]
Syarif Khan, mendefinisikan
maksud dan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut:
1.
Memberikan
pengajaran Al-Qur'an sebagai langkah pertama pendidikan.
2.
Menanamkan
pengertian-pengertian berdasarkan pada ajaran-ajaran fundamental Islam yang
terwujud dalam Al-Qur'an dan Sunnah dan bahwa ajaran-ajaran ini bersifat abadi.
3.
Memberikan
pengertian-pengertian dalam bentuk pengetahuan dan skill dengan pemahaman yang
jelas bahwa hal-hal tersebut dapat berubah sesuai dengan perubahan-perubahan
dalam masyarakat.
4.
Menanamkan
pemahaman bahwa ilmu pengetahuan tanpa basis Iman dan Islam adalah pendidikan
yang tidak utuh dan pincang.
5.
Menciptakan
generasi muda yang memiliki kekuatan baik dalam keimanan maupun dalam ilmu
pengetahuan.
6.
Mengembangkan
manusia Islami yang berkualitas tinggi yang diakui secara universal.[17]
Penulis mengamini sekaligus sebagai kesimpulan dari beberapa
pendapat tentang tujuan pendidikan, sebagaimana First World Conference on
Muslim Education yang diadakan di Makkah pada tahun 1977, menyimpulkan bahwa: Tujuan
pendidikan (Islam) adalah menciptakan manusia yang baik dan bertakwa yang
menyembah Allah dalam arti yang sebenarnya, yang membangun struktur pribadinya
sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktifitas kesehariannya
sebagai wujud ketundukannya pada Tuhan.
PENDIDIKAN ISLAM SIFATNYA TERPADU
Telah disebutkan terdahulu bahwa Islam memandang pendidikan sebagai
sesuatu yang identik dan tidak terpisahkan dari asal muasal penciptaan manusia/
fithrah/ insaniyah manusia itu sendiri, yakni terdiri dari tiga hal: Jasad,
Ruh, dan Intelektualitas. Dengan demikian, pendidikan dalam pandangan Islam
meliputi tiga aspek yang tidak dapat dipilah-pilah: 1. Pendidikan jasad (tarbiyah
jasadiyah), 2. Pendidikan ruh (tarbiyah ruhiyah), 3. Pendidikan
intelektualitas (tarbiyah 'aqliyah).
Ketiga bentuk pendidikan tersebut tidak mungkin dan tak akan
dibenarkan pemilahannya dalam ajaran Islam. Sebab pendidikan berhubungan
langsung dengan komposisi penciptaan/kehidupan manusia. Memilah-milah
pendidikan manusia, berarti memilah-milah kehidupannya. Sehingga pada dasarnya
pendidikan Islam tidak mengenal dalam dikhotomi ilmu, dikhotomi ilmu muncul
untuk mengkaburkan nilai-nilai agama yang masuk dalam disiplin ilmu, dan juga
sebagai upaya untuk sekulerisasi.
Pada dasarnya, konsep tarbiyah Islamiyah merupakan konsep
yang sangat ideal bahkan tidak ada satu pun konsep yang mampu menandingi konsep
yang ditawarkan oleh Islam. Hal ini terpotret dari kisaran sejarah masa
keemasan Islam (al-‘ushur al-dzahabiyah), periode Abbasiyah yang telah
berhasil dengan gemilang menerapkan konsep tersebut, hingga membuat dunia
tercengang menyaksikan survive pendidikan Islam kala itu. Salah satu faktor
suksesnya pendidikan Islam pada masa lalu adalah karena mereka tidak pernah
mendikotomi ilmu pengetahuan. Semua ilmu mereka kaji dan pelajari, tanpa
melihat apakah itu ilmu umum atau agama. Bahkan konon, Jabir ibn Hayyan di
samping menjadi tokoh sufi, ia juga ahli dalam ilmu Matematika.
Kembali kepada konsep sederhana tentang pendidikan yang diutarakan
oleh Imam al-Zarnuji dalam Ta'lim al-Muta'allim, kita bisa menjumpai bagaimana
seorang al-Zarnuji telah lebih dahulu membicarakan tentang kecerdasan
intelektual walau tidak disampaikan dengan vulgar. Dalam Ta'lim kita bisa
menemukan perkataan beliau mengenai kecerdasan intelektual (IQ) yang
dibahasakan dengan singkat namun kaya akan makna yang berbunyi :[18]
وأقوى أسباب الحفظ الجدّ
والمواظبة وتقليل الغداء
Serta
mengetengahkan dimensi praktisnya :[19]
ولا بد لطالب العلم من
المذاكرة والمناظرة والمطارحة
Kemudian
al-Zarnuji tidak melupakan pentingnya faktor kecerdasan emosional (EQ) dalam
proses pengembangan kepribadian. Dalam bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berkata
:
وينبغى ان يكون صاحب العلم
مشفقا ناصحا غير حاسد[20]
Kemudian
diteruskan lagi dalam bagian yang lain :
ثم لابد لطالب العلم من
التوكـل فى طلب العلم [21]
Bahkan
yang lebih mengagumkan, al-Zarnuji pun telah menyadari bahwa dua kecerdasan
tadi akan sia-sia bila tidak dimbangi dengan kecerdasan spiritual (SQ) sehingga
al-Zarnuji dengan bijak berucap : [22]
وينبغى
ان ينوى المتعلم بطلب العلم رضاالله تعالى والدارالأخرة وإزالة الجهل عن نفسه وعن
سائرالجهل وإحياءالدين وإبقاء الإسلام
Pada akhirnya kita menemukan sebuah kenyataan dan sulit bagi kita
untuk mengingkarinya betapa Ta'lim al-Muta'allim dengan segala kesederhanaannya
telah memberikan sebuah konsep mengenai metode pendidikan yang cukup ideal. Ta'lim
al-Muta'allim juga dengan samar telah menampilkan sketsa dan gambaran tentang
keharusan adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan intelektual lebih
berkaitan dengan fungsi akal dengan kecerdasan emosional serta kecerdasan
spiritual dimana keduanya sedikit banyak terpengaruhi oleh aspek moralitas dan
etika.[23]
Hakikat inilah yang menjadi salah satu rahasia sehingga wahyu
dimulai dengan perintah "Iqra" (membaca), lalu dikaitkan
dengan "khalq" (ciptaan) dan "Asma Allah" (Bismi
Rabbik).[24]
Maksudnya, bahwa dalam menjalani kehidupan dunianya manusia dituntut untuk
mengembangkan daya inteletualitasnya dengan suatu catatan bahwa ia harus
mempergunakan sarana "khalq" (ciptaan) sebagai objek dan
"Asma Allah" (ikatan suci dengan Nama Allah/hukumnya) sebagai acuan.
Bila ketiganya terpisah, akan melahirkan, sebagaimana telah disinggung
terdahulu, suatu ketidak-harmonisan dalam kehidupan manusia itu sendiri.
REORIENTASI MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam di Indonesia tidak pernah lepas dari semangat
penyebaran Islam yang dilakukan secara intensif oleh para pendahulu dalam
kerangka perpaduan antara konteks keindonesiaan dengan keislaman. Tak heran,
jika pada awalnya pendidikan Islam tampak sangat tradisional dalam bentuk
halaqah-halaqah. Namun seiring dengan kemajuan zaman, modernisasi pendidikan
Islam mulai tampak dengan diambilnya bentuk madrasah[25]
sebagai salah satu pendidikan Islam, selain pesantren. Semuanya ini dilakukan
untuk memenuhi target atau tujuan pendidikan Islam yang berorientasi individual
dan kemasyarakatan.
Secara umum, ada dua pandangan teoretis mengenai tujuan pendidikan
Islam.[26]
Pandangan teoretis yang pertama berorientasi kemasyarakatan, yaitu pandangan
yang menganggap pendidikan sebagai sarana utama dalam menciptakan masyarakat
yang baik, baik untuk sistem pemerintahan demokratis, oligarkis, maupun
monarkis. Pendidikan bertujuan mempersiapkan manusia yang bisa berperan dan
menyesuaikan diri dalam masyarakatnya masing-masing. Berdasarkan hal ini,
tujuan dan terget pendidikan dengan sendirinya diambil dari dan diupayakan
untuk memperkuat kepercayaan, sikap ilmu pengetahuan, dan sejumlah keahlian
yang sudah diterima dan sangat berguna bagi masyarakat. Konsekuensinya, karena
kepercayaan, sikap, ilmu pengetahuan, dan keahlian yang bermanfaat dan diterima
oleh sebuah masyarakat itu senantiasa berubah, mereka berpendapat bahwa
pendidikan dalam masyarakat tersebut harus bisa mempersiapkan peserta didiknya
untuk menghadapi segala bentuk perubahan yang ada.[27]
Pandangan teoretis yang kedua lebih berorientasi kepada individu,
yang lebih memfokuskan diri pada kebutuhan, daya tampung, dan minat belajar.
Pandangan ini terdiri dari dua aliran. Aliran pertama, berpendapat bahwa tujuan
utama pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar bisa meraih
kebahagiaan yang optimal melalui pencapaian kesuksesan kehidupan bermasyarakat
dan ekonomi, jauh lebih berhasil dari yang pernah dicapai oleh orang tua
mereka. Dengan demikian, pendidikan adalah jenjang mobilitas sosial ekonomi
suatu masyarakat tertentu. Aliran kedua lebih menekankan peningkatan
intelektual, kekayaan, dan keseimbangan jiwa peserta didik.[28]
Makna
dan tujuan pendidikan di Indonesia dewasa ini harus berorientasi pada wacana
dan sekaligus realita multikultural di bangsa ini. Multikulturalisme ingin
dijadikan sebagai paradigma baru dalam merajut kembali hubungan antar manusia
yang belakangan ini selalu hidup dalam suasana penuh konflik. Multikultural
biasa didefinisikan sebagai gerakan sosial-intelektual yang mendorong
nilai-nilai keberagaman (diversity)
sebagai prinsip inti dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok budaya diperlakukan setara (equal) dan sama-sama dihormati.[29]
Inti dari multikulturalisme adalah kesediaan menerima kelompok lain sebagai
kesatuan, tanpa memperdulikan keragaman budaya yang dimilikinya. Sebagai
konsekuensi penerimaan terhadap multikulturalisme ini adalah adanya kesediaan
untuk memberikan apresiasi secara konstruktif terhadap segala bentuk tradisi
budaya.[30]
Kaitannya
dengan pendidikan, kurikulum merupakan cerminan masyarakat karena bagaimanapun
sekolah adalah bagian dari masyarakat yang mempersiapkan anak didik atau
peserta didiknya untuk kehidupan di masyarakat. Dan karena multikultural
merupakan tuntutan kehidupan masyarakat kontemporer, maka tidak dapat tidak
bahwasannya nilai-nilai multikultural dalam kurikulum menjadi sangat penting.
Kenyataan
yang dapat dilihat selama ini, pendidikan di Indonesia masih sedikit menyentuh
persoalan yang berhubungan dengan masalah menghargai kepercayaan-kepercayaan
keagamaan dan keragaman kultural yang sangat beraneka ragam. Urgensi dan
signifikansi keanekaragaman ini (multikulturalisme) di Indonesia akan memperoleh tempat
dalam kehidupan kontemporer saat ini. Hal ini muncul bersamaan dengan kesadaran
untuk memperbaiki tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Setidaknya ada
alasan-alasan mengapa multikulturalisme perlu diskomodir dalam pendidikan
agama.
PENUTUP
Permasalahan
pendidikan Islam di Indonesia semakin banyak baik secara internal dan
eksternal. Perubahan jaman dengan bendera "modernisasi" telah
mempengaruhi sendi-sendi kehidupan yang ada, termasuk dalam pendidikan. Gagasan
ulang tentang makna dan tujuan pendidikan Islam sangat urgen sekali mengingat kondisi
pendidikan saat ini di Indonesia yang kurang menggembirakan. Makna dan tujuan
pendidikan Islam merupakan bagian dari filsafat pendidikan Islam yang sangat
mendasari dalam unsur-unsur pendidikan.
Untuk
itu yang paling diperlukan guna mengimplementasikan blue-print di atas adalah
visi yang jauh ke depan dan political will semua pihak yang terkait yaitu:
individu-individu Muslim (termasuk orang tua), para pakar iptek dan agama,
institusi-institusi pendidikan, lembaga-lembaga Islam serta pemerintah. Tanpa
adanya unifikasi political will berbagai elemen di atas, umat Islam Indonesia
akan tetap terbelakang. Dan bila demikian Indonesia tidak akan pernah menjadi
negara maju, sebagaimana yang dikatakan oleh Sayidiman Suryohadiprojo, mantan
gubernur Lemhanas (Republika, 23/09/1994).
Pesan
nabi yang sangat mendalam dan sangat perlu diimplementasikan dalam organisasi
kependidikan Islam adalah dalam sabdanya :
علموا أولادكم فإنهم مخلوقون لزمن غير زمنكم [31]
Melihat
hadits di atas berarti dalam pendidikan Islam harus selalu up to date,
mengikuti perkembangan jaman, termasuk makna dan tujuan pendidikan. Makna dan
tujuan pendidikan perlu ditinjau ulang sejauhmana hal tersebut mempengaruhi
terhadap proses pengajaran (input maupun outputnya).
والله اعلم بالصواب
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed,
Manzoor, Islamic Education, New Delhi :
Qazi Publishers
al-Ibrasyi, Muhammad Athiyyah., al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah, ttp: al-Dar al-Qaumiyyah li al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964
Aliy As'ad, Bimbingan
Bagi Penuntut Ilmu Pengetahuan, Kudus: Menara Kudus, Tanpa Tahun
Al-Jufri,
Abdul Kadir., Tarjamah Ta'lim Muta'alim Tariqatta'allum, Surabaya : Mutiara Ilmu,
1995
Al-Qur'an
Karim, Departemen Agama RI
Amirah, Ibrahim Basyuni., Tadris
al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, ttp: Dar al-Ma'arif, 1978
an-Nahlawi, Abdurrahman., Ushulut
Tarbiyah Islamiyah wa Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, karya
ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Shihabuddin dengan judul Pendidikan
Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta : GIP
Arifin, Syamsul., “Muhammadiyah, Multikulturalisme, dan
Postradisionalisme”, dalam Agama dan
Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta :
Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta,
2003
Baidhawy, Zakiyuddin., “Modifikasi Multikulturalisme untuk Pendidikan
Agma, Alternatif Konseptual untuk Indonesia Kontemporer”, dalam Profetika Jurnal
Studi Islam, vol. 5, no. 1, Januari 2003, Surakarta: Program Magister Studi
Islam Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003
CD
komputer, Kutubut Tis'ah
Dahari,
Kusun., Konsep Pendidikan al-Farabi, Makalah MSI-UMS, 2006
Khan,
Sharif, Islamic Education, New Delhi : Ashish Publishing
House, 1986
Misri, Muhammad Munir., al-Tarbiyyah
al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi al-Bilad al-'Arabiyyah, Kairo:
'Alam al-kutub, 1977
Resnik, David B., The
Ethics of Science An Introduction, Routledge, London
and New York ,
1998
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan
Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung : Mizan, 2003
[1] Artinya, Dan perumpamaan orang-orang yang
membelanjakan hartanya Karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa
mereka, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran Tinggi yang disiram oleh
hujan lebat, Maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. jika hujan
lebat tidak menyiraminya, Maka hujan gerimis (pun memadai). dan Allah Maha
melihat apa yang kamu perbuat.
[2]
Artinya, Dan sesuatu riba
(tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba
itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang
kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian)
Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).
[4]
Pembahasan lebih lengkap
terdapat dalam Abdurrahman an-Nahlawi, Ushulut Tarbiyah Islamiyah wa
Asalibiha fil Baiti wal Madrasati wal Mujtama, karya ini diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia oleh Drs. Shihabuddin dengan judul Pendidikan Islam
di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, Jakarta :
GIP, hlm. 20-21
[5] üÏ%©!$# z`|¡ômr& ¨@ä. >äóÓx« ¼çms)n=yz ( r&yt/ur t,ù=yz Ç`»|¡SM}$# `ÏB &ûüÏÛ . ¢OèO @yèy_ ¼ã&s#ó¡nS `ÏB 7's#»n=ß `ÏiB &ä!$¨B &ûüÎg¨B . ¢OèO çm1§qy yxÿtRur ÏmÏù `ÏB ¾ÏmÏmr ( @yèy_ur ãNä3s9 yìôJ¡¡9$# t»|Áö/F{$#ur noyÏ«øùF{$#ur 4 WxÎ=s% $¨B crãà6ô±n@
Yang membuat segala sesuatu yang dia
ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah.
Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian dia
menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan
bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali
bersyukur.
[6]
HR. Bukhori. Dan banyak
teks-teks hadits yang semakna dengan hadits tersebut. Termasuk dalam hadits
qudsi yang artinya, "Setiap hambaKu Aku ciptakan dengan kesiapan
menjadi lurus (baik). Hanya saja, syetan-syetan menjadikan mereka tergelincir
(dalam kesesatan)"
[9]
HR. Abu Daud (3745), artinya
"Suatu saat kamu akan menjadi seperti buih di tengah samudra luas.
Terombang-ombang oleh ombak serta mengikut ke arah mana jalannya angin. Para sahabat bertanya: Apakah karena kami sedikit ketika
itu wahai Rasulullah? Tidak, namun kamu ditimpa penyakit "wahan". Para sahabat bertanya: Apakah penyakit wahan itu wahai
Rasulullah? Beliau menjawab: Hubbu ad Dunya wa karaahiyat al Maut (Cinta dunia
dan benci mati)"
[14] طَلَبُ
الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ
أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ (رواه
ابن ماجه – 220)
[15]
Al-Abrasyi, M. Athiyah., Dasar-dasar
Pokok Pendidikan Islam, Jakarta :
PT. Bulan Bintang, 1970, hlm. 1
[18]
"Sebab-sebab kuatnya hafalan (kekuatan intelektual)
adalah bersungguh-sungguh, tekun/rajin, dan menyedikitkan makan".
Al-Jufri, Abdul Kadir., Tarjamah Ta'lim Muta'alim Tariqatta'allum, Surabaya : Mutiara Ilmu,
1995, hlm. 92
[19] Ibid., hlm. 56
[22]
Teks-teks
tersebut semuanya dikutip dari Aliy As'ad, Bimbingan Bagi Penuntut Ilmu
Pengetahuan (Kudus: Menara Kudus, Tanpa Tahun).
[23]
Bagaimana
hubungan antara aspek moralitas dan etika dengan ilmu bisa dilihat dalam David
B. Resnik, The Ethics of Science An Introduction (Routledge, London and
New York, 1998). Buku ini dialih bahasakan kedalam bahasa Arab oleh 'Abd
al-Nour 'Abd al-Mun'im dengan judul Akhlaqiyat al-'Ilm Madkhal, Kuwait
Juni 2005.
[24] Lihat QS. Al 'Alaq: 1-5
[25]
Madrasah pertama kali
didirikan oleh Nizhamul Mulk Dinasti
Bani Saljuk pada abad ke-15 Hijriyah, meskipun pada abad sebelumnya ada yang
mengatakan Naisabur sebagai madrasah yang pertama di dunia Islam. Lihat
Muhammad Munir Misri, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah Ushuluha wa Tathawwuruha fi
al-Bilad al-'Arabiyyah, (Kairo: 'Alam al-kutub, 1977), hlm. 98.
[26]
Tujuan pendidikan Islam harus
disandarkan pada ukuran-ukuran yang jelas; (1) filsafat pendidikan Islam agar
mampu menghadapi problem-problem sosial, (2) bersifat realistis, terukur, dan
memadai sehingga dapat diimplementasikan dengan mudah, (3) sesuai dengan
standar umum yang berlaku, bukan berdasarkan sesuatu yang tidak lazim sehingga
sulit mengimplementasikan dalam proses pendidikan, (4) bersifat komprehensif,
mencakup semua aspek yang dibutuhkan dalam pendidikan, dan (5) melibatkan
segenap ahli yang mampu mendukung dalam proses pendidikan. Lihat Ibrahim
Basyuni Amirah, Tadris al-'Ulum wa al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: Dar
al-Ma'arif, 1978), hlm. 108-111.
[27]
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat
dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, (Bandung : Mizan, 2003), hlm. 163-165.
Bandingkan dengan pemikiran Muhammad Athiyyah al-Ibrasyi, yang menegaskan tujuan pendidikan Islam lebih
diorientasikan pada pengembangan pemikiran Islam, kebebasan berfikir, perluasan
wilayah kajian, pengembangan ilmu dari berbagai aspek, dan nuansa falsafinya. Lihat Muhammad Athiyyah
al-Ibrasyi, al-Tarbiyyah al-Islamiyyah, (ttp: al-Dar al-Qaumiyyah li
al-Tiba'ah wa alNasyr, 1964), hlm. 147.
[29] Zakiyuddin Baidhawy, “Modifikasi
Multikulturalisme untuk Pendidikan Agma, Alternatif Konseptual untuk Indonesia
Kontemporer”, dalam Profetika Jurnal Studi Islam, vol. 5,
no. 1, Januari 2003, (Surakarta: Program Magister Studi Islam Universitas
Muhammadiyah Surakarta, 2003), hlm. 3
[30] Syamsul Arifin, “Muhammadiyah,
Multikulturalisme, dan Postradisionalisme”, dalam Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, (Surakarta : Pusat Studi Budaya dan Perubahan
Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2003), hlm. 261.
[31]
"Didiklah anak-anakmu ,bahwa mereka itu dijadikan buat menghadapi masa
yang lain (berbeda) dari masa kamu ini". Hadits ini penulis nukilkan
dari buku Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam oleh M. Athiyah al-Abrasyi, hlm. 35. dan sampai
saat ini penulis belum menemukan teks aslinya dalam kitab-kitab hadits yang
masyhur (kutubut tis'ah : Bukhori, Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i,
Turmudzi, ibnu Majah, Ahmad, ad-Darimi, dan Imam Malik).
No comments:
Post a Comment