Al Quran
secara khusus tidak menyebutkan istilah manajemen, akan tetapi menyinggung
istilah manajemen dengan menggunakan kalimat yudabbiru mengandung arti
mengarahkan, melaksanakan, menjalankan, mengendalikan, mengatur, mengurus
dengan baik, mengkoordinasikan, membuat rencana yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen mengandung istilah lain adalah mengelola, mengelola
sesuatu dibutuhkan perangkat-perangkat tersediri, perangkat-perangkat untuk
mengelola sesuatu dibutuhkan ketrampilan, ketrampilan akan muncul apabila
sering diaplikasikan atau dipraktektek perangkat-perangkat tersebut. Oleh
karena itu, dalam dunia pendidikan juga mengenal suatu konsep ketrampilan
mengelola kelas.
Selengkapnya... silahkan donlot di sini
Pemikiran al-Zarnuji Terhadap Pendidikan
A. Riwayat
Hidup al-Zarnuji
Plessner
mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui
nama dan waktu hidupnya secara pasti.[1]
Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan
Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas
jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri
diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni
Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di
wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang
terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah Turkistan,[2]
tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu bukan di
Turkistan, melainkan di Turki.[3]
Dengan demikian diperkirakan bahwa ia berasal dari Turki. Mengenai masa
hidupnya juga masih belum jelas, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan saja.
Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun wafatnya adalah Fuad al-Ahwani.
Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194.[4]
Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila
ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid
dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197),
penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.[5]
Hal ini dapat diketahui dari seringnya ia menyebut namanya dan mendoakan supaya Allah menyucikan ruhnya.[6]
Menurut
al-Qurasyi, al-Zarnuji adalah seorang pendidik abad ke-13, sedangkan G. E. Von
Grunebaum dan Theodora M. Abel mengatakan bahwa ia seorang ulama yang hidup
menjelang akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13. Penunjukan tahun ini
hampir sama dengan perkiraan Marwan Qabbani. Sedangkan al-Ahwani menyebutkan
bahwa Muhammad al-Kafrawi menempatkan ia dalam generasi ke-12 dari ulama
Hanafiyyah yang diperkirakan hidup pada sekitar tahun 620/1223.[7]
Terlepas dari kontroversi penunjukan tahun-tahun tersebut, yang jelas hampir
dapat dipastikan bahwa ia hidup di ujung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad.
Al-Zarnuji adalah orang
yang diyakini sebagai satu-satunya pengarang kitab Ta’līm al-Muta’allim,[8] akan
tetapi ketenaran nama beliau tidak sehebat kitab yang dikarangnya. Dalam satu
literatur disebutkan bahwa al-Zarnuji adalah seorang filosof arab yang namanya
disamarkan,[9] yang tidak dikenal
identitas namanya secara pasti.
Seorang penulis muslim
membuat spekulasi bahwa al-Zarnuji aslinya berasal dari daerah Afganistan,
kemungkinan ini diketahui dengan adanya nama Burhān al-dīn, yang memang
disetujui oleh penulis bahwa hal itu biasanya digunakan dinegara ini. Terkait
dengan hal tersebut, beberapa peneliti berpendapat bahwa dilihat dari nisbahnya
nama al-Zarnuji diambil berdasar pada daerah dari mana ia berasal yaitu daerah
Zarand.[10]
Zarand adalah salah satu daerah diwilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota
Sijistan yang terletak disebelah selatan Herat.
Sedikit sekali dan dapat
dihitung dengan jari bahwa ada sebuah buku atau kitab yang menulis tentang
biografi/riwayat hidup penulis kitab Ta’līm al-Muta’allim tersebut. Dan
beberapa kajian terhadap kitab Ta’līm al-Muta’allim, tidak dapat
menunjukkan secara pasti mengenai waktu kehidupan dan karir yang dicapainya.
Sehingga pengetahuan kita tentang al-Zarnuji sementara ini berdasar pada studi
M. Plessner yang dimuat dalam Encyclopedia of Islam.[11]
Dalam buku Islam Berbagai
Perspektif: Didedikasikan untuk 70 tahun Prof. H. Munawir Sadjali, M.A.,
Affandi Muchtar mendapat informasi lain tentang al-Zarnuji berdasar pada data
dari Ibn Khalilkan, adalah al-Zarnuji merupakan salah seorang guru Rukn al-Dīn Imām
Zada (Wafat sekitar tahun 573 H) dalam bidang fiqih. Imām Zada juga berguru
pada Syekh Ridha al-Dīn al-Nishapuri (wafat sekitar antara tahun 550 dan 600 H)
dalam bidang Mujahadah. Kepopuleran Imām Zada diakui karena prestasinya dalam
bidang Ushūluddin bersama dengan kepopuleran ulama lain yang juga mendapat
gelar rukn (sendi). Mereka antara lain Rukn al-Dīn al- ‘Amidi (wafat :
615 H) dan Rukn al-Dīn al-Tawusi (wafat: 600 H). Dari data ini dapat dikatakan
bahwa al-Zarnuji hidup sezaman dengan Syekh Ridha al-Dīn al-Nisaphuri. [12]
Kelahiran atau masa hidup
al-Zarnuji hanya dapat diperkirakan lahir pada sekitar tahun 570 H,[13]
sedangkan tentang kewafatan al-Zarnuji terdapat perbedaan, ada yang menyatakan
al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H (1195 M)[14] dan
menurut keterangan Plessner, bahwasannya ia telah menyusun kitab tersebut
setelah tahun 593 H (1197),[15]
perkiraan tersebut berdasar adanya fakta bahwa al-Zarnuji banyak mengutip
pendapat dari guru beliau yang yang ditulis dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim,
dan sebagian guru beliau yang ditulis dalam kitab tersebut meninggal dunia pada
akhir abad ke-6 H, dan beliau menimba ilmu dari gurunya saat masih muda. Al-Zarnuji
merupakan ulama yang hidup satu periode dengan Nu’man bin Ibrahim al-Zarnuji
yang meninggal pada tahun yang sama, diapun meninggal tidak jauh dari tahun
tersebut karena keduanya hidup dalam satu periode dan generasi.[16]
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620 H,
atau dalam kata lain al-Zarnuji hidup pada seperempat akhir abad ke-6 sampai
pada dua pertiga pertama dari abad ke-7 H (abad XII – awal abad XIII Masehi).[17]
B. Latar
Belakang Sosial Politik
Dalam waktu yang
diperkirakan sebagai masa hidup al-Zarnuji, yakni diakhir abad ke-6 H dan
memasuki abad ke-7 H atau abad 12-13 M, merupakan jaman kemunduran dan
kemerosotan Daulah Abbasiyah sekitar tahun 292-656 H.[18] Pada
masa ini dunia Islam telah mengalami kontak senjata dengan dengan orang-orang
Kristen dalam perang Salib sejak tahun 1097 M sampai dengan tahun 1291 M[19]. Pada
periode yang sama Daulah Abbasiyah menuntut pembagian Bojena, sedang memasuki
periode ke-4 (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Bani Saljuk dalam
pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang disebut masa pengaruh Turki kedua, dan
periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada masa ini kekuasaan khalifah
telah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaan khalifah hanya efektif
disekitar kota Baghdad.[20]
Menurut Luthfi Jum’ah
dalam bukunya Tarīkh Falsafatil Islām Fil Masyrīq Wal Maghrīb yang
dikutip oleh Busyairi Madjidi, menyatakan bahwa pemimipin–pemimipin militer
yang berkebangsan Turki jaman ini memegang kekuasaan dalam pemerintahan,
sedangkan kekuasaan khalifah semakin lemah. Karena itu banyak amir-amir
melepaskan diri dari pemerintahan pusat (Baghdad) dan mendirikan daulat-daulat
(kesultanan) yang berdiri sendiri – sendiri.[21]
Philip K. Hitti mengatakan
bahwa, dunia Islam waktu itu sedang mengalami disintegrasi politik. Baghdad
sebagai pusat pemerintahan Islam tidak dapat mengendalikan kekuasaannya di daerah-daerah.
Hal ini diikuti oleh sikap penguasa daerah yang melepaskan diri dari pemerintahan
pusat. Akan tetapi bahkan ada yang kemudian menguasai pemerintahan pusat
(Baghdad), diantaranya dinasti Buwaihiyyah (320 - 447 H / 932 – 1055 M),
dinasti Saljuk (Saljuk Besar) didirikan oleh Rukn al-Dīn Abū Thalib Thughrul
Bek Ibn Mīka’il Ibn Seljuk Ibn Tuqaq yang menguasai Baghdad dan memerintah
selama 93 tahun (429-522 H / 1037-1127 M),[22] dua dinasti
ini yang memerintah pada masa al-Zarnuji serta Dinasti Ayubiyah (564-648 H /
1167-1250 M).
Di jaman kaum Saljuk, kota
Baghdad mendapatkan kembali sebagian dari daerah kedudukannya yang semula
sebagai ibukota kerohanian tempat persemayaman khalifah Abbasiyah yang
menikmati pengaruh keagamaan, dan menikmati kembali kehebatan serta keagungan
yang pernah dinikmati sebelumnya. Hal ini mungkin dikarenakan kesendirian di Baghdad
serta mendapat kehormatan dan sanjungan dari sultan-sultan kaum Saljuk, dan
pengaruh politik terus berada di ibukota kaum Saljuk di Nisabur kemudian di
Raiyi.[23]
Dalam zaman inilah para
ulama dengan dukungan penguasa mulai dengan keras mengecam filsafat dan para filosof
bahkan dengan ilmu hikmah (ilmu pengetahuan umum) pada umumnya. Akan tetapi
pandangan mereka terhadap filsafat dan mantiq berbalik arah, semula ilmu hikmah
diabadikan kepada agama tetapi pada akhirnya hampir saja agama itu dibunuhnya.
Ibnu Khaldun sendiri mengatakan bahwa filsafat itu besar mudharatnya terhadap
agama.[24]
Ahmad Syalabi menjelaskan,
bahwa zaman kaum Saljuk banyak terjadi kebangkitan pikiran yang pesat, yang
dasarnya telah dirintis oleh Nizamul Mulk Wazir kepada Alb Arislan dan Malik
Syah. Wazir yang berilmu pengetahuan ini telah mendirikan sekolah-sekolah yang
menggunakan namanya, yaitu Nizamiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdapat di tempat-tempat
seperti di Baghdad, Balkan, Nisabur, Haraf, Afghan, Basrah, Marwqa, Amal dan Mausil.
Menurut al-Subki, Izamul Mulk mempunyai sekolah di setiap kota di Iraq dan
Khurasan.[25]
Fazlur Rahman dalam
bukunya Islam dan Modernitas, menggambarkan kegiatan intelektual yang dilakukan
pada umumnya waktu itu adalah suatu perkembangan besar yang efeknya sangat
merugikan kualitas ilmu pengetahuan pada abad-abad pertengahan Islam adalah
pengantian naskah-naskah mengenai teologi, filsafat, yurisprudensi dan
sebagainya, sebagai materi-materi pengajaran tertinggi, dengan
komentar-komentar dan superkomentar- superkomentar. Proses pengkajian
komentar-komentar menghasilkan keasyikan dengan detil-detil yang pelik dengan mengesampingkan
masalah-msalah pokok dalam obyek yang dikaji. Peselisihan pendapat menjadi
prosedur yang paling digemari. Untuk memenangkan suatu poin, dan hampir-hampir
menggantikan upaya intelektual yang asli untuk membangkitkan dan menangkap
masalah-masalah yang riil dalam obyek yang dikaji.[26]
C. Latar
Belakang Pendidikan Dan Intelektual
Al-Zarnuji tidak
memberikan informasi tentang kehidupannya baik yang menyangkut biografi
keluarga maupun pendidikannya, sehingga untuk mengetahui latar belakang
pendidikan dan intelektualitasnya adalah dengan mengetahui nama-nama guru yang
didatanginya dan isi dari kitab Ta’līmul al-Muta’alim termasuk
nukilan-nukilan pendapatnya, bahwa akan diketahui kecenderungan pola pikir
al-Zarnuji yang tertuang dalam buku tersebut. Adapun guru-gurunya yang terkenal
sebagaimana dicantumkan dalam kitab Ta’līmul al-Muta’alim diantaranya adalah
Abu Hanifah, al-Marghinani, Muhammad bin Hasan, Abu Yusuf, Hammad bin Ibrahim, al-Syairazy,
Hilal bin Yasar, Qowwamuddin, al-Hamdani, al-Hulwani, al-Shadru al-Syahid. [27]
Sedangkan menurut para
peneliti mengemukakan, bahwa al-Zarnuji menuntut ilmu di Buhkhara dan Samarkan,
yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya.
Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan
ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhānuddīn Al-Marghinani, Syamsuddīn Abd. al-Wadjdi,
Muhammad bin Muhammad al-Abd al-Sattar al-Amidi dan lain-lainnya.[28] Dengan
demikian berdasar keterangan tersebut dapat diidentifikasi bahwa pemikiran dan
intelektualitas al-Zarnuji sangat banyak dipengaruhi oleh faham fiqih yang
berkembang saat itu, sebagaimana faham yang dikembangkan oleh para gurunya,
yakni fiqih aliran Hanafiyah.
Muid Khan, dalam studinya
tentang kitab Ta’līmul al-Muta’alim yang dipublikasikan dalam bahasa
Inggris, mengenai karakter pemikiran al-Zarnuji, yang dikutip oleh Affandi
Muchtar bahwa dalam kajian tersebut, Muid Khan memasukkan pemikiran al-Zarnuji
kedalam garis pemikiran Madzhab Hanafiyah, yang dikuatkan dengan bukti
banyaknya ulama Hanafiyah yang dikutip oleh al-Zarnuji, termasuk Imam Abu
Hanifah sendiri. Dari sekitar 50 ulama yang disebut al-Zarnuji, hanya ada dua
saja yang bermadzhab Syafi'iyah, yakni Imam Syafi'i sendiri dan Imam Yusuf
al-Hamdani (w. 1140 M). Menurut Muid Khan ide-ide madzhab yang dianutnya
mempengaruhi pemikirannya tentang penddikan.[29]
Sehingga Mahmud bin Sulaiman al-Kaffawi yang wafat tahun 990 H / 1562 M, dalam
kitabnya al-A’lāmul Akhyār min Fuqaha Madzhab al-Nu’man al-Mukhtār,
menempatkan al-Zarnuji dalam peringkat ke-12 dari daftar madzhab Hanafi.[30] Disamping
ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, sangat dimungkinkan, bahwa al-Zarnuji
juga menguasai bidang sastra, fiqih, Ilmu kalam, dan lain-lain.[31]
Dalam sejarah terdapat
lima tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama
pendidikan pada masa Nabi Muhammad Saw (571-632 M); kedua pendidikan pada masa
Khulafāur Rasyidīn (632 – 661 M); ketiga pendidikan pada masa Bani Umayyah di
Damsyik (661- 750 M); keempat pendidikan pada masa kekuasaan Abbasiyah di
Baghdad (750 – 1250 M); dan kelima pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan
khalifah di Baghdad (1250 – sekarang ).[32]
Untuk memahami al-Zarnuji
sebagai seorang pemikir, maka harus difahami ciri zaman yang menghasilkannya,
yaitu jaman Abbasiyah yang menghasilkan pemikir-pemikir Ensiklopedik yang sukar
ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian. Sebagaimana dijelaskan di
atas, al-Zarnuji hidup pada awal pemerintahan Abbasiyah di Baghdad yang
berkuasa selama lima abad berturut-turut (750-1258 M). Sebagai seorang filosof
muslim al-Zarnuji lebih condong kepada al-Ghazali, sehingga banyak jejak al-Ghazali
dalam bukunya dengan konsep epistemologi yang tidak lebih dari buku pertama
dalam Ihyā Ulūm al-Dīn. Akan tetapi al-Zarnuji memiliki sistem
tersendiri, yang mana pada setiap bab dengan bab yang lain, atau setiap kalimat
dengan kalimat yang lain, bahkan setiap kata dengan kata yang lain dalam buku
tersebut merupakan sebuah kerikil dan konfigurasi mosaik kepribadian Al-Zarnuji
sendiri. [33]
Dengan demikian al-Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pendidikan
dan perkembangan pendidikan Islam, yakni antara tahun 750 – 1250 M. Sehingga
beliau sangat beruntung mewarisi banyak peninggalan yang ditinggalkan oleh para
pendahulunya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dan al-Zarnuji bukanlah
seorang fuqaha atau muhaddits ataupun mutakallim tetapi
beliau seorang murabbi biasa pada sebuah pendidikan, hal ini dilihat
dari karyanya hanya satu (Ta’līm al-Muta’allim) dan tidak ada pula perkataan-perkataan
beliau yang bernilai hukum, ataupun tidak ada nukilan-nukilan daripadanya untuk
dipakai rujukan saat ini baik dari hukum, hadits ataupun ilmu kalam. Berbeda
dengan Imam Ghazali yang lebih terkenal dengan ilmu tasawufnya dibandingkan
dengan ilmu pendidikannya.
Abuddin Nata, dalam
bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, menggambarkan bahwa, dalam masa
tersebut kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya
berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat perguruan tinggi. Diantara
lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam
al-Mulk (457 H/106 M), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nūruddīn
Mahmūd Zanki pada tahun 563 H/ 1167 M. dengan cabangnya yang amat banyak di
kota Damaskus; Madrasah al-Muntansiriyah yang didirikan oleh Khalifah Abbasyiyah,
al-Muntansyir Billāh di Baghdad pada tahun 631 H/ 1234 M. Madrasah al-Muntansiriyah
dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti gedung berlantai II, aula,
perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang
luas, masjid, balai pengobatan dan lain sebagainya. Keistimewaan lainnya Madrasah
al-Muntansiriyah adalah karena mengajarkan ilmu fiqih dalam empat madzhab
(Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal).[34]
D. Gambaran
Umum Kitab Ta’lim al-Muta’alim dan Pemikiran Pendidikan al-Zarnuji
Dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan
sama dengan Ta’līm al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu, misalnya, al-Targhib fi
al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (wafat 264 H), Bidayat
al-Hidayah dan Minhāj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali
(wafat 505 H). Namun, Ta’līm al-Muta’allim jauh
lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding
kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode
penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’līm al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’līm al-Muta’allim yang disusun
pada akhir abad ke-7 H dengan al-Targhib fi al-Ilmi
yang dikarang pada pertengahan abad ke-3 H.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: (1) motivasi penghargaan yang
besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; (2) konsep
filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; (3) konsep
transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; (4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau
moral-psikologis.
Poin-poin ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara
tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi
juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis. Ta’līm al-Muta’allim
tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati
guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan.
Tetapi, Ta’līm al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal
antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna
tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian
seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Menurut Plessner, kitab Ta’līm
al-Muta’allim merupakan bagian dari karya al-Zarnuji, yang masih ada sampai
sekarang. [35] Sedangkan menurut Imam Ghazali
Said, karya al-Zarnuji hanyalah kitab Ta’līm al-Muta’allim,[36] sebagai
kontribusi tunggal beliau dalam bidang ilmiah yaitu bidang pendidikan, selain
itu tidak ada. Kitab yang terdiri dari 13 Bab tersebut, menurut Khalifah telah diberi
catatan komentar (sarah) oleh Ibn Isma’il, yang kemungkinan juga dengan
al-Nau’i. Yang diterbitkan pada tahun 996 H, kitab ini juga diterjemahkan
kedalam bahasa Turki oleh Abd. Al-Majid bin Nusuh bin Isra’il dengan judul Irsyad
al-Ta’līm fi Ta’līm al-Muta’allim. [37]
Kitab Ta’līm
al-Muta’allim telah diakui kepopulerannya oleh Khalil A. Totah dan Mehdi
Nakosteen, ketika masing-masing melakukan survey atas sumber literatur
kependidikan Islam klasik dan abad pertengahan.[38] Hal
ini berdasar pada identifikasi sejumlah karya kependidikan, bahwa kitab Ta’līm
al-Muta’allim-lah yang paling terkenal. Kepopuleran itu ditunjukkan dengan
adanya penerjemahan dari bahasa Arab kedalam bahasa Latin dengan judul Enchiridion
Studiosi yang dilakukan dua kali oleh H. Reland pada tahun 1709 dan Caspari
pada tahun 1838. dan juga penerjemahan kedalam bahasa Latin dilakkan pada saat
masih berlangsung perang Salib.[39]
Kitab Ta’līm
al-Muta’allim dikarang oleh al-Zarnuji karena dilatar belakangi oleh rasa
keprihatinan beliau terhadap para pelajar pada masanya, yang bersungguh-sungguh
dalam belajar akan tetapi mengalami kegagalan, atau kadang-kadang mereka sukses
tetapi sama sekali tidak dapat memetik buah kemanfaatan dari hasil ilmu yang
dipelajarinya dengan mengamalkan atau menyebarluaskan pada orang lain. Motivasi
al-Zarnuji tersebut terungkap dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim yang
tertera dalam Muqoddimah, sebagai berikut :
فلما
رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زمننا يجدون إلى العلم ولا يصلون. ومن منافعه وثمراته
وهى العمل به والنشريحرمون. لــما أنهم أخطؤوا طرائقه وتركوا شرائطه. وكل من أخطأ
الطريق ضل ولاينال المـقصود قل أو جل
"Setelah
saya mengamati banyaknya penuntut ilmu dimasa saya, mereka bersungguh-sungguh
dalam belajar menekuni ilmu tetapi mereka mengalami kegagalan atau tidak dapat
memetik buah manfaat ilmunya yaitu mengamalkannya dan mereka terhalang tidak
mampu menyebarluaskan ilmunya. Sebab mereka salah jalan dan meninggalkan
syarat-syaratnya. Setiap orang yang salah jalan pasti tersesat dan tidak dapat
memperoleh apa yang dimaksudkan baik sedikit maupun banyak".[40]
Secara tidak langsung,
tujuan dari al-Zarnuji mengarang kitab ini adalah untuk memberi bimbingan
kepada para murid (orang yang menuntut ilmu) untuk mencapai ilmu yang
bermanfaat dengan cara dan etika yang dapat diamalkan secara kontinyu.
Kitab Ta’līm
al-Muta’allim ini dapat diketahui tentang pemikiran pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh al-Zarnuji. Meskipun kitab ini ditulis sejak abad XIII H,
tetapi sudah tampak sistematis dari segi pembahasannya sebagaiman karya-karya
ilmiah pada masa sekarang ini. Misalnya sebelum al-Zarnuji menulis pembahasan
pasal demi pasal atau dari bab ke bab, terlebih dahulu beliau mengemukakan
pendahuluan yang berisikan pembatasan masalah, latar belakang, sistematika
pembahasan, yang kemudian dimulai pembahasan pasal demi pasal secara sistematis
dan diakhiri dengan penutup dan do’a.[41]
Secara umum kitab Ta’līm
al-Muta’allim[42] terdiri
dari muqoddimah dan 13 Pasal atau bab antara lain :
Bab I. Keutamaan Ilmu dan
Fiqh. Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang
memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu.[43]
Bab II. Niat Ketika Akan
Belajar. Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab
dengan niat itu dapat menghantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang
sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridlaan Allah akan mendapatkan pahala.
Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan dengan niat dengan ilmu akan mendapatkan
harta banyak.
Bab III. Memilih Ilmu Guru
dan Teman. Dalam bab ini diterangkan bahwa memilih ilmu yang utama adalah ilmu
agama, yang didahulukan adalah ilmu tauhid. Dalam memilih guru harus alim, wira'i
dan lebih tua.
Bab IV, Memuliakan Ilmu
Beserta Ahlinya. Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama
dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat memahami
tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak
terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya wajib dimuliakan.
Bab V, Kesungguhan,
Ketetapan, dan Cita-cita Yang Tinggi. Bab ini menerangkan bahwa orang yang
mencari ilmu itu harus bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu
tidak boleh banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan
dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh ilmu
yang berkah harus menjauhi maksiat.
Bab VI, Permulaan, Ukuran
dan Tertib Dalam Belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam
mencari ilmu yang lebih afdlal adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar
sesuai dengan kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya
harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan.
Bab VII, Tawakal. Dalam
bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama
dalam mencari ilmu (dalam pendidikan). Selama dalam mencari ilmu jangan sering
menyusahkan mengenai rejeki, hatinya jangan sampai direpotkan memikirkan
masalah rejeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat.
Bab VIII, Waktu
Menghasilkan Ilmu. Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu
tidak terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat
(kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang
subuh), dan antara maghrib dan isya'.
Bab IX, Belas Kasih Dan
Nasihat. Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah mempunyai
sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai
maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan
tidak ada manfaatnya. Bila kita diolok-olok janganlah dibalas dengan kekerasan.
Bab X, Mencari Faedah. Dalam
bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar
dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas)
untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu.
Bab XI, Wira’i
(Menjaga diri dari perkara haram). Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian
dari wara’ adalah menjaga diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu
banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat
mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar, dan bahkan menjadi pegawai
pemerintah.
Bab XII, Sesuatu Yang
Dapat Menjadikan Hafal Dan Lupa. Dalam bab ini diterangkan bahwa yang
menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap,
mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah
lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, prihatin memikirkan perkara dunia,
banyak pekerjaan dan ada sesuatu yang melekat dalam hati.
Bab XIII, Sesuatu Yang
Memudahkan Dan Menyempitkan Rejeki, Memperpanjang Dan Mengurangi Umur. Dalam
bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah, "Tidak ada yang mampu
menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali
berbuat kebaikan. Orang yang rejekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan
dosa". Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang,
kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, makan sambil tidur miring,
meremehkan sisa makanan, membakar kulit bawang merah atau bawang putih, menyapu
rumah dengan menggunakan gombal, menyapu rumah pada waktu malam, menyapu
sampahnya tidak dibuang langsung, berjalan atau lewat didepan orang tua,
memanggil ayah ibunya dengan sebutan namanya, menusuk-nusuk gigi dengan memakai
kayu asal ketemu saja, membasuh tangan dengan tanah atau debu, duduk di atas
tangga pintu, bersandar pada tepi pintu, berwudlu di tempat istirahat, menjahit
pakaian pada waktu sedang dipakai. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur
adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua,
atau membaca do'a.[44]
Bentuk pemikiran pendidikan
al-Zarnuji dalam buku Ta’līm al-Muta’allim dapat dipetakan menurut
komponen pendidikan, adalah berdasarkan tujuan pendidikan, guru sebagai
pendidik, murid sebagai terdidik, serta media dan metode pendidikan. Dan untuk
mengetahui pemikiran pendidikan al-Zarnuji, maka kitab Ta’līm al-Muta’allim
adalah satu-satunya kitab yang dapat dijadikan pijakan, sebab berdasar litertur
yang dapatkan, para peneliti masih sepakat bahwa kitab tersebut merupakan
satu-satunya kitab sebagai karya al-Zarnuji yang masih ada sampai sekarang.
1. Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan,
dalam hal ini menurut al-Zarnuji disebutkan dengan niat, merupakan sesuatu yang
sangat urgen dalam pendidikan Islam. Tujuan pendidikan tersebut, pertama, harus
ditujukan untuk mencari rida Allah Swt. Kedua, ditujukan pula untuk memperoleh
kebahagiaan di akhirat yang merupakan tempat kebahagiaan abadi. Ketiga, untuk
menghidupkan agama, sebab agama tanpa ilmu tidak akan dapat hidup. Keempat,
ditujukan pula untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri seseorang.
Sebab, manusia telah diberikan Allah potensi akal yang mempunyai kemampuan
untuk berpikir dan sekaligus membedakannya dengan makhluk-makhluk lain.
Pada tujuan yang
keempat, al-Zarnuji secara aplikatif memberikan konsep sederhana tetapi penuh
makna, bahwa seorang murid dididik harus mencapai tingkat kecerdasan intelektual
(Intelectual Quotient/IQ) terlebih dahulu walaupun tidak disampaikan
dengan vulgar.[45]
وأقوى أسباب الحفظ الجد والمواظبة وتقليــل الغداء وصلاة الليل وقراءة القران
Sedangkan dimensi praktis
pelaksanaannya adalah :[46]
ولابد لطالب العلم من المذاكــرة والمناظرة والمطارحة
Al-Zarnuji tidak melupakan pentingnya
faktor kecerdasan emosional (Emosional Quotient/EQ) dalam proses
pengembangan kepribadian. Dalam bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berkata:[47]
وينبغى أن يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
Bahkan yang lebih mengagumkan,
al-Zarnuji pun telah menyadari bahwa dua kecerdasan tadi akan sia-sia bila
tidak dimbangi dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ)
sehingga al-Zarnuji dengan bijak berkata:[48]
وينبغى أن ينوى المتعلم بطلب العلم رضاالله تعالى والدرالأخرة وإزالة الجهل
عن نفسه وعن سائرالجهال وإحياء الدين وإبقاء الإسلام فإن بقاء الإسلام بالعلم
Pada akhirnya kita
menemukan sebuah kenyataan dan sulit bagi kita untuk mengingkarinya betapa Ta’līm
al-Muta’allim dengan
segala kesederhanaannya telah memberikan sebuah konsep mengenai metode
pendidikan yang cukup ideal. Juga dengan samar telah menampilkan sketsa dan
gambaran tentang keharusan adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan
intelektual lebih berkaitan dengan fungsi akal dengan kecerdasan emosional
serta kecerdasan spiritual dimana keduanya sedikit banyak terpengaruhi oleh
aspek moralitas dan etika.
2. Peranan
Guru Dalam Pendidikan
Pendidik ideal
dalam pandangan al-Zarnuji adalah seseorang yang selain mempunyai spesialisi
ilmu tertentu, mempunyai sikap hati-hati dalam perbuatan, juga harus lebih tua
usianya dari anak didik.[49]
Kesemuanya itu dimaksudkan supaya pendidik betul-betul mampu mengemban tugas
sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, seseorang
harus betul-betul memperhatikan seluruh aspek kehidupan anak didik yang
meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bahkan lebih dari itu, ia
juga harus memperhatikan kebutuhan hidup anak didik. Pengajar tentu saja hanya
memperhatikan aspek kognitifnya saja, sedangkan persyaratan seorang guru
menurut al-Zarnuji adalah seorang yang alim, mempunyai sifat wara/wira[50],
dan lebih tua/senior, dikatakan bahwa:[51]
وأمااختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الأعلم والأورع والأسن
Guru dituntut
mempunyai moral dan integritas yang baik (akhlak mulia), disamping mempunyai
sifat penyayang dan sabar. Dengan bekal tersebut seorang murid akan senang dan betah
untuk tetap belajar.[52]
Eksistensi
pendidik atau guru ini, al-Zarnuji mewajibkan menghormatinya, bahkan melarang
membantah dan menyanggahnya sedikitpun.
رأيت أحق الحق حق المعلم وأوجبه
حفظا على كل مسلم
لقد حق أن يهدى إليه كرامة لتعليم
حرف واحد ألف درهم
"Tidak
ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap
orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar walaupun hanya satu
huruf, diberi hadiah seribu dirham."[53]
Sedangkan hak-hak guru yang terperinci
tercermin dalam pernyataannya bahwa termasuk menghormati guru, adalah:
ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه ولايجلس مكانه ولايبتدئ الكلام عنده إلا
بإذنه
"Termasuk
menghormati guru ialah hendaklah seorang murid tidak berjalan didepannya, tidak
duduk ditempatnya. Jika berhadapannya tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya."[54]
ولا يكثر الكلام عنده ولا يسأل شيئا عند ملا لته ويراعى الوقت ولا يدق الباب
بل يصبر حتى يخرج
"Hendaklah
tidak banyak bicara di hadapan guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang
capek/bosan. Harus menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya, tetapi sebaliknya
menunggu sampai beliau keluar."[55]
أنه يطلب رضاه ويجتنب سخطه ويمتثل أمره فى غير معصية الله
"Seorang
murid harus mencari kerelaan hati guru, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan
ia murka, mematuhi perintahnya asal tidak bertentangan dengan agama."[56]
3. Status Murid Dalam Pendidikan
Anak didik, untuk
dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak sebelum menjalankan tugas
belajar, seharusnya mempunyai watak-watak yang baik antara lain, tawadu, iffah,
tabah, sabar, mencintai ilmu dan menghormati gurunya, bersungguh-sungguh, wara',
mempunyai cita-cita yang tinggi serta tawakal.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta’līm al-Muta’allim karya al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan
akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan
kegiatan belajar-mengajar, yakni:
a. Anjuran untuk
selalu belajar al-Zarnuji mengutip syair Muhammad bin
al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk
selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu
adalah penghias bagi pemiliknya. Syairnya adalah
sebagai berikut:
تعلم
فإن العلم زين لأهــله وفضل
وعنوان لكل المــــحامد
وكن
مستفيدا كل يوم زيـادة من العلم
واسبح فى
بحور الفــوآئد
تفقه
فإن الفقه أفضل قــائد إلى
البــر والتقوى وأعدل قــائد
هو
العلم الهادى إلى سنن الهدى هو الحصن
ينجى من جميع الشدآئـد
فإن فــقيها
واحدا متـورعا أشد على الشيـطان
مـن ألف عابد
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.
Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna. Belajarlah ilmu
agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat
membimbing menuju kebaikan dan takwa, Ilmu yang lurus
untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang
lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan. Oleh karena itu,
orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh."[57]
Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu
dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu,
tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu
agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan,
takwa, dan jalan yang lurus.
b.
Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela.
Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari
berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti
watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati,
congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
وكذلك
فى سائر الأخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والإسراف والتقتير
وغيرها
"Setiap orang Islam wajib
mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji
dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, rendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan),
bakhil dan lain-lain." [58]
c. Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Al-Zarnuji
mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya
mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga
menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu aqliyah, karena
ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
وعلم
النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرآم لأنه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره
غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram,
karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan.
Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena
ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan".[59]
Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran
serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.
d. Mengenai niat dalam menuntut ilmu. Al-Zarnuji menempatkan niat dalam
kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia
menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar. Ia mengatakan:
ثم لابد
له من النية فى زمان تعلم العلم. إذا النية هي الأصل فى جميع الأحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar.
Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah".[60]
Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar
terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu: pertama, niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla
Allah;
kedua, niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal
dan kesehatan badan; ketiga, boleh
menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat,
dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahi munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan
agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri,
juga bukan karena keinginan hawa nafsu.
e. Sifat tawadlu. Para pencari ilmu dianjurkan oleh al-Zarnuji untuk
tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip
syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan
dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
إن
التواضـع من خصـال المتـقى – وبه التــقى إلى المعالى
يرتقى
ومن
االعجآئب عجب من هو جاهل – فى
حاله أهو السعيدأم الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa.
Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan
semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan
orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka".[61]
f. Cara memilih guru. Dalam kitab ini, al-Zarnuji
juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru.
Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
وأما
اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الأعلم والأورع والأسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang
bersifat wara, dan yang lebih tua".[62]
g. Cara memilih jenis ilmu.
al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar
menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal,
keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam
mencari ilmu. Namun demikian, al-Zarnuji menempatkan
ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih
oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui
sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik.
Karena menurut al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid
tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal".[63] Selain
ilmu tauhid, al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari
ilmunya para ulama Salaf.
h. Nasihat kepada para pelajar.
al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu
antara lain anjuran untuk bermusyawarah. Karena mencari ilmu merupakan sesuatu
yang luhur namun perkara yang sulit, al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar
melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau
orang lain.
Ia mengatakan:
Ia mengatakan:
وطلب
العلم من
أعلى الأمور وأصعبها فكان المشاورة فيه أهم وأوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang
sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih
tahu dan itu merupakan suatu keharusan".[64]
(h.1) Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun. Al-Zarnuji menganjurkan agar
para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun
dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم
أن الصبر والثبات أصل كبير فى جميع الأمور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah
pokok dari segala urusan".[65]
Dalam kaitan ini, al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
ألالاتـنال
العـلم إلا بسـتة سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء
وحرص واصطبار وبلغة وإرشاد أستاذ وطول الزمان
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan
enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya
dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar,
memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama".[66]
(h.2) Anjuran untuk bersikap berani. Selain sabar dan tekun, al-Zarnuji
juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki
keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة
صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan
penderitaan".[67]
(h.3) Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu. al-Zarnuji banyak sekali
menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu.
Ia mengatakan:
وينبغى
أن يصبر
عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa
nafsunya".[68]
(h.4) Anjuran berteman dengan orang baik. al-Zarnuji
memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang
baik adalah:
المجد
والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد
والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah,
dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak
berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka
merusak dan suka memfitnah".[69]
(h.5) Anjuran menghormati ilmu dan guru. Menghormati ilmu dan guru adalah
salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap
pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu. Ia
berkata:
إعلم
بأن طالب العلم لاينآل العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله
وتعظيم الأستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh
ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan
cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati
para guru".[70]
Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, al-Zarnuji bahkan memberikan
nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di
depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di
hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya.[71] Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan
dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan
senantiasa mencari kerelaan hati sang guru.[72] Anjuran
al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat
banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan
kreativitas siswa dalam berdiskusi. Cara
lain menghormati guru menurut al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan
memiliki berkah.[73]
(h.6) Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Dalam pasal tentang
kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), al-Zarnuji mengatakan:
ثم
لابد من الجد والمواظبة والملازمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع
الباب ولج ولج
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus
tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari
sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau
mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk".[74]
(h.7) Anjuran untuk mencermati
perkataan guru. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, al-Zarnuji
mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam
mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia
mengatakan:
وينبغى
أن يجتهد فى الفهم من الأستاذ
"Seyogyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa
yang diterangkan oleh gurunya".[75]
(h.8) Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup
bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian
pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan
berdo'a. Ia berkata:
وينبغى
أن يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami
pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah".[76]
(h.9) Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar besama adalah
sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam
memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:
ولابد
لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة والمطارحة. وينبغى أن يكون بالإنصاف والتأنى
والتأمل ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk
saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog).
Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak
gaduh dan tidak emosional".[77]
(h.10) Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Imam Al-Zarnuji memberi
nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada
Allah. Ia berkata:
ينبغى
لطالب العلم أن يستغل بالشكر بالسان والجنان والأركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik
dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun
dengan harta".[78]
(h.11) Anjuran untuk tidak mudah putus asa. Mencari ilmu tidak mudah.
Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh
dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji
menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah
semangat.
وينبغى
أن لا يكون لطالب العلم فترة وتحير فإنها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami
kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk".[79]
(h.12) Anjuran untuk senantiasa tawakkal. Di samping tidak boleh patah
semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah
berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب
العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لأمر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu
dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu
sibuk memikirkan masalah rezeki".[80]
(h.13) Anjuran untuk saling mengasihi. Para pencari ilmu disarankan oleh al-Zarnuji
untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى
أن يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling
menasihati tanpa iri-dengki/hasad".[81]
(h.14) Anjuran untuk tidak berprasangka buruk. Terhadap sesama Muslim, al-Zarnuji
menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Ia
mengatakan:
وإياك
وأن تظن
بالمؤمن سوءا فإنه منشأ العدآوة ولا يحل ذلك
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena
hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak
halal/tidak boleh".[82]
(h.15) Anjuran bersikap wara'. Para pelajar
disarankan oleh al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga
diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya.
فمهما
كان طالب العلم أورع كان علمه أنفع والتعلمه له أيسروفوائده أكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih
bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh
banyak faidah".[83]
(h.16) Anjuran memperbanyak shalat. Pelajar yang sedang menuntut ilmu
disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan
manusia dengan Allah Swt.
وينبغى
أن يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فإن ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan
hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu',
karena dengan demikian akan membantu keberhasilan
belajar".[84]
4. Metode Pendidikan
Alat pendidikan
yang meliputi dua aspek yaitu materi dan metode pendidikan yang pada dasarnya
kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, pemakaian metode
pendidikan sesuai dan efektif dengan materi yang diberikan. Pertama, materi
pendidikan, harus mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan kehidupan keagamaan
anak didik, misalnya saja tentang tauhid, ibadah, dan akhlak, selain itu materi
juga harus sesuai dengan kebutuhan anak didik dalam menjalani kehidupannya
sehari-hari seperti materi ketrampilan kerja. Sedangkan yang kedua, metode
pendidikan, al-Zarnuji memberikan metode menghapal supaya pendidikan dapat
menginternal dalam diri anak didik, metode mancatat dan memahami, metode munadharah,[85]
mudzakarah,[86]
dan mutharahah.[87]
Metode-metode tersebut, dapat dipraktekkan sesuai dengan karakter materi
pelajaran. Sedangkan lingkungan pendidikan haruslah lingkungan yang kondusif
untuk pengembangan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang dikonsepsikan
al-Zarnuji adalah lingkungan persahabatan yang mendukung lancarnya pendidikan
dan kesungguhan belajar, dan sebaliknya harus menjauhi lingkungan persahabatan
yang tidak mendukung pendidikan.
Dalam bab ke-12
dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim ini, bahwa metode menghafal
merupakan metode pokok dalam sistem pendidikan, kekuatan akal dalam menangkap respon-respon dari luar sangat
penting dalam usaha pemahaman sesuatu makna. Hal ini terlihat jelas dari
deskripsi al-Zarnuji tentang kiat-kiat memperkuat hafalan dan hal-hal yang
harus dijauhi yang dapat merusak hafalan (penyebab kelalaian). Usaha untuk memperkuat
hafalan (dlabith, dalam istilah hadits) dilakukan dengan cara tekun
belajar, mengurangi makan, salat malam, dan membaca Al-Quran.[88]
Dikatakan oleh al-Zarnuji:
وأقوى أسباب الحفظ الجد والمواظبة وتقليل
الغداء وصلاة اليل وقراءة القرآن
Kiat lain yang dapat menguatkan
hafalan seorang murid adalah dengan makan kundar (kemenyan) dicampur madu,
makan 21 anggur merah setiap hari tanpa air, dan apa saja yang dapat mengurangi
dahak, bisa menguatkan hafalan, dan sebaliknya jika apa saja yang menambah
dahak akan menyebabkan lemahnya hafalan seseorang.[89]
Al-Zarnuji
secara sederhana memberikan gambaran tentang hal-hal yang menjadikan penyebab
lemahnya hafalan seseorang, adalah makan ketumbar basah, makan apel yang kecut,
melihat orang yang dipancung, membaca tulisan di kuburan, melewati barisan
unta, membuang ketombe hidup di tanah dan cantuk (melukai di bagian tengkuk
kepala untuk menghilangkan rasa pusing).[90]
E. Hubungan
Guru dan Murid Menurut Al-Zarnuji
Inti proses belajar adalah
perubahan pada diri individu dalam aspek
pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya
dengan lingkungan. Belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui
transformasi pengalaman. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan
berhasil bila dalam diri individu
terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara
kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar dapat terjadi karena
adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau
sengaja dirancang. Orang yang belajar mandiri secara individual dikenal sebagai
otodidak, sedangkan orang yang belajar karena dirancang dikenal sebagai
pembelajaran formal. Proses belajar sebagian besar terjadi karena memang
sengaja dirancang. Proses tersebut pada dasarnya merupakan sistem dan prosedur
penataan situasi dan lingkungan belajar agar memungkinkan terjadinya proses
belajar. Sistem dan prosedur inilah yang dikenal sebagai proses pembelajaran
aktif.
Proses pembelajaran yang baik adalah proses
pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam
keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model proses ini
dikenal sebagai pembelajaran aktif atau pembelajaran interaktif dengan karakteristiknya
sebagai berikut (1) adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok dan perorangan;
(2) guru berperan sebagai fasilitator belajar, nara sumber dan manajer kelas yang
demokratis; (3) keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa tinggi; (4)
menerapkan pola komunikasi yang banyak; (4) suasana kelas yang fleksibel,
demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan; (6) potensial dapat
menghasilkan dampak intruksional dan dampak pengiring lebih efektif; (7) dapat
digunakan di dalam atau di luar kelas/ruangan.[91]
Membahas tentang hubungan
guru dan murid, maka sangat terkait dengan interaksi edukatif, yaitu suatu
proses yang menggambarkan hubungan aktif dua arah antara guru dan murid dengan
sejumlah pengetahuan (norma) sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan
pendidikan.
Anak didik merupakan
individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah
lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan
tersebut. Akan tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas
antara keduanya sulit ditentukan karena adanya saling mengisi dan saling
membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang
dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran,
daya appersepsi dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong
internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.
Untuk mengetahui hubungan
antara guru dan murid menurut pemikiran al-Zarnuji, maka dapat diulas dari
kitab Ta’līm al-Muta’allim, yang secara spesifik ditulis dalam bab IV,
tentang Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu. Dalam bab ini beliau membahas secara
luas mengenai hubungan guru dengan murid, mencakup beberapa etika yang harus
diperhatikan oleh seorang murid, terkait dengan hubungan sebagai sesama manusia
dalam keseharian maupun hubungan dalam situasi formal sebagai seorang pengajar
dan individu yang belajar. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana etika atau
sikap guru terhadap murid hanya dibahas secara implisit, karena pada dasarnya
kitab ini ditulis sebagai pedoman dan tuntunan bagi para penuntut ilmu atau
para murid.
Secara metode pendidikan,
al-Zarnuji memberikan konsep secara sederhana tetapi mengandung makna yang luas
bahwa dalam proses pembelajaran yang baik ada tiga hal penting yang harus
diperhatikan, adalah:
ولابد
لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة والمطارحة. وينبغى أن يكون بالإنصاف والتأنى
والتأمل ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk
saling mengingatkan), munadzarah (berdialog), dan mutharahah. Hendaknya ia
dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh
dan tidak emosional".[92]
Pendapat
tersebut mengandung arti bahwa metode diskusi antar murid atau dalam bentuk kelompok
merupakan penekanan penting untuk sebuah pendidikan. Dengan berdiskusi atau
dialog, seorang murid akan mampu melatih daya argumentasinya dan daya
kekritisannya dalam memecahkan masalah. Sedangkan cara berdiskusi yang baik
adalah serius/peka, mematuhi aturan, tidak membuat keributan, dan mengedepankan
rasional daripada emosional.
Metode diskusi mendorong siswa untuk
berdialog dan bertukar pendapat, dengan tujuan agar siswa dapat terdorong untuk
berpartisipasi secara optimal, tanpa ada aturan-aturan yang terlalu keras,
namun tetap harus mengikuti etika yang disepakati bersama. Diskusi dapat
dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama, diskusi kelompok kecil (small group
discussion) dengan kegiatan kelompok kecil. Kedua, diskusi kelas, yang
melibatkan semua siswa di dalam kelas, baik dipimpin langsung oleh gurunya atau
dilaksanakan oleh seorang atau beberapa pemimpin diskusi yang dipilih langsung
oleh siswa. Jadi dilihat dari
segi hubungan antara guru dengan murid adalah hubungan yang demokratis,
hubungan dalam pendidikan yang memposisikan guru sebagai fasilitator dan
evaluator.
Di bagian lain dalam hubungan guru dengan murid
adalah masalah etika murid terhadap guru dalam rangka menghormati atau mengagungkan
guru, al-Zarnuji memberikan rambu-rambu yang aplikatif bahwa yang harus
diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang murid atau santri hendaknya, (1) jangan
berjalan di muka guru; (2) jangan menduduki tempat duduk guru; (3) jangan
mendahului bicara dihadapan gurunya kecuali seijinnya; (4) jangan banyak bicara
dihadapan guru; (5) jangan bertanya sesuatu yang membosankannya; (6) jika
berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru belum keluar maka
janganlah mengetuk-ngetuk pintu, tapi bersabarlah hingga guru keluar; (7) selalu
memohon keridho’annya; (8) manjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahann
guru; (9) melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat; (10) menghormati
dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat gurunya.
Belajar merupakan suatu
usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan dapat
mengantarkan seseorang menuju jalan yang terang dan derajat keluhuran. Belajar
bagi al-Zarnuji lebih dimaknai sebagai tindakan yang bernilai ibadah, yang
dapat ikut menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Agama sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam kehidupan, terlebih orang-orang
yang berilmu. Orang yang mencari ilmu harus memperhatikan dasar-dasar etika
agar dapat berhasil dengan baik dalam belajar, memperoleh manfaat dari ilmu
yang dipelajari dan tidak menjadikannya sia-sia. Diantara beberapa etika
tersebut dapat dipahami dari nasehat–nasehat al-Zarnuji, yang terkait dengan
etika dalam menjaga hubungan antara guru dengan murid.
Al-Zarnuji memberi pernyataan
penegasan kepada murid, bahwa :
إعلم بأن
طالب العلم لاينال العلم ولاينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ
وتوقيره
"Ketahuilah
sesunguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan
kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan memuliakan
guru."[93]
Sebagaimana yang diuraikan
Siti Khomsatun Khoriyah dalam skripsinya di bab III, bahwa pernyataan di atas
menjadi semangat yang mendasari adanya penghormatan murid terhadap guru, bahwa
murid tidak akan bisa memperoleh ilmu yang manfaat tanpa adanya pengagungan
terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya. Jadi untuk mendapatkan ilmu yang
bermanfaat, membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan
ilmu yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah penghormatan terhadap guru
dan keluarganya. Apabila kita membuka mata, betapa besar pengorbanan Guru yang
berupaya keras mencerdasakan manusia dengan memberantas kebodohan, dengan sabar
dan telaten membimbing, mengarahkan murid serta mentransfer ilmu yang dimiliki,
sehingga melahirkan individu-individu yang memiliki nilai lebih dan derajat
keluhuran baik di mata sesama makhluk maupun di hadapan Allah Swt.
Penghormatan terhadap guru
merupakan suatu hal yang wajar karena pada dasarnya guru tidak membutuhkan
suatu penghormatan akan tetapi secara manusiawi guru biasanya menjadi
tersinggung apabila muridnya bersikap merendahkan dan tidak menghargai. Dan
sebagai wujud pemuliaan dan penghormatan kepada guru, Sebagai konsekuensi sikap
moral atas pengagungan dan penghormatan terhadap guru al-Zarnuji memberikan
saran dan penjelasan, bahwa penghormatan tersebut berbentuk sikap kongkrit yang
mengacu pada etika moral dan akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam interaksi
keseharian dan dalam bentuk materi. Al-Zarnuji mengutip syair dari Ali bin Abi
Thalib:
رأيت
أحق الحق حق المعلم - وأوجبه حفظاعلى كل مسلم
لقد
حق أن يهدى اليه كرامة - لتعلم حرف واحد ألف درهم
"Aku
tahu bahwa hak seorang guru itu harus diindahkan melebihi segala hak. Dan wajib
dijaga oleh setiap Islam. Sebagai balasan memuliakan guru, amat pantaslah jika
beliau diberi seribu dirham, meskipun hanya mengajarkan satu kalimat."[94]
Posisi guru yang mengajari
ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut sebagai bapak
spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, karena dengan
jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian spiritual dan keselamatan
akhirat. Hal ini berarti hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat dekat
tidak hanya terbatas dalam kondisi dan lingkungan pendidikan secara formal,
dimana guru sebagai pentransfer pengetahuan dan murid sebagai penerima, akan
tertapi lebih merupakan sebuah hubungan yang memiliki ikatan moral dan
emosional tinggi sebagaimana ikatan antara bapak dan anak, yang sama-sama
memiliki konsekuensi sikap dalam bentuk hak dan kewajiban.
Indikator murid yang baik
adalah selalu dapat menyenangkan hati sang guru dan menaruh penuh rasa hormat
terhadap gurunya, mendahulukan urusan yang terkait dengan guru. Sehingga guru
tidak merasa tersinggung dan sakit hati. Jadi pada dasarnya merupakan suatu kewajiban
atas murid untuk dapat beritikad baik kepada guru, sebab bagaimanapun guru
adalah juga bapak dari para murid, sehingga perintah dari guru merupakan suatu
keharusan bagi murid untuk melaksanakannya, sebagaimana perintah dari orang tua
terhadap anaknya, kecuali perintah dalam kedhaliman, bahkan haram bagi murid
menyinggung perasaan dan membuat sakit hati guru, sebagaimana Allah
mengharamkan kedurhakaan anak terhadap orang tuanya.[95]
Secara tegas al-Zarnuji mengatakan, "Barang siapa menyakiti hati guru,
maka haramlah keberkahan ilmu dan tidak memperoleh manfaat ilmu kecuali
sedikit."[96]
Implikasi dari sikap murid
yang meremehkan dan tidak dapat menaruh rasa hormat terhadap guru maupun para
kerabatnya, maka digambarkan oleh al-Zarnuji dengan mengutip sebuah sya’ir,
bahwa:
إن المعـلم والطـبيب كلاهــما - لاينصحان إذاهما لم يكرما
فاصبر لدائك إن جفوت طبيبها -
واقنع بجهلك إن جفوت معلما
“Ketahuilah,
sesungguhnya guru dan dokter, keduanya jika tidak dihormati, tentu tidak akan
mau memberikan nasehat yang benar Maka terimalah dengan sabar rasa sakitmu jika
kamu meremehkan doktermu. Dan terimalah kebodohanmu, jika kamu meremehkan
gurumu”[97]
Syair di atas
menggambarkan, bahwa hubungan guru dan murid seperti hubungan antara dokter dan
pasien, karena adanya persamaan saling membutuhkan dan saling ketergantungan.
Guru dibutuhkan oleh murid karena ilmunya untuk menghilangkan kebodohan
sedangkan dokter dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk
kesembuhan penyakitnya. Demikian pula dalam proses belajar mengajar dan dalam
persoalan akademik, seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih
dibandingkan dengan murid. Sedangkan seorang dokter memang memiliki keahlian
didalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Jadi fungsi hubungan antara dokter dengan
pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan murid terhadap guru dalam
persoalan akademiknya, dengan mengutamakan petunjuk dan nasehat sebagai
kepentingan utama.
Hubungan inilah yang
kemudian pada akhir pembahasan bab ini, ditegaskan kembali oleh al-Zarnuji
kepada penuntut ilmu untuk benar-benar dapat memahami posisi seorang guru bagi
dirinya dalam rangka pengembangan potensi ilmiahnya serta penemuan dan
pengembangan potensi diri, yang tidak mungkin berkembang tanpa adanya bimbingan
dan arahan dari orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian lebih darinya,
karena memang demikianlah proses pendidikan berlangsung.
[1] Plessner, al-Zarnuji dalam al-Syanthawi, dkk,
Dairah al-Ma‘arif al-Islamiyyah, jilid X, (Dar al-Fikr, tanpa tahun),
hlm. 344
[2] Syihāb al-Dīn Ibn Abd Allah Yaqut al-Hamawi, Mu‘jam
al-Buldan, jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 139
[3] Lihat disertasi Marwazi, Konsep
Pendidikan dalam Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim Karya al-Zarnuji dan Aplikasinya di
Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri, Disertasi, (Jakarta: IAIN
Syarif Hidayatullah, 1998), hlm. 29
[4] Ahmad Fuad Ahwani, al-Tarbiyyah fî
al-Islâm aw al-Ta‘lim fî Ra’si al-Qabis, (al-Qahirah: Isa al-Babi
al-Halabi, 1955), hlm. 239
[6] Misalnya saja ketika menerangkan tentang
saran khusus bagi pelajar, ia mengatakan bahwa guru kami sendiri yaitu Syaikh
al-Imam Burhan al-A’immah ‘Ali Abu Bakar, lihat Plessner, Op. Cit.,
Ta‘lim al-Muta‘allim, hlm. 14
[7] Plessner, Op. Cit, hlm. 344;
bandingkan dengan Mochtar Afandi, The Method of Muslim Learning as
Illustrated in al-Zarnuji’s Ta‘lim al-Muta‘allim Thariq al-Ta‘allum,
(Jakarta: Depag RI, 1993), hlm.2
[8] Banyak dijumpai buku-buku tarjamah ataupun
mengenai syarah atas Ta'līmul Muta'allim diantaranya yang dicetak dan diterbitkan oleh penerbit
Toha Putra, Semarang; Syarah dari Syaikh Ibrahim dituliskan dengan aksara Arab
gundul, di dalamnya teks dari Syaikh Az-Zarnuji tertera di pinggir halaman
seperti catatan pinggir. Sementara uraian atau penjelasan dari Syaikh Ibrahim
memenuhi halaman kitab; Saduran atas Ta'līmul Muta'allim Tharīq ta'allūm dari A
Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali yang diberi judul, Kode Etik Kaum Santri
(Bandung: Al-Bayan, 1988). Bahasa Indonesianya tersusun bagus, dalam arti mudah
dimengerti. Terjemahan atas beberapa petikan syair Arab klasik di dalamnya pun
terasa puitis. Ada
pula terjemahan dari Abdul Kadir Aljufri, yakni Terjemah Ta'līm Muta'allim
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995). Dalam buku ini, teks Arab dari Syekh al-Zarnuji
dan teks Indonesia
dari al-Jufri disusun berselang-seling. Terasa adanya upaya penerjemah untuk
sedapat mungkin berpegang pada teks aslinya.
[9] Ahmad Al-Syantanawi, Ibrahim Zaki Khursid dan
Abd.Hamid Yunus, Dairot al-Ma’arif al-Islam, Jilid. X, Hlm. 245. Pernyataan tersebut
dipertanyakan kebenarannya, sebab tidak ada dasar yang kuat Dan al-Zarnuji
bukanlah orang Arab. Lihat studi penelitian tentang kitab Ta’līm almuta’allim,
oleh Imam Ghazali Said, (Surabaya: Diyantama,1977), hlm. 15. Akan tetapi Ahmad
Usman membantah jika al-Zarnuji merupakan nama seorang filosuf yang menggunakan
nama samaran (anonim). Karena pada masanya tidak lazim seseorang menggunakan
nama samaran. Lihat Ahmad Usman, al-Ta’lim ‘Inda Burhanul Islam al-Zarnuji,
(Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, 1989), hlm. 175
[10] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan
Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam), (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2001), Cet II, hlm. 104
[11] Lihat M. Plessner, “Al-Zarnuji” dalam First
Encyclopedia Of Islam, Vol. VIII,( London-New York: E.J. Brill’s, 1987),
hlm. 1218
[12] Lihat Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari, Yudian W.
Asmin (penyunting), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan Untuk 70 tahun
Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, MA, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hlm. 20
[13] Ghazali Said, Op.cit., Hlm. 19
[14] Hasan Langgulung, Pendidkan Islam Menghadapi abad
ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hlm. 31
[15] M. Plessner, Loc. Cit.
[16] Ghazali Said, Op.cit., hlm. 18-19
[17] Dalam artikel yang dirilis di situs sidogiri.com
dikatakan, bahwa al-Zarnuji diperkirakan hidup di akhir Abad Ke-6 Hijriyah. Ada
yang menyebut tahun wafatnya pada 591 H, 86 tahun setelah Imam al-Ghazali.
Sejarah hidupnya tak banyak disebut dalam kitab-kitab. Referensi sejarah
rata-rata hanya menyebut sejarahnya dengan sangat ringkas. Al-Zarnuji dipandang
sebagai salah satu pakar pendidikan Islam. Dalam serial terbitan min A'lam
al-Tarbiyah al-Arabiyah al-Islamiyah, ada sebuah buku analisa tentang
al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allim: Burhan al-Din al-Zarnuji wa
Kitabuh Ta’lim al-Muta’allim. Buku ini disusun oleh Sayyid Ahmad Utsman.
Tapi, sayangnya buku ini sulit sekali ditemukan di toko-toko buku Indonesia.
[18] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof
Muslim, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1997), Cet.I, hlm. 101
[19] Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. VII, hlm. 79
[20] Ibid., hlm. 50
[21] Busyairi Madjidi, Loc. Cit.
[22] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 65-66
[23] Lihat Ahmad Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam,
(Terj. Muhammad Labieb Ahmad ), jilid 3, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1997),
Cet. II, hlm.340.
[24] Muhammad Lutfi Jum’ah, dalam Busyairi Madjid, Op.
Cit., hlm 101-102
[25] Ahmad Syalaby, Op.Cit., hlm. 351 atau lihat
Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 75
[26] Fazlur Rahman, Islam dan modernitas: Tentang
Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsin Muhammad ), (Bandung: Pustaka,
2000), Cet.II, hlm. 43.
[27] Nama-nama guru al-Zarnuji dapat dilihat dalam
kitabnya Ta'līm yang didalamnya menyebutkan nama tersebut, dan semuanya
adalah bermadzhab Hanafiah.
[28] Lihat Djudi, Konsep Belajar Menurut Al-Zarnuji,
(Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1997), hlm. 10
[29] Sudarnoto, Op.Cit., hlm. 25. atau lihat Imam
Ghozali Said, Op. Cit., hlm. 14
[30] M. Plessner, Op., Cit., hlm. 1218
[31] Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 105
[32] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta:
Bumi Aksara,1992), Cet. III, hlm. 7
[33] Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam
Menghadapi Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), hlm. 99
[34] Selengkapnya lihat Abuddin Nata, Op.Cit., hlm.
106
[35] M. Plessner “ al-Zarnuji “ dalam Encyclopedia Of
Islam, Vol. VIII, (London – New York: EJ.Brill’s, 1987), hlm. 1218
[36] Imam Ghozali Said, Ta’lim al Muta’allim Thoriqut
Ta’allum, (Surabaya: Diyantama, 1977), hlm. 17. Menurut informasi dari
Gesechiehteder Arabischen Litteratur, yang biasa dikenal dengan singkatan
G.A.L. karya Cart Brockelmann, menginformasikan berdasarkan data yang ada di
perpustakaan, bahwa kitab Ta’lim pertama kali diterbitkan di Mursidabad pada
tahun 1265 M, kemudian ditulis tahun 1286,1873, di Kairo 1281, 1307, 1418, di
Istambul 1292,dan di Kasan 1898. selain itu kitab Ta’lim menurut G.A.L. telah
diberi catatan atau komentar (sharah), dalam tujuh penerbitan masing-masing
atas nama: (1) Nau’i, tanpa keterangan tahun penerbitan; (2) Ibrahim bin Isma’il
pada tahun 996 H / 1588; (3) As-sa’rani 710 / 711, (4) Ishaq b. Ibn. Ar-Rumi
Qili’ 720 dengan judul Mir’atu Atholibin, (5) Qadi b. Zakariya Al-Anshari
A’saf, (6) Otman Pazari1986 dengan judul Tafhim al-Mutafahhim, dan 7.
H.b.’Al-Faqir, tanpa keterangan tahun penerbitan.
[37] H. Khalifah dalam Sudarnoto Abd. Hakim, Hasan Asari,
Yodian W. Asmin (Penyunting), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan Untuk
70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A., (Yogyakarta: LPMI,1995), hlm.
21
[38] Ibid., hlm. 21
[39] Ahmad Usman, Al-Ta’lim Inda Burhanul Islam
Al-Zarnuji, (Kairo:Maktabah Al-Anjalu Al-Misriyah, 1989), hlm. 88
[40] al-Zarnuji, Ta’līm al-Muta’allim Tarīqatta'allum
(terj. Abdul Kadri al-Jufri), (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 1
[41] Apabila dilihat dari sudut pembahasannya kitab Ta’lim
sangat menarik karena didasarkan pada Al-Qur’an, meskipun sangat minim sekali;
Hadits yang tidak kurang dari 21 matan hadits; Hikmah atau kata-kata mutiara
yang dibumbui kisah-kisah para ulama yang telah berhasil mendapatkan ilmu; Syair-syair
yang jumlah keseluruhannya terdapat dalam 81 buah syair.
[42] Acuan dalam pembahasan ini menggunakan 2 buah buku:
(a) Syarah Ta'limul Muta'allim oleh Syeh Ibrahim bin Ismail yang diterjemahkan
oleh M. Ali Chasan Umar dengan judul Petunjuk Menjadi Cendekiawan Muslim
(Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2000) dengan 109 halaman; (b) Tarjamah Ta'lim
Muta'allim oleh Abdul Kadir Al-Jufri (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995) dengan
jumlah halaman 104
[43]
Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak ditawar
dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi muslim dan
muslimat. Bahkan dipersilahkan oleh NabiCarilah ilmu walaupun dinegeri Cina.
Hal ini sesuai dengan konteks pendidikan yang telah dikonsep oleh UNESCO bahwa
orang hidup harus mencari ilmu (long life education). Perlu digaris bawahi
bahwa dalam bab ini kewajiban yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama.
Kemudian setelah meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan
mendalam.
[44] Bandingkan isi kitab Ta’līm al-Muta’allim
karya al-Zarnuji dengan kitab Adabul 'Alim wa al-Muta'allim ditulis oleh
KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang berisi 10 bab (I) Fadhilah Ilmu Pengetahuan
dan Ahli Ilmu (Ulama), serta Fadhilah Mengajarkan dan Mempelajari Ilmu
Pengetahuan. Pasal Penting: Ancaman bagi Ulama/Guru yang Tidak
Mengamalkan Ilmunya dengan Benar; (II) Etika bagi Pencari Ilmu; (III) Etika
Pelajar Terhadap Guru; (IV) Etika Belajar bagi Pencari Ilmu; (V) Etika bagi Alim
(Ulama/Guru); (VI) Etika Mengajar bagi Alim; (VII) Etika Guru
terhadap Siswa; (VIII) Etika Terhadap Kitab; (IX) Penutup; (X) Komentar Para
Ulama atas Kitab Adabul 'Alim wa al-Muta'allim karya KH. M. Hasyim
Asy'ari
[45] Hal-hal yang dapat menguatkan hafalan ialah
tekun/rajin belajar, mengurangi makan, shalat malam, dan membaca Al-Quran.
(al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 92). Pendapat tersebut perlu diteliti lebih
lanjut, sejauhmana korelasi antara mengurangi makan dan seterusnya dapat
meningkatkan daya serap fikir untuk mempercepat hafalan. Jika ditinjau dari
dimensi imani, barangkali tidak perlu diperdebatkan, tetapi jika dari dimensi
ilmiah, maka perlu kajian lebih lanjut.
[46] Para murid haruslah selalu berdiskusi antar kelompok,
diskusi antar teman, dan diskusi kelas. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 56)
[47] Orang berilmu harus menyayangi sesama. Senang kalau
orang lain mendapat kebaikan tanpa ada rasa iri. (al-Zarnuji, Op. Cit.,
hlm. 77)
[48] Niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas
mengharap ridho Allah, mencari kebahagiaan di akherat, menghilangkan kebodohan
dirinya, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam akan tetap
lestari dengan umatnya yang berilmu. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 12)
[49] al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 19. Ditambahkan
Syeikh Ibrahim bin Ismail dalam syarah Ta'limul al-Muta'allim dikatakan dalam
memilih guru diusahakan seorang guru yang senior (lebih tua), berpengalaman,
rajin dan teliti, sosial, dan penyabar.
[50] Diantara maksud wara/wira secara aplikatif
adalah menyingkir atau menjauhi dari orang yang suka berbuat kerusakan dan
maksiat, serta senang menganggur (Ibid., hlm.88)
[51] Ibid., hlm. 18
[52] Ibid., hlm. 19
[53] Ibid., hlm. 26
[54] Loc. Cit
[55] Ibid., hlm. 28
[56] Loc. Cit
[69] Loc. Cit.
[85] Adalah metode diskusi antar kelompok (small
group discussion). Jumlah anggotanya terbatas 5 sampai 6 orang. Masing-masing
anggota mempunyai pandangan (nazhar) dan disampaikan kepada anggota yang lain.
Dalam kelompok munâzharah ini lahir kerjasama antar anggota kelompok untuk
membahas mata pelajaran yang diterima atau membahas isi suatu kitab. Lihat
Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, h. 115
[86] Adalah metode soal-jawab antara sesama murid.
Murid yang satu menyampaikan soal kepada yang lain, yang lain menjawabnya.
Tujuannya adalah untuk membangkitkan ingatan terhadap pelajaran-pelajaran yang
telah diterima. Dalam tradisi Jawa, cara seperti ini dikenal dengan istilah
“bedean”. Lihat Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim,
h. 115
[87] Menurut Busyairi madjid mutharahah dikenal
dengan diskusi kelas (class discussion). Anggota kelompok yang satu berhak
mengadakan kritikan terhadap pendapat kelompok lain. Lihat Busyairi Madjid,
Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, h. 115
[89] Lihat al-Zarnuji, Ibid., hlm. 94
[91] Endang Komara, Strategi Pembelajaran
Aktif Di Perguruan Tinggi, Makalah: Tidak dipublukasikan.
[93] Al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 25
[94] Ibid., hlm. 26
[95] Lihat QS. Bani Israil ayat 23, yang intinya adalah
sangat banyak jasa orang tua yang dengan susah payah merawat, menjaga dan
mendidik anak. Sehingga tidak patut dan wajib bagi kita memperlakukan mereka
penuh kebaikan, perlakuan dan tutur kata, perangai dan tenaga serta apa saja
yang dinamakan baik. Jadi jangan sampai terlihat satu perangai yang kurang baik
atau perkataan yang kurang manis terhadap ibu-bapak. (A. Hasan, Kesopanan
Tinggi, Cet. IX, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 12
[96] Al-Zarnuji, Loc. Cit.
[97] Ibid., hlm. 30. Disamping sebagai hubungan antara dokter
dengan pasien, juga disebut hubungan bapak dengan anak (lihat, al-Zarnuji, Op.Cit.,
hlm. 27)
terima kasih tulisan yang sangat lengkap.....
ReplyDeletemantab
ReplyDeleteHuda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.
ReplyDelete