Wednesday, June 13, 2012

KONSEP PENDIDIKAN AL-ZARNUJI

Manajemen Pengelolaan Kelas

Al Quran secara khusus tidak menyebutkan istilah manajemen, akan tetapi menyinggung istilah manajemen dengan menggunakan kalimat yudabbiru mengandung arti mengarahkan, melaksanakan, menjalankan, mengendalikan, mengatur, mengurus dengan baik, mengkoordinasikan, membuat rencana yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen mengandung istilah lain adalah mengelola, mengelola sesuatu dibutuhkan perangkat-perangkat tersediri, perangkat-perangkat untuk mengelola sesuatu dibutuhkan ketrampilan, ketrampilan akan muncul apabila sering diaplikasikan atau dipraktektek perangkat-perangkat tersebut. Oleh karena itu, dalam dunia pendidikan juga mengenal suatu konsep ketrampilan mengelola kelas.

Selengkapnya... silahkan donlot  di sini


Pemikiran al-Zarnuji Terhadap Pendidikan


A.  Riwayat Hidup al-Zarnuji
Plessner mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui nama dan waktu hidupnya secara pasti.[1] Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah Turkistan,[2] tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu bukan di Turkistan, melainkan di Turki.[3] Dengan demikian diperkirakan bahwa ia berasal dari Turki. Mengenai masa hidupnya juga masih belum jelas, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan saja. Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun wafatnya adalah Fuad al-Ahwani. Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194.[4] Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197), penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.[5]


Hal ini dapat diketahui dari seringnya ia menyebut namanya dan mendoakan supaya Allah menyucikan ruhnya.[6]
Menurut al-Qurasyi, al-Zarnuji adalah seorang pendidik abad ke-13, sedangkan G. E. Von Grunebaum dan Theodora M. Abel mengatakan bahwa ia seorang ulama yang hidup menjelang akhir abad ke-12 dan permulaan abad ke-13. Penunjukan tahun ini hampir sama dengan perkiraan Marwan Qabbani. Sedangkan al-Ahwani menyebutkan bahwa Muhammad al-Kafrawi menempatkan ia dalam generasi ke-12 dari ulama Hanafiyyah yang diperkirakan hidup pada sekitar tahun 620/1223.[7] Terlepas dari kontroversi penunjukan tahun-tahun tersebut, yang jelas hampir dapat dipastikan bahwa ia hidup di ujung pemerintahan Abbasiyah di Baghdad.
Al-Zarnuji adalah orang yang diyakini sebagai satu-satunya pengarang kitab Ta’līm al-Muta’allim,[8] akan tetapi ketenaran nama beliau tidak sehebat kitab yang dikarangnya. Dalam satu literatur disebutkan bahwa al-Zarnuji adalah seorang filosof arab yang namanya disamarkan,[9] yang tidak dikenal identitas namanya secara pasti.
Seorang penulis muslim membuat spekulasi bahwa al-Zarnuji aslinya berasal dari daerah Afganistan, kemungkinan ini diketahui dengan adanya nama Burhān al-dīn, yang memang disetujui oleh penulis bahwa hal itu biasanya digunakan dinegara ini. Terkait dengan hal tersebut, beberapa peneliti berpendapat bahwa dilihat dari nisbahnya nama al-Zarnuji diambil berdasar pada daerah dari mana ia berasal yaitu daerah Zarand.[10] Zarand adalah salah satu daerah diwilayah Persia yang pernah menjadi ibu kota Sijistan yang terletak disebelah selatan Herat.
Sedikit sekali dan dapat dihitung dengan jari bahwa ada sebuah buku atau kitab yang menulis tentang biografi/riwayat hidup penulis kitab Ta’līm al-Muta’allim tersebut. Dan beberapa kajian terhadap kitab Ta’līm al-Muta’allim, tidak dapat menunjukkan secara pasti mengenai waktu kehidupan dan karir yang dicapainya. Sehingga pengetahuan kita tentang al-Zarnuji sementara ini berdasar pada studi M. Plessner yang dimuat dalam Encyclopedia of Islam.[11]
Dalam buku Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan untuk 70 tahun Prof. H. Munawir Sadjali, M.A., Affandi Muchtar mendapat informasi lain tentang al-Zarnuji berdasar pada data dari Ibn Khalilkan, adalah al-Zarnuji merupakan salah seorang guru Rukn al-Dīn Imām Zada (Wafat sekitar tahun 573 H) dalam bidang fiqih. Imām Zada juga berguru pada Syekh Ridha al-Dīn al-Nishapuri (wafat sekitar antara tahun 550 dan 600 H) dalam bidang Mujahadah. Kepopuleran Imām Zada diakui karena prestasinya dalam bidang Ushūluddin bersama dengan kepopuleran ulama lain yang juga mendapat gelar rukn (sendi). Mereka antara lain Rukn al-Dīn al- ‘Amidi (wafat : 615 H) dan Rukn al-Dīn al-Tawusi (wafat: 600 H). Dari data ini dapat dikatakan bahwa al-Zarnuji hidup sezaman dengan Syekh Ridha al-Dīn al-Nisaphuri. [12]
Kelahiran atau masa hidup al-Zarnuji hanya dapat diperkirakan lahir pada sekitar tahun 570 H,[13] sedangkan tentang kewafatan al-Zarnuji terdapat perbedaan, ada yang menyatakan al-Zarnuji wafat pada tahun 591 H (1195 M)[14] dan menurut keterangan Plessner, bahwasannya ia telah menyusun kitab tersebut setelah tahun 593 H (1197),[15] perkiraan tersebut berdasar adanya fakta bahwa al-Zarnuji banyak mengutip pendapat dari guru beliau yang yang ditulis dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim, dan sebagian guru beliau yang ditulis dalam kitab tersebut meninggal dunia pada akhir abad ke-6 H, dan beliau menimba ilmu dari gurunya saat masih muda. Al-Zarnuji merupakan ulama yang hidup satu periode dengan Nu’man bin Ibrahim al-Zarnuji yang meninggal pada tahun yang sama, diapun meninggal tidak jauh dari tahun tersebut karena keduanya hidup dalam satu periode dan generasi.[16] Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa al-Zarnuji wafat sekitar tahun 620 H, atau dalam kata lain al-Zarnuji hidup pada seperempat akhir abad ke-6 sampai pada dua pertiga pertama dari abad ke-7 H (abad XII – awal abad XIII Masehi).[17]

B.  Latar Belakang Sosial Politik
Dalam waktu yang diperkirakan sebagai masa hidup al-Zarnuji, yakni diakhir abad ke-6 H dan memasuki abad ke-7 H atau abad 12-13 M, merupakan jaman kemunduran dan kemerosotan Daulah Abbasiyah sekitar tahun 292-656 H.[18] Pada masa ini dunia Islam telah mengalami kontak senjata dengan dengan orang-orang Kristen dalam perang Salib sejak tahun 1097 M sampai dengan tahun 1291 M[19]. Pada periode yang sama Daulah Abbasiyah menuntut pembagian Bojena, sedang memasuki periode ke-4 (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan Bani Saljuk dalam pemerintahan Khalifah Abbasiyah yang disebut masa pengaruh Turki kedua, dan periode kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), pada masa ini kekuasaan khalifah telah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaan khalifah hanya efektif disekitar kota Baghdad.[20]
Menurut Luthfi Jum’ah dalam bukunya Tarīkh Falsafatil Islām Fil Masyrīq Wal Maghrīb yang dikutip oleh Busyairi Madjidi, menyatakan bahwa pemimipin–pemimipin militer yang berkebangsan Turki jaman ini memegang kekuasaan dalam pemerintahan, sedangkan kekuasaan khalifah semakin lemah. Karena itu banyak amir-amir melepaskan diri dari pemerintahan pusat (Baghdad) dan mendirikan daulat-daulat (kesultanan) yang berdiri sendiri – sendiri.[21]
Philip K. Hitti mengatakan bahwa, dunia Islam waktu itu sedang mengalami disintegrasi politik. Baghdad sebagai pusat pemerintahan Islam tidak dapat mengendalikan kekuasaannya di daerah-daerah. Hal ini diikuti oleh sikap penguasa daerah yang melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Akan tetapi bahkan ada yang kemudian menguasai pemerintahan pusat (Baghdad), diantaranya dinasti Buwaihiyyah (320 - 447 H / 932 – 1055 M), dinasti Saljuk (Saljuk Besar) didirikan oleh Rukn al-Dīn Abū Thalib Thughrul Bek Ibn Mīka’il Ibn Seljuk Ibn Tuqaq yang menguasai Baghdad dan memerintah selama 93 tahun (429-522 H / 1037-1127 M),[22] dua dinasti ini yang memerintah pada masa al-Zarnuji serta Dinasti Ayubiyah (564-648 H / 1167-1250 M).
Di jaman kaum Saljuk, kota Baghdad mendapatkan kembali sebagian dari daerah kedudukannya yang semula sebagai ibukota kerohanian tempat persemayaman khalifah Abbasiyah yang menikmati pengaruh keagamaan, dan menikmati kembali kehebatan serta keagungan yang pernah dinikmati sebelumnya. Hal ini mungkin dikarenakan kesendirian di Baghdad serta mendapat kehormatan dan sanjungan dari sultan-sultan kaum Saljuk, dan pengaruh politik terus berada di ibukota kaum Saljuk di Nisabur kemudian di Raiyi.[23]
Dalam zaman inilah para ulama dengan dukungan penguasa mulai dengan keras mengecam filsafat dan para filosof bahkan dengan ilmu hikmah (ilmu pengetahuan umum) pada umumnya. Akan tetapi pandangan mereka terhadap filsafat dan mantiq berbalik arah, semula ilmu hikmah diabadikan kepada agama tetapi pada akhirnya hampir saja agama itu dibunuhnya. Ibnu Khaldun sendiri mengatakan bahwa filsafat itu besar mudharatnya terhadap agama.[24]
Ahmad Syalabi menjelaskan, bahwa zaman kaum Saljuk banyak terjadi kebangkitan pikiran yang pesat, yang dasarnya telah dirintis oleh Nizamul Mulk Wazir kepada Alb Arislan dan Malik Syah. Wazir yang berilmu pengetahuan ini telah mendirikan sekolah-sekolah yang menggunakan namanya, yaitu Nizamiyah. Sekolah-sekolah tersebut terdapat di tempat-tempat seperti di Baghdad, Balkan, Nisabur, Haraf, Afghan, Basrah, Marwqa, Amal dan Mausil. Menurut al-Subki, Izamul Mulk mempunyai sekolah di setiap kota di Iraq dan Khurasan.[25]
Fazlur Rahman dalam bukunya Islam dan Modernitas, menggambarkan kegiatan intelektual yang dilakukan pada umumnya waktu itu adalah suatu perkembangan besar yang efeknya sangat merugikan kualitas ilmu pengetahuan pada abad-abad pertengahan Islam adalah pengantian naskah-naskah mengenai teologi, filsafat, yurisprudensi dan sebagainya, sebagai materi-materi pengajaran tertinggi, dengan komentar-komentar dan superkomentar- superkomentar. Proses pengkajian komentar-komentar menghasilkan keasyikan dengan detil-detil yang pelik dengan mengesampingkan masalah-msalah pokok dalam obyek yang dikaji. Peselisihan pendapat menjadi prosedur yang paling digemari. Untuk memenangkan suatu poin, dan hampir-hampir menggantikan upaya intelektual yang asli untuk membangkitkan dan menangkap masalah-masalah yang riil dalam obyek yang dikaji.[26]

C.  Latar Belakang Pendidikan Dan Intelektual
Al-Zarnuji tidak memberikan informasi tentang kehidupannya baik yang menyangkut biografi keluarga maupun pendidikannya, sehingga untuk mengetahui latar belakang pendidikan dan intelektualitasnya adalah dengan mengetahui nama-nama guru yang didatanginya dan isi dari kitab Ta’līmul al-Muta’alim termasuk nukilan-nukilan pendapatnya, bahwa akan diketahui kecenderungan pola pikir al-Zarnuji yang tertuang dalam buku tersebut. Adapun guru-gurunya yang terkenal sebagaimana dicantumkan dalam kitab Ta’līmul al-Muta’alim diantaranya adalah Abu Hanifah, al-Marghinani, Muhammad bin Hasan, Abu Yusuf, Hammad bin Ibrahim, al-Syairazy, Hilal bin Yasar, Qowwamuddin, al-Hamdani, al-Hulwani, al-Shadru al-Syahid. [27]
Sedangkan menurut para peneliti mengemukakan, bahwa al-Zarnuji menuntut ilmu di Buhkhara dan Samarkan, yaitu kota yang menjadi pusat kegiatan keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. Masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan ta’lim yang diasuh antara lain oleh Burhānuddīn Al-Marghinani, Syamsuddīn Abd. al-Wadjdi, Muhammad bin Muhammad al-Abd al-Sattar al-Amidi dan lain-lainnya.[28] Dengan demikian berdasar keterangan tersebut dapat diidentifikasi bahwa pemikiran dan intelektualitas al-Zarnuji sangat banyak dipengaruhi oleh faham fiqih yang berkembang saat itu, sebagaimana faham yang dikembangkan oleh para gurunya, yakni fiqih aliran Hanafiyah.
Muid Khan, dalam studinya tentang kitab Ta’līmul al-Muta’alim yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris, mengenai karakter pemikiran al-Zarnuji, yang dikutip oleh Affandi Muchtar bahwa dalam kajian tersebut, Muid Khan memasukkan pemikiran al-Zarnuji kedalam garis pemikiran Madzhab Hanafiyah, yang dikuatkan dengan bukti banyaknya ulama Hanafiyah yang dikutip oleh al-Zarnuji, termasuk Imam Abu Hanifah sendiri. Dari sekitar 50 ulama yang disebut al-Zarnuji, hanya ada dua saja yang bermadzhab Syafi'iyah, yakni Imam Syafi'i sendiri dan Imam Yusuf al-Hamdani (w. 1140 M). Menurut Muid Khan ide-ide madzhab yang dianutnya mempengaruhi pemikirannya tentang penddikan.[29] Sehingga Mahmud bin Sulaiman al-Kaffawi yang wafat tahun 990 H / 1562 M, dalam kitabnya al-A’lāmul Akhyār min Fuqaha Madzhab al-Nu’man al-Mukhtār, menempatkan al-Zarnuji dalam peringkat ke-12 dari daftar madzhab Hanafi.[30] Disamping ahli dalam bidang pendidikan dan tasawuf, sangat dimungkinkan, bahwa al-Zarnuji juga menguasai bidang sastra, fiqih, Ilmu kalam, dan lain-lain.[31]
Dalam sejarah terdapat lima tahap pertumbuhan dan perkembangan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama pendidikan pada masa Nabi Muhammad Saw (571-632 M); kedua pendidikan pada masa Khulafāur Rasyidīn (632 – 661 M); ketiga pendidikan pada masa Bani Umayyah di Damsyik (661- 750 M); keempat pendidikan pada masa kekuasaan Abbasiyah di Baghdad (750 – 1250 M); dan kelima pendidikan pada masa jatuhnya kekuasaan khalifah di Baghdad (1250 – sekarang ).[32]
Untuk memahami al-Zarnuji sebagai seorang pemikir, maka harus difahami ciri zaman yang menghasilkannya, yaitu jaman Abbasiyah yang menghasilkan pemikir-pemikir Ensiklopedik yang sukar ditandingi oleh pemikir-pemikir yang datang kemudian. Sebagaimana dijelaskan di atas, al-Zarnuji hidup pada awal pemerintahan Abbasiyah di Baghdad yang berkuasa selama lima abad berturut-turut (750-1258 M). Sebagai seorang filosof muslim al-Zarnuji lebih condong kepada al-Ghazali, sehingga banyak jejak al-Ghazali dalam bukunya dengan konsep epistemologi yang tidak lebih dari buku pertama dalam Ihyā Ulūm al-Dīn. Akan tetapi al-Zarnuji memiliki sistem tersendiri, yang mana pada setiap bab dengan bab yang lain, atau setiap kalimat dengan kalimat yang lain, bahkan setiap kata dengan kata yang lain dalam buku tersebut merupakan sebuah kerikil dan konfigurasi mosaik kepribadian Al-Zarnuji sendiri. [33]
Dengan demikian al-Zarnuji hidup pada masa keempat dari periode pendidikan dan perkembangan pendidikan Islam, yakni antara tahun 750 – 1250 M. Sehingga beliau sangat beruntung mewarisi banyak peninggalan yang ditinggalkan oleh para pendahulunya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Dan al-Zarnuji bukanlah seorang fuqaha atau muhaddits ataupun mutakallim tetapi beliau seorang murabbi biasa pada sebuah pendidikan, hal ini dilihat dari karyanya hanya satu (Ta’līm al-Muta’allim) dan tidak ada pula perkataan-perkataan beliau yang bernilai hukum, ataupun tidak ada nukilan-nukilan daripadanya untuk dipakai rujukan saat ini baik dari hukum, hadits ataupun ilmu kalam. Berbeda dengan Imam Ghazali yang lebih terkenal dengan ilmu tasawufnya dibandingkan dengan ilmu pendidikannya.
Abuddin Nata, dalam bukunya Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, menggambarkan bahwa, dalam masa tersebut kebudayaan Islam berkembang dengan pesat yang ditandai oleh munculnya berbagai lembaga pendidikan, mulai dari tingkat perguruan tinggi. Diantara lembaga-lembaga tersebut adalah Madrasah Nizamiyah yang didirikan oleh Nizam al-Mulk (457 H/106 M), Madrasah al-Nuriyah al-Kubra yang didirikan oleh Nūruddīn Mahmūd Zanki pada tahun 563 H/ 1167 M. dengan cabangnya yang amat banyak di kota Damaskus; Madrasah al-Muntansiriyah yang didirikan oleh Khalifah Abbasyiyah, al-Muntansyir Billāh di Baghdad pada tahun 631 H/ 1234 M. Madrasah al-Muntansiriyah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang memadai seperti gedung berlantai II, aula, perpustakaan dengan kurang lebih 80.000 buku koleksi, halaman dan lapangan yang luas, masjid, balai pengobatan dan lain sebagainya. Keistimewaan lainnya Madrasah al-Muntansiriyah adalah karena mengajarkan ilmu fiqih dalam empat madzhab (Maliki, Hanafi, Syafi’i dan Ahmad Ibnu Hambal).[34]

D.  Gambaran Umum Kitab Ta’lim al-Muta’alim dan Pemikiran Pendidikan al-Zarnuji
Dalam khazanah Islam banyak kitab-kitab yang memiliki kecenderungan sama dengan Ta’līm al-Muta’allim, dan lebih dahulu dibanding kitab yang ditulis oleh al-Zarnuji itu, misalnya, al-Targhib fi al-Ilmi karya Ismail al-Muzani (wafat 264 H), Bidayat al-Hidayah dan Minhāj al-Muta’alim karya Imam al-Ghazali (wafat 505 H). Namun, Ta’līm al-Muta’allim jauh lebih mengakar di kalangan pondok pesantren dibanding kitab-kitab tentang etika mencari ilmu yang lain, sekalipun periode penyusunannya jauh lebih dahulu dibanding Ta’līm al-Muta’allim. Bandingkan antara Ta’līm al-Muta’allim yang disusun pada akhir abad ke-7 H dengan al-Targhib fi al-Ilmi yang dikarang pada pertengahan abad ke-3 H.
Pada dasarnya ada beberapa konsep pendidikan al-Zarnuji yang banyak berpengaruh di pesantren: (1) motivasi penghargaan yang besar terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; (2) konsep filter terhadap ilmu pengetahuan dan ulama; (3) konsep transmisi pengetahuan yang cenderung pada hafalan; (4) kiat-kiat teknis pendayagunaan potensi otak, baik dalam terapi alamiyah atau moral-psikologis.
Poin-poin ini semuanya disampaikan oleh al-Zarnuji dalam konteks moral yang ketat. Maka, dalam banyak hal, ia tidak hanya berbicara tentang etika pendidikan dalam bentuk motivasi, tapi juga pengejawantahannya dalam bentuk-bentuk teknis. Ta’līm al-Muta’allim tidak hanya memberikan dorongan moral agar murid menghormati guru, belajar dengan sungguh-sungguh, atau menghargai ilmu pengetahuan. Tetapi, Ta’līm al-Muta’allim juga sudah jauh terlibat dalam mengatur bagaimana bentuk aplikatifnya, seperti seberapa jarak ideal antara murid dan guru, bagaimana bentuk dan warna tulisan, bagaimana cara orang menghafal, bagaimana cara berpakaian seorang ilmuwan dan lain sebagainya.
Menurut Plessner, kitab Ta’līm al-Muta’allim merupakan bagian dari karya al-Zarnuji, yang masih ada sampai sekarang. [35] Sedangkan menurut Imam Ghazali Said, karya al-Zarnuji hanyalah kitab Ta’līm al-Muta’allim,[36] sebagai kontribusi tunggal beliau dalam bidang ilmiah yaitu bidang pendidikan, selain itu tidak ada. Kitab yang terdiri dari 13 Bab tersebut, menurut Khalifah telah diberi catatan komentar (sarah) oleh Ibn Isma’il, yang kemungkinan juga dengan al-Nau’i. Yang diterbitkan pada tahun 996 H, kitab ini juga diterjemahkan kedalam bahasa Turki oleh Abd. Al-Majid bin Nusuh bin Isra’il dengan judul Irsyad al-Ta’līm fi Ta’līm al-Muta’allim. [37]
Kitab Ta’līm al-Muta’allim telah diakui kepopulerannya oleh Khalil A. Totah dan Mehdi Nakosteen, ketika masing-masing melakukan survey atas sumber literatur kependidikan Islam klasik dan abad pertengahan.[38] Hal ini berdasar pada identifikasi sejumlah karya kependidikan, bahwa kitab Ta’līm al-Muta’allim-lah yang paling terkenal. Kepopuleran itu ditunjukkan dengan adanya penerjemahan dari bahasa Arab kedalam bahasa Latin dengan judul Enchiridion Studiosi yang dilakukan dua kali oleh H. Reland pada tahun 1709 dan Caspari pada tahun 1838. dan juga penerjemahan kedalam bahasa Latin dilakkan pada saat masih berlangsung perang Salib.[39]
Kitab Ta’līm al-Muta’allim dikarang oleh al-Zarnuji karena dilatar belakangi oleh rasa keprihatinan beliau terhadap para pelajar pada masanya, yang bersungguh-sungguh dalam belajar akan tetapi mengalami kegagalan, atau kadang-kadang mereka sukses tetapi sama sekali tidak dapat memetik buah kemanfaatan dari hasil ilmu yang dipelajarinya dengan mengamalkan atau menyebarluaskan pada orang lain. Motivasi al-Zarnuji tersebut terungkap dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim yang tertera dalam Muqoddimah, sebagai berikut :
فلما رأيت كثيرا من طلاب العلم فى زمننا يجدون إلى العلم ولا يصلون. ومن منافعه وثمراته وهى العمل به والنشريحرمون. لــما أنهم أخطؤوا طرائقه وتركوا شرائطه. وكل من أخطأ الطريق ضل ولاينال المـقصود قل أو جل
"Setelah saya mengamati banyaknya penuntut ilmu dimasa saya, mereka bersungguh-sungguh dalam belajar menekuni ilmu tetapi mereka mengalami kegagalan atau tidak dapat memetik buah manfaat ilmunya yaitu mengamalkannya dan mereka terhalang tidak mampu menyebarluaskan ilmunya. Sebab mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya. Setiap orang yang salah jalan pasti tersesat dan tidak dapat memperoleh apa yang dimaksudkan baik sedikit maupun banyak".[40]

Secara tidak langsung, tujuan dari al-Zarnuji mengarang kitab ini adalah untuk memberi bimbingan kepada para murid (orang yang menuntut ilmu) untuk mencapai ilmu yang bermanfaat dengan cara dan etika yang dapat diamalkan secara kontinyu.
Kitab Ta’līm al-Muta’allim ini dapat diketahui tentang pemikiran pendidikan Islam yang dikemukakan oleh al-Zarnuji. Meskipun kitab ini ditulis sejak abad XIII H, tetapi sudah tampak sistematis dari segi pembahasannya sebagaiman karya-karya ilmiah pada masa sekarang ini. Misalnya sebelum al-Zarnuji menulis pembahasan pasal demi pasal atau dari bab ke bab, terlebih dahulu beliau mengemukakan pendahuluan yang berisikan pembatasan masalah, latar belakang, sistematika pembahasan, yang kemudian dimulai pembahasan pasal demi pasal secara sistematis dan diakhiri dengan penutup dan do’a.[41]
Secara umum kitab Ta’līm al-Muta’allim[42] terdiri dari muqoddimah dan 13 Pasal atau bab antara lain :
Bab I. Keutamaan Ilmu dan Fiqh. Dalam bab ini diterangkan panjang lebar tentang keutamaan orang yang memiliki ilmu pengetahuan dibanding orang yang tidak memiliki ilmu.[43]
Bab II. Niat Ketika Akan Belajar. Dalam bab ini, mencari ilmu harus diniati dengan niat yang baik sebab dengan niat itu dapat menghantarkan pada pencapaian keberhasilan. Niat yang sungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan keridlaan Allah akan mendapatkan pahala. Dalam mencari ilmu tidak diperkenankan dengan niat dengan ilmu akan mendapatkan harta banyak.
Bab III. Memilih Ilmu Guru dan Teman. Dalam bab ini diterangkan bahwa memilih ilmu yang utama adalah ilmu agama, yang didahulukan adalah ilmu tauhid. Dalam memilih guru harus alim, wira'i dan lebih tua.
Bab IV, Memuliakan Ilmu Beserta Ahlinya. Bab ini menerangkan bahwa memuliakan guru adalah paling utama dibanding memuliakan yang lain. Sebab dengan gurulah manusia dapat memahami tentang hidup, dapat membedakan antara yang hak dan batil. Memuliakan tidak terbatas pada sang guru namun seluruh keluarganya wajib dimuliakan.
Bab V, Kesungguhan, Ketetapan, dan Cita-cita Yang Tinggi. Bab ini menerangkan bahwa orang yang mencari ilmu itu harus bersungguh-sungguh dan kontinyu. Orang yang mencari ilmu tidak boleh banyak tidur yang menyebabkan banyak waktu terbuang sia-sia, dan dianjurkan banyak waktu malam yang digunakan belajar. Untuk memperoleh ilmu yang berkah harus menjauhi maksiat.
Bab VI, Permulaan, Ukuran dan Tertib Dalam Belajar. Dalam bab ini diterangkan bahwa permulaan dalam mencari ilmu yang lebih afdlal adalah hari Rabu. Kemudian ukuran dalam belajar sesuai dengan kadar kemampuan seseorang dan dalam belajar harus tertib artinya harus diulang kembali untuk mengingat pelajaran yang telah diajarkan.
Bab VII, Tawakal. Dalam bab ini diterangkan bahwa setiap pelajar hendaknya selalu bertawakal selama dalam mencari ilmu (dalam pendidikan). Selama dalam mencari ilmu jangan sering menyusahkan mengenai rejeki, hatinya jangan sampai direpotkan memikirkan masalah rejeki. Dalam belajar harus diimbangi dengan tawakal yang kuat.
Bab VIII, Waktu Menghasilkan Ilmu. Dalam bab ini diterangkan bahwa waktu menghasilkan ilmu tidak terbatas, yaitu mulai masih dalam ayunan (bayi) sampai ke liang lahat (kubur), dan waktu yang utama untuk belajar adalah waktu sahur (menjelang subuh), dan antara maghrib dan isya'.
Bab IX, Belas Kasih Dan Nasihat. Dalam bab ini diterangkan bahwa orang yang berilmu hendaklah mempunyai sifat belas kasihan kalau sedang memberi ilmu. Tidak dibolehkan mempunyai maksud jahat dan iri hati, sebab sifat itu adalah sifat yang membahayakan dan tidak ada manfaatnya. Bila kita diolok-olok janganlah dibalas dengan kekerasan.
Bab X, Mencari Faedah. Dalam bab ini diterangkan bahwa dalam mencari ilmu dan mendapatkan faedah adalah agar dalam setiap waktu dan kesempatan selalu membawa alat tulis (pulpen dan kertas) untuk mencatat segala yang didengar, yang berhubungan dengan faedah ilmu.
Bab XI, Wira’i (Menjaga diri dari perkara haram). Dalam bab ini diterangkan bahwa sebagian dari wara’ adalah menjaga diri dari kekenyangan, terlalu banyak tidur, terlalu banyak bicara (membicarakan sesuatu yang tidak ada manfaatnya) dan sedapat mungkin menjaga jangan sampai memakan makanan pasar, dan bahkan menjadi pegawai pemerintah.
Bab XII, Sesuatu Yang Dapat Menjadikan Hafal Dan Lupa. Dalam bab ini diterangkan bahwa yang menyebabkan mudah hafal adalah bersungguh-sungguh dalam belajar, rajin, tetap, mengurangi makan dan mengerjakan salat malam. Adapun yang menyebabkan mudah lupa adalah maksiat, banyak dosa, susah, prihatin memikirkan perkara dunia, banyak pekerjaan dan ada sesuatu yang melekat dalam hati.
Bab XIII, Sesuatu Yang Memudahkan Dan Menyempitkan Rejeki, Memperpanjang Dan Mengurangi Umur. Dalam bab ini diterangkan bahwa sabda Rasulullah, "Tidak ada yang mampu menolak takdir kecuali doa. Dan tidak ada yang bisa menambah umur, kecuali berbuat kebaikan. Orang yang rejekinya sial (sempit), disebabkan dia melakukan dosa". Kemudian yang menyebabkan kefakiran adalah tidur telanjang, kencing telanjang, makan dalam keadaan junub, makan sambil tidur miring, meremehkan sisa makanan, membakar kulit bawang merah atau bawang putih, menyapu rumah dengan menggunakan gombal, menyapu rumah pada waktu malam, menyapu sampahnya tidak dibuang langsung, berjalan atau lewat didepan orang tua, memanggil ayah ibunya dengan sebutan namanya, menusuk-nusuk gigi dengan memakai kayu asal ketemu saja, membasuh tangan dengan tanah atau debu, duduk di atas tangga pintu, bersandar pada tepi pintu, berwudlu di tempat istirahat, menjahit pakaian pada waktu sedang dipakai. Kemudian sesuatu yang dapat menambah umur adalah berbuat kebaikan, tidak menyakiti hati orang lain, memuliakan orang tua, atau membaca do'a.[44]
Bentuk pemikiran pendidikan al-Zarnuji dalam buku Ta’līm al-Muta’allim dapat dipetakan menurut komponen pendidikan, adalah berdasarkan tujuan pendidikan, guru sebagai pendidik, murid sebagai terdidik, serta media dan metode pendidikan. Dan untuk mengetahui pemikiran pendidikan al-Zarnuji, maka kitab Ta’līm al-Muta’allim adalah satu-satunya kitab yang dapat dijadikan pijakan, sebab berdasar litertur yang dapatkan, para peneliti masih sepakat bahwa kitab tersebut merupakan satu-satunya kitab sebagai karya al-Zarnuji yang masih ada sampai sekarang.
1.  Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan, dalam hal ini menurut al-Zarnuji disebutkan dengan niat, merupakan sesuatu yang sangat urgen dalam pendidikan Islam. Tujuan pendidikan tersebut, pertama, harus ditujukan untuk mencari rida Allah Swt. Kedua, ditujukan pula untuk memperoleh kebahagiaan di akhirat yang merupakan tempat kebahagiaan abadi. Ketiga, untuk menghidupkan agama, sebab agama tanpa ilmu tidak akan dapat hidup. Keempat, ditujukan pula untuk menghilangkan kebodohan yang ada dalam diri seseorang. Sebab, manusia telah diberikan Allah potensi akal yang mempunyai kemampuan untuk berpikir dan sekaligus membedakannya dengan makhluk-makhluk lain.
Pada tujuan yang keempat, al-Zarnuji secara aplikatif memberikan konsep sederhana tetapi penuh makna, bahwa seorang murid dididik harus mencapai tingkat kecerdasan intelektual (Intelectual Quotient/IQ) terlebih dahulu walaupun tidak disampaikan dengan vulgar.[45]
وأقوى أسباب الحفظ الجد والمواظبة وتقليــل الغداء وصلاة الليل وقراءة القران
Sedangkan dimensi praktis pelaksanaannya adalah :[46]
ولابد لطالب العلم من المذاكــرة والمناظرة والمطارحة
Al-Zarnuji tidak melupakan pentingnya faktor kecerdasan emosional (Emosional Quotient/EQ) dalam proses pengembangan kepribadian. Dalam bahasa yang santun dan ramah al-Zarnuji berkata:[47]
وينبغى أن يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
Bahkan yang lebih mengagumkan, al-Zarnuji pun telah menyadari bahwa dua kecerdasan tadi akan sia-sia bila tidak dimbangi dengan kecerdasan spiritual (Spiritual Quotient/SQ) sehingga al-Zarnuji dengan bijak berkata:[48]

وينبغى أن ينوى المتعلم بطلب العلم رضاالله تعالى والدرالأخرة وإزالة الجهل عن نفسه وعن سائرالجهال وإحياء الدين وإبقاء الإسلام فإن بقاء الإسلام بالعلم
Pada akhirnya kita menemukan sebuah kenyataan dan sulit bagi kita untuk mengingkarinya betapa Ta’līm al-Muta’allim dengan segala kesederhanaannya telah memberikan sebuah konsep mengenai metode pendidikan yang cukup ideal. Juga dengan samar telah menampilkan sketsa dan gambaran tentang keharusan adanya keterhubungan yang utuh antara kecerdasan intelektual lebih berkaitan dengan fungsi akal dengan kecerdasan emosional serta kecerdasan spiritual dimana keduanya sedikit banyak terpengaruhi oleh aspek moralitas dan etika.

2.  Peranan Guru Dalam Pendidikan
Pendidik ideal dalam pandangan al-Zarnuji adalah seseorang yang selain mempunyai spesialisi ilmu tertentu, mempunyai sikap hati-hati dalam perbuatan, juga harus lebih tua usianya dari anak didik.[49] Kesemuanya itu dimaksudkan supaya pendidik betul-betul mampu mengemban tugas sebagai pendidik bukan hanya sebagai pengajar. Sebagai pendidik, seseorang harus betul-betul memperhatikan seluruh aspek kehidupan anak didik yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Bahkan lebih dari itu, ia juga harus memperhatikan kebutuhan hidup anak didik. Pengajar tentu saja hanya memperhatikan aspek kognitifnya saja, sedangkan persyaratan seorang guru menurut al-Zarnuji adalah seorang yang alim, mempunyai sifat wara/wira[50], dan lebih tua/senior, dikatakan bahwa:[51]

وأمااختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الأعلم والأورع والأسن
Guru dituntut mempunyai moral dan integritas yang baik (akhlak mulia), disamping mempunyai sifat penyayang dan sabar. Dengan bekal tersebut seorang murid akan senang dan betah untuk tetap belajar.[52]
Eksistensi pendidik atau guru ini, al-Zarnuji mewajibkan menghormatinya, bahkan melarang membantah dan menyanggahnya sedikitpun.

رأيت أحق الحق حق المعلم           وأوجبه حفظا على كل مسلم
لقد حق أن يهدى إليه كرامة           لتعليم حرف واحد ألف درهم
"Tidak ada hak yang lebih besar kecuali haknya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar walaupun hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham."[53]

Sedangkan hak-hak guru yang terperinci tercermin dalam pernyataannya bahwa termasuk menghormati guru, adalah:
ومن توقير المعلم أن لايمشى أمامه ولايجلس مكانه ولايبتدئ الكلام عنده إلا بإذنه
"Termasuk menghormati guru ialah hendaklah seorang murid tidak berjalan didepannya, tidak duduk ditempatnya. Jika berhadapannya tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya."[54]

ولا يكثر الكلام عنده ولا يسأل شيئا عند ملا لته ويراعى الوقت ولا يدق الباب بل يصبر حتى يخرج
"Hendaklah tidak banyak bicara di hadapan guru. Tidak bertanya sesuatu bila guru sedang capek/bosan. Harus menjaga waktu. Jangan mengetuk pintunya, tetapi sebaliknya menunggu sampai beliau keluar."[55]

أنه يطلب رضاه ويجتنب سخطه ويمتثل أمره فى غير معصية الله
"Seorang murid harus mencari kerelaan hati guru, harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan ia murka, mematuhi perintahnya asal tidak bertentangan dengan agama."[56]

3.  Status Murid Dalam Pendidikan
Anak didik, untuk dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan sejak sebelum menjalankan tugas belajar, seharusnya mempunyai watak-watak yang baik antara lain, tawadu, iffah, tabah, sabar, mencintai ilmu dan menghormati gurunya, bersungguh-sungguh, wara', mempunyai cita-cita yang tinggi serta tawakal.
Hasil penelusuran terdapat isi kitab Ta’līm al-Muta’allim karya al-Zarnuji ditemukan beberapa petunjuk etika dan akhlak bagi para penuntut ilmu (siswa) dalam melakukan kegiatan belajar-mengajar, yakni:
a. Anjuran untuk selalu belajaral-Zarnuji mengutip syair Muhammad bin al-Hasan bin Abdullah, yang mendorong anak-anak untuk selalu belajar atau menuntut ilmu, karena ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya.Syairnya adalah sebagai berikut:
تعلم فإن العلم زين لأهــله             وفضل وعنوان لكل المــــحامد‏
وكن مستفيدا كل يوم زيـادة           من العلم واسبح فى بحور الفــوآئد
تفقه فإن الفقه أفضل قــائد            إلى البــر والتقوى وأعدل قــائد‏
هو العلم الهادى إلى سنن الهدى       هو الحصن ينجى من جميع الشدآئـد
فإن فــقيها واحدا متـورعا             أشد على الشيـطان مـن ألف عابد‏
"Belajarlah! Sebab ilmu itu adalah penghias bagi pemiliknya. Jadikanlah hari-harimu untuk menambah ilmu. Dan berenanglah di lautan ilmu yang berguna.Belajarlah ilmu agama, karena ia adalah ilmu yang paling unggul, ilmu yang dapat membimbing menuju kebaikan dan takwa,Ilmu yang lurus untuk dipelajari, dialah ilmu yang menunjukkan kepada jalan yang lurus, yakni jalan petunjuk. Tuhan yang dapat menyelamatkan manusia dari segala keresahan.Oleh karena itu, orang yang ahli ilmu agama dan bersifat wara' lebih berat bagi setan daripada menggoda seribu orang ahli ibadah tapi bodoh."[57]

Bait-bait syair tersebut tidak hanya memuat anjuran untuk menuntut ilmu dan melalui hari-hari dengan selalu menambah ilmu, tetapi juga untuk lebih memfokuskan pada belajar ilmu agama. Karena ilmu agama adalah petunjuk bagi kebenaran, kebaikan, takwa, dan jalan yang lurus.

b. Kewajiban mempelajari akhlak terpuji dan tercela. Sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan peserta didik, al-Zarnuji amat mendorong bahkan mewajibkan mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, merendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain.
وكذلك فى سائر الأخلاق نحو الجود والبخل والجبن والجرأة والتكبر والتواضع والعفة والإسراف والتقتير وغيرها
"Setiap orang Islam wajib mengetahui dan mempelajari berbagai akhlak yang terpuji dan tercela, seperti watak murah hati, kikir, penakut, pemberani, rendah hati, congkak, menjaga diri dari keburukan, israf (berlebihan), bakhil dan lain-lain." [58]

c. Larangan mempelajari ilmu perdukunan. Al-Zarnuji mengharamkan mempelajari ilmu perdukunan, yang ia sebagai ilmu nujum. Ini membuktikan bahwa Al-Zarnuji tidak hanya mengutamakan ilmu-ilmu agama Islam, tetapi juga menghormati dan menjunjung tinggi ilmu-ilmu aqliyah, karena ilmu perdukunan tidak masuk akal (irasional).
 وعلم النجوم بمنزلة المرض فتعلمه حرآم لأنه يضر ولا ينفع والهرب من قضاء الله وقدره غير ممكن
"Sedangkan mempelajari ilmu nujum itu hukumnya haram, karena ia diibiratkan penyakit yang amat membahayakan. Dan mempelajari ilmu nujum itu sia-sia belaka, karena ia tidak bisa menyelamatkan seseorang dari takdir Tuhan".[59]

Sebaliknya, Al-Zarnuji membolehkan mempelajari ilmu-ilmu alam yang didasarkan pada rasio dan pengamatan, seperti ilmu kedokteran serta ilmu-ilmu lain yang bermanfaat.

d. Mengenai niat dalam menuntut ilmu. Al-Zarnuji menempatkan niat dalam kedudukan yang amat penting bagi para pencari ilmu. Ia menganjurkan agar para pencari ilmu menata niatnya ketika akan belajar.Ia mengatakan:
ثم لابد له من النية فى زمان تعلم العلم. إذا النية هي الأصل فى جميع الأحوال
"Setiap pelajar harus menata niatnya ketika akan belajar. Karena niat adalah pokok dari segala amal ibadah".[60]

Menurutnya ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh para pelajar terkait dengan niat mencari ilmu itu, yaitu:pertama, niat itu harus ikhlak untuk mengharap ridla Allah; kedua, niat itu dimaksudkan untuk mensyukuri nikmat akal dan kesehatan badan; ketiga, boleh menunutut ilmu dengan niat dan upaya mendapat kedudukan di masyarakat, dengan catatan kedudukan itu dimanfaatkan untuk amar ma'ruf dan nahi munkar, untuk melakukan kebenaran, untuk menegakkan agama Allah; dan bukan untuk keuntungan diri sendiri, juga bukan karena keinginan hawa nafsu.

e. Sifat tawadlu. Para pencari ilmu dianjurkan oleh al-Zarnuji untuk tawadlu dan tidak tamak pada harta benda. Ia mengutip syair yang dikemukakan oleh Ustadz Al-Adib berkenaan dengan keutamaan tawadlu, sebagai berikut:
إن التواضـع من خصـال المتـقى        وبه التــقى إلى المعالى يرتقى
ومن االعجآئب عجب من هو جاهل     فى حاله أهو السعيدأم الشقى
"Tawadlu adalah salah satu tanda/sifat orang yang bertakwa. Dengan bersifat tawadlu, orang yang bertakwa akan semakin tinggi martabatnya. Keberadaannya menakjubkan orang-orang bodoh yang tidak bisa membedakan antara orang yang beruntung dengan orang yang celaka".[61]
f. Cara memilih guru. Dalam kitab ini, al-Zarnuji juga memberikan semacam resep bagaimana mencari guru. Menurutnya, guru yang baik adalah yang alim, wara dan lebih tua dari muridnya, sebagaimana dikatakannya:
وأما اختيار الأستاذ فينبغى أن يختار الأعلم والأورع والأسن
"Dan adapun cara memilih guru, carilah yang alim, yang bersifat wara, dan yang lebih tua".[62]

g. Cara memilih jenis ilmu. al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memilih ilmu yang peling baik dan sesuai dengan dirinya. Di sini unsur subyektivitas pelajar menjadi pertimbangan penting. Bakat, kemampuan akal, keadaan jasmani seyogyanya menjadi pertimbangan dalam mencari ilmu.Namun demikian, al-Zarnuji menempatkan ilmu agama sebagai pilihan pertama yang mesti dipilih oleh seorang pelajar. Dan di antara ilmu agama itu, Ilmu Tauhid mesti harus diutamakan, sehingga sang pelajar mengetahui sifat-sifat Allah berdasarkan dalil yang otentik. Karena menurut al-Zarnuji, "iman seseorang yang taklid tanpa mengetahui dalilnya berarti imannya batal".[63] Selain ilmu tauhid, al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk mempelajari ilmunya para ulama Salaf.

h. Nasihat kepada para pelajar. al-Zarnuji memberikan beberapa nasihat yang di dalamnya sarat dengan muatan moral dan akhlak bagi para pelajar, nasihat-nasihat itu antara lain anjuran untuk bermusyawarah. Karena mencari ilmu merupakan sesuatu yang luhur namun perkara yang sulit, al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar melakukan diskusi atau musyawarah dengan pelajar atau orang lain.
Ia mengatakan:
وطلب العلم من أعلى الأمور وأصعبها فكان المشاورة فيه أهم وأوجب
"Mencari ilmu adalah perbuatan yang luhur, dan perkara yang sulit, maka bermusyawarahlah dengan mereka yang lebih tahu dan itu merupakan suatu keharusan".[64]

(h.1) Anjuran untuk sabar, tabah dan tekun. Al-Zarnuji menganjurkan agar para pelajar memiliki kesabaran/ketabahan dan tekun dalam mencari ilmu. Ia mengatakan:
واعلم أن الصبر والثبات أصل كبير فى جميع الأمور
"Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan".[65]

Dalam kaitan ini, al-Zarnuji mengutip ucapan Ali Ibn Abi Thalib yang mengatakan:
ألالاتـنال العـلم إلا بسـتة               سأنبك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة        وإرشاد أستاذ وطول الزمان‏
"Ketahuilah kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan enam perkara; sebagaimana saya sampaikan kumpulannya dengan jelas, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk bimbingan guru dan waktu yang lama".[66]

(h.2) Anjuran untuk bersikap berani. Selain sabar dan tekun, al-Zarnuji juga menganjurkan para pelajar untuk memiliki keberanian. Keberanian berarti juga kesabaran dalam menghadapi kesulitan dan penderitaan. Ia mengatakan:
الشجاعة صبر ساعة
"Keberanian adalah kesabaran menghadapi kesulitan dan penderitaan".[67]

(h.3) Anjuran untuk tidak mengikuti hawa nafsu. al-Zarnuji banyak sekali menekankan tentang pentingnya menghindari hawa nafsu. Ia mengatakan:
وينبغى أن يصبر عما تريد نفسه
"Hendaknya seorang siswa bersifat sabar dalam menuruti hawa nafsunya".[68]

(h.4) Anjuran berteman dengan orang baik. al-Zarnuji memberikan saran kepada para pelajar agar ia selalu berteman dengan orang-orang yang baik, yang menurutnya, orang-orang yang baik adalah:
المجد والورع وصاحب الطبع المستقيم والمتفهم ويفر من الكسلان والمعطل والمكثاروالمفسد والفتان
"Yang tekun belajar, bersifat wara', berwatak istiqamah, dan mereka yang faham/pandai. Sebaliknya ia tidak berteman dengan orang yang malas, banyak bicara, suka merusak dan suka memfitnah".[69]

(h.5) Anjuran menghormati ilmu dan guru. Menghormati ilmu dan guru adalah salah satu sifat yang mesti dimiliki oleh setiap pelajar, bila ia ingin sukses dalam mencari ilmu.Ia berkata:
إعلم بأن طالب العلم لاينآل العلم ولا ينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره
"Ketahuilah bahwa para pencari ilmu tidak akan memperoleh ilmu dan ilmunya tidak akan bermanfaat, kecuali dengan cara menghormati ilmu, ahli-ahli ilmu dan menghormati para guru".[70]

Bahkan karena pentingnya hormat kepada guru, al-Zarnuji bahkan memberikan nasihat kepada para pelajar agar ia tidak berjalan di depannya, tidak duduk di tempatnya, dan bila di hadapan guru ia tidak memulai bicara kecuali ada ijinnya.[71]Hormat seorang siswa kepada gurunya juga harus ditunjukkan dengan cara tidak banyak bicara di hadapan guru dan senantiasa mencari kerelaan hati sang guru.[72] Anjuran al-Zarnuji inilah yang oleh para aktivis pesantren mendapat banyak sorotan, terutama anjurannya untuk tidak terlalu banyak bicara di hadapan guru. Menurut mereka, anjuran ini dapat melemahkan kreativitas siswa dalam berdiskusi.Cara lain menghormati guru menurut al-Zarnuji adalah dengan tidak menyakiti hati guru, karena dengan demikian, maka ilmunya tidak akan memiliki berkah.[73]

(h.6) Anjuran untuk bersungguh-sungguh dalam belajar. Dalam pasal tentang kesungguhan (al-jiddu), ketekunan (al-muwadzabah), dan cita-cita (al-himmah), al-Zarnuji mengatakan:
ثم لابد من الجد والمواظبة والملازمة .... من طلب شيئا وجد وجد. من قرع الباب ولج ولج
"Dan siswa harus bersungguh-sungguh dalam belajar, harus tekun …. Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari sesuatu tentu akan mendapatkannya. Siapa saja yang mau mengetuk pintu dan maju terus, tentu bisa masuk".[74]

(h.7) Anjuran untuk mencermati perkataan guru. Dalam upaya meningkatkan pengetahuan dan pemahaman siswa, al-Zarnuji mengnjurkan agar para siswa senantiasa jeli dalam mencermati apa yang dikatakan oleh guru. Ia mengatakan:

وينبغى أن يجتهد فى الفهم من الأستاذ
"Seyogyanya siswa berusaha sungguh-sungguh memahami apa yang diterangkan oleh gurunya".[75]

(h.8) Anjuran untuk berusaha sambil berdoa. Usaha saja tidaklah cukup bagi seorang siswa tanpa disertai dengan do'a. demikian pula do'a tidak akan berarti tanpa disertai dengan usaha. Oleh karena itu al-Zarnuji menganjurkan agar siswa senantiasa berusaha dan berdo'a. Ia berkata:
وينبغى أن يجتهد ويدعو الله تعالى
"Oleh karena itu seharusnya ia berusaha memahami pelajarannya sambil berdo'a kepada Allah".[76]

(h.9) Anjuran untuk berdiskusi. Diskusi atau belajar besama adalah sesuatu yang amat penting bagi para siswa dalam memahami materi-materi pelajarannya. Oleh karena itu, al-Zarnuji menganjurkannya. Ia berkata:

ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة والمطارحة. وينبغى أن يكون بالإنصاف والتأنى والتأمل ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), dan munadzarah (berdialog). Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional".[77]

(h.10) Anjuran untuk senantiasa bersyukur. Imam Al-Zarnuji memberi nasihat agar para pelajar senantiasa selalu bersyukur kepada Allah. Ia berkata:

ينبغى لطالب العلم أن يستغل بالشكر بالسان والجنان والأركان والمال
"Para pelajar harus selalu bersyukur kepada Allah, baik dengan menggunakan lisan, hati, tindakan nyata, maupun dengan harta".[78]

(h.11) Anjuran untuk tidak mudah putus asa. Mencari ilmu tidak mudah. Untuk menggapainya diperlukan usaha sungguh-sungguh dan serius. Dan untuk itu pun para siswa akan berhadapan dengan banyak rintangan, hambatan dan masalah. Oleh karena itu, Al-Zarnuji menganjurkan agar setiap pelajar tidak mudah patah semangat.

وينبغى أن لا يكون لطالب العلم فترة وتحير فإنها آفة
"Siswa tidak boleh patah semangat dan mengalami kebingungan, karena ia bisa berakibat buruk".[79]
(h.12) Anjuran untuk senantiasa tawakkal. Di samping tidak boleh patah semangat, ketika para pelajar menghadapi masalah, setelah berusaha ia dianjurkan untuk tawakkal.
لابد لطالب العلم من التوكل فى طلب العلم ولا يهتم لأمر الرزق ولا يشغل قلبه بذلك
"Para pelajar harus tawakkal kepada Allah saat mencari ilmu dan tidak perlu cemas soal rezeki. Dan jangan terlalu sibuk memikirkan masalah rezeki".[80]

(h.13) Anjuran untuk saling mengasihi. Para pencari ilmu disarankan oleh al-Zarnuji untuk saling mengasihi antar sesama. Ia berkata:
وينبغى أن يكون صاحب العلم مشفقا ناصحا غير حاسد
"Orang yang berilmu hendaknya saling mengasihi dan saling menasihati tanpa iri-dengki/hasad".[81]

(h.14) Anjuran untuk tidak berprasangka buruk. Terhadap sesama Muslim, al-Zarnuji menganjurkan agar tidak memiliki prasangka buruk. Ia mengatakan:
وإياك وأن تظن بالمؤمن سوءا فإنه منشأ العدآوة ولا يحل ذلك‏
"Jangan berprasangka buruk terhadap orang mukmin, karena hal itu sumber permusuhan dan hal itu tidak halal/tidak boleh".[82]

(h.15) Anjuran bersikap wara'. Para pelajar disarankan oleh al-Zarnuji untuk memiliki sifat wara' atau menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas halam-haramnya.

فمهما كان طالب العلم أورع كان علمه أنفع والتعلمه له أيسروفوائده أكثر
"Pelajar yang bersifat wara' maka ilmunya akan lebih bermanfaat, belajarnya lebih muda, dan akan memperoleh banyak faidah".[83]

(h.16) Anjuran memperbanyak shalat. Pelajar yang sedang menuntut ilmu disarankan agar selalu mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Untuk shalat menjadi salah satu ibadah yang dapat mendekatkan manusia dengan Allah Swt.

وينبغى أن يكثر الصلاة ويصلى صلاة الخاشعين فإن ذلك عون له على التحصيل والتعلم
"Seorang penuntut ilmu hendaknya memperbanyak shalat, dan hendaknya melaksanakan shalat dengan cara khusyu', karena dengan demikian akan membantu keberhasilan belajar".[84]

4.  Metode Pendidikan
Alat pendidikan yang meliputi dua aspek yaitu materi dan metode pendidikan yang pada dasarnya kedua hal itu merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, pemakaian metode pendidikan sesuai dan efektif dengan materi yang diberikan. Pertama, materi pendidikan, harus mempunyai kaitan erat dengan kebutuhan kehidupan keagamaan anak didik, misalnya saja tentang tauhid, ibadah, dan akhlak, selain itu materi juga harus sesuai dengan kebutuhan anak didik dalam menjalani kehidupannya sehari-hari seperti materi ketrampilan kerja. Sedangkan yang kedua, metode pendidikan, al-Zarnuji memberikan metode menghapal supaya pendidikan dapat menginternal dalam diri anak didik, metode mancatat dan memahami, metode munadharah,[85] mudzakarah,[86] dan mutharahah.[87] Metode-metode tersebut, dapat dipraktekkan sesuai dengan karakter materi pelajaran. Sedangkan lingkungan pendidikan haruslah lingkungan yang kondusif untuk pengembangan pendidikan. Lingkungan pendidikan yang dikonsepsikan al-Zarnuji adalah lingkungan persahabatan yang mendukung lancarnya pendidikan dan kesungguhan belajar, dan sebaliknya harus menjauhi lingkungan persahabatan yang tidak mendukung pendidikan.
Dalam bab ke-12 dalam kitab Ta’līm al-Muta’allim ini, bahwa metode menghafal merupakan metode pokok dalam sistem pendidikan, kekuatan akal dalam menangkap respon-respon dari luar sangat penting dalam usaha pemahaman sesuatu makna. Hal ini terlihat jelas dari deskripsi al-Zarnuji tentang kiat-kiat memperkuat hafalan dan hal-hal yang harus dijauhi yang dapat merusak hafalan (penyebab kelalaian). Usaha untuk memperkuat hafalan (dlabith, dalam istilah hadits) dilakukan dengan cara tekun belajar, mengurangi makan, salat malam, dan membaca Al-Quran.[88] Dikatakan oleh al-Zarnuji:
وأقوى أسباب الحفظ الجد والمواظبة وتقليل الغداء وصلاة اليل وقراءة القرآن
Kiat lain yang dapat menguatkan hafalan seorang murid adalah dengan makan kundar (kemenyan) dicampur madu, makan 21 anggur merah setiap hari tanpa air, dan apa saja yang dapat mengurangi dahak, bisa menguatkan hafalan, dan sebaliknya jika apa saja yang menambah dahak akan menyebabkan lemahnya hafalan seseorang.[89]
Al-Zarnuji secara sederhana memberikan gambaran tentang hal-hal yang menjadikan penyebab lemahnya hafalan seseorang, adalah makan ketumbar basah, makan apel yang kecut, melihat orang yang dipancung, membaca tulisan di kuburan, melewati barisan unta, membuang ketombe hidup di tanah dan cantuk (melukai di bagian tengkuk kepala untuk menghilangkan rasa pusing).[90]

E.  Hubungan Guru dan Murid Menurut Al-Zarnuji
Inti proses belajar adalah perubahan pada diri individu  dalam aspek pengetahuan, sikap, keterampilan, dan kebiasaan sebagai produk dan interaksinya dengan lingkungan. Belajar adalah proses membangun pengetahuan melalui transformasi pengalaman. Dengan kata lain suatu proses belajar dapat dikatakan berhasil  bila dalam diri individu terbentuk pengetahuan, sikap, keterampilan, atau kebiasaan baru yang secara kualitatif lebih baik dari sebelumnya. Proses belajar dapat terjadi karena adanya interaksi antara individu dengan lingkungan belajar secara mandiri atau sengaja dirancang. Orang yang belajar mandiri secara individual dikenal sebagai otodidak, sedangkan orang yang belajar karena dirancang dikenal sebagai pembelajaran formal. Proses belajar sebagian besar terjadi karena memang sengaja dirancang. Proses tersebut pada dasarnya merupakan sistem dan prosedur penataan situasi dan lingkungan belajar agar memungkinkan terjadinya proses belajar. Sistem dan prosedur inilah yang dikenal sebagai proses pembelajaran aktif.
Proses pembelajaran yang baik adalah proses pembelajaran yang memungkinkan para pembelajar aktif melibatkan diri dalam keseluruhan proses baik secara mental maupun secara fisik. Model proses ini dikenal sebagai pembelajaran aktif atau pembelajaran interaktif dengan karakteristiknya sebagai berikut (1) adanya variasi kegiatan klasikal, kelompok dan perorangan; (2) guru berperan sebagai fasilitator belajar, nara sumber dan manajer kelas yang demokratis; (3) keterlibatan mental (pikiran, perasaan) siswa tinggi; (4) menerapkan pola komunikasi yang banyak; (4) suasana kelas yang fleksibel, demokratis, menantang dan tetap terkendali oleh tujuan; (6) potensial dapat menghasilkan dampak intruksional dan dampak pengiring lebih efektif; (7) dapat digunakan di dalam atau di luar kelas/ruangan.[91]
Membahas tentang hubungan guru dan murid, maka sangat terkait dengan interaksi edukatif, yaitu suatu proses yang menggambarkan hubungan aktif dua arah antara guru dan murid dengan sejumlah pengetahuan (norma) sebagai mediumnya untuk mencapai tujuan pendidikan.
Anak didik merupakan individu yang akan dipenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan, sikap, dan tingkah lakunya, sedangkan pendidik adalah individu yang akan memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi dalam proses kehidupan dan pendidikan secara umum, batas antara keduanya sulit ditentukan karena adanya saling mengisi dan saling membantu, saling meniru dan ditiru, saling memberi dan menerima informasi yang dihasilkan, akibat dari komunikasi yang dimulai dari kepekaan indra, pikiran, daya appersepsi dan keterampilan untuk melakukan sesuatu yang mendorong internalisasi dan individualisasi pada diri individu sendiri.
Untuk mengetahui hubungan antara guru dan murid menurut pemikiran al-Zarnuji, maka dapat diulas dari kitab Ta’līm al-Muta’allim, yang secara spesifik ditulis dalam bab IV, tentang Memuliakan Ilmu dan Ahli Ilmu. Dalam bab ini beliau membahas secara luas mengenai hubungan guru dengan murid, mencakup beberapa etika yang harus diperhatikan oleh seorang murid, terkait dengan hubungan sebagai sesama manusia dalam keseharian maupun hubungan dalam situasi formal sebagai seorang pengajar dan individu yang belajar. Akan tetapi dalam hal ini, bagaimana etika atau sikap guru terhadap murid hanya dibahas secara implisit, karena pada dasarnya kitab ini ditulis sebagai pedoman dan tuntunan bagi para penuntut ilmu atau para murid.
Secara metode pendidikan, al-Zarnuji memberikan konsep secara sederhana tetapi mengandung makna yang luas bahwa dalam proses pembelajaran yang baik ada tiga hal penting yang harus diperhatikan, adalah:
ولابد لطالب العلم من المذاكرة والمناظرة والمطارحة. وينبغى أن يكون بالإنصاف والتأنى والتأمل ويتحرز عن الشغب
"Para pelajar harus melakukan muzakarah (diskusi untuk saling mengingatkan), munadzarah (berdialog), dan mutharahah. Hendaknya ia dilakukan dengan sungguh-sungguh, tertib, tidak gaduh dan tidak emosional".[92]

Pendapat tersebut mengandung arti bahwa metode diskusi antar murid atau dalam bentuk kelompok merupakan penekanan penting untuk sebuah pendidikan. Dengan berdiskusi atau dialog, seorang murid akan mampu melatih daya argumentasinya dan daya kekritisannya dalam memecahkan masalah. Sedangkan cara berdiskusi yang baik adalah serius/peka, mematuhi aturan, tidak membuat keributan, dan mengedepankan rasional daripada emosional.
Metode diskusi mendorong siswa untuk berdialog dan bertukar pendapat, dengan tujuan agar siswa dapat terdorong untuk berpartisipasi secara optimal, tanpa ada aturan-aturan yang terlalu keras, namun tetap harus mengikuti etika yang disepakati bersama. Diskusi dapat dilaksanakan dalam dua bentuk. Pertama, diskusi kelompok kecil (small group discussion) dengan kegiatan kelompok kecil. Kedua, diskusi kelas, yang melibatkan semua siswa di dalam kelas, baik dipimpin langsung oleh gurunya atau dilaksanakan oleh seorang atau beberapa pemimpin diskusi yang dipilih langsung oleh siswa. Jadi dilihat dari segi hubungan antara guru dengan murid adalah hubungan yang demokratis, hubungan dalam pendidikan yang memposisikan guru sebagai fasilitator dan evaluator.
Di bagian lain dalam hubungan guru dengan murid adalah masalah etika murid terhadap guru dalam rangka menghormati atau mengagungkan guru, al-Zarnuji memberikan rambu-rambu yang aplikatif bahwa yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh seorang murid atau santri hendaknya, (1) jangan berjalan di muka guru; (2) jangan menduduki tempat duduk guru; (3) jangan mendahului bicara dihadapan gurunya kecuali seijinnya; (4) jangan banyak bicara dihadapan guru; (5) jangan bertanya sesuatu yang membosankannya; (6) jika berkunjung pada guru harus menjaga waktu, dan jika guru belum keluar maka janganlah mengetuk-ngetuk pintu, tapi bersabarlah hingga guru keluar; (7) selalu memohon keridho’annya; (8) manjauhi hal-hal yang dapat menimbulkan kemarahann guru; (9) melaksanakan perintah guru asal bukan perintah maksiat; (10) menghormati dan memuliakan anak-anak, famili dan kerabat gurunya.
Belajar merupakan suatu usaha untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan dapat mengantarkan seseorang menuju jalan yang terang dan derajat keluhuran. Belajar bagi al-Zarnuji lebih dimaknai sebagai tindakan yang bernilai ibadah, yang dapat ikut menghantarkan peserta didik mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Agama sangat menjunjung nilai-nilai moral dalam kehidupan, terlebih orang-orang yang berilmu. Orang yang mencari ilmu harus memperhatikan dasar-dasar etika agar dapat berhasil dengan baik dalam belajar, memperoleh manfaat dari ilmu yang dipelajari dan tidak menjadikannya sia-sia. Diantara beberapa etika tersebut dapat dipahami dari nasehat–nasehat al-Zarnuji, yang terkait dengan etika dalam menjaga hubungan antara guru dengan murid.
Al-Zarnuji memberi pernyataan penegasan kepada murid, bahwa :

 إعلم بأن طالب العلم لاينال العلم ولاينتفع به إلا بتعظيم العلم وأهله وتعظيم الأستاذ وتوقيره
"Ketahuilah sesunguhnya orang yang mencari ilmu itu tidak akan memperoleh ilmu dan kemanfaatannya, kecuali dengan memuliakan ilmu beserta ahlinya, dan memuliakan guru."[93]

Sebagaimana yang diuraikan Siti Khomsatun Khoriyah dalam skripsinya di bab III, bahwa pernyataan di atas menjadi semangat yang mendasari adanya penghormatan murid terhadap guru, bahwa murid tidak akan bisa memperoleh ilmu yang manfaat tanpa adanya pengagungan terhadap ilmu dan orang yang mengajarnya. Jadi untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat, membutuhkan jalan dan sarana yang tepat, yakni dengan mengagungkan ilmu yang termasuk dalam mengagungkan ilmu adalah penghormatan terhadap guru dan keluarganya. Apabila kita membuka mata, betapa besar pengorbanan Guru yang berupaya keras mencerdasakan manusia dengan memberantas kebodohan, dengan sabar dan telaten membimbing, mengarahkan murid serta mentransfer ilmu yang dimiliki, sehingga melahirkan individu-individu yang memiliki nilai lebih dan derajat keluhuran baik di mata sesama makhluk maupun di hadapan Allah Swt.
Penghormatan terhadap guru merupakan suatu hal yang wajar karena pada dasarnya guru tidak membutuhkan suatu penghormatan akan tetapi secara manusiawi guru biasanya menjadi tersinggung apabila muridnya bersikap merendahkan dan tidak menghargai. Dan sebagai wujud pemuliaan dan penghormatan kepada guru, Sebagai konsekuensi sikap moral atas pengagungan dan penghormatan terhadap guru al-Zarnuji memberikan saran dan penjelasan, bahwa penghormatan tersebut berbentuk sikap kongkrit yang mengacu pada etika moral dan akhlak seorang murid terhadap gurunya dalam interaksi keseharian dan dalam bentuk materi. Al-Zarnuji mengutip syair dari Ali bin Abi Thalib:

رأيت أحق الحق حق المعلم   -  وأوجبه حفظاعلى كل مسلم
لقد حق أن يهدى اليه كرامة   -  لتعلم حرف واحد ألف درهم

"Aku tahu bahwa hak seorang guru itu harus diindahkan melebihi segala hak. Dan wajib dijaga oleh setiap Islam. Sebagai balasan memuliakan guru, amat pantaslah jika beliau diberi seribu dirham, meskipun hanya mengajarkan satu kalimat."[94]

Posisi guru yang mengajari ilmu walaupun hanya satu huruf dalam konteks keagamaan disebut sebagai bapak spiritual, sehingga kedudukan guru sangat terhormat dan tinggi, karena dengan jasanya seorang murid dapat mencapai ketinggian spiritual dan keselamatan akhirat. Hal ini berarti hubungan tersebut adalah hubungan yang sangat dekat tidak hanya terbatas dalam kondisi dan lingkungan pendidikan secara formal, dimana guru sebagai pentransfer pengetahuan dan murid sebagai penerima, akan tertapi lebih merupakan sebuah hubungan yang memiliki ikatan moral dan emosional tinggi sebagaimana ikatan antara bapak dan anak, yang sama-sama memiliki konsekuensi sikap dalam bentuk hak dan kewajiban.
Indikator murid yang baik adalah selalu dapat menyenangkan hati sang guru dan menaruh penuh rasa hormat terhadap gurunya, mendahulukan urusan yang terkait dengan guru. Sehingga guru tidak merasa tersinggung dan sakit hati. Jadi pada dasarnya merupakan suatu kewajiban atas murid untuk dapat beritikad baik kepada guru, sebab bagaimanapun guru adalah juga bapak dari para murid, sehingga perintah dari guru merupakan suatu keharusan bagi murid untuk melaksanakannya, sebagaimana perintah dari orang tua terhadap anaknya, kecuali perintah dalam kedhaliman, bahkan haram bagi murid menyinggung perasaan dan membuat sakit hati guru, sebagaimana Allah mengharamkan kedurhakaan anak terhadap orang tuanya.[95] Secara tegas al-Zarnuji mengatakan, "Barang siapa menyakiti hati guru, maka haramlah keberkahan ilmu dan tidak memperoleh manfaat ilmu kecuali sedikit."[96]
Implikasi dari sikap murid yang meremehkan dan tidak dapat menaruh rasa hormat terhadap guru maupun para kerabatnya, maka digambarkan oleh al-Zarnuji dengan mengutip sebuah sya’ir, bahwa:
إن المعـلم والطـبيب كلاهــما     -   لاينصحان إذاهما لم يكرما
فاصبر لدائك إن جفوت طبيبها   -   واقنع بجهلك إن جفوت معلما
“Ketahuilah, sesungguhnya guru dan dokter, keduanya jika tidak dihormati, tentu tidak akan mau memberikan nasehat yang benar Maka terimalah dengan sabar rasa sakitmu jika kamu meremehkan doktermu. Dan terimalah kebodohanmu, jika kamu meremehkan gurumu”[97]

Syair di atas menggambarkan, bahwa hubungan guru dan murid seperti hubungan antara dokter dan pasien, karena adanya persamaan saling membutuhkan dan saling ketergantungan. Guru dibutuhkan oleh murid karena ilmunya untuk menghilangkan kebodohan sedangkan dokter dibutuhkan oleh pasien karena nasehat dan obatnya untuk kesembuhan penyakitnya. Demikian pula dalam proses belajar mengajar dan dalam persoalan akademik, seorang guru lebih tahu disebabkan pengalaman yang lebih dibandingkan dengan murid. Sedangkan seorang dokter memang memiliki keahlian didalam mendiagnosa untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Jadi fungsi hubungan antara dokter dengan pasien adalah adanya kepercayaan dan kepatuhan murid terhadap guru dalam persoalan akademiknya, dengan mengutamakan petunjuk dan nasehat sebagai kepentingan utama.
Hubungan inilah yang kemudian pada akhir pembahasan bab ini, ditegaskan kembali oleh al-Zarnuji kepada penuntut ilmu untuk benar-benar dapat memahami posisi seorang guru bagi dirinya dalam rangka pengembangan potensi ilmiahnya serta penemuan dan pengembangan potensi diri, yang tidak mungkin berkembang tanpa adanya bimbingan dan arahan dari orang yang memiliki pengetahuan dan keahlian lebih darinya, karena memang demikianlah proses pendidikan berlangsung.


[1] Plessner, al-Zarnuji dalam al-Syanthawi, dkk, Dairah al-Ma‘arif al-Islamiyyah, jilid X, (Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 344
[2] Syihāb al-Dīn Ibn Abd Allah Yaqut al-Hamawi, Mu‘jam al-Buldan, jilid III, (Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 139
[3] Lihat disertasi Marwazi, Konsep Pendidikan dalam Kitab Ta‘lim al-Muta‘allim Karya al-Zarnuji dan Aplikasinya di Pondok Pesantren al-Falah Ploso Mojo Kediri, Disertasi, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah, 1998), hlm. 29
[4] Ahmad Fuad Ahwani, al-Tarbiyyah fî al-Islâm aw al-Ta‘lim fî Ra’si al-Qabis, (al-Qahirah: Isa al-Babi al-Halabi, 1955), hlm. 239
[5] Plessner, Op. Cit., hlm. 344
[6] Misalnya saja ketika menerangkan tentang saran khusus bagi pelajar, ia mengatakan bahwa guru kami sendiri yaitu Syaikh al-Imam Burhan al-A’immah ‘Ali Abu Bakar, lihat Plessner, Op. Cit., Ta‘lim al-Muta‘allim, hlm. 14
[7] Plessner, Op. Cit, hlm. 344; bandingkan dengan Mochtar Afandi, The Method of Muslim Learning as Illustrated in al-Zarnuji’s Ta‘lim al-Muta‘allim Thariq al-Ta‘allum, (Jakarta: Depag RI, 1993), hlm.2
[8] Banyak dijumpai buku-buku tarjamah ataupun mengenai syarah atas Ta'līmul Muta'allim diantaranya  yang dicetak dan diterbitkan oleh penerbit Toha Putra, Semarang; Syarah dari Syaikh Ibrahim dituliskan dengan aksara Arab gundul, di dalamnya teks dari Syaikh Az-Zarnuji tertera di pinggir halaman seperti catatan pinggir. Sementara uraian atau penjelasan dari Syaikh Ibrahim memenuhi halaman kitab; Saduran atas Ta'līmul Muta'allim Tharīq ta'allūm dari A Mudjab Mahali dan Umi Mujawazah Mahali yang diberi judul, Kode Etik Kaum Santri (Bandung: Al-Bayan, 1988). Bahasa Indonesianya tersusun bagus, dalam arti mudah dimengerti. Terjemahan atas beberapa petikan syair Arab klasik di dalamnya pun terasa puitis. Ada pula terjemahan dari Abdul Kadir Aljufri, yakni Terjemah Ta'līm Muta'allim (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995). Dalam buku ini, teks Arab dari Syekh al-Zarnuji dan teks Indonesia dari al-Jufri disusun berselang-seling. Terasa adanya upaya penerjemah untuk sedapat mungkin berpegang pada teks aslinya.
[9] Ahmad Al-Syantanawi, Ibrahim Zaki Khursid dan Abd.Hamid Yunus, Dairot al-Ma’arif al-Islam, Jilid. X, Hlm. 245. Pernyataan tersebut dipertanyakan kebenarannya, sebab tidak ada dasar yang kuat Dan al-Zarnuji bukanlah orang Arab. Lihat studi penelitian tentang kitab Ta’līm almuta’allim, oleh Imam Ghazali Said, (Surabaya: Diyantama,1977), hlm. 15. Akan tetapi Ahmad Usman membantah jika al-Zarnuji merupakan nama seorang filosuf yang menggunakan nama samaran (anonim). Karena pada masanya tidak lazim seseorang menggunakan nama samaran. Lihat Ahmad Usman, al-Ta’lim ‘Inda Burhanul Islam al-Zarnuji, (Kairo: Maktabah al-Anjalu al-Misriyah, 1989), hlm. 175
[10] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Seri Kajian Filsafat Pendidikan Islam), (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2001), Cet II, hlm. 104
[11] Lihat M. Plessner, “Al-Zarnuji” dalam First Encyclopedia Of Islam, Vol. VIII,( London-New York: E.J. Brill’s, 1987), hlm. 1218
[12] Lihat Sudarnoto Abdul Hakim, Hasan Asari, Yudian W. Asmin (penyunting), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan Untuk 70 tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, MA, (Yogyakarta: LPMI, 1995), hlm. 20
[13] Ghazali Said, Op.cit., Hlm. 19
[14] Hasan Langgulung, Pendidkan Islam Menghadapi abad ke-21, (Jakarta : Pustaka al-Husna, 1988), hlm. 31
[15] M. Plessner, Loc. Cit.
[16] Ghazali Said, Op.cit., hlm. 18-19
[17] Dalam artikel yang dirilis di situs sidogiri.com dikatakan, bahwa al-Zarnuji diperkirakan hidup di akhir Abad Ke-6 Hijriyah. Ada yang menyebut tahun wafatnya pada 591 H, 86 tahun setelah Imam al-Ghazali. Sejarah hidupnya tak banyak disebut dalam kitab-kitab. Referensi sejarah rata-rata hanya menyebut sejarahnya dengan sangat ringkas. Al-Zarnuji dipandang sebagai salah satu pakar pendidikan Islam. Dalam serial terbitan min A'lam al-Tarbiyah al-Arabiyah al-Islamiyah, ada sebuah buku analisa tentang al-Zarnuji dan Ta’lim al-Muta’allim: Burhan al-Din al-Zarnuji wa Kitabuh Ta’lim al-Muta’allim. Buku ini disusun oleh Sayyid Ahmad Utsman. Tapi, sayangnya buku ini sulit sekali ditemukan di toko-toko buku Indonesia.
[18] Busyairi Madjidi, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta: al-Amin Press, 1997), Cet.I, hlm. 101
[19] Badriyatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), Cet. VII, hlm. 79
[20] Ibid., hlm. 50
[21] Busyairi Madjidi, Loc. Cit.
[22] Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 65-66
[23] Lihat Ahmad Salabi, Sejarah dan kebudayaan Islam, (Terj. Muhammad Labieb Ahmad ), jilid 3, (Jakarta: PT Al-Husna Zikra, 1997), Cet. II, hlm.340.
[24] Muhammad Lutfi Jum’ah, dalam Busyairi Madjid, Op. Cit., hlm 101-102
[25] Ahmad Syalaby, Op.Cit., hlm. 351 atau lihat Badri Yatim, Op. Cit., hlm. 75
[26] Fazlur Rahman, Islam dan modernitas: Tentang Transformasi Intelektual, (Terj. Ahsin Muhammad ), (Bandung: Pustaka, 2000), Cet.II, hlm. 43.
[27] Nama-nama guru al-Zarnuji dapat dilihat dalam kitabnya Ta'līm yang didalamnya menyebutkan nama tersebut, dan semuanya adalah bermadzhab Hanafiah.
[28] Lihat Djudi, Konsep Belajar Menurut Al-Zarnuji, (Yogyakarta: Pusat Penelitian IAIN Sunan Kalijaga, 1997), hlm. 10
[29] Sudarnoto, Op.Cit., hlm. 25. atau lihat Imam Ghozali Said, Op. Cit., hlm. 14
[30] M. Plessner, Op., Cit., hlm. 1218
[31] Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 105
[32] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,1992), Cet. III, hlm. 7
[33] Lihat Hasan Langgulung, Pendidikan Islam Menghadapi Abad 21, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988), hlm. 99
[34] Selengkapnya lihat Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 106
[35] M. Plessner “ al-Zarnuji “ dalam Encyclopedia Of Islam, Vol. VIII, (London – New York: EJ.Brill’s, 1987), hlm. 1218
[36] Imam Ghozali Said, Ta’lim al Muta’allim Thoriqut Ta’allum, (Surabaya: Diyantama, 1977), hlm. 17. Menurut informasi dari Gesechiehteder Arabischen Litteratur, yang biasa dikenal dengan singkatan G.A.L. karya Cart Brockelmann, menginformasikan berdasarkan data yang ada di perpustakaan, bahwa kitab Ta’lim pertama kali diterbitkan di Mursidabad pada tahun 1265 M, kemudian ditulis tahun 1286,1873, di Kairo 1281, 1307, 1418, di Istambul 1292,dan di Kasan 1898. selain itu kitab Ta’lim menurut G.A.L. telah diberi catatan atau komentar (sharah), dalam tujuh penerbitan masing-masing atas nama: (1) Nau’i, tanpa keterangan tahun penerbitan; (2) Ibrahim bin Isma’il pada tahun 996 H / 1588; (3) As-sa’rani 710 / 711, (4) Ishaq b. Ibn. Ar-Rumi Qili’ 720 dengan judul Mir’atu Atholibin, (5) Qadi b. Zakariya Al-Anshari A’saf, (6) Otman Pazari1986 dengan judul Tafhim al-Mutafahhim, dan 7. H.b.’Al-Faqir, tanpa keterangan tahun penerbitan.
[37] H. Khalifah dalam Sudarnoto Abd. Hakim, Hasan Asari, Yodian W. Asmin (Penyunting), Islam Berbagai Perspektif: Didedikasikan Untuk 70 Tahun Prof. Dr. H. Munawir Sadzali, M.A., (Yogyakarta: LPMI,1995), hlm. 21
[38] Ibid., hlm. 21
[39] Ahmad Usman, Al-Ta’lim Inda Burhanul Islam Al-Zarnuji, (Kairo:Maktabah Al-Anjalu Al-Misriyah, 1989), hlm. 88
[40] al-Zarnuji, Ta’līm al-Muta’allim Tarīqatta'allum (terj. Abdul Kadri al-Jufri), (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 1
[41] Apabila dilihat dari sudut pembahasannya kitab Ta’lim sangat menarik karena didasarkan pada Al-Qur’an, meskipun sangat minim sekali; Hadits yang tidak kurang dari 21 matan hadits; Hikmah atau kata-kata mutiara yang dibumbui kisah-kisah para ulama yang telah berhasil mendapatkan ilmu; Syair-syair yang jumlah keseluruhannya terdapat dalam 81 buah syair.
[42] Acuan dalam pembahasan ini menggunakan 2 buah buku: (a) Syarah Ta'limul Muta'allim oleh Syeh Ibrahim bin Ismail yang diterjemahkan oleh M. Ali Chasan Umar dengan judul Petunjuk Menjadi Cendekiawan Muslim (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2000) dengan 109 halaman; (b) Tarjamah Ta'lim Muta'allim oleh Abdul Kadir Al-Jufri (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995) dengan jumlah halaman 104
[43] Dalam konteks ke-Islaman mencari ilmu adalah kewajiban yang tidak ditawar dimulai dari buaian sampai liang lahat. Mencari ilmu wajib bagi muslim dan muslimat. Bahkan dipersilahkan oleh NabiCarilah ilmu walaupun dinegeri Cina. Hal ini sesuai dengan konteks pendidikan yang telah dikonsep oleh UNESCO bahwa orang hidup harus mencari ilmu (long life education). Perlu digaris bawahi bahwa dalam bab ini kewajiban yang paling utama mencari ilmu adalah ilmu agama. Kemudian setelah meiliki ilmu diwajibkan orang tersebut memahami fiqh dengan mendalam.
[44] Bandingkan isi kitab Ta’līm al-Muta’allim karya al-Zarnuji dengan kitab Adabul 'Alim wa al-Muta'allim ditulis oleh KH. Muhammad Hasyim Asy'ari yang berisi 10 bab (I) Fadhilah Ilmu Pengetahuan dan Ahli Ilmu (Ulama), serta Fadhilah Mengajarkan dan Mempelajari Ilmu Pengetahuan. Pasal Penting: Ancaman bagi Ulama/Guru yang Tidak Mengamalkan Ilmunya dengan Benar; (II) Etika bagi Pencari Ilmu; (III) Etika Pelajar Terhadap Guru; (IV) Etika Belajar bagi Pencari Ilmu; (V) Etika bagi Alim (Ulama/Guru); (VI) Etika Mengajar bagi Alim; (VII) Etika Guru terhadap Siswa; (VIII) Etika Terhadap Kitab; (IX) Penutup; (X) Komentar Para Ulama atas Kitab Adabul 'Alim wa al-Muta'allim karya KH. M. Hasyim Asy'ari
[45] Hal-hal yang dapat menguatkan hafalan ialah tekun/rajin belajar, mengurangi makan, shalat malam, dan membaca Al-Quran. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 92). Pendapat tersebut perlu diteliti lebih lanjut, sejauhmana korelasi antara mengurangi makan dan seterusnya dapat meningkatkan daya serap fikir untuk mempercepat hafalan. Jika ditinjau dari dimensi imani, barangkali tidak perlu diperdebatkan, tetapi jika dari dimensi ilmiah, maka perlu kajian lebih lanjut.
[46] Para murid haruslah selalu berdiskusi antar kelompok, diskusi antar teman, dan diskusi kelas. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 56)
[47] Orang berilmu harus menyayangi sesama. Senang kalau orang lain mendapat kebaikan tanpa ada rasa iri. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 77)
[48] Niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridho Allah, mencari kebahagiaan di akherat, menghilangkan kebodohan dirinya, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam akan tetap lestari dengan umatnya yang berilmu. (al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 12)
[49] al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 19. Ditambahkan Syeikh Ibrahim bin Ismail dalam syarah Ta'limul al-Muta'allim dikatakan dalam memilih guru diusahakan seorang guru yang senior (lebih tua), berpengalaman, rajin dan teliti, sosial, dan penyabar.
[50] Diantara maksud wara/wira secara aplikatif adalah menyingkir atau menjauhi dari orang yang suka berbuat kerusakan dan maksiat, serta senang menganggur (Ibid., hlm.88)
[51] Ibid., hlm. 18
[52] Ibid., hlm. 19
[53] Ibid., hlm. 26
[54] Loc. Cit
[55] Ibid., hlm. 28
[56] Loc. Cit
[57] al-Zarnuji, Op.Cit., hlm. 6
[58] Ibid., hlm. 7
[59] Ibid., hlm. 9
[60] Ibid., hlm. 11
[61] Ibid., hlm. 16
[62] Ibid., hlm. 18
[63] Ibid., hlm. 17
[64] Ibid., hlm. 21
[65] Ibid., hlm. 22
[66] Ibid., hlm. 23
[67] Ibid., hlm. 22
[68] Ibid., hlm. 23
[69] Loc. Cit.
[70] Ibid., hlm. 25
[71] Ibid., hlm. 27
[72] Ibid., hlm. 28
[73] Ibid., hlm. 30
[74] Ibid., hlm. 37
[75] Ibid., hlm. 54
[76] Ibid., hlm. 55
[77] Ibid., hlm. 56
[78] Ibid., hlm. 63
[79] Ibid., hlm. 69
[80] Ibid., hlm. 71
[81] Ibid., hlm. 77
[82] Ibid., hlm. 81
[83] Ibid., hlm. 86
[84] Ibid., hlm. 90
[85] Adalah metode diskusi antar kelompok (small group discussion). Jumlah anggotanya terbatas 5 sampai 6 orang. Masing-masing anggota mempunyai pandangan (nazhar) dan disampaikan kepada anggota yang lain. Dalam kelompok munâzharah ini lahir kerjasama antar anggota kelompok untuk membahas mata pelajaran yang diterima atau membahas isi suatu kitab. Lihat Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, h. 115
[86] Adalah metode soal-jawab antara sesama murid. Murid yang satu menyampaikan soal kepada yang lain, yang lain menjawabnya. Tujuannya adalah untuk membangkitkan ingatan terhadap pelajaran-pelajaran yang telah diterima. Dalam tradisi Jawa, cara seperti ini dikenal dengan istilah “bedean”. Lihat Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, h. 115
[87] Menurut Busyairi madjid mutharahah dikenal dengan diskusi kelas (class discussion). Anggota kelompok yang satu berhak mengadakan kritikan terhadap pendapat kelompok lain. Lihat Busyairi Madjid, Konsep Kependidikan Para Filosof Muslim, h. 115
[88] Al-Zarnuji., Ibid., hlm. 92
[89] Lihat al-Zarnuji, Ibid., hlm. 94
[90] Loc.cit
[91] Endang Komara, Strategi Pembelajaran Aktif Di Perguruan Tinggi, Makalah: Tidak dipublukasikan.
[92] Ibid., hlm. 56
[93] Al-Zarnuji, Op. Cit., hlm. 25
[94] Ibid., hlm. 26
[95] Lihat QS. Bani Israil ayat 23, yang intinya adalah sangat banyak jasa orang tua yang dengan susah payah merawat, menjaga dan mendidik anak. Sehingga tidak patut dan wajib bagi kita memperlakukan mereka penuh kebaikan, perlakuan dan tutur kata, perangai dan tenaga serta apa saja yang dinamakan baik. Jadi jangan sampai terlihat satu perangai yang kurang baik atau perkataan yang kurang manis terhadap ibu-bapak. (A. Hasan, Kesopanan Tinggi, Cet. IX, (Bandung: CV. Diponegoro, 1993), hlm. 12
[96] Al-Zarnuji, Loc. Cit.
[97] Ibid., hlm. 30.  Disamping sebagai hubungan antara dokter dengan pasien, juga disebut hubungan bapak dengan anak (lihat, al-Zarnuji, Op.Cit., hlm. 27)

3 comments:

  1. terima kasih tulisan yang sangat lengkap.....

    ReplyDelete
  2. Huda, M., & Kartanegara, M. (2015). Islamic Spiritual Character Values of al-Zarnūjī’s Taʻlīm al-Mutaʻallim. Mediterranean Journal of Social Sciences, 6(4), 229.

    ReplyDelete