Sunday, March 18, 2012

FILSAFAT PRIBADI

Catatan Dari idealitas Kepada Realitas

Saya tidak dapat menjelaskan detail kejadian demi kejadian yang beruntun untuk melangkah sampai saat ini saya menjadi pengajar, mungkin tak beda dengan pengajar yang lain, ketika ditanya “mengapa saya jadi pengajar?”, ada yang mungkin menjawab: “sudah takdirnya!”, “memang dilahirkan menjadi seorang guru”, atau “guru yang terlahir karena langkah”. Maka saya akan menjawab saya menjadi guru yang terlahir karena langkah, dan langkah itu yang meyakinkan saya bahwa itu adalah langkah terbaik yang diberikan Allah kepada saya.

Sejak kecil barangkali saya diplanning orang tua sebagai penerusnya bekerja di Departemen Agama menjadi seorang guru agama, sehingga sejak kecil sudah dikondisikan pendidikan saya yang bergelut bidang keagamaan, mulai MI, Mts dan MA As-Salaam, kemudian IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Fak. Tarbiyah Jurusan PAI. Lengkap sudah jalur studi yang menunjang untuk menjadi guru PAI. Setelah lulus tahun 1998, saya menjadi guru wiyata bakti di SMP Muhammadiyah dan MAN Sukoharjo. Dimana awal-awal pertama merasakan dunia pendidikan formal masih canggung sekalipun dulu pernah mengadakan praktek mengajar ketika ada beban mata kuliah.
Tahun 2001 mendaftar guru di Depag dan akhirnya lulus menjadi guru PAI di lingkungan SMP. Awalnya sangat sulit untuk memulai belajar untuk menjadi pengajar, bagaimana cara mengajar yang baik? Hingga saya berkomitmen untuk menjalankan tugas mulia ini sebagaimana hadits nabi:
حدثنا أبو الربيع قال: حدثنا إسماعيل بن جعفر قال: أخبرنا العلاء عن أبيه عن أبى هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال: "إذا مات العبد إنقطع عنه عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له" (رواه البخارى)
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim).

Bagaimanapun saya harus menjadi seorang guru yang baik dan benar-benar guru yang digugu lan ditiru, adagium yang sangat kuno tetapi masih berlaku sepanjang jaman. Sharing dengan orang tua, teman sesama guru merupakan hal yang wajib saya lakukan untuk menambah wawasan dan ilmu di lapangan baru yang barangkali tidak pernah ditemukan di bangku kuliah. Pada dasarnya, saya berfikir, “apakah pantas saya disebut seorang guru, apalagi bidang agama?” sebagaimana isyarat Syaikh Ahmad Ar Rifai mengungkapkan, bahwa seseorang bisa dianggap sah untuk dijadikan sebagai pendidik dalam pendidikan Islam apabila memenuhi dua kriteria (1) Alim yaitu mengetahui betul tentang segala ajaran dan syariahnya Nabi Muhammad Saw, sehingga ia akan mampu mentransformasikan ilmu yang komprehenshiv tidak setengah-setengah, (2)Adil riwayat yaitu tidak pernah mengerjakan satupun dosa besar dan mengekalkan dosa kecil, seorang pendidik tidak boleh fasik sebab pendidik tidak hanya bertugas mentransformasikan ilmu kepada anak dididiknya namun juga pendidik harus mampu menjadi contoh dan suri tauladan bagi seluruh peserta didiknya. Di khawatirkan ketika seorang pendidik adalah orang fasik atau orang bodoh, maka bukan hidayah yang diterima ank didik namun justru pemahaman-pemahaman yang keliru yang berujung pada kesesatan.
Tetapi, saya tidak boleh menyerah, bagaimanapun juga mendidik adalah tugas mulia, spiritual father (bapak rohani), bagi peserta didik yang memberikan santapan jiwa dengan ilmu, pembinaan akhlak mulia, dan meluruskan perilakunya yang buruk. Oleh karena itu, pendidik memiliki kedudukan tinggi. Salah satu hal yang menarik pada ajaran Islam ialah penghargaan Islam yang sangat tinggi terhadap guru. Begitu tingginya penghargaan itu sehingga menempatkan kedudukan guru setingkat di bawah kedudukan nabi dan rasul. Mengapa demikian? Karena guru selalu terkait dengan ilmu (pengetahuan), sedangkan Islam sangat menghargai pengetahuan.

A. TUJUAN BEKERJA
Menurut saya tujuan berkerja seseorang ada dua, yaitu untuk memenuhi kebutuhannya, dan untuk mencari pengetahuan, apa beda dari keduanya? Kalau hanya memenuhi kebutuhannya kita akan menjadi tergantung kepada perusahaan, sementara kalau kita mencari pengetahuan, maka perusahaan yang akan tergantung kepada kita, atau paling tidak kita tidak akan tergantung kepada perusahaan.
Apa maksudnya? Untuk menjelaskan dari pemikiran saya, kita ilustrasikan si A bekerja sekedar untuk memenuhi kebutuhannya dan si B bekerja karena ingin mencari pengetahuan, tentang apa? Apa saja yang berguna bagi masa depannya.
Biasanya orang yang bekerja hanya sekedar memenuhi kebutuhannya, dia hanya peduli yang dia kerjakan, namun tidak perduli pada pekerjaan tersebut, atau kenapa harus dilakukan?, Jadi tidak ada rasa ingin tahu mengenai pekerjaanya, apa pengaruh pekerjaan terhadap tempat kerja?. Yang dia tahu adalah dia sudah bekerja cukup keras, dan kadang kadang kalau pekerjaanya membutuhkan lembur dia merasa sudah memberikan lebih kepada perusahaan tempat berkerja, setelah itu dia mengeluh mengenai apa yang dia dapatkan, karena yang diharapkan tidak kunjung tiba, akhirnya semangat untuk bekerjanya jadi hilang, efeknya kerjanya jadi 1/2 hati, mulai datang terlambat.
Adapun orang orang yang bekerja untuk menambah pengetahuan, akan berfikir untuk apa rutinitas yang dia kerjakan, adakah cara yang lebih mudah untuk mengerjakannya, setelah menemukan cara yang lebih mudah, maka waktunya banyak yang tersisa, namun dia menggunakan waktu yang tersisa itu untuk melakukan hal lainnya, sehingga kemampuannya pun bertambah, dia tahu segala aspek dalam pekerjaannya, dia haus akan pengetahuan, dan ingin mempelajari berbagai hal.
Dalam Islam kita mengetahui bahwa segala amalan apapun yang kita kerjakan termasuk ibadah kita bahkan hidup maupun mati kita hanyalah karena Allah Swt semata-mata. Juga kita sendiri sering mengatakan semua amalan dan ibadah kita adalah Lillahi ta’ala dan ditujukan sepenuhnya untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Itulah sebabnya sebelum kita mulai melakukan apapun, selalu dimulai dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Islam juga mengajarkan dengan jelas bahwa janganlah sekali-kali menghitung rejeki yang akan kita terima, karena sesungguhnya hal itu adalah urusan Allah semata-mata.
Sebagai suatu ilustrasi, misalkan seseorang menyumbangkan sesuatu kepada orang yang miskin, sesungguhnya penerima itu menerima rejeki dari Allah, sedangkan penyumbang itu adalah hanya perantara belaka. Dengan demikian seorang muslim harus berterima kasih kepada Allah Swt atas segala rejeki yang diterimanya, darimanapun dia mendapatkannya. Ini semua adalah suatu konsep yang jelas dari Islam yang mengajarkan keikhlasan yang tinggi bagi ummatnya untuk menjalani kehidupannya sedemikian rupa sehingga semua amalan dikerjakan dengan penuh keikhlasan hanya karena Allah Swt semata-mata, dengan ultimate goal-nya adalah untuk memperoleh ridho dari Allah Swt, sedangkan apa yang akan diterimanya sebagai remunerasi atas segala perbuatannya tersebut (rejekinya) adalah urusan Allah Swt. Sehingga sebagai ummat-Nya yang taat, maka apapun itu, akan kita terima dengan keikhlasan bahkan penuh kesyukuran. Sehingga dalam Islam, bekerja itu lebih mendekati berbakti, mungkin kata yang lebih tepat adalah berkarya, dimana kesannya lebih untuk kepentingan masyarakat / lingkungan serta jauh daripada untuk kepentingan pribadi.
Sebetulnya konsep ini sangat gamblang didalam Islam, bahkan sering sekali kita ucapkan baik pada waktu melakukan ibadah shalat maupun sering sekali diucapkan dalam kesempatan-kesempatam lainnya. Akan tetapi sangat jelas juga penyimpangan yang terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, dan kedua contoh di atas merupakan bukti. Kita lihat juga dalam kenyataan, walaupun kita semua menyadari bahwa semua amalan, ibadah, bahkan hidup maupun mati kita adalah hanya karena Allah Swt semata, tetapi dalam prakteknya secara sadar atau tidak, kita sering membelokkan sedemikian rupa sehingga tujuan kita bekerja adalah mulai dari hanya karena perut sampai ada juga yang semata-mata mengejar uang atau harta. Sangatlah jelas hal ini bertentangan sekali dengan ajaran-Nya, karena kita telah menggantikan kedudukan Tuhan dengan perut ataupun harta, sehingga ini bisa ditafsirkan sebagai suatu dosa yang besar sekali karena telah berlaku syirik yaitu menduakan Tuhan. Dapat dikatakan kita lupa dan jauh sekali dari filosofi dasar Islam diatas, sebab kita telah menuhankan uang, harta, kekuasaan dan lain sebagainya.
Sebaliknya, bila kita selalu dalam kerangka filosofi Islam di atas, maka sebetulnya kita akan sangat tenang menjalankan kehidupan, karena tidak ada yang bisa mengganggu kita dalam berkarya untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Kita akan bekerja bersungguh-sungguh tanpa pamrih, tanpa tergantung dari siapapun baik itu atasan, perusahaan tempat kita bekerja, bahkan kita akan bekerja keras tanpa memikirkan bonus yang akan diterima. Kita tidak perlu memperdulikan keberhasilan rekan-rekan bahkan saingan kita sekalipun, sebab kita akan tetap fokus untuk mencapai hasil karya yang sebaik-baiknya untuk mendapatkan ridhoi-Nya. Akibat sikap seperti inilah akan terlihat cara kerja yang mempunyai kemauan tinggi, dedikasi, dan komitmen terhadap keberhasilan yang tinggi dan lepas dari segala bentuk stress, penyesalan maupun kelelahan karena tujuan bekerja kita maupun reward yang akan kita terima berada jauh diatas campur tangan manusia.

B. MAKNA MENGAJAR
Mengajar menurut pengertian modern yaitu aktivitas guru dalam mengorganisasikan lingkungan dan mendekatkannya kepada anak didik sehingga terjadi proses belajar. Mengajar merupakan suatu perbuatan yang memerlukan tanggung jawab moral yang cukup berat. Berhasilnya pendidikan pada siswa sangat bergantung pada pertanggungjawaban guru dalam melaksanakan tugasnya. Zamroni mengatakan “guru adalah kreator proses belajar mengajar”. Ia adalah orang yang akan mengembangkan suasana bebas bagi siswa untuk mengkaji apa yang menarik minatnya, mengekspresikan ide-ide dan kreativitasnya dalam batas-batas norma-norma yang ditegakkan secara konsisten.
Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa orientasi pengajaran dalam konteks belajar mengajar diarahkan untuk pengembangan aktivitas siswa dalam belajar. Merujuk dari pengertian mengajar di atas, maka siswa melakukan kegiatan belajar untuk mendapatkan tingkah laku baru sedangkan tindakan guru ialah mengajar, yakni mengupayakan anak didik belajar. Belajar di alami oleh anak didik secara individu. Pendekatan mengajar yang saya gunakan sering melibatkan aktivitas saya dan siswa. Hal ini bagi saya merupakan suatu ciri pribadi saya yang tidak bisa duduk di tempat mendengar dan memperhatikan siswa terus bengong di kelas. Banyak pendekatan, model serta media yang kita tampilkan yang merujuk pada aktivitas guru dan siswa.
Dengan pengalaman saya yang masih sedikit, tidak mengurungkan niat saya untuk mengajarkan PAI semenarik mungkin kepada siswa. Dengan perkembangan keilmuan dan pengajaran PAI saya dapat mengkombinasikan animasi/slide dengan bantuan komputer dan bahan ajar saya guna mengajak siswa untuk dapat terus mengikuti serta memahami yang akan saya ajarkan kepada mereka. Saya merasakan bahwa hubungan guru dan murid tidak dapat terlepaskan. Saya tidak akan dapat melaksanakan tugas saya nanti tanpa kehadiran siswa. Karena kehidupan manusia akan selalu diiringi dengan proses interaksi dan komunikasi yang merupakan kodrat manusia sebagai mahkluk sosial.
Saya berharap suatu saat siswa yang saya didik dapat tumbuh mengembangkan segala pengetahuan yang bermakna, ketrampilan yang memusat pada kreativitas serta sikap santun dan menghargai sesama manusia. Karena saya tau bahwa semua siswa saya adalah siswa hebat yang Allah titipkan kepada kita semua, hanya saja tugas saya adalah memaksimalkan mereka hingga lebih berkompetensi dalam segala hal, baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang sudah kita bicarakan sebelumnya bahwa hubungan guru dan siswa tidak terlepas kaitannya dengan unsur-unsur manusiawi. Hubungan saya sebagai guru dengan siswa diharapkan sebagai proses motivasi untuk siswa. Maksudnya bagaimana saya mampu memberikan dan mengembangkan motivasi dan penguatan kepada siswa sebagai subjek didik agar dapat melakukan kegiatan belajar secara optimal. Suasana belajar yang tidak menyenangkan bagi siswa akan merusak kegiatan pembelajaran dan akan menjadi kendala pencapain tujuan pembelajaran secara efektif dan efesien seperti mengatakan hubungan guru dan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran akan terlihat bagaimana guru merekayasa pembelajaran.
Penialain adalah suatu kegiatan yang disengaja dan bertujuan. Dengan kata lain penilaian yang saya lakukan bertujuan untuk mengetahui bahan-bahan pelajaran yang saya sampaikan kepada siswa sudah dikuasai atau belum dan apakah kegiatan pengajaran yang saya laksanakan sesuai dengan yang diharapkan. Dasar-dasar yang saya gunakan untuk menilai prestasi belajar mereka bisa dalam kemampuan verbal atau pemecahan masalah. Hasil dari penilaian bisa saya jadikan tolak ukur keberhasilan dari pengajaran yang saya lakukan.
Mengacu pada filsafat pendidikan ekstensialisme yaitu memfokuskan pada pengalaman-pengalaman individu yang menekankan pilihan kreatif, subjektif pengalaman manusia dan tindakan kongkrit dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakekat manusia dan realitas. Dan dilanjutkan dengan filsafat pendidikan progresivisme bahwa pendidikan harus terpusat pada anak bukan pada guru atau pelajaran. Mempunyai hubungan yang sangat erat antara filsafat saya mengajar dengan kegiatan di kelas. Mencakup pada kemampuan saya menyampaikan materi dan memberikan motivasi belajar serta strategi-strategi yang kreatif tanpa harus melupakan kebutuhan anak. Artinya lebih memfokuskan diri pada pemahaman siswa dalam belajar.
Mengikuti hadits dari Muslim bahwa hendaknya setiap pekerjaan kita niatkan karena Allah, karena hal itu dapat memunculkan sikap ikhlas untuk kita khususnya saya sendiri. Akan lebih baik lagi jika kita bisa memilih pekerjaan yang nantinya akan menjadi saluran yang mengalirnya amal setelah kita meninggal. Setelah membaca ini saya menjadi lebih yakin dan mantap akan pekerjaan yang saya tekuni sekarang menjadi pengajar.
Selama proses belajar mengajar, pendekatan mengajar saya berubah ketika awal tahun pembelajaran berlangsung, dimana saya harus mengenal terlebih dahulu karakteristik kelas dan siswa tersebut kemudian melaksanakan pendekatan yang lebih tepat. Keefektifitasan dan interaksi pengajaran saya di kelas saya peroleh dari angket yang saya berikan kepada siswa, teman sejawat maupun dari hasil belajar siswa.
Sasaran yang saya tetapkan sebagai pengajar mengacu pada filsafat pendidikan progresivisme yaitu terpusat pada siswa. Agar mencapai tujuan pembelajaran yang sangat diharapkan oleh semua individu secaara umum dan saya secara khusus. Semoga ilmu dan pengetahuan saya terus bermanfaat untuk semua yang menerima dan terus menjadi amalan bagi saya.

C. MAKNA ORANG TUA
Setiap orang tua dalam menjalani kehidupan berumah tangga tentunya memiliki tugas dan peran yang sangat penting, ada pun tugas dan peran orang tua terhadap anaknya dapat dikemukakan: (1) melahirkan, (2) mengasuh, (3) membesarkan, (4) mengarahkan menuju kepada kedewasaan serta menanamkan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku. Termasuk juga harus mampu mengembangkan potensi yang ada pada diri anak, memberi teladan dan mampu mengembangkan pertumbuhan pribadi dengan penuh tanggung jawab dan penuh kasih sayang. Anak-anak yang tumbuh dengan berbagai bakat dan kecenderungan masing-masing adalah karunia yang sangat berharga, yang digambarkan sebagai perhiasan dunia.
Peran orangtua dalam membimbing adalah sebagai pendidik utama, termasuk membimbing anak menghadapi dunia persekolahan. Karena proses pembelajaran berlangsung lewat lembaga sekolah, bimbingan nyata dari orangtua ialah menyiapkan anak-anak untuk akhirnya masuk ke perguruan tinggi. Dan, saya kira, hanya untuk beberapa anak masuk dunia kerja. Namun, kepada mereka semua dituntut kedewasaan dan kemandirian yang sama.
Dalam surat At-Tahrim ayat 6 disebutkan, bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk memberi bimbingan, tuntunan dan pedoman serta pijakan khusus dalam kegiatan agama dalam keluarganya. Seorang istri juga memiliki kewajiban yang urgen juga pendamping suami nya, dalam membentuk akhlak mulia dan melahirkan generasi sholeh dan sholehah. Seorang anak tidak boleh dilimpahkan sepenuhnya di sekolah, apalagi kalau sudah berurusan dengan perilaku dan akhlaknya. Sehingga oleh karena tujuan dan hasil yang ingin dicapai adalah anak yang sholeh, maka dalam hal ini orang tua harus sudah memiliki perilaku dan akhlak yang sholeh terlebih dahulu. Sangat sulit bagi orang tua yang tidak memegang teguh agamanya, berkeinginan apalagi sangat berharap agar anaknya memegang teguh agamanya. Perlu diketahui bahwa madrasah atau tempat sekolah pertama seorang anak adalah orangtua/ibunya sendiri, baru kemudian suami dan orang lain/guru.
Ini sebuah contoh nyata, bahwa pendidikan memang mudah untuk mengajarkan matematika, IPS, Sosiologi, Fisika kepada anak, tetapi sangat berat dan penuh rintangan apabila materi yang akan ditransfer adalah berupa akhlak. Yang sudah memenuhi semua unsur pendidikan saja, seperti suri tauladan, kadangkala tidak bisa untuk mendidik anak menjadi sesuai yang diharapkan orangtua, apalagi hanya sekedar tekstual dan oral, akan lebih sulit tentunya.
Oleh karena itu, saya menyadari bahwa menjadi orang tua saat ini sangat berat tantangannya baik dalam lingkungan keluarga sendiri atapun lingkungan sekitar. Terlebih tentang pendidikan anak, bagi saya pendidikan adalah segala-galanya, pendidikan adalah sumber ilmu yang akan digunakan anak-anak untuk kehidupan yang akan datang. Jika salah mendidik anak menjadi berbahaya dan menjadi beban orang lain tetapi jika pendidikan benar maka akan menjadi anak yang bermanfaat bagi semua orang.
Orang tua yang dibanggakan (bukan dibangga-banggakan/disombongkan) anak-anak adalah impian saya dan suami, sebagaimana saya membanggakan orang tua kami berdua. Sehingga semampu dan sekuat tenaga akan kami curahkan untuk perhatian kepada anak-anak dalam segala hal. Sebagai contoh perhatian kami terhadap anak-anak adalah memasukkan pendidikan ke madrasah dan pesantren dengan harapan kelak menjadi anak-anak yang mampu hidup dalam segala model kehidupan.

D. MAKNA HIDUP
Kehidupan adalah suatu lintasan yang amat panjang. Ibaratkan sebuah perjalanan, hidup ini penuh dengan segala lika-likunya. Ada belok kanan, ada belok kiri, ada juga lurus, namun pasti belok lagi. Siapa sangka, orang yang terlihat sehat, bisa saja sebentar lagi sakit. Ada orang yang kaya, seketika itu juga jatuh miskin. Ada orang berbahagia, besoknya bisa saja bersedih. Hidup memang penuh dengan misterinya. Pencarian makna dalam hidup. Hidup ini sebetulnya untuk apa. Ada yang mengetahui hal ini?
Hidup adalah sebuah pemberian dari yang maha kuasa kepada kita. Sebuah karunia yang sangat besar adanya. Kejaiban demi keajaiban mengalir dalam tubuh kita. Bernafas, karena tubuh kita memerlukannya. Darah, karena setiap sel juga harus mencukupi nutrisi lewatnya. Tulang, karenanya kita bisa tegak dan berdiri. Berbagai sistem unik dan ajaib yang hanya Tuhan yang mampu menciptakan agar kita bisa hidup.
Jika kita coba merenung, hidup ini adalah pasti milik Allah. Badan kita juga milik-Nya. Kekayaan kita, keluarga, orang yang kita cintai, juga milik-Nya. Jadi sebenarnya kita ini tak punya apa-apa. Semuanya bisa diambil dari kita dengan sekejap tanpa terkecuali, jika Tuhan menginginkanNya. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah kita pantas merawat dan memperlakukan kehidupan kita dengan sebaik-baiknya untuk-Nya?
Pernahkah kita berfikir, kemana muara tujuan hidup ini? Hidup ini hanyalah sebuah pintasan yang ada ujungnya. Ujungnya yang setiap orang pasti mengalaminya. Namun, tiada yang tahu kapan hidupnya mencapai garis finish. Mati. Itulah makna kehidupan ini. Ketika sudah mati, kita menjadi tahu apa yang selama ini kita lakukan dalam hidup. Berbuat baik kah? Atau berbuat tidak baik? Apakah waktu yang diberi Tuhan untuk kita hidup selama itu kita sia-siakan? Begitulah kematian berbicara, dan segala amalan perbuatan kita dipertanggung jawabkan.
Sebelum terlambat, selama kita masih di pintasan dan belum mencapai akhir, beribadahlah kepadaNya. Beribadah dengan yakin, dan pasti. Ikhlas karena-Nya. Beribadah, bukan hanya sekedar shalat, berpuasa dan melakukan kewajiban itu. Namun, konteks ibadah ini adalah luas. Melakukan perbuatan yang shalih, berbuat kebajikan untuk sesama, dan bermanfaat bagi orang di sekitar kita. Jika ibadah itu ingin di klaimkan sebagai perbuatan baik, cobalah berniatkan karena Tuhan kita. Bacalah basmalah setiap perbuatan baik. Niscaya selain mantap, amalan kita juga tak akan sia-sia. Inilah hidup. Sebuah makna dengan tujuan hanya kepada Allah Swt
Sebagai seorang Muslim, saya berpijak dari tuntunan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai dasar dan sumber pengetahuan, perilaku, atau pranata-pranata hidup yang lain-Nya. Gol setting akhir hidup di dunia adalah kehidupan yang abadi di akherat, maka saya berusaha memanfaatkan kehidupan ini untuk menjadi hidup yang penuh makna, salah satu pengabdian saya adalah bagaimana menjadi guru dan orang tua yang baik. Saya sadar, semua itu membutuhkan sebuah perjalanan dan perjuangan yang berliku, tidak mudah begitu saja. Tetapi saya yakin perjuangan yang ikhlas adalah segala-galanya untuk mewujudkan tujuan hidup yang bermakna. Implementasi makna hidup dapat kami deskripsikan sebagai berikut:
1. Hidup ini kesemuanya adalah ujian dari Allah SWT
Hidup adalah untuk menguji apakah seorang manusia bersyukur atau kufur kepada Allah Swt.
           
yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk/67: 2)

Ujian dalam hidup kita bukan saja kesulitan ataupun musibah, namun juga berupa nikmat atau kemudahan dari Allah Swt, seperti keluarga, suami, anak-anak, harta, kekuasaan, pangkat, dan sebagainya.
           
tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. (QS. Al-Anbiya/21: 35)

Kekayaan yang dimilik oleh seseorang pada zaman sekarang ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kekayaan yang dimiliki oleh orang-orang pada zaman dahulu. Andaikan seluruh kekayaan orang-orang muslim di seluruh jagad ini, atau bahkan seluruh kekayaan yang ada di dunia ini dikumpulkan jadi satu, Tidak ada bandingnya dengan kekayannya Nabi sulaiman, belum lagi kekayaan Qorun pada zaman Nabi Musa. Jadi kekayan seseorang pada zaman sekarang belum sebanding dengan kekayaan umat pada masa lalu, terlebih lagi umat islam yang terkenal miskin jika dibandingkan dengan yahudi.
Andaikan kebahagian terletak pada jabatan dan kekayaan, Tentu Fir’aun sudah bahagia dan tentu orang-orang amerika tidak ada yang stress. Menurut islam, kebahagiaan letaknya tidak pada jabatan dan kekayaan semata. Konsep islam secara menyeluruh mengenai kebahagiaan atau ketenangan ialah dengan cara merohanikan segala sesuatu yang berbentuk materi kepada Allah Ta’ala.
Kita bisa meneladani Nabi Sulaiman As yang diberikan nikmat luar biasa oleh Allah Swt. Allah memberikan kerajaan yang sangat kaya, luas dan besar, yang pasukannya terdiri dari manusia, jin, hewan, dan angin. Semua kenikmatan itu tidak menjadi Nabi Sulaiman as menjadi sombong kemudian mengingkari Allah Swt, namun menjadikannya sering ber-muhasabah, melakukan introspeksi diri, berhati-hati jangan sampai menjadi kufur kepada Allah Swt.
Rasulullah saw bersabda bahwa sungguh beruntung seorang mukmin, karena semua urusan adalah baik baginya, ketika diuji maka dia bersabar ketika ia diberi kenikmatan ia bersyukur. Salah satu doa yang bisa selalu kita ucapkan adalah doa:
اللهم اجعلنى صبورا واجعلنى شكورا واجعلنى فى عينى صغيرا وفى أعين الناس كبيرا

2. Kehidupan dunia ini lebih rendah dibandingkan kehidupan akhirat
Pada suatu ketika, beberapa orang sahabat Rasulullah saw datang menemui beliau, berikut juga Umar radhiallaahu anhu. Rasulullah saw lantas bangkit merubah posisinya, Umar ra melihat tidak ada kain yg melindungi tubuh Rasulullah saw tikar yg dipakainya berbaring. Ternyata tikar tersebut membekas pada tubuh beliau. Melihat pemandangan itu Umar ra pun menangis. Rasulullah saw bertanya kepadanya: "Apakah gerangan yang membuatmu menangis wahai Umar?" ia menjawab: "Demi Allah, karena saya tahu bahwa engkau tentu lebih mulia di sisi Allah Swt daripada raja Kisra maupun Kaisar. Mereka dapat berpesta pora di dunia sesuka hatinya. Sedangkan Engkau adalah seorang Utusan Allah namun keadaan engkau sungguh sangat memprihatinkan sebagaimana yang aku saksikan sekarang," Rasulullah saw bersabda: "Tidakkah engkau ridha wahai Umar, kemegahan dunia ini diberikan bagi mereka, sedangkan pahala akhirat bagi kita!" Umar ra menjawab: "Tentu saja!" "Demikianlah adanya!" jawab Rasulullah Saw" [HR Ahmad]
Akherat adalah kehidupan abadi, sedangkan dunia adalah sementara. Hidup di dunia merupakan fase ketiga setelah fase krhidupan di alam roh dan alam rahim. Di dunia merupakan tempat investasi amal dan memperbanyak tabungan kebaikan.
Al-Qur’an menempatkan akhirat demikian penting, sehingga jumlah ayat yang bercerita tentangnya berjumlah ratusan. Dan diulang-ulang dengan redaksi yang berbeda-beda terkait dengan obyek yang sedang dibahas. Kadang, akhirat dibahas terkait dengan kehidupan rumah tangga. Di waktu lain, akhirat dikaitkan dengan bisnis. Di ayat lainnya, akhirat dengan kekuasaan. Lainnya lagi, dihubungkan dengan akhlak, ibadah, peperangan, dan berbagai masalah kemasyarakatan sehari-hari.
Allah memberikan stressing tentang pentingnya akhirat, agar kita memperhatikannya. Karena, ternyata banyak yang tertipu alias terjebak oleh gemerlap dunia. Justru disinilah memang “permainannya”. Ini adalah sebuah game melintasi “labirin” yang bisa menjebak kita untuk tidak menemukan pintu keluar di akhir rute yang harus kita tempuh.
Kenapa Al-Qur’an menyebut kehidupan dunia dengan sebutan “remeh temeh” seperti itu? Apakah memang tidak penting? Oh, tentu saja penting. Tetapi, agaknya kalah penting dengan akhirat. Karena ternyata, kehidupan dunia ini memang benar-benar remeh dan lucu. Isi kehidupan kita benar-benar cuma permainan, bermegah-megahan, berbangga-banggaan tentang harta dan anak. Setelah itu, kita menua dimakan usia, dan mati..! Kecuali orang-orang yang “mengerti”.
Saya ilustrasikan sebuah contoh menunjukkan kerja di dunia itu susah dan payah, tetapi manusia justru ringan mengerjakan karena godaannya kuat, dan kerja di akhirat itu mudah dan ringan tapi umat Islam merasakan susah dan payah karena balasannya tidak nampak jelas. Oleh karena itu, kehidupan dunia pada dasarnya sementara, seperti pepatah orang jawa “urip iku mung mampir ngombe”, hidup hanya sebentar bagaikan orang minum air. Kesementaraan dunia itulah, hasil yang diperoleh berupa materi juga sementara, bukan milik kita abadi sebab semua prestasi materi akan ditinggal dan diwariskan saja kecuali amal jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang saleh.
Bahwa Rasulullah Saw hidup di dunia hanya berkisar sampai umur 60 tahun lebih. Maka kita sebagai umatnya pasti dan akan hidup hampir sama dengan umur Rasulullah S.A.W yaitu berkisar sampai umur 60 tahunan. Mungkin ada sebagian orang yang hidup melebihi umur 60 tahunan mungkin itu bonus dari Allah Swt untuk orang tersebut agar daya bisa menambah amalan untuk di akhirat nanti. Tidak sedikit pula orang yang hidupnya di bawah umur 60 tahunan tapi apa hendak di kata hidup dan mati itu hanya Alloh Swt yang menentukan. Saat ini usia saya 40 tahun, dalam Islam, usia 40 tahun dianggap sebagai usia yang istimewa. Ia dipandang sebagai tonggak awal kemapanan seseorang. Rasulullah Saw pun diangkat sebagai Nabi oleh Allah Swt pada usia 40 tahun. Bagi kaum sufi, usia 40 tahun dianggap sebagai pintu gerbang menuju Allah Swt. Seorang sufi besar, Syaikh Abdul Wahhab bin Ahmad Asy-Sya'rani, dalam kitab Bahrul Maurud, menulis, "Telah diambil perjanjian dari kita, apabila umur telah mencapai 40 tahun, hendaklah bersiap-siap melipat kasur dan selalu ingat pada setiap tarik nafas, bahwa kita sedang berjalan menuju akhirat, sampai tak merasa tenang lagi rasanya hidup di dunia". Yang dimaksud dengan "melipat kasur" ialah mengurangi tidur untuk memperbanyak ibadah.
Negeri akhirat Allah janjikan jauh lebih mulia daripada dunia dan seisinya dan keadilannya sangat sempurna. Pemahaman dan keyakinan penuh iman terhadapnya membuat seseorang lebih bernilai istimewa dalam kehidupan didunia yang dia ada didalamnya. Bagi orang yang berilmu adalah lebih baik beramal, berjuang melawan rasa malas, tidur panjang dan kesenangan lainnya, karena rasa harap dan takut yang senantiasa meliputi dirinya, terutama terhadap urusan ini, urusan akhirat yang menjadi impiannya, dan tidak akan mungkin ada kesombongan terselip dalam hatinya untuk menjual ilmunya untuk mempertahankan kehidupan dunianya semata.

3. Kehidupan ini adalah ladang amal untuk kesuksesan akhirat
Ali bin Abi Thalib ra. Berkata bahwa “sesungguhnya hari ini adalah hari untuk beramal bukan untuk hisab (perhitungan) dan esok (akhirat) adalah hari perhitungan bukan untuk beramal. Ketika seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya dan ia tinggal menunggu masa untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatannya di dunia. Bekal kita adalah ibadah kepada Allah Swt. Ibadah bukan sekedar sholat atau zakat, tetapi segala aktivitas hidup kita akan bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah Swt.”
Pernahkah kita menyadari bahwa manusia hakikatnya makhluk akhirat? Bahkan Allah sendiri yang menghendaki kehidupan akhirat bagi kita sesuai tujuan penciptaan-Nya, bukan sebagai makhluk dunia dengan kehidupan dunia seperti yang kita sangka dan inginkan. Kedudukan kita sebagai ibaadullah (hamba-hamba Allah) dan wakil (khalifah) Allah) di muka bumipun adalah dengan kewajiban tunduk patuh kepada aturan Allah semata untuk tujuan akhirat. Allah adalah Pencipta yang Maha Mengetahui, bukan hanya perihal manusia saja dan perjalanan suatu bangsa sebelum bangsa itu tercipta misalnya namun juga segala hal terkecil yang ada di alam semesta yang sangat luas ini. Diapun amat sangat teliti dalam hal penetapan suatu peraturan dan pembalasan-Nya terhadap mereka yang taat kepada peraturan Allah Swt maupun yang melanggarnya.
Bersamaan dengan hakikat dari Ilahi ini dengan akal dan jiwa yang bersih kita dihadapkan pada kemampuan memaknai hakikat kehidupan kita dan hakikat kehidupan secara keseluruhan. Pemahaman hakikat ujian dan cobaan yang merupakan sebuah kaidah pokok bagi sebuah kehidupan adalah penting agar dapat menyelamatkan kita untuk dapat kembali kepada Allah dengan hati yang bersih menuju kampung akhirat dengan selamat. Sesungguhnya manusia akhirat itu adalah yang paling teliti dan sungguh-sunguh mendeteksi setiap ancaman yang dapat menghalangi dirinya dan keluarganya maupun umatnya masuk surga dengan selamat, sedangkan hak Allah adalah menguji siapa yang paling bertakwa dan siapa yang menolong agama Allah.
Bagi orang yang bekerja dan beramalpun keyakinanannya hanya satu seperti dalam ayat Al Quran bahwa Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaannya dan balasan Allah sangat sempurna (QS. At-Taubah:105). Siapakah yang ingin lebih sempurna dalam bekerja jika keyakinan itu sudah ada, mereka akan bekerja keras dan berhati-hati, menempatkan akalnya dalam mempertimbangkan dan mempertanggung jawabkan secara seksama setiap hal dan menyadari diluar itu hanyalah kesenangan yang menipu belaka. Adakah hal lain yang lebih bisa menjelaskan rahasia keteguhan, ketenangan, harapan terus menerus, kesabaran dan upaya yang tak pernah berhenti seorang mukmin untuk menegakkan kebenaran akan menentang kebatilan dan kezaliman, peduli terhadap masalah umat bahkan dunia keseluruhannya dengan menyebarluaskan dinul Islam dimuka bumi ini, mendatangkan kasih sayang, silaturahmi, keadilan, keteraturan, ketertiban, kebaikan bagi lingkungannya bahkan sampai akhir hidupnya untuk akhir amalnya. Ingatannya tertuju pada motivasi dari Allah untuk berlomba-lomba menuju kebaikan, ampunan dan Ridha-Nya. Berkat pertolongan Allah di dunia dia akan menjadi cahaya yang menerangi sekitarnya. Jangan kita putuskan Rahmat Allah ini dengan meragukan janji-Nya sehingga tidak istiqamah dalam ketaatan bahkan mengganti aturan islam dengan aturan kafir dan prilaku kaum kafir dengan sikap taklid buta dan tasyabbuh/menyerupai sampai masuk ke lubang biawak dan menikmati hidup didalamnya sampai akhir hayatnya dan lupa pertanggung jawabannya dan kewajibannya terhadap agama Islam dan umatnya.
Manusia akhirat sadar bahwa perjalanan waktunya didunia sangat sempit padahal adalah hal yang sangat pasti bahwa dia harus mempertanggung jawabkan dihadapan Allah segala perbuatannya untuk agamanya, umat, keluarga dan dirinya. Kesadaran ini adalah bentuk rasa syukurnya kepada Allah swt. Diantara janji Allah akan kenikmatan surga, dia selalu ingat siksa yang diringankan adalah bara api neraka sebesar kerikil diletakkan dijari jemarinya sementara panasnya mencapai ubun-ubun. Tuntunan kaum salaf mengatakan tidak ada ibadah dan bekerja yang pahalanya melebihi rasa takut kepada Allah akan siksa neraka disertai rasa takut terhadap kemunafikan dan keburukan batinnya. Namun demikian Rasulullah saw berpesan dan bersabda agar jangan sekali-kali kali kita meninggal kecuali berprasangka baik kepada Allah itulah bagian dari Rahmat Allah swt, untuk berharap hanya kepada Allah namun tidak lalai akan dosa-dosa kita. Harapannya seorang hamba adalah semoga Allah menetapkan hati atas ketaatan kepadaNya.
Imam Abu Hanifah berkata bahwa semua ketaatan adalah wajib berdasarkan perintah Allah, dan hal itu disukai, diridhai, diketahui, dikehendaki, ditetapkan, ditakdirkan oleh Allah. Sedangkan maksiat semuanya diketahui, ditetapkan, ditakdirkan Allah dan dikehendaki Allah, tetapi Allah tidak menyukai dan tidak meridhai hal itu, bahkan Allah tidak memerintahkannya. Imam Ahmad bin Hambal mengimani takdir baik dan buruk semua dari Allah, bahwa Allah mentakdirkan ketaatan dan kemaksiatan, kebaikan dan keburukan. Karenanya wajib bagi kita untuk menjalankan ketaatan karena perintah Allah, menjauhkan apa yang tidak diridhai Allah meskipun hal ini sedang kita jalani. Manusia akhirat akan selalu berubah dan berjuang agar pantas memasuki negeri akhirat dengan ridha dan diridhai Allah Swt.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abdul Mujib, Kepribadian dalam Psikologi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2006)
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya ‘ulum al-Din, terj. Ismail ya’qub, (Semarang: Faizan, 1979)
Ahmad Ar Rifa’i, Takhyirah Mukhtashor, tt
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1992)
CD Kutubbut Tis’ah
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemah, (Semarang: Thaha Putra, 2000)
M. Athiyah al-Abrasyi, Dasar-dasr Pokok Pendidikan Islam, terj..Bustami A. Ghani, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987)
Nasution, http://www.raflengerungan.wordpress.com/korupsi-dan-pendidikan/pengertian-mengajar-didaktik/ (diakses 9 november 2010).
Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 2000)

disarikan dalam mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam, IAIN Surakarta - Pebruari 2012

1 comment:

  1. Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kelompok ini perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

    ReplyDelete