A. LATAR BELAKANG
Peranan pendidikan sebagai salah satu unsur dinamika sosial mempunyai kontribusi terhadap peningkatan kualitas sumber daya manusia dan masyarakat. Hal ini dikemukakan oleh C. Arnold (dalam Adikusumo, 1992: 59) terdapat perubahan sosial, modernisasi dengan peranan pendidikan dalam rangka empowerment sehubungan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Modernisasi yang menimbulkan perubahan sosial tidak akan berlangsung tanpa didukung dengan sumber daya manusia yang terdidik dan terampil.
Menurut Lassey dan Sashkin, 1983 dalam Supriatna, 2000: 57, menyatakan bahwa, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan dari setiap individu anggota masyarakat selaku obyek dan pelaku program pembangunan sangat penting dalam upaya:
1. Perluasan pendidikan yang dibutuhkan oleh aneka macam program pembangunan,
2. Pengembangan individu yang mempunyai akses terhadap variasi sosio-ekonomi dan kelompok teknis sosial,
3. Mempunyai sikap keterbukaan dan demokratis dalam memecahkan berbagai masalah sosial,
4. Pengembangannya difokuskan pada kemampuan untuk mengembangkan sumber daya lokal di wilayahnya,
5. Pengembangan perilaku individu anggota masyarakat yang mempunyai komitmen dan akses terhadap kelangsungan program dan proyek pembangunan.
Rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh faktor ekonomi. Diperlukan sikap yang optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Pemerintah melalui semangat otonomi daerah wajib menggerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Pentingnya pembangunan pendidikan bagi manusia dan masyarakat dalam rangka pembangunan dan perubahan sosial melalui peningkatan sumber daya manusia menjadi pusat perhatian negara berkembang, melalui pendidikan formal, informal dan terutama non formal bagi masyarakat miskin di pedesaan (Coombs, 1984: 43)
Keberadaan pendidikan luar sekolah, dalam rangka pengembangan sumber daya manusia Indonesia, dapat dilihat dalam Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bagian kelima pasal 26, menyebutkan :
1. Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah dan pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hidup.
2. Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta engembangan sikap dan kepribadian profesional.
3. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik.
4. Pendidikan nonformal memiliki satuan pendidikan yang terdiri dari lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim serta berbagai satuan pendidikan sejenis.
Coomba (dalam Abdulhak, 1986: 11) membagi pendidikan menjadi tiga bagian, yaitu pendidikan formal (yang merupakan bagian dari pendidikan sekolah), pendidikan informal dan pendidikan nonformal (keduanya merupakan bagian dari pendidikan luar sekolah). Satokhid (1986: 5) menyebutkan bahwa Pendidikan Luar Sekolah merupakan program pendidikan yang turut membentuk manusia seutuhnya dan membina pelaksanaan konsep pendidikan seumur hidup. Berbeda dengan pendidikan formal dimana kegiatannya dilaksanakan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam bentuk kelompok belajar, kursus, atau program latihan.
Pendidikan luar sekolah sebenarnya bukanlah barang baru dalam khasanah budaya dan peradaban manusia. Pendidikan luar sekolah telah hidup dan menyatu di dalam kehidupan setiap masyarakat jauh sebelum muncul dan memasyarakatnya sistem persekolahan. Pendidikan luar sekolah lahir dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Dan pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu.
Hal senada diungkapkan oleh Sayless dalam Sudradjad, (1999: 55) bahwa suatu program pendidikan dan latihan yang diarahkan bagi orang-orang dewasa akan bermanfaat bila program pelatihan dapat dirasakan sebagai suatu kebutuhan bagi mereka dan mereka harus dapat menganggapnya sebagai suatu cara untuk memecahkan sendiri. Program yang bermanfaat bagi mereka adalah program yang memiliki kadar relevansi yang tinggi dan benar-benar sesuai dengan kebutuhannya.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan atau penyelenggaraan pendidikan luar sekolah mengalami beberapa permasalahan yang masih dihadapi diantaranya:
1. Pendidikan luar sekolah belum mendapat pemahaman dan perhatian yang proporsional dengan pendidikan sekolah, baik berkenaan dengan peraturan perundangan maupun dukungan anggaran sehingga pemerataan pelayanan pendidikan luar sekolah bagi masyarakat diberbagai lapisan dan diberbagai daerah belum dapat dilaksanakan secara optimal.
2. Masih terbatasnya jumlah dan mutu tenaga profesional pada institusi pendidikan luar sekolah di tingkat pusat dan daerah dalam mengelola, mengembangkan dan melembagakan pendidikan luar sekolah.
3. Masih terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan luar sekolah baik yang menunjang penyelenggaraan maupun proses pembelajaran pendidikan luar sekolah.
4. Ketergantungannya penyelenggaraan kegiatan pendidikan luar sekolah di lapangan pada tenaga sukarela sehingga tidak ada jaminan kesinambungan pelaksanaan program pendidikan luar sekolah.
5. Masih relatif rendahnya partisipasi/peranserta masyarakat dalam memprakarsai penyelenggaraan dan pelembagaan pendidikan luar sekolah. (http://rika1990. blogspot.com/2010/04/masalah-masalah-yang-dihadapi-oleh.html diunduh pada tanggal 21 Desember 2011)
Di Indonesia yang saat ini memberlakukan desentralisasi pemerintah daerah sangat mempengaruhi terhadap dunia pendidikan, kebijakan-kebijakan dapat berpengaruh besar arah pendidikan di suatu daerah. Misalnya diberitakan di Jawapos, 30 Desember 2011, bahwa terjadi politisasi pendidikan di Boyolali dengan mutasi guru secara massal yang diindikasi faktor politik, artinya apakah kejadian ini merupakan unsur penunjang atau penghambat dunia pendidikan?
Pendidikan Luar Sekolah (PLS) sangat luas bentuknya dan beragam penyelenggarannya merupakan pendidikan yang strategis untuk menyelesaikan problem sosial, tetapi Pemerintah justru tidak memberikan porsi yang cukup untuk berperan pada akhir-akhir ini dibandingkan dengan pendidikan formal.
Di era otonomi daerah, Pemerintah perlu lebih menggerakkan pendidikan nonformal tersebut untuk dapat membantu menyelesaikan problem-problem sosial. Pemda sebenarnya lebih mengetahui kondisi daerahnya dibanding pemerintah pusat sehingga memiliki kebijakan yang lebih tepat bagaimana menyelesaikan problem sosial yang dialami daerah.
B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka penulis identifikasikan adalah rendahnya sumber daya manusia di Indonesia, salah satu indikator kemajuan negara adalah dilihat dari tingkat pendidikan suatu negara, negara miskin tingkat pendidikannya rendah, negara maju tingkat pendidikannya menengah ke bawah, sedangkan negara maju tingkat pendidikannya tinggi.
Oleh karena itu, perlu adanya solusi untuk membedah kebuntuan rendahnya sumber daya manusia Indonesia, sehingga tidak selamanya bangsa ini masuk kategori negara berkembang. Pendidikan adalah salah satu cara untuk mendongkrak kemajuan bangsa dalam rangka mengelola negeri ini menjadi negara yang maju dan bermartabat. Solusi terhadap rendahnya sumber daya manusia ini berkaitan erat dengan potret sistem pemerintahan daerah yang desentralisasi, memberdayakan warga masyarakat sebagai motor penggerak pendidikan disamping pemerintah (sepertinya penyelenggaraan pendidikan luar sekolah), dan strategi-strategi yang diterapkan untuk memajukan sumber daya manusia tersebut.
C. PERMASALAHAN
Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis batasi permasalahan dalam kajian ini adalah bagaimana pola peningkatan pendidikan keluarga dan masyarakat melalui pendidikan luar sekolah sebagai langkah solutif untuk pemberdayaan sumber daya manusia Indonesia?
D. PENDEKATAN
Kajian ini menggunakan pendekatan pendidikan adalah pendekatan yang berkaitan dengan proses pendidikan yang tersebut dalam unsur-unsur pendidikan meliputi:
1. Subjek yang dibimbing (peserta didik). Peserta didik berstatus sebagai subyek didik karena peserta didik (tanpa pandang usia) adalah subjek atau pribadi yang bebas, yang ingin diakui keberadaannya.
2. Orang yang membimbing (pendidik). Pendidik ialah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik.
3. Tujuan pendidikan bersifat abstrak karena memuat nilai-nilai yang sifatnya abstrak.
4. Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan). Dalam sistem pendidikan formal, materi telah diramu dalam kurikulum.
5. Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode). Alat dan metode pendidikan merupakan dua sisi dari satu mata uang. Alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya.
6. Tempat peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan). Lingkungan pendidikan biasa disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
7. Strategi-strategi untuk proses penyelenggaraan pendidikan, sehingga menjadi sebuah bentuk pendidikan yang berhasil dan berdaya guna.
Sedangkan dalam makalah/kajian ini penulis menggunakan metode deskriptif. Metode deskriptif ini penulis gunakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan bahwa masalah-masalah yang akan diteliti sedang berlangsung pada masa sekarang atau gejala-gejala yang nampak dewasa ini Penggunaan metode deskriptif ini pada prinsipnya mempunyai tujuan untuk memecahkan dan menganalisa masalah-masalah atau fenomena yang ada pada masa sekarang.
E. PEMBAHASAN
Sejalan dengan perkembangan pembangunan tersebut di atas dunia pendidikan di Indonesia dihadapkan pada tiga tantangan besar. Pertama, sebagai dampak krisis ekonomi, dunia pendidikan dituntut untuk dapat mempertahankan hasil-hasil pembangunan pendidikan yang telah dicapai. Kedua, untuk mengantisipasi era global, dunia pendidikan dituntut untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten agar mampu bersaing dalam pasar kerja global. Ketiga, dalam kaitannya dengan diberlakukannya otonomi daerah, perlu dilakukan perubahan dan penyesuaian terhadap berbagai kebijakan pendidikan sehingga dapat mewujudkan proses transformasi pendidikan yang lebih demokratis, mengadopsi ide-ide keberagaman budaya, kebutuhan/keadaan daerah, heterogenitas peserta didik dan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat.
Permasalahan lain pendidikan yang mengemuka saat ini adalah (1) masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan; (2) masih rendahnya kualitas dan relevansi pendidikan; dan (3) masih lemahnya manajemen pendidikan, di samping belum terwujudnya kemandirian dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi. Ketimpangan pemerataan pendidikan juga terjadi antarwilayah geografis, yaitu antara perkotaan dan pedesaan, serta antara kawasan timur Indonesia (KTI) dan kawasan barat Indonesia (KBI), dan antar tingkat pendapatan penduduk ataupun antargender.
Disamping itu ada masalah-masalah lain yang masih ada kaitannya dengan pendidikan yang semakin menonjol pada akhir-akhir ini adalah pelaksanaan desentralisasi pendidikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan ternyata banyak menimbulkan kesulitan baru, dimana muncul gejala ketidakharmonisan dan ketidakterpaduan pelaksanaan program antar pusat, propinsi, dan kabupaten/kota. Tenaga kependidikan di tingkat Kabupaten/Kota belum siap menerima otonomi pendidikan, apalagi otonomi kelas dan otonomi pusat pembelajaran, masih ada perbedaan visi, misi dan strategi yang cukup mendasar dalam pelayanan pendidikan, sulitnya melakukan koordinasi antar pusat dengan daerah atau antar daerah akibat terbatasnya kewenangan pusat dan luasnya jangkauan wilayah layanan departemen, dan sulitnya melakukan kontrol kualitas secara langsung.
Oleh karena itu menjadi penting kebijakan peningkatan sumber daya manusia. Kunci utama terciptanya kualitas dan pemerataan pembangunan pendidikan adalah pengembangan manajemen kelembagaan yang strategis dan terpadu serta pengembangan tenaga kependidikan.
1. Pengertian, Fungsi, Tujuan dan Sasaran Pendidikan Luar Sekolah
Coombs (Sudjana, 2004 : 22) memberikan definisi bahwa pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan terorganisasi dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan, dilakukan secara mandiri atau merupakan bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, yang sengaja dilakukan untuk melayani peserta didik tertentu di dalam mencapai tujuan belajarnya.
Pendidikan Luar Sekolah (pendidikan non formal) adalah salah satu jalur pendidikan yang bertugas mencerdaskan kehidupan bangsa dengan tujuan memberikan kesempatan belajar seluas-luasnya bagi masyarakat. Soedijanto dalam Umberto Sihombing (1999:111) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah memberikan kesempatan belajar yang seluas-luasnya bagi masyarakat yang karena berbagai faktor seperti kesulitan ekonomi, sosial dan lingkungan yang kurang mendukung tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan melalui pendidikan sekolah.
Tujuan pendidikan nasional tersebut dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan negara (GBHN) bidang pendidikan. Untuk mencapai tujuan pendidikan nasional di atas pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 73 Tahun 1991 Bab II Pasal 2 tentang penyelenggaraan Pendidikan Luar Sekolah yang didalamnya membagi Sistem Pendidikan Nasional menjadi dua pendidikan yaitu pendidikan sekolah dan pendidikan luar sekolah. Selanjutnya dalam peraturan tersebut dijabarkan tujuan pendididkan luar sekolah, yaitu : (1) Melayani warga belajar agar dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayat guna meningkatkan martabat dan mutu kehidupannya. (2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah atau melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi. (3) Memenuhi kebutuhan belajar yang tidak dapat dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah.
Sebagai upaya membantu kehidupan masyarakat dalam bidang pendidikan pada khususnya dan memperoleh pekerjaan, Sudjana (2004:74) mengemukakan bahwa pendidikan nonformal berfungsi: (1) Suplement (tambahan), pendidikan nonformal memberikan kesempatan pendidikan bagi mereka yang telah menamatkan jenjang pendidikan formal tetapi dalam tempat dan waktu berbeda. (2) Komplement (pelengkap) pendidikan sekolah, pendidikan nonformal menyajikan seperangkat kurikulum tetap yang dibutuhkan sesuai dengan situasi daerah dan masyarakat. (3) Substitusi (pengganti) pendidikan sekolah, pendidikan nonformal dapat mengganti fungsi sekolah terutama pada daerah-daerah yang belum dijangkau oleh program pendidikan sekolah.
Sasaran Pendidikan Luar Sekolah menurut Santoso S. Hamijoyo (1993:18) adalah sebagai berikut: (1) Semua anggota masyarakat yang tidak mendapat kesempatan untuk mengikuti program sekolah. (2) Semua anggota masyarakat yang karena sesuatu hal tidak dapat menyelesaikan studi di tingkat pendidikan tertentu secara bulat, golongan ini dikenal dengan nama gagal sekolah atau drop out. (3) Anggota masyarakat yang walaupun telah menyelesaikan studi pada tingkat tertentu (formal) masih perlu untuk mendapatkan pendidikan melalui program pendidikan luar sekolah.
2. Program-program Sasaran Pendidikan Luar Sekolah
a. Keaksaraan Fungsional
Pemberantasan buta huruf merupakan bagian integral pengentasan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan dalarn kerangka makro pengembangan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Pemberantasan buta huruf menjadi sangat penting dan strategis, mengingat kondisi pendidikan penduduk Indonesia masih rendah. Pada tahun 2001 jumlah penduduk sekitar 202 juta, penduduk usia 10 tahun ke atas yang masih buta huruf masih ada sebanyak 18,9 juta orang dan usia 10‑44 tahun sebanyak 5,9 juta orang.
Direktorat Pendidikan Masyarakat telah mengembangkan program Keaksaraan Fungsional dalam menangani masalah buta huruf ini. Keaksaraan fungsional adalah pendekatan pembelajaran baca, tulis, dan hitung yang terintegrasi dengan keterampilan usaha berdasarkan kebutuhan dan potensi wargabelajar.
Tujuan program ini adalah membelajarkan warga belajar agar mampu membaca, menulis, berhitung, dan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sebagai dasar untuk meningkatkan usaha dan taraf kehidupannya. Strategi yang telah dikembangkan Direktorat Pendidikan Masyarakat antara lain:
1) Pemberantasan buta huruf dilaksanakan di tingkat grass root yang merupakan basis/kantungkantung masyarakat buta huruf yaitu tingkat RT/RW, desa / kelurahan, pernukiman tertentu, tempat kerja/perusahaan.
2) Mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur pendidikan yang ada di masyarakat, seperti Madrasah, SD/SLTP Pondok Pesantren dan lain‑lain.
3) Memanfaatkan peran seluruh potensi SDM, seperti; guru, mahasiswa, pelajar, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemucla, tokoh perempuan / ibu‑ibu.
4) Mengoptimalkan peran sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus, lembaga pelatihan swasta, SKB, BPKB, PKBM, balai pendidikan dan pelatihan, pondok pesantren, majelis ta’lim dan sebagainya.
5) Menggerakkan peran organisasi sosial kemasyarakatan antara lain; PKK, Dharma Wanita, LSM, Karang Taruna, organisasi mitra Dikmas (HIPKI, HISPPI, Asosiasi Profesi), muslimat NU, pemuda Muhammadiyah, remaja masjid, pramuka, organisasi kemahasiswaan, KADIN, APINDO dan sejenisnya.
6) Program pemberantasan buta aksara dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai program penyuluhan, pembimbingan, pendampingan pada masyarakat yang dilakukan berbagai sektor.
7) Program pembelajaran dirancang kontekstual dengan pekerjaan, minat, mata pencaharian, potensi sumber daya alam pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, kehutanan, usaha produk kerajinan, pertukangan dan jasa.
8) Kegiatan pembelajaran bisa dilakukan di berbagai tempat di mana saja (sekolah, madrasah, masjid, mushola, gereja, balai desa, balai warga, kantor, pabrik, rumah, di tempat kerja, waktunya kapan saja disesuaikan dengan kesempatan yang ada pada warga belajar.
9) Melatih dan Menyediakan tenaga pengajar/tutor, bahan belajar seperti buku‑buku/modul‑modul dan suplemen yang terkait dengan keterampilan untuk dijadikan mata pencaharian yang dapat memberikan penghasilan.
10) Sebagai bahan belajar program pemberantasan buta aksara telah disusun dan diterbitkan modul-modul keaksaraan fungsional.
b. Kesetaraan Paket A,B Dan C
Sejalan dengan kebijaksanaan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun, warga masyarakat diwajibkan menempuh pendidikan minimal lulus SLTP atau sederajat. Ternyata, banyak warga masyarakat usia wajib belajar tidak dapat mengikuti pendidikannya di sekolah. Banyak pula masyarakat karena hambatan sosial, ekonomi, budaya dan geografis tidak dapat mengikuti pendidikan pada jalur pendidikan sekolah. Untuk itulah, Program Paket A clan B memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat menempuh pendidikannya yang setara dengan SD dan SLTP melalui jalur pendidikan luar sekolah.
Sejalan dengan perkembangan program Paket A dan B kini telah berkembang program Paket C setara SMU. Program Paket C dilaksanakan untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat yang karena berbagai hal tidak dapat melanjutkan pendidikan setingkat SLTA pada jalur pendidikan sekolah. Kurikulum Paket A, B, dan C juga dilengkapi dengan muatan keterampilan, sehingga diharapkan para. Lulusannya siap kerja baik memasuki dunia usaha maupun usaha mandiri setelah menyelesaikan program.
c. Pembinaan Dan Pengembangan Kursus
Kursus merupakan salah satu pendidikan pada jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat. Penyelenggaraannya yang sangat fleksibel dengan kebutuhan masyarakat, perkernbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dunia usaha/ industri, menjadikan peran kursus sangat strategis dalam dunia pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Kursus merupakan salah satu satuan pendidikan luar sekolah yang memberikan peningkatan berbagai jenis pengetahuan, keterampilan dan sikap mental bagi warga belajar yang mernerlukan bekal dalarn mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi.
Pada tahun 2001 jumlah kursus tercatat sebanyak 22.510 buah, terdiri dari 139 jenis keterampilan. Pelaksanaan pernbinaan dan pengembangan kursus dilaksanakan dengan bekerja sama dengan organisasi mitra dan subkonsorsium yang terdiri dari unsur para pakar, praktisi, tenaga pendidik, dan penyelenggara kursus.
d. Kelompok Belajar Usaha (KBU)
Kelompok Belajar Usaha (KBU)adalah program pembelajaran yang memberikan peluang kepada masyarakat melalui kelompok belajar untuk belajar, bekerja dan berusaha, sebagai pelajaran pasca program KF dan kesetaraan Paket B dan C Tujuan KBU adalah untuk memperluas kesempatan belajar usaha bagi masyarakat yang tidak mampu, agar memiliki penghasilan yang tetap, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Pola pelaksanaan KBU dibedakan menjadi dua, yaitu pola bersama dan pola sendiri‑sendiri. Pola bersama yaitu warga belajar mengelola dana belajar usaha secara bersama dalam kelompok, karena jenis usahanya sama. Pola sendiri‑sendiri yaitu KBU yang mengelola dana belajar usahanya dikelola atau diusahakan oleh masing‑masing warga belajar secara terpisah karena jenis usahanya berbeda‑beda, tetapi tetap dalam ikatan kelompok.
Program KBU ini dikatakan berhasil apabila warga belajar dapat mengembangkan dan memasarkan hasil usahanya, memiliki penghasilan yang tetap, serta dapat memutarkan atau mengembangkan dana belajar usahanya.
e. Magang Dan Beasiswa
Magang adalah bentuk belajar dan berlatih keterampilan pada dunia kerja yang lebih menekankan pada praktek daripada teori. Sedangkan program beasiswa adalah pemberian bantuan biaya kepada masyarakat untuk mengikuti magang, kursus, atau satuan pendidikan keterampilan lainnya.
Program magang dan beasiswa dalam pendidikan masyarakat bertujuan untuk memberikan keterampilan kejuruan bagi warga masyarakat yang berasal dari keluarga kurang mampu, agar mereka memiliki bekal keterampilan untuk bekerja atau menciptakan lapangan kerja sendiri.
f. Pendidikan Perempuan
Program Pendidikan Perempuan, yakni program untuk memberikan serta meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta sikap mental perempuan, sehingga mereka mampu melaksanakan fungsi keluarga dalam rangka terciptanya keluarga yang sehat dan sejahtera. Kegiatan-kegiatan dalam program pendidikan perempuan adalah: 1) Pendidikan Keterampilan Usaha Perempuan (PKUP), guna memberikan bekal kemampuan berusaha sehingga mereka memiliki sumber penghasilan yang tetap, 2) Pendidikan orang tua, guna memberikan bekal kemampuan dalam melaksanakan fungsi keluarga; serta 3) Pemberdayaan perempuan, guna memberdayakan perempuan sebagai mitra sejajar pria (gender).
Kualitas pendidikan perempuan dan orang tua pada daerah-daerah dengan problem sosial tinggi, akan memberikan dampak yang positif terhadap pendidikan keluarga. Kita mengetahui perempuan dapat menopang ekonomi keluarga, dan lebih banyak bertemu anggota keluarga dalam konteks pendidikan keluarga sehingga ini dapat membawa iklim positif bagi penyelesaian problem sosial.
Pendidikan Perempuan merupakan perwujudan peningkatan kedaulatan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini, Direktorat Pendidikan Masyarakat mengembangkan program-program berikut: (1) Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja (PKRR); (2) Pencegahan, Penanggulangan dan Perawatan Norkoba; (3) Pendidikan Pencegahan Penularan HIV/AIDS; (4) Advokasi dan sosialisasi Pendidikan Adil Gender; (5) Pengembangan model Pendidikan Alternatif bagi anak perempuan korban kekerasan
g. Pendidikan Anak Jalanan
Mereka yang disebut “anak jalanan” adalah para penjaja dagangan, penyemir sepatu, pedagang asongan, penjual koran, pengamen, peminta-minta, pengais sayur-sayuran di pasar tradisional, dan sebagainya. Mereka sangat rentan terhadap kemungkinan menjadi pengguna obat‑obatan terlarang, terlibat tindakan atau korban kekerasan, kriminal, pelecehan dan prostitusi, terkena gangguan kesehatan dari asap (polusi udara) yang dikeluarkan kendaraan bermotor, gangguan ketertiban lalu lintas, dan kadang-kadang bersikap antisosial. Mereka tidak lagi sempat memikirkan pentingnya pendidikan, tetapi hanya memikirkan kebutuhan ekonomi untuk diri dan keluarganya.
Saat ini Direktorat Pendidikan Masyarakat turut berusaha bersama dengan instansi terkait untuk menangani permasalahan tersebut melalui pendidikan yang mampu membimbing dan mengembalikan hak-hak pendidikan anak jalanan sehingga dapat belajar dan berkarya sebagaimana mestinya.
h. Pendidkan Buat Anak Bekerja
Direktorat Pendidikan Masyarakat sedang melaksanakan program pendidikan bagi pekerja anak usia 7 - 15 tahun yang bekerja atau membantu orang tuanya bekerja. Sebagai ujicoba program ini dilaksanakan Program Paket A dan Paket B di tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Kudus Propinsi Jawa Tengah di bidang industri genteng dan Kota Jepara Propinsi Jawa Tengah di bidang nelayan. Tujuan program ini adalah mengembangkan sistem pendidikan luar sekolah yang dirancang khusus untuk pekerja anak (sesuai dengan kebutuhan dan minat warga belajar serta pekerjaannya).
i. Taman Bacaan Masyarakat
Budaya membaca perlu dikembangkan kepada semua lapisan masyarakat. Direktorat Pendidikan Masyarakat telah mengembangkan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) bagi masyarakat pedesaan melalui penyediaan bahan bacaan yang berbentuk buku-buku maupun modul dan bahan belajar non cetak. Tujuan pendirian TBM ini adalah untuk meningkatkan dan melestarikan kemampuan baca tulis masyarakat, menumbuhkan dan meningkatkan minat serta kegemaran membaca agar tercipta budaya membaca warga masyarakat.
j. Pusat Kegiatan Belajar Masyarkat
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) adalah suatu tempat kegiatan pembelajaran masyarakat yang diarahkan pada pemberdayaan potensi masyarakat untuk menggerakkan pembangunan di bidang sosial, ekonomi, dan budaya.
Tujuan dibentuk PKBM adalah untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan pembelajaran masyarakat sehingga tercipta hubungan pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat serta memudahkan kontrol mutu hasil pembelajarannya. PKBM dikelola oleh lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya.
Pada tahun 2001 jumlah PKBM tercatat sebanyak 1.442 PKBM. Pada PKBM tersebut diselenggarakan berbagai program pendidikan masyarakat atau pendidikan luar sekolah. Program KBU ini dikatakan berhasil apabila warga belajar; dapat mengembangkan dan memasarkan hasil usahanya, memiliki penghasilan yang tetap, serta dapat memutarkan atau mengembangkan dana belajar usahanya.
k. Program Life Skills
Kebijakan pernerintah dalam menanggulangi krisis ekonomi, telah diterapkan program Penanggulangan Dampak Pengurangan Subsidi Energi (PPIDIPSE) yang bertujuan untuk menanggulangi masalah-masalah sosial, terutama di bidang pangan, kesehatan, dan pendidikan. Pendidikan luar sekolah merupakan salah satu program di bidang pendidikan yang memperoleh alokasi anggaran dari PPD-PSE. Hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa sasaran utama pendidikan luar sekolah adalah warga masyarakat yang tidak pernah sekolah, putus sekolah, penganggur atau dengan kata lain warga masyarakat yang tergolong miskin serta warga masyarakat yang ingin belajar untuk menguasai keterampilan tertentu sebagai bekal untuk bisa bekerja mencari nafkah atau usaha mandiri. Pendekatan program adalah kecakapan hidup (life skills).
Keterampilan hidup adalah konsep yang dimaksudkan untuk memberikan bekal pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan fungsional praktis serta perubahan sikap kepada seseorang untuk dapat bekerja dan usaha mandiri, membuka lapangan kerja dan lapangan usaha serta memanfaatkan peluang yang dimiliki, sehingga dapat meningkatkan kualitas kesejahteraannya. Konsep keterampilan hidup memiliki cakupan yang luas, berinteraksi antara pengetahuan dan keterampilan yang di yakini sebagai unsur penting untuk hidup lebih mandiri. Berdasarkan lingkupnya, program keterampilan hidup mencakup; kecakapan kerja (occupational skills), kecakapan pribadi dan sosial (personal/social skills), serta kecakapan dalam kehidupan sehari-hari (daily living skills).
3. Sasaran Pendidikan Luar Sekolah
a. Pemerataan pendidikan anak usia dini
Menurut Sujiono (2009: 17) bahwa PAUD mendasari pendidikan selanjutnya. Perkembangan secara optimal selama masa usia dini memiliki dampak terhadap pengembangan kemampuan untuk berbuat dan belajar pada masa-masa berikutnya. Para ahli psikologi perkembangan memandang bahwa masa ini merupakan masa yang sangat penting (golden age) yang hanya datang satu kali dan tidak dapat diulang. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Bloom bahwa perkembangan intelektual anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupannya. Rangsangan belajar pada usia dini perlu dirancang dan ditata sedemikian rupa, sehingga tidak menjadi kontra produktif terhadap pengalaman belajar yang akan diikuti pada pendidikan selanjutnya.
Kondisi ini memiliki implikasi terhadap pengembangan program belajar pada pendidikan anak usia dini, seperti, penetapan tujuan perkembangan, urutan, tema yang dibahas, penggunaan alat peraga dan permainan, serta metode yang digunakan perlu mempertimbangkan aspek perkembangan anak itu sendiri.
b. Pendidikan dasar
Berdasarkan kesamaan pola pembelajaran dalam model-model pembelajaran pembaharuan dan dalam pendidikan nonformal, maka jika realisasi model pembelajaran pembaharuan dimaksudkan untuk menyukseskan Wajar Dikdas 9 tahun, di sisi lain, pendidikan nonformal juga relevan bagi kepentingan tersebut. Bahkan penyelenggaraan di pendidikan nonformal bisa berlangsung lebih luwes.
Dari program-program pendidikan nonformal seperti diuraikan di atas, terdapat dua program yang sangat terkait dengan program wajib belajar pendidikan dasar, yaitu Kejar Paket A setara SD dan Kejar Paket B setara SLTP. Namun implementasi program-program tersebut bukan tidak menghadapi kendala. Maka untuk mendinamisasi penyelenggaraan program-program pendidikan nonformal tersebut telah dibentuk wadah yang disebut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), baik di perdesaan maupun di perkotaan, dengan memegang prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Adapun aplikasi Kejar Paket A dan B dalam mendukung wajib belajar pendidikan dasar adalah sebagai berikut. (Soedijarto, 1997): (1) Kurikulum Paket A diidentikkan dengan kurikulum SD dan Paket B dengan kurikulum SLTP 1994; (2) Proses belajar mengajar berorientasi pada bagaimana membelajarkan peserta didik; (3) Tatap muka dengan Tutor minimal 3 kali dalam seminggu dalam suasana interaksi kelas, dengan jadwal pelajaran sama dengan jadwal pelajaran sekolah; (4) Belajar kelompok kecil antar peserta ditumbuhkan; (5) Belajar sendiri dengan beban dalam bentuk modul yang disediakan (harusnya satu anak satu modul); (6) Evaluasi dilakukan secara terus-menerus baik evaluasi sendiri maupun oleh Tutor. (7) Evaluasi tahap akhir diadakan secara nasional, diadakan setahun dua kali bagi peserta yang telah menyelesaikan materi pelajaran yang ditetapkan; (8) Lulusannya memperoleh STTB setara SD untuk Paket A dan setara SLTP untuk Paket B.
c. Pendidikan berkelanjutan
Program pendidikan Berkelanjutan, terdiri dari: 1) program yang berorientasi pada pemberian bekal pengembangan diri dan profesionalisme melalui kursus yang sesuai dengan kebutuhan warga, seperti: jasa, bahasa, pertanian, kerumahtanggaan, kesehatan, teknik dan perambahan, olahraga kesenian, kerajinan dan industri, serta keterampilan khusus; 2) program yang berorientasi pada pemberian bekal untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup melalui program Kejar Usaha, Magang, Beasiswa/Kursus; 3) program yang berorientasi pada bekal untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, yang dilaksanakan melalui program Paket C Setara SMU yang diintegrasikan dengan pendidikan keterampilan sehingga adanya peningkatan pengetahuan disertai dengan peningkatan kemampuan bermatapencaharian.
Kursus merupakan salah satu pendidikan pada jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan oleh masyarakat. Penyelenggaraannya yang sangat fleksibel dengan kebutuhan masyarakat, perkernbangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dunia usaha/ industri, menjadikan peran kursus sangat strategis dalam dunia pendidikan untuk menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas.
Dewasa ini berdasarkan catatan LIPI (2001) tercatat sekitar 22.510 lembaga kursus tersebar di seluruh Indonesia, yang meliputi 131 jenis keterampilan. Lembaga kursus merupakan mitra dalam pengem-bangan Pendidikan Non Formal yakni diperankan dalam penyusunan kurikulum dan standarisasi kursus melalui 30 Sub Konsorsium yang telah terbentuk. Di samping itu, dalam pengembangan program pendidikan life skills secara bertahap dan selektif dipilih beberapa lembaga kursus sebagai penyelenggara program.
Kelompok Belajar Usaha (KBU) adalah program pembelajaran yang memberikan peluang kepada masyarakat melalui kelompok belajar untuk belajar, bekerja dan berusaha. Tujuan KBU adalah untuk memperluas kesempatan belajar usaha bagi masyarakat yang tidak mampu, agar memiliki penghasilan yang tetap, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup keluarganya.
Pola pelaksanaan KBU dibedakan menjadi dua, yaitu pola bersama dan pola sendiri‑sendiri. Pola bersama yaitu warga belajar mengelola dana belajar usaha secara bersama dalam kelompok, karena jenis usahanya sama. Pola sendiri‑sendiri yaitu KBU yang mengelola dana belajar usahanya dikelola atau diusahakan oleh masing‑masing warga belajar secara terpisah karena jenis usahanya berbeda‑beda, tetapi tetap dalam ikatan kelompok.
Program KBU ini dikatakan berhasil apabila warga belajar dapat mengembangkan dan memasarkan hasil usahanya, memiliki penghasilan yang tetap, serta dapat memutarkan atau mengembangkan dana belajar usahanya.
Peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan pada daerah-daerah bermasalah akan memberikan dampak ekonomi yang bagus, sehingga lambat laun kemiskinan pada daerah bermasalah dapat dikurangi. Pemberian keterampilan akan memberikan ruang yang kondusif bagi penambahan penghasilan keluarga dan dengan adanya kegiatan usaha maka prilaku-prilaku buruk seperti perjudian, minuman keras dapat dikurangi.
d. Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan
Potret pendidikan bagi kaum perempuan masih tertinggal bila dibandingkan laki-laki. Kondisi ini antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan dan mendahulukan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada perempuan. Ketertinggalan perempuan dalam bidang pendidikan tercermin dari presentase perempuan buta huruf (14,54% tahun 2001) lebih besar dibandingkan laki-laki (6,87%), dengan kecenderungan meningkat selama tahun 1999-2000. Tetapi pada tahun 2002 terjadi penurunan angka buta huruf yang cukup signifikan. Namun angka buta huruf perempuan tetap lebih besar dari laki-laki, khususnya perempuan kepala rumah tangga. Angka buta huruf perempuan pada kelompok 10 tahun ke atas secara nasional (2002) sebesar 9,29% dengan komposisi laki-laki 5,85% dan perempuan 12,69% (Sumber: BPS, Statistik Kesejahteraan Rakyat 1999-2002). Menurut Satatistik Kesejahteraan Rakyat 2003, angka buta huruf perempuan 12,8% sedangkan laki-laki 5,84% .(http://www.duniaesia.com dalam http://sulanam.sunan-ampel.ac.id/?p=18)
Menurut Prof. Dr. Arief Rachman, M.Pd., ketua harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) sebagaimana yang dikutip Waspada Online pada Minggu, 1 Agustus 2010, mengatakan bahwa terdapat lima masalah pada perempuan yang menghalangi perempuan untuk mengenyam pendidikan dan berkarier. Masalah ini perlu diatasi agar kesempatan berpendidikan dan pilihan profesi perempuan semakin tinggi, termasuk menjadi peneliti, adalah :
(1) Kultur yang menomorduakan perempuan
Perempuan Indonesia punya semangat tinggi untuk berpendidikan, namun masih sangat menghormati kultur patriarki. Kultur yang terinternalisasi di masyarakat inilah, yang lantas membuat perempuan dinomorduakan untuk akses pendidikan. Sayangnya, kultur ini juga diikuti dan bahkan diterima oleh masyarakat luas sebagai sesuatu yang wajar, bahkan oleh perempuan itu sendiri.
(2) Sistem struktur sekolah kurang memberikan kesempatan bagi perempuan
Banyak pendapat masyarakat yang menunjukkan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Perempuan hanya diberi porsi berbagai peran domestik, di rumah tangga. Lebih berbahayanya, virus ini masih juga meluas di sekolah. Pendapat yang mengatakan perempuan tak perlu sekolah tinggi menjadi virus yang masih menyebar di sekolah, dalam sistem struktur sekolah.
(3) Lemahnya kesetaraan gender
Kesetaraan gender belum diusung berbagai kebijakan yang ada pada lembaga negara. Akhirnya perwujudan kesetaraan gender masih lemah. Diperlukan resolusi politik yang mendukung dan mengusung kesetaraan gender yang tertuang dalam kebijakan lembaga negara. Peraturan di daerah misalnya, masih banyak yang belum mengusung kesetaraan dan keadilan gender dari segi gaji perempuan dan lelaki. Cuti kepada lelaki saat istri melahirkan juga belum diusung dalam peraturan daerah, padahal peran ayah dibutuhkan pada masa melahirkan.
(4) Manajemen rumah tangga belum seimbang, perempuan lebih mengalah
Perempuan cenderung mengalah untuk mengurus anak dan keluarga. Akhirnya, keinginan untuk meraih gelar S2 atau S3, misalnya, tertunda atau bahkan dibatalkan demi peran sebagai ibu. Dengan adanya manajemen rumah tangga yang lebih baik, perempuan dan lelaki memiliki kesempatan yang sama. Baik dalam mengurus rumah tangga maupun dalam mengembangkan dirinya. Untuk bersekolah, misalnya.
(5) Kesepakatan pasangan yang melemahkan perempuan
Saat masih berpasangan, pada kasus tertentu, masih terdapat perempuan yang terbatasi untuk mengembangkan diri. Misalnya, pria akan menikahinya, dengan memberi syarat ia harus mengurus rumah tangga saja. Kesepakatan pasangan yang dibuat sebelum menikah, bahkan menjadi syarat menikah, lantas membuat perempuan terbatasi geraknya. Masalah semacam ini tidak lantas terjadi pada setiap orang, dan sifatnya berbeda setiap kasus. Prinsipnya, ada kesepakatan tertentu yang dibuat untuk perempuan yang kemudian membatasi ruang gerak dan kemandiriannya untuk berkembang. Persoalan kesetaraan gender perlu diatasi tidak hanya dari sisi kultural, namun juga perlu ada kebijakan yang tertuang dalam struktur.
Dari kedua fakta di atas, maka dapat dijadikan dasar untuk memposisikan perempuan sebagaimana kaum laki-laki untuk dapat mengembangkan potensinya dalam berkarya di berbagai bidang. Memang dalam sejarah Islam klasik, dominasi kaum laki-laki dalam berkarya berbagai bidang sangat kental, mulai dari fiqh, tafsir, hadits, tasawuf, dan lain-lain.
Secara adat ketimuran, bahwa kaum perempuan cenderung pembantu bagi kaum laki-laki, khususnya dalam penataan rumah tangga. Maka dengan kondisi modernisasi seperti saat ini menuntut perempuan untuk dapat “tempat” sebagaimana kaum laki-laki, termasuk dalam bidang pendidikan. Disamping itu, didalam UUD 1945 hasil amandemen, pasal 28 H (2) menyebutkan: “Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.” Maka, pendidikan luar sekolah atau non-formal sangat penting untuk membantu perempuan membangun jatidirinya, khususnya pada wilayah pedesaan atau kaum pinggiran/urban.
4. Rencana Strategis Pendidikan Luar Sekolah
Kita menyadari bahwa SDM kita masih rendah, dan tentunya kita masih punya satu sikap yakni optimis untuk dapat mengangkat SDM tersebut. Salah satu pilar yang tidak mungkin terabaikan adalah melalui pendidikan non formal atau lebih dikenal dengan pendidikan luar sekolah (PLS).
Seperti kita ketahui, bahwa rendahnya SDM kita tidak terlepas dari rendahnya tingkat pendidikan masyarakat, terutama pada usia sekolah. Rendahnya kualitas SDM tersebut disebabkan oleh banyak hal, misalnya ketidakmampuan anak usia sekolah untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sebagai akibat dari kemiskinan yang melilit kehidupan keluarga, atau bisa saja disebabkan oleh oleh angka putus sekolah, hal yang sama disebabkan oleh factor ekonomi
Oleh sebab itu, perlu menjadi perhatian pemerintah melalui semangat otonomi daerah adalah mengerakan program pendidikan non formal tersebut, karena UU Nomor 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional secara lugas dan tegas menyebutkan bahwa pendidikan non formal akan terus ditumbuhkembangkan dalam kerangka mewujudkan pendidikan berbasis masyarakat, dan pemerintah ikut bertanggungjawab kelangsungan pendidikan non formal sebagai upaya untuk menuntaskan wajib belajar 9 tahun.
Dalam kerangka perluasan dan pemerataan PLS, secara bertahap dan bergukir akan terus ditingkatkan jangkauan pelayanan serta peran serta masyarakat dan pemerintah daerah untuk menggali dan memanfaatkan seluruh potensi masyarakat untuk mendukung penyelenggaraan PLS, maka Rencana Strategis baik untuk tingkat propinsi maupun kabupaten kota, adalah (1) Perluasan pemerataan dan jangkauan pendidikan anak usia dini; (2) Peningkatan pemerataan, jangkauan dan kualitas pelayanan Kejar Paket A setara SD dan B setara SLTP; (3) Penuntasan buta aksara melalui program Keaksaraan Fungsional; (4) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan perempuan (PKUP), Program Pendidikan Orang tua (Parenting); (5) Perluasan, pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan berkelanjutan melalui program pembinaan kursus, kelompok belajar usaha, magang, beasiswa/kursus; dan Memperkuat dan memandirikan PKBM yang telah melembaga saat ini di berbagai daerah.
Dalam kaitan dengan upaya peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan, maka program PLS lebih berorientasi pada kebutuhan pasar, tanpa mengesampingkan aspek akademis. Oleh sebab itu Program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun Rencana strategis adalah (1) Meningkatkan mutu tenaga kependidikan PLS; (2) Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan PLS, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil; (3) Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus; (4) Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti Dudi, asosiasi profesi, lembaga diklat; (5) Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah (1) meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah; (2) pembinaan kelembagaan PLS; (3) pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat; (4) mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS; (5) meningkatkan fasilitas di bidang PLS. Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri. Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .
Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM berdaya saing tinggi, dan sangat ditentukan oleh SDM muda (dini), dan tepatlah Pendidikan Luar sekolah sebagai alternative di dalam peningkatan SDM ke depan.
PLS menjadi tanggungjawab masyarakat dan pemerintah sejalan dengan Pendidikan Berbasis Masyarakat, penyelenggaraan PLS lebih memberdayakan masyarakat sebagai perencana, pelaksanaan serta pengendali, PLS perlu mempertahankan falsafah lebih baik mendengar dari pada didengar, Pemerintah daerah propinsi, kabupaten dan kota secara terus menerus memberi perhatian terhadap PLS sebagai upaya peningkatan SDM, dan PLS sebagai salah satu solusi terhadap permasalahan masyarakat, terutama anak usia sekolah yang tidak mampu melanjutkan pendidikan, dan anak usia putus sekolah.
5. Unsur-unsur Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah mempunyai bentuk dan pelaksanaan yang berbeda dengan sistem yang sudah ada di pendidikan sekolah. Pendidikan luar sekolah timbul dari konsep pendidikan seumur hidup dimana kebutuhan akan pendidikan tidak hanya pada pendidikan persekolahan/pendidikan formal saja. Pendidikan luar sekolah pelaksanaannya lebih ditekankan kepada pemberian keahlian dan keterampilan dalam suatu bidang tertentu. Akan tetapi jika dilihat dari sudut pandang teori pendidikan berdasarkan unsur-unsur pendidikan adalah sebagai berikut:
a. Sasaran pendidikan
Misalnya, pemberantasan buta huruf dilaksanakan di tingkat grass root yang merupakan basis/kantungkantung masyarakat buta huruf yaitu tingkat RT/RW, desa / kelurahan, pernukiman tertentu, tempat kerja/perusahaan.
b. Pelaku pendidikan (pendidik)
Memanfaatkan peran seluruh potensi SDM, seperti; guru, mahasiswa, pelajar, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, tokoh pemucla, tokoh perempuan / ibu‑ibu. Dan juga mengoptimalkan peran sekolah, perguruan tinggi, lembaga kursus, lembaga pelatihan swasta, SKB, BPKB, PKBM, balai pendidikan dan pelatihan, pondok pesantren, majelis ta’lim dan sebagainya.
Menggerakkan peran organisasi sosial kemasyarakatan antara lain; PKK, Dharma Wanita, LSM, Karang Taruna, muslimat NU, pemuda Muhammadiyah, remaja masjid, pramuka, organisasi kemahasiswaan, KADIN, APINDO dan sejenisnya.
c. Materi
Sebagai bahan belajar program pemberantasan buta aksara telah disusun dan diterbitkan modul-modul keaksaraan fungsional. Program pemberantasan buta aksara dilaksanakan secara terintegrasi dengan berbagai program penyuluhan, pembimbingan, pendampingan pada masyarakat yang dilakukan berbagai sektor.
Program pembelajaran dirancang kontekstual dengan pekerjaan, minat, mata pencaharian, potensi sumber daya alam pertanian, peternakan, perikanan, kelautan, kehutanan, usaha produk kerajinan, pertukangan dan jasa. Melatih dan Menyediakan tenaga pengajar/tutor, bahan belajar seperti buku‑buku/modul‑modul dan suplemen yang terkait dengan keterampilan untuk dijadikan mata pencaharian yang dapat memberikan penghasilan.
d. Strategi
Strategi PLS dalam rangka era otonomi daerah, maka rencana strategi yang dilakukan adalah;
1) Meningkatkan peranserta masyarakat dan pemerintah daerah;
2) Pembinaan kelembagaan PLS;
3) Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat;
4) Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang PLS;
5) Meningkatkan fasilitas di bidang PLS
Semangat Otonomi Daerah PLS memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan Luar Sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri.
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan. Selanjutnya Pendidikan Luar Sekolah harus mampu membentuk SDM.
e. Tempat
Mengoptimalkan pemanfaatan infrastruktur pendidikan yang ada di masyarakat, seperti Madrasah, SD/SLTP Pondok Pesantren dan lain‑lain.
Kegiatan pembelajaran bisa dilakukan di berbagai tempat di mana saja (sekolah, madrasah, masjid, mushola, gereja, balai desa, balai warga, kantor, pabrik, rumah, di tempat kerja, waktunya kapan saja disesuaikan dengan kesempatan yang ada pada warga belajar.
Oleh karena itu, penyelenggaraan pendidikan luar sekolah dapat dikembangkan dengan memperhatikan beberapa hal, diantaranya:
1. Tujuan program pendidikan PLS terfokus agar peserta didik dapat menyesuaikan diri secara tepat dalam hidup. Disamping itu, peserta didik diharapkan dapat melaksanakan tanggung jawab sosial dalam hidup bermasyarakat.
2. Kurikulum komprehensif yang berisi semua pengetahuan yang berguna dalam penyesuaian diri dalam hidup dan tanggung jawab sosial. Kurikulum berisi unsur-unsur pendidikan umum untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan pendidikan praktis untuk kepentingan bekerja.
3. Semua kegiatan belajar berdasarkan pengalaman baik langsung maupun tidak langsung. Metode mengajar hendaknya bersifat logis, bertahap dan berurutan. Pembiasaan (pengkondisian) merupakan sebuah metode pokok yang dapat dipergunakan dengan baik untuk mencapai tujuan pendidikan.
4. Dalam hubungannnya dengan pengajaran, peranan peserta didik adalah penguasaan pengetahuan yang handal sehingga mampu mengikuti perkembangan Iptek. Dalam hubungannya dengan disiplin, tatacara yang baik sangat penting dalam belajar. Artinya belajar dilakukan secara terpola berdasarkan pada suatu pedoman. Peserta didik perlu mempunyai disiplin mental dan moral untuk setiap tingkat kebaikkan. Peranan pendidik adalah menguasai pengetahuan, keterampilan teknik-teknik pendidikan dengan kewenangan untuk mencapai hasil pendidikan yang dibebankan kepadanya.
F. SOLUSI
Dari deskripsi di atas, maka dapat diidentifikasi permasalahan pendidikan luar sekolah terutama dapat diatasi dengan cara sebagai berikut :
1. Tujuan program PLS pertama-tama harus difokuskan pada pembentukan karakter atau kepribadian peserta didik. Pada tahap selanjutnya program pendidikan tertuju kepada pengembangan bakat dan kebaikan sosial. Peserta didik digali potensinya untuk tampil sebagai individu berbakat/ berkemampuan yang akan memiliki nilai guna bagi kepentingan masyarakat.
2. Kurikulum pendidikan PLS dikembangkan dengan memadukan pendidikan umum dan pendidikan praktis. Kurikulum diarahkan pada upaya pengembangan kemampuan berpikir melalui pendidikan umum. Di samping itu kurikulum juga dikembangkan untuk mempersiapkan keterampilan bekerja untuk keperluan memperoleh mata pencaharian melalui pendidikan praktis.
3. Metode pendidikan dalam program PLS disusun menggunakan metode pendidikan dialektis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Meskipun demikian, setiap metode yang dianggap efektif dapat pula digunakan untuk mendorong belajar.
4. Peserta didik bebas mengembangkan bakat dan kepribadiannya. Pendidikan bekerjasama dengan alam dengan proses pengembangan kemampuan ilmiah. Oleh karena itu tugas utama tenaga pendidik adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan peserta didik dapat belajar dengan efisien dan efektif.
Sedangkan untuk program berkelanjutan adalah memfasilitasi segala sesuatu yang berkaitan dengan sektor ketrampilan/kursus-kursus dan kewirausahaan lain yang ditindaklanjuti dengan pengawasan dan pendampingan. Oleh sebab itu, program PLS mampu meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalitas, produktivitas, dan daya saing dalam merebut peluang pasar dan peluang usaha, maka yang perlu disusun rencana strategis, diantaranya:
1. Meningkatkan mutu tenaga kependidikan pendidikan luar sekolah,
2. Meningkatkan mutu sarana dan prasarana dapat memperluas pelayanan pendidikan luar sekolah, dapat meningkatkan kualitas proses dan hasil,
3. Meningkatkan pelaksanaan program kendali mutu melalui penetapan standard kompetensi, standard kurikulum untuk kursus,
4. Meningkatkan kemitraan dengan pihak berkepentingan (stakholder) seperti asosiasi profesi, lembaga diklat, bank-bank konvensional, perusahaan-perusahaan, lembaga pendidikan/kampus, dan lain-lain,
5. Melaksanakan penelitian kesesuain program PLS dengan kebutuhan masyarakat dan pasar. Demikian pula kaitan dengan peningkatan kualitas manajemen pendidikan.
G. PENUTUP
Seiring dengan otonomi daerah, maka peran sentral pemerintah daerah sangat vital bila dibandingkan dengan pemerintah pusat, maka perlu membuat master plan/ rencana strategis. Sehingga penuliis memberikan konklusi sekaligus rekomendasi kepada kepala daerah adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan peran serta masyarakat dan pemerintah daerah,
2. Pembinaan kelembagaan pendidikan luar sekolah,
3. Pemanfaatan/pemberdayaan sumber-sumber potensi masyarakat yang ada,
4. Mengembangkan sistem komunikasi dan informasi di bidang pendidikan luar sekolah,
5. Meningkatkan fasilitas di bidang pendidikan luar sekolah.
Semangat otonomi daerah pendidikan luar sekolah memusatkan perhatiannya pada usaha pembelajaran di bidang keterampilan lokal, baik secara sendiri maupun terintegrasi. Diharapkan mereka mampu mengoptimalkan apa yang sudah mereka miliki, sehingga dapat bekerja lebih produktif dan efisien, selanjutnya tidak menutup kemungkinan mereka dapat membuka peluang kerja.
Pendidikan luar sekolah menggunakan pembelajaran bermakna, artinya lebih berorientasi dengan pasar, dan hasil pembelajaran dapat dirasakan langsung manfaatnya, baik oleh masyarakat maupun peserta didik itu sendiri..
Di dalam pengembangan Pendidikan Luar Sekolah, yang perlu menjadi perhatian bahwa, dalam usaha memberdayakan masyarakat kiranya dapat membaca dan merebut peluang dari otonomi daerah, pendidikan luar sekolah pada era otonomi daerah sebenarnya diberi kesempatan untuk berbuat, karena mustahil peningkatan dan pemberdayaan masyarakat menjadi beban pendidikan formal saja, akan tetapi pendidikan formal juga memiliki tanggungjawab yang sama. .
Oleh sebab itu sasaran Pendidikan Luar Sekolah lebih memusatkan pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan berkelanjutan, dan perempuan.
H. DAFTAR PUSTAKA
Adikusumo, Supardjo, Pendidikan Kemasyarakatan, IKIP Bandung, 1992
Alvita, O.N, Konsep Pengasuhan (Parenting), http://okvina.wordpress.com. (18 Februari 2009)
Balitbang Dikdud, Data Sekolah, Murid, dan Guru. Jakarta: Pusat Informasi Balitbang DikBud, 1999
Coombs, Philip, Manzoor Ahmed, Attacking Rural Poverty, How Non Formal Education Can Help. Diterjemahkan oleh Yayasan Ilmu-ilmu Sosial (YIIS): Memerangi Kemiskinan di Pedesaan Melalui Pendidikan Non Formal. Rajawali, Jakarta, 1984
Faisal Sanapiah, Pendidikan Luar Sekolah . Surabaya: CV. Usaha Nasional, 1981
Hamijoyo Santoso, S. Pengertian, Falsafah dan Azaz Pendidikan Luar Sekolah. FIP IKIP Bandung, 1973
Harahap, M. (2009). Program Parenting Pada Kelompok Bermain Pendidikan Anak Usia Dini. http://www.bpplsp-reg-1.go.id/buletin/read.php. (14 August 2009).
http://sulanam.sunan-ampel.ac.id/?p=18)
http://uelly24cumi.student.umm.ac.id/2010/08/13/httpre-searchengines-comisjoni13-html/
http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/index.php/minat-baca/74-peran-pendidikan-luar-sekolah-dalam-pembangunan-sdm-dan-pemasyarakatan-budaya-baca?start=11
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=133594:5-masalah-perempuan-yang-urgen&catid=31:perempuan&Itemid=99
Joesoef Soelaiman, Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004
Kurdie Syuaeb, Pendidikan Luar Sekolah. Cirebon, CV. Alawiyah, 2002
Patmonodewo, S, Pendidikan Anak Prasekolah. Jakarta. Rineka Cipta, 2009
Shantini, Yanti, Modul Pelibatan Orang Tua Dalam Pembelajaran . Bandung, 2007
Sigiro, Atnike Nova, Kebutuhan Pendidikan Masa Depan, Media Indonesia, 20 Desember 2002
Sihombing, U, Pendidikan Luar Sekolah Kini dan Masa Depan. Mahkota: Jakarta, 1999
Soedijarto, H., Peranan Tenaga Pendidikan Luar Sekolah dalam Peningkatan Mutu Manusia Indonesia Melalui Pendidikan. Seminar Nasional Pendidikan Luar Sekolah dan Konferensi ISPPSI. Dalam Rangka Dies Natalis ke 33 Universitas Negeri Surabaya, 1997
Sudjana, H. D, Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah dan Teori Pendukung, Asas. Bandung: Falah Production, 2000.
Sudjana, H. D. Manajemen Program Pendidikan . Bandung: Falah Production, 2004
Sudjarwo, Prof., ”Bahan - Bahan Pendidikan Non Formal”, Semarang, 28 April 2009, http://profsudjarwo.blog.com/2009/04/20/bahan-bahan-pendidikan-non-formal
Sudradjad, Kiat Mengatasi pengangguran Melalui Wiraswasta, Bumi Aksara, Jakarta. 1999
Suharsaputra, Uhar, Pendidikan Non Formal, http://uharsputra.wordpress.com
Sujiono, Yuliani N. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini . Jakarta: Indeks, 2009
Supriatna, Tjahya, Strategi Pembangunan dan Kemiskinan. Rineka Cipta, Jakarta, 2000
Dipresentasikan dalam Mata Kuliah Isu-Isu Pendidikan Kontemporer oleh Siti Rochmiyatun di IAIN Surakarta, Pebruari 2012
Mengapa sumber daya manusia di indonesia rendah? Pendidikan di ranah keluarga adalah dasar yang paling utama untuk membentuk moral orang sehingga menjadi seseorang yang berperan di masyarakat.
ReplyDeleteTerima kasih tulisan di blog anda menginspirasi saya.