Friday, March 16, 2012

PENDIDIKAN KARAKTER: POTRET MODEL PENDIDIKAN SAAT INI
Kusun Dahari

Model pendidikan di Indonesia saat ini masih belum menemukan sebuah konsep model pendidikan yang ideal sesuai dengan karakter keindonesiaan dan sistem pendidikan yang belum mampu menghasilkan output pendidikan yang baik sesuai dengan harapan bangsa adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, termasuk meningkatkan sumber daya manusianya. Sehingga bongkar pasang kurikulum dan materi pendidikan masih belum menemukan sebuah pendidikan yang ideal, ironisnya beban kurikulum yang terlalu padat sekolah hanya mementingkan satu hal yaitu nilai kelulusan, dan ada kesan guru menjadi tidak lebih hanya sekedar operator kurikulum.

Dengan jumlah penduduk yang besar 200 juta yang menurut HDI (Human Development Index), Indonesia berada pada rangking ke 112 dari 175 negara dunia, demikian pula menurut World Competitivenes Year Book (WCY), Indonesia hanya menempati rangking 58 dari 60 negara. Apabila kita amati secara garis besar, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan, apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan pada tingkat global. Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan, bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik, melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and character building), bahkan terjadi adanya degradasi moral.
Tetapi sekali lagi, yang lebih memprihatinkan adalah bahwa kondisi umum pendidikan di Indonesia relatif masih berorientasi pada aspek pengajaran formal (transfer pengetahuan dan pemahaman) dan belum sepenuhnya berorientasi pada aspek pendidikan (transfer pembangunan karakter). Kualitas pendidikan nasional yang relatif rendah, sebagai contoh terbaru semakin rendahnya tingkat kelulusan Ujian Nasional dan rendahnya nilai kejujuran dalam ujian, dan juga tercermin dari kompetisi sumber daya manusia Indonesia yang rendah sebagai contoh semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang tidak menjadi jaminan menjadi orang yang bersih, bijak, wibawa, bahkan sebaliknya menjadi sponsor korupsi jika menjadi pejabat.
Barangkali dari fenomena di atas telah menginspirasikan Menteri Pendidikan Nasional RI Prof. Dr. Muhammad Nuh mengatakan di peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), 2 Mei 2010, bahwa pendidikan nasional harus berwawasan pendidikan karakter dengan tema peringatan “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”

Apa Pendidikan Karakter?
Nation and Character Building yang ditegaskan Bung Karno dalam membangun bangsa ini adalah hal yang amat filosofis dan menyangkut pengembangan esensi pembangunan sumber daya manusia. Pembangunan politik, ekonomi, hukum, kemananan serta penguasaan sains dan teknologi harus menyatu dengan pembangunan karakter manusia sebagai pelaku dari politik, ekonomi, hukum, dan pengembang serta pengguna sains dan teknologi, agar berujung pada kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia.
Kepentingan nasional Indonesia merupakan kepentingan bangsa dan negara dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional Indonesia yang di dalamnya mencakup usaha mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan kehidupan bangsa itu memiliki arti penting yaitu, membangun manusia Indonesia yang cerdas dan berbudaya. Pengertian cerdas harus dimaknai, bukan saja sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan dan kapasitas untuk menguasai ilmu pengetahuan, seni dan teknologi yang manusiawi, tetapi cerdas emosional artinya memiliki kecerdasan emosional yang dengan bahasa umum disebut sebagai berkarakter mulia atau berbudi luhur, berakhlak mulia. Sedangkan berbudaya memiliki makna sebagai kemampuan dan kapasitas untuk menangkap dan mengembangkan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang beradab dalam sikap dan tindakan berbangsa dan bernegara (karakter bangsa).
Salah satu poin penting dari tugas pendidikan adalah membangun karakter (character building) anak didik. Karakter merupakan standar-standar batin yang terimplementasi dalam berbagai bentuk kualitas diri. Karakter diri dilandasi nilai-nilai serta cara berpikir berdasarkan nilai-nilai tersebut dan terwujud di dalam perilaku. Bentuk-bentuk karakter yang dikembangkan telah dirumuskan secara berbeda. Indonesia Heritage Foundation merumuskan beberapa bentuk karakter yang harus ada dalam setiap individu bangsa Indonesia di antaranya; cinta kepada Allah dan semesta beserta isinya, tanggung jawab, disiplin dan mandiri, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, dan kerja sama, percaya diri, kreatif, kerja keras dan pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, dan toleransi, cinta damai dan persatuan.
Sedangkan character counts di Amerika mengidentifikasikan bahwa karakter-karakter yang menjadi pilar adalah; dapat dipercaya (trustworthiness), rasa hormat dan perhatian (respect), tanggung jawab (responsibility), jujur (fairness), peduli (caring), kewarganegaraan (citizenship), ketulusan (honesty), berani (courage), tekun (diligence) dan integritas.

Implementasi Pendidikan Karakter
Sekolah yang telah berkomitmen untuk mengembangkan karakter melihat diri mereka sendiri melalui lensa moral, untuk menilai apakah segala sesuatu yang berlangsung di sekolah mempengaruhi perkembangan karakter siswa. Pendekatan yang komprehensif menggunakan semua aspek persekolahan sebagai peluang untuk pengembangan karakter. Ini mencakup apa yang sering disebut dengan istilah kurikulum tersembunyi, hidden curriculum (upacara dan prosedur sekolah; keteladanan guru; hubungan siswa dengan guru, staf sekolah lainnya, dan sesama mereka sendiri; proses pengajaran; keanekaragaman siswa; penilaian pembelajaran; pengelolaan lingkungan sekolah; kebijakan disiplin); kurikulum akademik, academic curriculum (mata pelajaran inti, termasuk kurikulum kesehatan jasmani), dan program-program ekstrakurikuler, extracurricular programs (tim olahraga, klub, proyek pelayanan, dan kegiatan-kegiatan setelah jam sekolah).
Di samping itu, sekolah dan keluarga perlu meningkatkan efektivitas kemitraan dengan merekrut bantuan dari komunitas yang lebih luas (bisnis, organisasi pemuda, lembaga keagamaan, pemerintah, dan media) dalam mempromosikan pembangunan karakter. Kemitraan sekolah dengan orang tua ini dalam banyak hal sering kali tidak dapat berjalan dengan baik karena terlalu banyak menekankan pada penggalangan dukungan finansial, bukan pada dukungan program. Berbagai pertemuan yang dilakukan tidak jarang terjebak kepada sekadar tawar-menawar sumbangan, bukan bagaimana sebaiknya pendidikan karakter dilakukan bersama antara keluarga dan sekolah, termasuk lingkungan keberadaan/tempat tinggal siswa dan sekolah.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian: (1) karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai? (2) Pertumbuhan staf sekolah sebagai pendidik karakter: sampai sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter? (3) Karakter siswa: sejauh mana siswa memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti? Hal seperti itu dapat dilakukan di awal pelaksanaan pendidikan karakter untuk mendapatkan baseline dan diulang lagi di kemudian hari untuk menilai kemajuan.
Secara teoritik, menurut Lickona dkk (2007) terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif: (1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang baik, (2) definisikan 'karakter' secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3) gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4) ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan moral, (6) buat kurikulum akademik yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta didik, mengembangkan karakter, dan membantu siswa untuk berhasil, (7) usahakan mendorong motivasi diri siswa, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter dan upaya untuk mematuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10) libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11) evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa memanifestasikan karakter yang baik.

Peranan Guru dalam Pendidikan Karakter
Pada dasarnya konsep dasar pendidikan karakter sudah ada sejak al-Zarnuji mengarang kitab Ta’līm al-Muta’allim yang merupakan karya monumental. Adalah tujuan pendidikan berdimensi peningkatan kecerdasan intelektual, dikatakan bahwa murid harus mengasah kemampuan berfikir melalui media diskusi (munadharah, mudzakarah, dan mutharahah). Dimensi peningkatan kecerdasan emosional dapat ditemukan dalam istilah musyfiqan nasihan ghairi hasidin (Orang berilmu harus menyayangi sesama. Senang kalau orang lain mendapat kebaikan tanpa ada rasa iri), dan dimensi peningkatan kecerdasan spiritual dapat ditemukan dalam teks niat seorang pelajar dalam menuntut ilmu harus ikhlas mengharap ridho Allah, mencari kebahagiaan di akherat, menghilangkan kebodohan dirinya, menghidupkan agama, dan melestarikan Islam. Karena Islam akan tetap lestari dengan umatnya yang berilmu. Ketiga dimensi tersebut meletakkan posisi guru pada peranan yang sangat penting walaupun "tidak" dominan.
Guru adalah figur manusia yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Ketika semua orang mempersoalkan masalah dunia pendidikan, figur guru mesti dilibatkan dalam agenda pembicaraan terutama yang menyangkut persoalan pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak dapat disangkal, karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru. Sebagian besar waktu guru ada di sekolah, sisanya ada di rumah dan masyarakat.
Menurut Zakiah Daradjat (1989) menyatakan bahwa, pendidikan agama dalam sekolah sangat penting untuk pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian anak didik, karena pendidikan agama mempunyai dua aspek terpenting. Aspek pertama dari pendidikan agama adalah yang ditujukan kepada jiwa atau pembentukan kepribadian. Anak didik diberikan kesadaran kepada adanya Tuhan lalu dibiasakan melakukan perintah-perintah Tuhan dan meninggalkan larangan Nya. Dalam hal ini anak didik dibimbing agar terbiasa berbuat yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama. Aspek kedua dari pendidikan agama adalah yang ditujukan kepada pikiran yaitu pengajaran agama itu sendiri. Kepercayaan kepada Tuhan tidak akan sempurna bila isi dari ajaran-ajaran Tuhan tidak diketahui betul-betul. Anak didik harus ditunjukkan apa yang disuruh, apa yang dilarang, apa yang dibolehkan, apa yang dianjurkan melakukannya dan apa yang dianjurkan meninggalkannya menurut ajaran agama.
Dalam upaya membentuk siswa menjadi shaleh tersebut, maka guru perlu membimbing siswa dengan pendekatan pendidikan karakter. Pendidikan karakter atau budi pekerti plus adalah suatu yang urgen untuk dilakukan. Kalau kita peduli untuk meningkatkan mutu lulusan semua jenjang pendidikan, maka tanpa pendidikan karakter adalah usaha yang sia-sia. Pendidikan karakter mempunyai tujuan bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. Sehingga Achmad Satori Ismail, mentakan bahwa mencontohkan saja tidaklah cukup, memberi contoh memang jalan yang terbaik dalam mendidik dan membentuk karakter siswa , tetapi kalau tidak diseru dan tidak diajak, maka siswa –siswa tidak akan terpanggil untuk ikut melaksanakannya.
Banyak guru mencita-citakankan agar siswanya menjadi shaleh, namun tidak mendukung support system yang bisa mendukung tumbuh kembangnya keshalihah ini. Misalnya siswa diharapkan rajin beribadah, berakhlak mulia, tetapi gurunya tidak mencontohkan dirinya menjadi sosok yang rajin beribadah. Tentu saja sulit bagi siswa untuk membentuk karakter yang shaleh tersebut. Pendidikan karakter akan menumbuhkan kecerdasan emosi siswa yang meliputi kemampuan mengembangkan potensi diri dan melakukan hubungan sosial dengan manusia lain.
Karakter yang berkualitas perlu dibentuk dan dibina sejak di bangku sekolah .karenanya, sebuah sistem pendidikan yang berhasil adalah yang dapat membentuk manusia-manusia berkarakter yang sangat diperlukan dalam mewujudkan sebuah negara kebangsaan yang terhormat.
Jadi, dalam mewujudkan pendidikan berbasis karakter tersebut paling tidak dalam proses pembelajaran guru menggunakan metode penggabungan antara student centered dan teacher centered, artinya ekspresi guru dan murid sama-sama diberikan ruang, kesempatan seimbang sehingga tujuan pendidikan karakter yang memanusiakan manusia dapat tercapai.

Disajikan dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP, Januari 2012

No comments:

Post a Comment