Kusun Dahari, MSI
Rendahnya mutu pendidikan menjadi masalah utama yang perlu segera diantisipasi, dan pendidikan merupakan tolak ukur utama sumber daya manusia dalam suatu negara. Dalam konteks hubungan guru dengan murid saat ini ternyata sedikit demi sedikit mulai berubah, nilai-nilai ekonomi sedikit demi sedikit mulai masuk, yang terjadi sekarang adalah (1) Kedudukan guru semakin merosot; (2) Hubungan guru murid semakin kurang bernilai, atau penghormatan murid terhadap guru semakin menurun; (3) Harga karya mengajar semakin menurun (Ahmad Tafsir, 1994:77). Disamping itu, hubungan guru dengan murid juga dipengaruhi faktor eksternal lain, diantaranya masuknya budaya asing yang membentuk kultur tersendiri dan booming media yang masuk ke setiap ranah kehidupan dari anak-anak hingga orang tua.
Pengalaman mengajar Erin Gruwell (didokumentasikan dalam film Freedom Writers) dimulai dengan segala kesulitan dalam mendidik anak-anak super nakal, bodoh dan tidak disiplin, mereka banyak melawan, saling melecehkan, temperamental, dan selalu rusuh. Di pinggang anak-anak SMA ini hanya ada pistol atau kokain. Di luar sekolah mereka saling mengancam dan membunuh. Erin Gruwell tak putus asa, ia membuat kurikulum sendiri yang bukan berisi aneka ajaran pengetahuan biasa, tetapi pengetahuan hidup.
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara. Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih rileks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif meminta anak-anak untuk menulis kisah hidupnya secara bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat.
Sementara diantara potret umum proses pembelajaran di kelas kita saat ini adalah guru yang lebih suka menggunakan LKS tanpa melalui proses pembelajaran yang bermakna. Dengan LKS, materi pelajaran bisa diselesaikan dalam sekejap. Guru yang lebih senang menggunakan "ancaman" untuk mengingatkan siswa daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik jadi guru. Guru yang lebih bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan "makhluk" lain di luar dirinya. Guru yang lebih senang melakukan manipulasi data khususnya dalam pengerjaan nilai. Dalam konteks ini, konon guru tidak perlu dilatih karena sudah memiliki keterampilan memanipulasi yang diperoleh dari pengamatan turun-temurun (istilah lain: ngaji, ngarang biji). Guru yang menggunakan siswanya sebagai objek “les privat” dan memberikan perhatian khusus bagi siswa yang mengikuti les privatnya.
Dua potret di atas merupakan gambaran kontradiksi pemberlakuan murid terhadap proses pendidikan. Potret Erin Gruwell menggambarkan tipe guru yang inspirator, memandang murid sebagai partner atau subyek didik, sehingga menjadikan murid sebagai manusia (baca: memanusiakan manusia, sebagaimana konsep pendidikan barat yang dimotori Paulo Freire), sedangkan potret berikutnya menggambarkan begitu kuat superior sang guru, dan mendudukan murid sebagai obyek didik. Apakah ini merupakan pengaruh kuat dari konsep al-Zarnuji dengan sikap hormat kepada guru yang dinilai dapat membunuh kreatifitas murid?
Oleh karena itu, jenis guru dapat dipetakan menjadi dua, guru inspiratif dan guru kurikulum, sebagaimana yang diistilahkan Rhenald Kasali. Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransper semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99%. Sedangkan guru inspiratif jumlanya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box) mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Dengan demikian nilai positif dari guru kurikulum dapat melahirkan manajer-manajer handal, sedangkan guru inspiratif melahirkan pemimpin pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Jika melihat kondisi sistem pendidikan sekolah pada saat ini umumnya adalah guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administratif yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia.
Proses pendidikan yang ada di sekolah mestinya tidak hanya berorientasi pada aspek kognitifnya saja atau dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan social. Akan tetapi yang terjadi di lapangan peran guru lebih banyak mengajar dari pada mendidik. Artinya ketika guru masuk ke ruang kelas maka yang dilakukan hanya menyampaikan materi yang ada di buku atau dengan kata lain bersifat curriculum oriented (terjebak pada kegiatan pencapaian target kurikulum), dan bersifat content oriented atau pencapaian tujuan kognitif yang malah jauh dari pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan pada kegiatan ekstrakurikuler pembinaan dan pengembangan potensi belum mendapatkan proporsi yang sewajarnya.
Padahal kegiatan ekstrakurikuler diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik diluar potensi akademiknya. Sejatinya kegiatan ekstrakurikuler (baca: pembinaan kesiswaan) mengarahkan dan mengembangkan potensi anak didik untuk berwawasan masa depan (looking forward), memiliki keteraturan pribadi (self regulation) dan memiliki rasa kepedulian social yang baik (holy social sense).
Kegiatan Intrakurikuler yang terjadi sekolah yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sudah saatnya diubah paradigmanya. Perlu pendekatan lain yang dilakukan oleh guru ketika berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka sehingga nilai-nilai pendidikan terabaikan.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi sikap atau cara pandang guru, yaitu (1) terbuka dan berupaya mencari berbagai kemungkinan, baik dari orang lain, buku, referensi internet dan sebagainya, agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. (2) utuh dan fleksibel dalam mengemas pembelajaran. Metode-pendekatan dan sarana/media yang dipergunakan bervariasi, tidak hanya ceramah/informatif saja, tetapi juga dengan berbagai pendekatan yang menarik, namun tidak lepas dari komponen segi kognitif-afeksi dan psikomotorik siswa. (3) terlibat secara penuh untuk mengamati, menganalisa, memahami gaya belajar dan kemampuan masing-masing siswa sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran. (4) memotivasi siswa untuk berkeinginan belajar terus-menerus dan memberi peluang untuk belajar sesuai dengan kemampuannya.
Jadi, sikap atau cara pandang di atas merupakan cerminan guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya. Selanjutnya guru masa depan dapat dicirikan sebagai planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
Dipublikasikan pula di Radar Solo (Jawa Pos), 11 Maret 2012 pada rubrik BAGIMU GURU
Ia mulai dengan sebuah permainan (line games) dengan menarik sebuah garis merah di lantai, membagi mereka dalam dua kelompok kiri dan kanan. Kalau menjawab “ya” mereka harus mendekati garis. Dimulai dengan beberapa pertanyaan ringan, dari album musik kesayangan, keanggotaan geng, kepemilikan narkoba, dan pernah dipenjara. Line games menyatukan anak-anak nakal yang tiba-tiba melihat bahwa mereka senasib. Sama-sama waswas, hidup penuh ancaman, curiga kepada kelompok lain dan tak punya masa depan. Mereka mulai bisa lebih rileks terhadap guru dan teman- temannya serta sepakat saling memperbarui hubungan. Setelah berdamai, guru inspiratif meminta anak-anak untuk menulis kisah hidupnya secara bebas. Tulisan mereka disatukan, dan diberi judul Freedom Writers. Murid-murid berubah, hidup mereka menjadi lebih baik dan banyak yang menjadi pelaku perubahan di masyarakat.
Sementara diantara potret umum proses pembelajaran di kelas kita saat ini adalah guru yang lebih suka menggunakan LKS tanpa melalui proses pembelajaran yang bermakna. Dengan LKS, materi pelajaran bisa diselesaikan dalam sekejap. Guru yang lebih senang menggunakan "ancaman" untuk mengingatkan siswa daripada menerapkan teknik-teknik profesionalnya saat dididik jadi guru. Guru yang lebih bangga menjadi satu-satunya sumber belajar tanpa berpikir perlunya berinteraksi dengan "makhluk" lain di luar dirinya. Guru yang lebih senang melakukan manipulasi data khususnya dalam pengerjaan nilai. Dalam konteks ini, konon guru tidak perlu dilatih karena sudah memiliki keterampilan memanipulasi yang diperoleh dari pengamatan turun-temurun (istilah lain: ngaji, ngarang biji). Guru yang menggunakan siswanya sebagai objek “les privat” dan memberikan perhatian khusus bagi siswa yang mengikuti les privatnya.
Dua potret di atas merupakan gambaran kontradiksi pemberlakuan murid terhadap proses pendidikan. Potret Erin Gruwell menggambarkan tipe guru yang inspirator, memandang murid sebagai partner atau subyek didik, sehingga menjadikan murid sebagai manusia (baca: memanusiakan manusia, sebagaimana konsep pendidikan barat yang dimotori Paulo Freire), sedangkan potret berikutnya menggambarkan begitu kuat superior sang guru, dan mendudukan murid sebagai obyek didik. Apakah ini merupakan pengaruh kuat dari konsep al-Zarnuji dengan sikap hormat kepada guru yang dinilai dapat membunuh kreatifitas murid?
Oleh karena itu, jenis guru dapat dipetakan menjadi dua, guru inspiratif dan guru kurikulum, sebagaimana yang diistilahkan Rhenald Kasali. Guru kurikulum sangat patuh pada kurikulum dan merasa berdosa bila tidak bisa mentransper semua isi buku yang ditugaskan. Ia mengajarkan sesuatu yang standar (habitual thinking) dan jumlahnya sekitar 99%. Sedangkan guru inspiratif jumlanya kurang dari 1%. Ia bukan guru yang mengejar kurikulum tetapi mengajak murid-muridnya berfikir kreatif (maximum thinking). Ia mengajak murid-muridnya melihat sesuatu dari luar (thinking out of box) mengubahnya di dalam lalu membawa kembali keluar, ke masyarakat luas. Dengan demikian nilai positif dari guru kurikulum dapat melahirkan manajer-manajer handal, sedangkan guru inspiratif melahirkan pemimpin pembaru yang berani menghancurkan aneka kebiasaan lama.
Jika melihat kondisi sistem pendidikan sekolah pada saat ini umumnya adalah guru-guru memang terbelenggu oleh ketentuan administratif yang harus dipatuhi seperti target pencapaian kurikulum, ketuntasan belajar, silabus, RPP dan sebagainya. Sesuai dengan ketentuan yang ada bahwa wujud pelaksanaan pendidikan di sekolah tertuang dalam bentuk kegiatan intra kurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam kegiatan intrakurikuler sangat jarang guru dalam interaksinya dengan murid-muridnya mampu mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki mereka. Padahal tujuan pendidikan yaitu pengembangan secara menyeluruh dari seluruh potensi anak didik melalui kreatifitas dan berpikir kreatif. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan memiliki arti sebagai pengembangan potensi manusia.
Proses pendidikan yang ada di sekolah mestinya tidak hanya berorientasi pada aspek kognitifnya saja atau dengan kata lain lebih mengacu pada perolehan nilai tetapi juga harus bisa mengembangkan nilai-nilai lain seperti emosional, kepribadian, spiritual dan social. Akan tetapi yang terjadi di lapangan peran guru lebih banyak mengajar dari pada mendidik. Artinya ketika guru masuk ke ruang kelas maka yang dilakukan hanya menyampaikan materi yang ada di buku atau dengan kata lain bersifat curriculum oriented (terjebak pada kegiatan pencapaian target kurikulum), dan bersifat content oriented atau pencapaian tujuan kognitif yang malah jauh dari pencapaian tujuan pendidikan yang sebenarnya. Sedangkan pada kegiatan ekstrakurikuler pembinaan dan pengembangan potensi belum mendapatkan proporsi yang sewajarnya.
Padahal kegiatan ekstrakurikuler diharapkan mampu mengembangkan potensi anak didik diluar potensi akademiknya. Sejatinya kegiatan ekstrakurikuler (baca: pembinaan kesiswaan) mengarahkan dan mengembangkan potensi anak didik untuk berwawasan masa depan (looking forward), memiliki keteraturan pribadi (self regulation) dan memiliki rasa kepedulian social yang baik (holy social sense).
Kegiatan Intrakurikuler yang terjadi sekolah yang dilakukan oleh guru dan peserta didik sudah saatnya diubah paradigmanya. Perlu pendekatan lain yang dilakukan oleh guru ketika berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selama ini guru lebih menekankan pada pendekatan intelektual/intelgensia atau hanya mengejar nilai. Sedangkan ketrampilan hidup dan bersosialisasi tidak diajarkan. Seorang anak dilihat berdasarkan nilai ulangan yang didapat bukan kemampuan diri secara keseluruhan. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk mencontek atau melakukan usaha-usaha yang tidak baik karena tuntutan angka sehingga nilai-nilai pendidikan terabaikan.
Untuk itu ada beberapa hal yang perlu menjadi sikap atau cara pandang guru, yaitu (1) terbuka dan berupaya mencari berbagai kemungkinan, baik dari orang lain, buku, referensi internet dan sebagainya, agar pembelajaran menjadi aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan. (2) utuh dan fleksibel dalam mengemas pembelajaran. Metode-pendekatan dan sarana/media yang dipergunakan bervariasi, tidak hanya ceramah/informatif saja, tetapi juga dengan berbagai pendekatan yang menarik, namun tidak lepas dari komponen segi kognitif-afeksi dan psikomotorik siswa. (3) terlibat secara penuh untuk mengamati, menganalisa, memahami gaya belajar dan kemampuan masing-masing siswa sehingga dapat menentukan metode yang tepat dalam pembelajaran. (4) memotivasi siswa untuk berkeinginan belajar terus-menerus dan memberi peluang untuk belajar sesuai dengan kemampuannya.
Jadi, sikap atau cara pandang di atas merupakan cerminan guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya. Selanjutnya guru masa depan dapat dicirikan sebagai planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
- Inovator, memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, sistem dan alat evaluasi. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
- Motivator, guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
- Capable personal, guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
- Developer, guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan iptek, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Dipublikasikan pula di Radar Solo (Jawa Pos), 11 Maret 2012 pada rubrik BAGIMU GURU
No comments:
Post a Comment