Tuesday, December 18, 2012

TESIS GAGAL, MAU.......?


BAB I
PENDAHULUAN

 
  1. Latar Belakang Masalah
    Rendahnya kualitas pendidikan dipercaya sebagai penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tuntutan peningkatan kualitas pendidikan tidak saja terletak pada perbaikan dan peningkatan mutu input dan output, tetapi juga mutu proses yang digerakan oleh kekuatan manajerial dan kepemimpinan.
    Salah satu bukti rendahnya mutu pendidikan di Indonesia terlihat dari laporan International Education Achievement (IEA). Menurut IEA, kemampuan membaca untuk tingkat SD siswa Indonesia berada dalam urutan ke-38 dari 39 negara peserta studi. Sementara kemampuan matematika siswa SLTP Indonesia berada dalam urutan ke-39 dari 42 negara. Adapun kemampuan IPA, Indonesia masuk dalam urutan ke-40 dari 42 negara Jika dibandingkan dengan negara-negara di ASEAN, ternyata posisi Indonesia tetap berada pada urutan paling bawah. Selanjutnya Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator di atas adalah penguasaan terhadap IPTEK di mana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand (Isjoni, 2006: 19-20).
    Kompas.com tanggal 2 Maret 2011 melaporkan bahwa Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia menurun. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun ini merosot ke peringkat 69. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/201) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.

    Salah satu upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia di suatu negara, adalah dengan meningkatkan mutu pendidikan di negara tersebut. Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa dilepaskan dengan penerapan standar dalam penyelenggaraan pendidikan. Setiap penyelenggara pendidikan berkewajiban untuk menerapkan dan mencapai standar itu agar memenuhi standar mutu minimal sebagai modal dasar untuk meningkatkan mutu pendidikan.
    Upaya meningkatkan mutu pendidikan memerlukan perencanaan dan proses yang panjang. Meningkatkan mutu pendidikan membutuhkan rancangan tentang apa yang hendak ditingkatkan, memilih bagian yang perlu ditingkatkan, dan menghasilkan output yang paling unggul di antara sekolah-sekolah yang ada. Oleh karena itu, peningkatan mutu pendidikan memerlukan komitmen yang tinggi dari semua komponen yang menjadi penggerak sekolah tersebut. Tiap langkah dalam mewujudkan mutu pendidikan yang baik di sekolah memerlukan disiplin, tanggung jawab bersama, dan komitmen bersama.
    Dasar hukum peningkatan mutu pendidikan terdapat dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merupakan fondasi sekaligus titik awal bagi pembangunan pendidikan nasional. Dikatakan sebagai titik awal karena peraturan perundangan ini disusun dan ditetapkan setelah gerakan reformasi nasional. Gerakan reformasi yang membawa perubahan yang mendasar pada segala sendi kehidupan berbangsa. Hal itu juga berpengaruh pada bidang pendidikan terutama pada pengambilan kebijakanan nasional bidang pendidikan. Undang-undang ini membawa semangat dan paradigma baru dalam hal peningkatan dan penjaminan mutu pendidikan. Produk hukum ini juga sebagai landasan untuk mempercepat tercapainya tujuan pendidikan nasional dengan memberikan amanah kepada pemerintah untuk membuat perangkat penunjang bagi penjaminan dan peningkatan mutu pendidikan di masa yang akan datang.
    Pasal 1 ayat (17) yang berbunyi "Standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum negara Kesatuan Indonesia". Hal ini berimplikasi bahwa setiap satuan pendidikan di seluruh Indonesia harus mencapai atau menerapkan standar pelayanan minimal di bidang pendidikan. Akan menjadi lebih baik lagi apabila satuan pendidikan bisa melampaui standar yang telah ditentukan. Dan Penetapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan merupakan amanah sekaligus penjabaran dari UU Sisdiknas. Pada ketentuan ini, standar pelayanan minimal yang perlu disusun, dicanangkan, dan dilaksanakan oleh penyelenggara pendidikan, yakni meliputi: (1) standar isi; (2) standar proses; (3) standar kompetensi lulusan; (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan; (5) standar sarana dan prasarana; (6) standar pengelolaan; (7) standar pembiayaan dan (8) standar penilaian.
    Sedangkan tujuan diberlakukannya standar nasional pendidikan seperti yang tertuang pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 yaitu: "standar nasional pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat". Pasal ini mempunyai makna dan semangat bahwa penerapan standar dalam pendidikan tidak saja untuk meningkatkan kecerdesan intelektual peserta didik tetapi juga membangun karakter bangsa. Semuanya ini akan bermuara pada kemajuan disemua sendi kehidupan masyarakat dan menempatkan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang bermartabat di mata dunia. Selain itu pasal ini juga bermakna bahwa penerapan standar, dalam hal ini standar pelayanan minimal pada penyelenggaraan pendidikan, merupakan tahap awal dari proses panjang dan komplek bagi suatu usaha penjaminan mutu pendidikan.
    Madrasah/sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang menyelenggarakan kegiatan proses belajar mengajar sebagai upaya untuk mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan. Penanggung jawab proses belajar mengajar didalam kelas adalah guru, karena gurulah yang langsung memberikan bimbingan dan latihan kepada siswa. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut guru tentunya memiliki seperangkat kemampuan yang dipersiapkan melalui program kependidikan sehingga mampu menjadi guru yang profesional.
    Seorang guru mempunyai tanggung jawab terhadap perkembangan seluruh potensi anak didik, baik potensi kognitif, potensi afektif, maupun potensi psikomotor. Tugas dan tanggung jawab guru sebenarnya bukan hanya disekolah, tetapi bisa dimana saja mereka berada. Dirumah, guru berperan sebagai orang tua sekaligus pendidik bagi anak-anak mereka. Didalam masyarakat desa tempat tinggalnya, guru sering dipandang sebagai tokoh teladan bagi orang- orang disekitarnya. Pandangan, pendapat, atau buah fikirannya sering menjadi tolak ukur atau pedoman kebenaran bagi orang-orang disekitarnya karena guru dianggap memiliki pengetahuan yang lebih luas dan lebih mendalam dalam berbagai hal.
    Dalam konteks Pendidikan Agama Islam (PAI), masalah kompetensi guru merupakan hal urgen yang harus dimiliki oleh setiap guru dalam jenjang pendidikan apapun. Guru yang terampil mengajar tentu harus pula memiliki pribadi yang baik dan mampu melakukan social adjustment dalam masyarakat. Kompetensi guru sangat penting dalam rangka penyusunan kurikulum. Ini dikarenakan kurikulum pendidikan haruslah disusun berdasarkan kompetensi yang dimiliki oleh guru. Tujuan, program pendidikan, sistem penyampaian, evaluasi, dan sebagainya, hendaknya direncanakan sedemikian rupa agar relevan dengan tuntutan kompetensi guru secara umum. Dengan demikian diharapkan guru tersebut mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab sebaik mungkin (Oemar Hamalik, 2006: 36).
    Belajar PAI di sekolah bagi anak didik bukan saja belajar tentang yang boleh dan tidak boleh, tetapi mereka belajar adanya pilihan nilai yang sesuai dengan perkembangan anak didik. Guru dalam mentransfer nilai tidak hanya diberikan dalam bentuk ceramah, tetapi juga terkadang dalam bentuk membaca puisi, bernyanyi, mendongeng dan bentuk lainnya, sehingga suasana belajar tidak monoton dan terasa menyenangkan. Guru, tidak cukup menyampaikan istilah-istilah Arab kepada anak didik, atau memiliki kemampuan bahasa Arab, tetapi juga diperlukan kemampuannya dalam bahasa Inggris, sehingga kesan guru sebagai kaum yang dimarginalisasi dan hanya bisa menyampaikan ini halal dan ini haram berkurang. Kemudian Guru PAI diharapkan mengikuti perkembangan metode pembelajaran mutakhir untuk menggunakan media teknologi informasi dalam pembelajarannya. Melalui alat teknologi ini, pembelajaran yang efisien dapat dicapai. Dengan demikian, Standar Isi yang komprehensif dan implementatif belumlah cukup, tetapi juga memerlukan guru-guru yang memiliki kriteria-kriteria di atas.
    Dalam meningkatkan profesionalisme, guru dapat dibimbing oleh supervisor yang dalam istilah pendidikan disebut pengawas. Pengawas mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, serta mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah keberadaannya sangat diharapkan oleh guru dalam rangka membantu dan membimbing guru ke arah tercapainya peningkatan kualitas pembelajaran guru mata pelajaran, khususnya mata pelajaran agama Islam di lingkungan sekolah-sekolah yang bernaung pada Kementerian Agama.
    Masalah-masalah kompetensi guru dapat peneliti deskripsikan, bahwa sebagaimana dalam UU Guru dan Dosen Pasal 20, diantara tugas keprofesionalan adalah merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran. Selain itu, meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Belum lagi dalam pemenuhan empat kompetensi (pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional) yang harus dipenuhi seorang guru profesional. Dalam pengamatan peneliti, setidaknya ada masalah besar yang dialami guru adalah:
    1. Dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu masih jauh dari harapan. Seringkali guru puas dengan apa yang dilakukan selama ini,banyak guru yang belum memanfaatkan media pembelajaran untuk peningkatan kualitas pembelajaran atau lebih senang menggunakan metode ceramah. Boediningsih (1995: 5) bahwa siswa yang hanya mendengarkan saja, akan memperoleh pengetahuan sebesar 20% sedangkan melaksanakan eksperimen, maka akan melakukan kegiatan melihat, mendengarkan, dan mengungkapkan sendiri mereka akan memperoleh pengetahuan 80%.
    2. Lemahnya kemampuan guru dalam menulis. Menurut Dr. Sugijanto, Kepala Pusat Perbukuan (Pusbuk) Depdiknas menyebutkan guru yang bisa menulis tidak lebih dari satu persen. Indikatornya, yang mengikuti lomba menulis buku di Pusbuk pada tahun 2009 hanya 818 peserta. Padahal jumlah guru di Indonesia 2,7 juta. Menulis bagi guru seakan menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Sebagai bukti, banyak guru PNS yang dari IVa ke IVb terganjal disebabkan tidak mempunyai karya tulis atau terhambat dalam pengembangan profesi.
    3. Banyak guru terjebak adanya formalisme ijazah, baik S1 maupun S2. Memang dalam UU Guru dan Dosen mengamanatkan syarat minimal untuk guru profesional, minimal harus S1. Seringkali yang terjadi banyak guru berlomba-lomba untuk meneruskan pendidikan S1, tetapi setelah selesai tidak banyak perubahan. (Workshop MGMP PAI Kab. Sukoharjo, September 2012)
    Peranan pengawas sangat penting sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan pemantauan (monitoring) dan penilaian (evaluasi). Dalam Permen Diknas Nomor 39 Tahun 2009 tentang Pemenuhan Beban Kerja Guru dan Pengawas Satuan Pendidikan, pada ayat 3 dinyatakan "Pengawas sebagaimana dimaksud ayat (1) meliputi: mengawasi, memantau, mengolah dan melaporkan hasil pelaksanaan 8 (delapan) Standar Nasional Pendidikan pada Satuan Pendidikan.
    Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.
    Hemat peneliti, bahwa keadaan di lapangan kebanyakan pengawas pada mata pelajaran di sekolah/madrasah merupakan sebuah jabatan fungsional yang tidak produktif, salah satu alasannya adalah kurang atau tidak pernah komunikasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya guru di madrasah/sekolah, dan jarang/tidak pernah mengadakan bimbingan atau pembinaan di madrasah/sekolah yang menjadi bidang kerjanya. Pengawas datang ke madrasah/sekolah ketika waktu ulangan blok semester dan sebatas meminta bukti administrasi penyelenggaraan ulangan blok tersebut. Menurut peneliti secara empiris dan dalam hasil workshop MGMP PAI Kab. Sukoharjo September 2012, bahwa pengawas dianggap sebuah jabatan yang tidak produktif atau buangan/afkiran yang tidak ada dampak apa-apa terhadap madrasah/sekolah karena beberapa faktor, diantaranya :
    1. Rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi birokrat, ataupun diisi para isteri/suami pejabat yang kurang memperhatikan kompetensinya
    2. Masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu
    3. Belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas
    4. Dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi pembiayaan yang memadai
    Hal ini diperparah lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan memahaminya.
    Pekerjaan pengawas itu ilmiah karenanya pekerjaannya berlandaskan ilmu pengetahuan dan berpijak data yang valid. Atas dasar kecendrungan itu, pada saat ini pengawas sekolah berkembang ke dalam berbagai tipe, seperti, pengawas ilmiah, klinis, pembina hubungan antar manusia, pembina kolaboratif kolegial, sebagai teman sejawat, sebagai pelatih, sebagai mentor atau pembimbing, pengembang kultur, pengawas ekologi juga pengawas pengembang mutu sumber daya manusia.
    Saat ini di Kota Sukoharjo pengawas PAI tingkat SMP hanya satu orang pengawas yang akan mendekati usia pensiun. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauhmana pelaksanaan supervisi pendidikan terhadap guru-guru PAI SMP di Kota Sukoharjo.

     
  2. Perumusan Masalah
    Menurut Moleong (1994: 68), bahwa didalam penelitian kualitatif masalah penelitian disebut dengan fokus atau dengan istilah yang lengkap adalah rumusan masalah. Rumusan masalah ditetapkan karena begitu banyak fakta yang ingin diketahui dan diungkapkan. Hal ini ditambahkan lagi dengan begitu banyak temuan lapangan yang akan membuat rasa keingintahuan untuk menelusuri lebih jauh. Namun demikian peneliti harus membatasi dirinya dan kajian penelitiannya agar penelitian ini tidak berjalan tanpa arah. Pembatasan area penelitian inilah yang disebut dengan rumusan masalah. Penetapan batas area penelitian ini untuk mencegah terjadinya kebingungan dalam memilih, memilah, mereduksi dan menganalisis data (Satori dan Komariah, 2009: 30).
    Rincian mengenai maksud dari penetapan rumusan masalah adalah seperti yang dinyatakan oleh Moleong (1994: 69) bahwa, pertama, rumusan masalah dapat membatasi studi sehingga tidak tidak menyertakan hal-hal yang di luar penelitian. Kedua, penetapan rumusan masalah berfungsi untuk memenuhi kriteria inklusi-eksklusi atau memasukkan–mengeluarkan informasi yang baru diperoleh dari lapangan.
    Berdasarkan hal di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pelaksanaan supervisi pengawas PAI terhadap guru PAI di sekolah binaannya?

  1. Tujuan Penelitian
    Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan supervisi pengawas PAI terhadap guru PAI di sekolah binaannya.

     
  2. Manfaat Penelitian
    Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi berbagai pihak, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, temuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan kepengawasan pendidikan agama Islam, khususnya tugas supervisi pengawas PAI agar ke depan menjadi peran sentral bersama guru untuk memajukan pendidikan.
    Secara praktis, penelitian ini berguna bagi pengawas pendidikan agama Islam untuk dijadikan acuan dalam meningkatkan kinerja kepengawasan dalam menunjang mutu pendidikan. Bagi pendidik/guru PAI, penelitian berguna untuk menjadi pegangan dan bahan penyusunan program kerja apabila kelak menjadi pengawas pendidikan agama Islam. Dan bagi perpustakaan, penelitian dapat dijadikan buku referensi atau jurnal agar dimanfaatkan untuk para pecinta ilmu dan bidang kepengawasan pendidikan.

     
     
BAB II
KAJIAN TEORI

 
Landasan Teori Penelitian
    1. Pelaksanaan Supervisi
      1. Pengertian Supervisi
        Supervisi dapat dimaknai sebagai aktifitas pengawasan dan orang yang mensupervisi disebut supervisor, sebagaimana menurut N. A. Ametembun (1982: 1) bahwa istilah supervisi diambil dari perkataan Inggris supervision artinya pengawasan yang bertugas untuk melihat, menilik, atau mengawasi orang-orang yang disupervisinya.
        Secara terminologi supervisi diartikan bantuan yang diberikan supervisor kepada guru (bawahan) agar ia mengalami pertumbuhan secara maksimal dan integral baik profesi maupun pribadinya (Subari, 1994: 4). Menurut Suharsimi Arikunto (2004: 5), supervisi adalah kegiatan mengamati, mengidentifikasi mana hal yang sudah benar, dan mana pula hal yang tidak benar, dengan maksud agar tepat dengan tujuan memberikan pembinaan. Sedangkan Suhardan (2010: 36) mengemukakan bahwa supervisi adalah pengawasan profesional dalam bidang akademik, dijalankan berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan tentang bidang kerjanya, memahami tentang pembelajaran lebih mendalam dari sekadar pengawas biasa.
        M. Ngalim Purwanto (2006: 76) mengungkapkan supervisi adalah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para guru dan pegawai sekolah lainnya dalam melakukan pekerjaan mereka secara efektif. Sedangkan B. Suryasubroto (2004: 175) menyatakan bahwa supervisi ialah pembinaan yang diberikan kepada seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan situasi belajar-mengajar yang lebih baik.
        Konsep pengertian supervisi secara jelas diungkapkan Ibrahim Bafadal (2008: 4) bahwa pengertian supervisi pengajaran, adalah (1) supervisi pengajaran harus secara langsung mempengaruhi dan mengembangkan perilaku guru dalam mengelola proses belajar-mengajar. (2) perilaku supervisi dalam membantu guru untuk mengembangkan kemampuannya yang harus didesain secara ofisial sehingga jelas kapan mulai dan berakhirnya program pengembangan tersebut. (3) tujuan akhir supervisi pengajaran adalah agar guru semakin mampu memfasilitasi belajar bagi murid-muridnya .
        Berdasarkan beberapa pengertian di atas jelaslah bahwa supervisi merupakan aktivitas pembinaan atau bimbingan dalam rangka meningkatkan performansi atau kemampuan guru dalam menjalankan tugas mengajarnya sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan proses pembelajaran agar lebih efektif dan efisien. Supervisi yang baik pada dasarnya lebih didasarkan pada upaya bagaimana membina para guru dalam rangka memperbaiki kinerja mengajarnya yang masih kurang, memecahkan hambatan dalam mengerjakan tugasnya serta meningkatkan kemampuan yang dimiliki oleh guru.
        Pelaksanaan supervisi tidak hanya menilai penampilan guru dalam mengelola proses pembelajaran melainkan esensinya yaitu bagaimana membina guru untuk meningkatkan kompetensi profesionalnya yang berdampak pada peningkatan kualitas proses pembelajaran.
      2. Tujuan dan Fungsi Supervisi
        Ngalim Purwanto (2007, 77) menjelaskan bahwa tujuan supervisi adalah perbaikan dan perkembangan proses belajar mengajar secara total, yang berarti supervisi tidak hanya untuk memperbaiki mutu mengajar guru tetapi juga membina pertumbuhan profesi guru. Sedangkan Piet A. Sahertian (2008: 19), mengemukakan tentang tujuan supervisi yaitu memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa.
        Yusak Burhanudin (2005: 100) mengemukakan bahwa tujuan supervisi ialah mengembangkan situasi belajar mengajar lebih baik melalui pembinaan dan peningkatan kurikulum. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
        1. Meningkatkan efektivitas dan efisiensi belajar mengajar.
        2. Mengendalikan penyelenggaraan bidang teknis edukatif di sekolah sesuai
        3. dengan ketentuan dan kebijakan yang ditetapkan.
        4. Menjamin agar kegiatan sekolah berlangsung sesuai dengan yang berlaku,
        5. sehingga berjalan lancer dan memperoleh hasil yang optimal.
        6. Menilai keberhasilan sekolah dalam pelaksanaan tugasnya.
        7. Memberikan bimbingan langsung untuk memperbaiki kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan serta membantu memecahkan masalah yang dihadapi sekolah, sehingga dapat dicegah kesalahan yang lebih jauh.
        Sedangkan Ibrahim Bafadal (2008: 4-5), bahwa tujuan supervisi pengajaran itu adalah:
        1. Pengawasan kualitas, yaitu supervisor bisa memonitor kegiatan proses belajar mengajar di sekolah. Kegiatan memonitor ini bisa dilakukan melalui kunjungan supervisor ke kelas-kelas disaat guru sedang mengajar, percakapan pribadi dengan guru, teman sejawatnya maupun dengan sebagian murid-muridnya.
        2. Pengembangan profesional, yaitu supervisor bisa membantu guru mengembangkan kemampuannya dalam memahami pengajaran, dan menggunakan kemampuannya melalui teknik-teknik tertentu.
        3. Teknik-teknik tersebut bukan saja bersifat individu, melainkan juga bersifat kelompok. Memotivasi guru, yaitu supervisor bisa mendorong guru menerapkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas mengajarnya, mendorong guru mengembangkan kemampuannya sendiri, serta mendorong guru agar ia memiliki perhatian yang sungguh-sungguh terhadap tugas dan tanggung jawabnya. Pendek kata, supervisor bisa menambahkan motivasi kerja guru.
        Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan supervisi adalah untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran agar menjadi lebih baik. Untuk mencapai tujuan tersebut maka dapat dilakukan dengan membina para guru melalui pemberian layanan dan bantuan dalam meningkatkan kompetensi profesionalnya sehingga proses pembelajaran yang dilakukan menjadi lebih baik dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas hasil belajar siswa.
        Adapun fungsi supervisi menurut Suharsimi Arikunto (2004: 13), adalah :
        1. Fungsi meningkatkan mutu pembelajaran yang tertuju pada aspek akademik yang terjadi di ruang kelas ketika guru sedang memberikan bantuan, bimbingan dan arahan kepada siswa. Fokus yang menjadi perhatian utama supervisor adalah bagaimana perilaku siswa yang belajar, dengan bantuan atau tanpa bantuan guru.
        2. Fungsi memicu unsur yaitu berfungsi sebagai alat penggerak terjadinya perubahan yang tertuju pada unsur-unsur yang terkait dengan atau bahkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pembelajaran.
        3. Fungsi membina dan memimpin, yaitu pelaksanaan supervisi pendidikan diarahkan kepada guru dan tenaga tata usaha. Sasaran utama adalah guru sehingga apabila guru sudah meningkat maka akan ada dampaknya bagi siswa.
        Pendapat lain tentang fungsi supervisi menurut Swearingen dalam Piet A. Sahertian (2008: 21), fungsi supervisi yaitu sebagai berikut :
        1. Mengkoordinasi semua usaha sekolah
        2. Memperlengkapi kepemimpinan sekolah
        3. Memperluas pengalaman guru-guru
        4. Menstimulasi usaha-usaha kreatif
        5. Memberikan fasilitas dan penilaian terus-memerus
        6. Menganalisis situasi belajar mengajar
        7. Memberikan pengetahuan dan ketrampilan pada setiap anggota staf
        8. Memberikan wawasan yang lebih luas dan terintregasi dalam merumuskan tujuan-tujuan pendidikan dan meningkatkan kemampuan mengajar guru.
        Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa fungsi supervisi yaitu sebagai upaya yang dilakukan oleh supervisor dalam rangka membina para guru agar kualitas proses pembelajaran dan hasilnya meningkat serta mengupayakan agar guru lebih meningkatkan kinerja mengajarnya sehingga dapat menyesuaikan dengan tuntutan profesi yang ada.
        Bila ditinjau dari supervisi pendidikan telah dipahami, bahwa seorang supervisor perlu juga memahami dengan jelas tugas dan tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya dalam usaha ke arah tercapainya tujuan. Untuk itu, di bawah ini di kemukakan fungsi utama yang merupakan tugas pokok seorang supervisor di bidang pendidikan, sebagai berikut:
        1. Penelitian, untuk memperoleh gambaran yang jelas dan objektif tentang suatu situasi pendidikan, maka perlu diadakan penelitian yang saksama terhadap situasi itu. Inilah fungsi pertama supervisor pendidikan sebagai peneliti. Proses suatu penelitian ilmiah meliputi;
          1. Merumuskan pokok masalah yang akan diselidiki,
          2. Pengumplan data. Data itu berupa faktual atau berupa pendapat atau tanggapan) orang-orang yang disupervisi. Pengumpulan data dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung dan sebagainya.
          3. Pengolahan data, meliputi; koreksi, memeriksa data apakah memenuhi syarat atau tidak, koleksi yaitu memilih data mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai, klasifikasi, yaitu menggolong-golongkan data yang sejenis denga kriteria yang telah ditetapkan menurut jenis kelamin, umur, ijazah, dan sebagainya, komparasi, yaitu membandingkan kelompok yang satu dengan lainnya, dan interpretasi, yaitu menafsirkan hasil pengolahan itu.
          4. Konklusi hasil penelitian, pada akhirnya supervisor dapat menarik kesimpulan terhadap hasil-hasil penelitian yan diperoleh guna mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam rangka perbaikan
          5. atau peningkatan situasi tersebut.
        2. Penilaian, supervisor dalam hal ini dapat menarik kesimpulan terhadap hasil penelitian yang diselidiki, kesimpulan itu berupa tanggapan terhadap masalah atau situasi yang diselidiki itu dan terus melakukan penilaian. Fungsi penilaian atau evaluasi dalam hal ini adalah lebih menitikberatkan pada aspek-aspek positif (kebaikan-kabaikan) dari aspek-aspek negatif.
        3. Perbaikan, dari hasil penelitian itu, supervisor dapat mengetahui bagaimana keadaan suatu situasi pendidikan/pengajaran pada umumnya dan situasi pendidikan dan pengajaran pada khususnya, serta segala fasilitas dan daya upaya yang dipergunakan, apakah baik atau buruk, memuaskan atau tidak, mengalami kemajuan atau kemunduran, atau mengalami kemacetan dan sebagainya.
        4. Peningkatan, bagaimana dengan situasi yang sudah baik, sudah memuaskan, telah mengalami kemajuan itu. Situasi yang demikian harus ditingkatkan atau dikembangkan agar apa yang sudah memuaskan itu supaya lebih memuaskan lagi.
      3. Prinsip dan Teknik supervisi
        Pelaksanaan supervisi pengajaran memiliki prinsip-prinsip tertentu, Hendyat Soetopo (2001: 77) menyebutkan delapan prinsip supervisi, adalah:
        1. Prinsip organisasional, artinya pengawasan dapat dilakukan dalam kerangka struktur organisasi yang melingkupinya.
        2. Prinsip perbaikan, artinya pengawasan berusaha mengetahui kelemahan atau kekurangan, kemudian dicari jalan pemecahan agar manajemen dapat berjalan sesuai dengan standar dan organisasi dapat mencapai tujuan.
        3. Prinsip komunikasi, artinya pengawasan dilakukan untuk membina sistem kerjasama antara atasan dan bawahan, membina hubungan baik antara atasan dan bawahan dalam proses pelaksanaan pengelolaan organisasi.
        4. Prinsip pencegahan, artinya pengawasan dilakukan untuk menghindari adanya kesalahan dalam mengelola komponen-komponen organisasi.
        5. Prinsip pengendalian, artinya pengawasan dilakukan agar semua proses manajemen berada pada rel yang telah digariskan sebelumnya. Dalam hal ini, prinsip efisien, efektif dalam manajemen menjadi ukuran.
        6. Prinsip objektif, artinya pengawasan dilakukan berdasarkan data nyata di lapangan tanpa menggunakan penilaian dan tafsiran subjektif pengawas.
        7. Prinsip kontinyuitas, artinya pengawasan dilakukan secara terus menerus baik selama berlangsung proses pelaksanaan maupun setelah pelaksanaan kerja.
        Dalam buku Pedoman Pelaksanaan Supervisi Pendidikan Agama Ditjen Islam Depag (2003: 50), dijelaskan bahwa prinsip-prinsip supervisi pada dasarnya akan diarahkan pada 3 hal:
        1. Prinsip Fundamental berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila dan Agama. Pancasila merupakan dasar atau prinsip fundamental bagi setiap supervisor pendidikan Indonesia. Bahwa seorang supervisor haruslah seorang pancasilais sejati.

           
        2. Prinsip Praktis, meliputi:
          1. Prinsip negatif yang harus dihindari adalah:
            1. Supervisi tidak boleh bersifat mendesak (otoriter)
            2. Supervisi tidak boleh didasarkan atas kekuasaan
            3. Supervisi tidak boleh lepas dari tujuan pendidikan dan pengajara
            4. Supervisi hendaknya tidak hanya menilai hal-hal yang nampak terlihat
            5. Supervisi tidak mencari kelemahan/kekurangan/ kesalahan
            6. Supervisi jangan terlalu berharap cepat mengharapkan hasil atau perubahan
          2. Prinsip-Prinsip positif yang harus dilakukan adalah:
            1. Supervisi bersifat konstruktif dan kreatif
            2. Supervisi didasarkan kepada sumber-sumber kolektif dari kelompok tidak hanya dari supervisor sendiri
        3. Supervisor yang baik, mempunyai prinsip-prinsip:
          1. Mempergunakan sumber-sumber dan usaha-usaha dari kelompok
          2. Bekerja di dalam dan bersama-sama dengan kelompoknya
          3. Membina guru-guru dan siswa menjadi orang-orang yang terdidik
          4. Bekerja dengan ikhlas dan bersama-sama dengan kelompok rekannya, membina diri sendiri dan rekannya untuk bekerja dengan baik.
          5. Supervisi dilandasi oleh hubungan profesional bukan hubungan pribadi
          6. Supervisi hendaklah dapat mengembangkan kesanggupan para guru dan staf TU sehingga menjadi kekuatan sekolah
        Adapun teknik supervisi yang harus dilakukan pengawas sekolah atau pengawas mata pelajaran, beberapa ahli mendeskripsikan bahwa prinsip supervisi sebagaimana pendapat B. Suryosubroto (2004: 177) adalah:
        1. Kunjungan kelas. Teknik kujungan kelas ini dapat dilakukan dengan cara diberitahukan, mungkin juga kunjungan karena undangan guru
        2. Observasi kelas. Kegiatan yang diobservasi adalah usaha kegiatan murid dan guru dalam proses belajar mengajar, cara menggunakan media pengajaran agar tujuan pengajaran dapat tercapai, cara mengorganisir kegiatan belajar mengajar dan faktor penunjang lainnya
        3. Percakapan pribadi. Hal yang dilakukan adalah mengembangkan segi-segi positif dari kegiatan guru, mendorong guru mengatasi kelemahan dalam mengajar dan mengurangi keraguan guru dalam menghadapi masalah-masalah pada waktu mengajar.
        4. Saling kunjung-mengunjungi. Setiap guru mengunjungi rekannya yang sedang mengajar untuk menambah pengalaman, dan seorang guru atau beberapa orang guru mengikuti rekan lainnya yang sedang memberi pelajaran.
        5. Musyawarah, rapat, lokarkarya dan karyawisata.
        6. Brosur, pengumuman, edaran dan memanfaatkan mass media.
        7. Penyediaan perpustakaan jabatan untuk guru.
        8. Penyediaan instrumen supervisi untuk menilai diri sendiri.
        Piet Sahertian (2008: 52) membedakan teknik supervisi dalam dua macam, yaitu :
        1. Teknik bersifat individual, meliputi : perkunjungan kelas, observasi kelas, percakapan pribadi, inter-visitasi, penyeleksi berbagai sumber materi untuk mengajar, dan menilai diri sendiri, dan
        2. Teknik bersifat kelompok, meliputi : pertemuan orientasi bagi guru baru, panitia penyelenggara, rapat guru, studi kelompok antarguru, diskusi sebagai proses kelompok, tukar menukar pengalaman, lokakarya,, diskusi panel, seminar, symposium, demonstrasi mengajar, perpustakaan jabatan, bulletin supervise, membaca langsung, mengikuti kursus, organisasi jabatan, laboratorium kurikulum, perjalanan sekolah untuk anggota staf.
        Sedangkab Yusak Burhanudin (2005: 106-107), menyebutkan teknik-teknik supervisi adalah kunjungan sekolah, pembicaraan individual, diskusi kelompok, demonstrasi mengajar, kunjungan kelas antar guru, lokakarya, dan orientasi lingkungan
        Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa teknik-teknik supervisi pendidikan pada dasarnya terdiri dari teknik individu dan teknik kelompok. Teknik individu digunakan oleh supervisor untuk memberikan pembinaan terhadap seorang guru dan teknik kelompok digunakan apabila supervisor melakukan pembinaan terhadap sekelompok guru secara bersamaan.
      4. Bentuk dan Gaya Kepemimpinan Supervisi
        Dalam menunaikan fungsi supervisi, seorang supervisor pendidikan dapat memperlihatkan berbagai gaya, bentuk atau cara supervisi. Oleh N. A. Ametembun (1981: 48), menyebutkan bahwa gaya atau cara supervisi dibedakan menjadi empat macam gaya dasar pendidikan atau pengajaran, yaitu:
        1. Supervisi yang otokratis
          Seorang supervisi yang otokratis, menganggap bahwa fungsinya adalah menentukan sendiri segala sesuatu yang harus dilaksanakan dan bagaimana harus dilaksanakan oleh orang-orang yang harus disupervisinya. Ia pun dengan saksama mengawasi bagaimana keinginannya itu dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang disupervisi dengan sebaik-baiknya.
        2. Supervisi yang demokratis
          Seorang supervisor yang demokratis, yakin fungsinya adalah membina orang-orang yang disupervisi, menentukan bersama apa yang akan dikerjakan, memikirkan bersama prosedur dan cara-cara pelaksanaannya, dan bekerja sama mewujudkan rencana-rencana yang telah ditetapkan bersama, serta menilai bersama hasil-hasil yang dicapai.
        3. Supervisi yang Laissez-Faire
          Seorang supervisor yang laissez-faire menginterpretasi supervisi yang demokratis dengan memberikan kebebasan, keleluasaan kepada orang-orang yang disupervisi untuk melakukan apa yang dianggap mereka baik. Supervisor yang laissez-faire sikapnya apatis, masa bodoh, acuh tak acuh, dan mempercayakan saja segala sesuatu kepada orang-orang yang disupervisi untuk melakukannya. Segala sesuatu diserahkan dan terserah kepada orang-orang yang disupervisi untuk melakukannya.

        4. Supervisi yang menipulasi diplomatik.
          Seorang supervisor yang menipulasi diplomatik mengartikan supervisi yang demokratis sebagai directing yakni memberi pengarahan kepada orang-orang yang disupervisi untuk melaksanakan apa yang dikehendaki supervisor dengan cara-cara menipulasi (muslihat yang halus).
      5. Proses Supervisi
        Dalam proses pelaksanaan supervisi seorang supervisor dapat memperlihatkan berbagai corak atau ragam. Untuk itu, N.A. Ametembun (1981: 51-53), mengungkapkan bahwa corak atau ragam khusus supervisi dalam proses supervisi itu adalah:
        1. Supervisi Korektif
          Dalam proses supervisinya, supervisor lebih bersifat mencari kesalahan-kesalahan yang mungkin diperbuat oleh orang-orang yang disupervisi. Yang dikoreksi adalah hal-hal yang tidak sesuai dengan instruksi-instruksi, ketentuan-ketentuan atau kebijaksanaan-kebijaksanaan yang digariskan, atau prinsip-prinsip dan teknik-teknik mengajar yang ditentukan, serta kekurangan-kekurangan lainnya di bidang administrasi baik administrasi kepala sekolah maupun administrasi guru.
        2. Supervisi Preventif
          Dalam proses supervisinya, supervisor berusaha mencegah hal-hal yang tidak diinginkannya. Kadang-kadang Supervisor mendahului memberi nasihat-nasihat atau saran-saran guna menghindarkan kesalahan-kesalahan, kesulitan-kesulitan atau gangguan-gangguan yang mungkin terjadi. Kelemahan prinsipil dari proses supervisi ini ialah bahwa orang-orang yang disupervisi tidak akan segera menjadi dewasa dalam artian tidak mampu mengambil keputusan-keputusan sendiri.
        3. Supervisi Konstruktif
          Proses supervisi ini tidak mencari kesalahan-kesalahan yang diperbuat kecuali bila telah ditemukannya suatu gagasan guna memperbaiki kesalahan tersebut, atau telah mempunyai suatu rencana yang bertujuan untuk mengadakan perbaikan atau peningkatan dengan niat membangun. Artinya supervisor memperhatikan situasi dan kondisi-kondisi praktek dengan saksama dan supervisor pun selalu siap mendayagunakan segala potensi, sarana, dan dana yang ada guna mengembangkan kegiatan-kegiatan yang sedang dilancarkan.
        4. Supervisi Kreatif
          Dalam proses supervisi ini, supervisor menekankan pada inisiatif dan kebebasan mencipta serta memanfaatkan segala dana, sarana, dan tenaga yang disupervisi untuk mewujudkan tujuan-tujuan supervisi sesuai dengan bakat, minat, dan kesanggupan masing-masing. Supervisi yang kreatif, senantiasa; mendorong kegiatan-kegiatan pencipta dan menimbulkan kepemimpinan pada orang-orang yang disupervisi, membimbing mereka mengembangkan ketidaktergantungannya pada pengarahan dari orang lain, dan lebih mempercayai kecakapan atau kemampuan yang bersumber pada diri sendiri.
          Peranan supervisor yang kreatif ini bukanlah pasif atau netral laissez-faire, sebab ia bebas untuk menasehati, menyarankan atau mengeritik pada saat-saat yang tepat. Daya dan tenaga supervisor senantiasa diarahkan kepada pembinaan orang-orang yang disupervisi untuk mengembangkan pribadi dan profesinya.
        5. Supervisi Kooperatif
          Dalam proses supervisi ini, supervisor yang kooperatif senantiasa mementingkan kerjasama dengan orang-orang yang disupervisi. Dalam prakteknya ia senantiasa:
          1. Mengadakan perencanaan bersama
          2. Mengambil keputusan bersama atas dasar musyawarah dan mufakat
          3. Mengorganisir bersama kegiatan-kegiatan
          4. Mengadakan pengawasan bersama terhadap kegiatan-kegiatan yang sedang dilaksanakan
          5. Mengadakan evaluasi dan merevisi program bersama dengan orang-orang yang disupervisi.
        Berdasarkan buku panduan Tugas Jabatan Fungsional Pengawas Pendidikan Agama dijelaskan bahwa langkah langkah yang dapat ditempuh dalam pelaksanaan kegiatan supervisi/ pengawasan sekolah mencakup persiapan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
        1. Persiapan
          Kegiatan persiapan yang perlu dilakukan adalah menyusun program dan organisasi supervisi. dalam supervisi hendaknya mencerminkan tentang jenis kegiatan, tujuan dan sasaran pelaksanaan, waktu dan instrument.
          Sedangkan dalam organisasi supervisi tercermin mekanisme pelaksanaan kegiatan, pelaporan dan tindak lanjut. Untuk itu untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kegiatan supervisi hendaknya pengawas melibatkan/berkoordinasi dengan pejabat struktur terkait, kepala sekolah/madrasah, guru dan lainnya.
        2. Pelaksanaan
          Hal-hal pokok yang perlu mendapat perhatian pengawas dalam melaksanakan kegiatan supervisi, baik di sekolah umum maupun di madrasah adalah:
          1. Supervisi hendaknya dilakukan secara berkesinambungan
          2. Supervisi hendaknya dilakukan pada awal dan akhir catur wulan, hal tersebut dimaksudkan sebagai bahan perbandingan.
          3. Pengawas terampil dalam menggunakan instrument
          4. Mampu mengembangkan instrument supervisi
          5. Supervisi bukan mencari kesalahan dan bkan pula menggurui, tetapi bersifat pemecahan masalah untuk mencari solusi
          6. Supervisi hendaknya mencakup segi teknis kependidikandan teknik administrasi
          7. Pengawas hendaknya menguasai substansi materi yang disupervisi da melengkapi diri dengan berbagai instrumenyang dibutukan
          8. Karena supervisi bersifat pembinaan, maka para supervisor harus memiliki kemampuan professional dan wawasan yang luas tentang pendidikan agama Islam.
          9. Dalam pelaksanaan supervisi prinsip KISS (Kooordinasi, integrasi, singkronisasi, dan simplikasi) hendaknya diperhatikan dengan sungguh-sungguh.
        3. Penilaian dan Tindak Lanjut
          1. Penilaian. Penilaian yang dimaksud dalam kaitan ini adalah penilaian terhadap pelaksanaan kegiatan supervisi meliputi keterbacaan dan keterlaksanaan program supervisi, keterbacaan dan kemantapan instrumen, hasil supervisi, dan kendala yang dihadapi.
          2. Tindak Lanjut. Adapun tindak lanjut dari kegiatan supervisi antara lain; langkah-langkah pembinaan, Program supervisi selanjutnya. 

      6.  
    2. Pengawas Pendidikan Agama Islam
      1. Pengertian dan Hakekat Pengawas Pendidikan Agama Islam
        Menurut Oteng Sutisna (1983: 248) bahwa kepengawasan sebagai salah satu fungsi pokok administrasi, berupa pelayanan yang langsung berurusan dengan pengajaran dan perbaikannya. Ia langsung berurusan dengan mengajar dan belajar dan faktor-faktor yang termasuk dalam dan bertalian dengan fungsi guru, murid, kurikulum, bahan, dan alat pengajaran serta lingkungan sosio-fisik dari situasi mengajar belajar.
        Pernyataan dari Sutisna ini sangat memfokuskan supervisi pada kegiatan mengajar dan belajar dan segala sesuatu yang terlibat dan mempengaruhinya. Termasuk di dalamnya adalah lingkungan sosial dan fisik baik dari sekolah maupun ruang kelas, yang juga berperan dalam proses mengajar dan belajar.
        Djam'an Satori (1993: 12) menyatakan bahwa fokus utama kepengawasan pendidikan adalah kualitas proses pembelajaran yang dialami peserta didik. Dengan demikian keunggulan kompetitif sebuah sekolah dapat dilihat dari kualitas pembelajaran yang direfleksikan dalam hasil belajar peserta didik.
        Berdasarkan konsep tersebut, maka proses perencanaan yang mendahului kegiatan pengawasan harus dikerjakan terlebih dahulu. Perencanaan yang dimaksudkan mencakup perencanaan, pengorganisasian, wadah, struktur, fungsi dan mekanisme, sehingga perencanaan dan pengawasan memiliki standard dan tujuan yang jelas.
        Dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000: 19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran.
        Burhanuddin (1990: 284) memperjelas hakikat pengawasan pendidikan pada hakikat substansinya. Substansi hakikat pengawasan yang dimaksud menunjuk pada segenap upaya bantuan supervisor kepada stakeholder pendidikan terutama guru yang ditujukan pada perbaikan-perbaikan dan pembinaan aspek pembelajaran. Bantuan yang diberikan kepada guru harus berdasarkan penelitian atau pengamatan yang cermat dan penilaian yang objektif serta mendalam dengan acuan perencanan program pembelajaran yang telah dibuat. Proses bantuan yang diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas proses dan hasil belajar itu penting, sehingga bantuan yang diberikan benar-benar tepat sasaran. Jadi bantuan yang diberikan itu harus mampu memperbaiki dan mengembangkan situasi belajar mengajar.
        Aktivitas pengawas sekolah selanjutnya adalah menilai dan membina penyelenggaraan pendidikan pada sejumlah satuan pendidikan/sekolah tertentu baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya. Penilaian itu dilakukan untuk penentuan derajat kualitas berdasarkan kriteria (tolak ukur) yang ditetapkan terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Sedangkan kegiatan pembinaan dilakukan dalam bentuk memberikan arahan, saran dan bimbingan (Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 020/U/1998 tanggal 6 Februari 1998). Kegiatan pengawasan adalah kegiatan Pengawas Satuan Pendidikan dalam melaksanakan penyusunan program pengawasan satuan pendidikan, pelaksanaan pembinaan akademik dan administrasi, pemantauan delapan standar nasional pendidikan, penilaian administrasi dan akademik, dan pelaporan pelaksanaan program pengawasan.
        Pengawas satuan pendidikan berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional di bidang pengawasan akademik dan manajerial pada sejumlah satuan pendidikan yang ditetapkan yang pada kakekatnya adalah memberi bantuan profesional kesejawatan yang dilaksanakan melalui dialog kajian masalah pendidikan dan atau pengembangan serta implementasinya dalam upaya meningkatkan kemampuan profesional dan komitmen guru, kepala sekolah dan tenaga kependidikan lainnya di sekolah guna mempertinggi prestasi belajar peserta didik dan kinerja sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, relevansi, efisiensi, dan akuntabilitas pendidikan. Oleh karena itu dalam melaksanakan tugas kepengawasan seorang pengawas sekolah hendaknya memahami tugas pokok yang meliputi pembinaan, pemantauan dan penilaian terhadap sekolah yang menjadi tanggung jawab binaannya secara utuh dan keseluruhan dalam rangka meningkatkan kinerja sekolah sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan. Tugas pokok tersebut diimplementasikan kedalam bentuk supervisi, baik supervisi manajerial maupun supervisi akademik.
        Pengawas sekolah terdiri dari pengawas satuan pendidikan, pengawas mata pelajaran, atau pengawas kelompok mata pelajaran. Wilayah dari tugas pengawas satuan pendidikan menurut Permendiknas Nomor 12 tahun 2007 adalah melaksanakan supervisi manajerial dan supervisi akademik dengan pendekatan jumlah sekolah yang dibina yang diuraikan sebagai berikut :
        1. Pengawas Taman Kanak-Kanak melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah.
        2. Pengawas Sekolah Dasar melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 10 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
        3. Pengawas Sekolah Menengah Pertama melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 7 sekolah dan paling banyak 15 sekolah,
        4. Pengawas Sekolah Menengah Atas melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
        5. Pengawas Sekolah Menengah Kejuruan melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah,
        6. Pengawas Sekolah Luar Biasa melakukan pengawasan dan membina paling sedikit 5 sekolah dan paling banyak 10 sekolah.
        Dalam Surat Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 118/1996 dan Keputusan Menteri Agama nomor 381 tahun 1999 dinyatakan bahwa pengawas sekolah / pengawas pendidikan agama adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab dan wewenang secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan/pendidikan agama di sekolah umum dan di madrasah dengan melaksanakan penilaian dan pembinaan dari segi teknis pendidikan dan administrasi pada satuan pendidikan pra sekolah, dasar dan menengah.
        Dan berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 20l2 Tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah disebutkan bahwa pengawas pendidikan agama Islam yang selanjutnya disebut Pengawas PAI pada sekolah adalah Guru Pegawai Negeri Sipil yang diangkat dalam jabatan fungsional pengawas pendidikan agama Islam yang tugas, tanggungjawab, dan wewenangnya melakukan pengawasan penyelenggaraan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah.
        Beberapa produk hukum atau payung hukum yang berkaitan dengan tugas pengawas pendidikan agama Islam seputar dunia pendidikan, antara lain:
        1. UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional ( SPN)
        2. UU No. Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas)
        3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional
        4. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan
        5. UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan
        6. PP No. 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
        7. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah
        8. Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengawas Madrasah Dan Pengawas Pendidikan Agama Islam Pada Sekolah
      2. Tugas Pokok Pengawas Pendidikan Agama Islam
        Dalam Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/Madrasah (Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009: 20), secara umum tugas pokok pengawas sekolah/madrasah mencakup enam dimensi utama, yakni mensupervisi (supervising), memberi nasehat (advising), memantau (monitoring), membuat laporan (reporting), mengkoordinir (coordinating), dan memimpin (performing leadership). Keenam hal tersebut secara rinci disajikan dalam tabel berikut.
Dimensi Tugas Pengawas
Sasaran
Mensupervisi
  1. Kinerja kepala sekolah
  2. Kinerja guru
  3. Kinerja staf sekolah
  4. Pelaksanaan kurikulum/mata pelajaran
  5. Pelaksanaan pembelajaran
  6. Ketersediaan dan pemanfaatan seumberdaya
  7. Manajemen sekolah, dll.,
Memberi Nasehat
  1. Kepada guru,
  2. Kepala sekolah
  3. Tim kerja sekolah dan staf,
  4. Komite sekolah, dan
  5. Orang tua siswa
Memantau
  1. Penjaminan/standar mutu pendidikan,
  2. Proses dan hasil belajar peserta didik,
  3. Pelaksanaan ujian,
  4. Rapat guru dan staf
  5. Hubungan sekolah dengan masyarakat,
  6. Data statistik kemajuan sekolah
Membuat Laporan Perkembangan Kepengawasan
  1. Kepada Dinas Pendidikan Kab./Kota
  2. Dinas Pendidikan Provinsi
  3. Depdiknas,
  4. Publik
  5. Sekolah Binaan
Mengkoordinir
  1. Mengkoordinir sumber personal dan material
  2. Kegiatan antar sekolah
  3. Kegiatan pre/inservice training bagi guru dan Kepala Sekolah, dan pihak lain.
  4. Pelaksanaan kegiatan inovasi sekolah
Memimpin
  1. Pengembangan kualitas SDM di sekolah binaan
  2. Pengembangan sekolah
  3. Partisipasi  dalam  kegiatan manajerial Dinas Pendidikan,
  4. Berpartisipasi  dalam  perencanaan  pendidikan di Kabupaten/Kota,
  5. Berpartisipasi dalam seleksi calon kepala sekolah/madrasah,
  6. Berpartisipasi dalam merekrut personil proyek atau program-program  khusus   pengembangan mutu sekolah,
  7. Pengelolaan konflik, dan
  8. Berpartisipasi dalam menangani pengaduan
Tabel 1
Tabel  Dimensi Tugas dan Sasaran Pengawasan
Sumber: ilustrasi peneliti dari Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009

 
Sesuai dengan SK Menpan No. 118/1996 Bab II Pasal 3 ayat (1), maka tugas Pokok Pengawas Pendidikan Agama Islam adalah menilai dan membina teknis pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah umum dan terhadap penyelenggaraan pendidikan di madrasah baik negeri maupun swasta yang menjadi tanggung jawabnya.
Sejalan dengan UUSPN No.20 Tahun 2003 bidang pengawasan pendidikan agama Islam pada sekolah di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional meliputi Taman Kanak-kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Sekolah Luar Biasa (SLB). Sedangkan pada Madrasah di lingkungan Departemen Agama meliputi Raudhotul Athfal (RA), Bustanul Athfal (BA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) baik negeri maupun swasta.
Dari gambaran di atas dapat dipahami bahwa tugas pokok pengawas pendidikan agama Islam mencakup dua lembaga pendidikan yang berbeda, yaitu Sekolah Umum dalam lingkungan Departemen Pendidikan Nasional dan di Madrasah dalam lingkungan Departemen Agama. Hal ini berarti bahwa apabila pengawas pendidikan agama Islam melakukan pengawasan di sekolah umum maka tugas pokoknya adalah menilai pelaksanaan pengajaran mata pelajaran pendidikan agama Islam dan membina para guru pendidikan agama Islam sekolah yang bersangkutan, dan pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan/supervisi teknis kependidikan dan melakukan pengawasan administrasi terkait.
Sedangkan pada madrasah, pengawas pendidikan agama Islam melakukan penilaian dan pembinaan atas penyelenggaraan pendidikan pada madrasah yang bersangkutan secara menyeluruh baik teknis pendidikan maupun administrasi, kecuali terhadap mata pelajaran/rumpun mata pelajaran lain seperti; matematika, fisika, kimia, biologi dan sebagainya, yang pengawasannya dilakukan oleh pengawas sekolah yang beragama Islam dari Departemen Pendidikan Nasional.
Bila dikembangkan lebih lanjut, maka tugas pokok yang harus dilaksanakan oleh masing-masing jenjang jabatan pengawas adalah sebagai berikut :
  1. Bagi pengawas pendidikan agama Islam yang bertugas di Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Raudhotul Athfal, Busthanul Athfal dan Madrasah Ibtidaiyah adalah :
    1. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan pengembangan agama Islam di Taman Kanak-kanak dan penyelenggaraan pendidikan di Raudhotul Athfal dan Bustanul Athfal, kecuali bidang pengembangan selain agama Islam.
    2. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan mata pelajaran pendidikan agama Islam di Sekolah Dasar dan penyelenggaraan pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah, kecuali mata pelajaran/rumpun mata pelajaran selain pendidikan agama Islam.
    3. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan tugas guru pendidikan agama Islam pada TK dan SD dan guru serta tenaga lain pada RA, BA dan MI kecuali guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran selain pendidikan agama Islam.
    4. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan kegiatan ekstra kurikuler pendidikan agama Islam pada TK dan SD serta kegiatan ekstra kurikuler di RA, BA dan MI.
  2. Bagi pengawas pendidikan agama Islam yang bertugas di SMP, SMA, SMK, SLB dan MTs, dan MA adalah :
    1. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan mata pelajaran pendidikan agama Islam di SMP, SMA/SMK dan SLB dan penyelenggaraan pendidikan di MTs dan MA kecuali mata pelajaran/rumpun mata pelajaran selain pendidikan agama Islam.
    2. melakukan pengawasan/supervisi terhadap pelaksanaan tugas guru pendidikan agama Islam dari SMP, SMA, SMK dan SLB dan guru serta tenaga lain di MTs dan MA kecuali guru mata pelajaran/rumpun mata pelajaran selain pendidikan agama Islam.
    3. melakukan pengawasan/supervisi terhadap kegiatan ekstra kurikuler pendidikan agama Islam pada SMP, SMA/SMK dan SLB serta kegiatan ekstra kurikuler pada MTs dan MA yang menjadi tanggung jawabnya.
  3. Pengawasan Pendidikan Agama Islam Pada Pendidikan Menengah.
    Pengawas Pendidikan Agama Islam mempunyai tugas membantu Kepala Bidang Mapenda Islam/TOS pada Kanwil Departemen Agama Propinsi/Daerah Istimewa dalam bidang Pembinaan Pendidikan Agama Islam pada Sekolah melalui pengawasan atas pelaksanaan tugas Guru Pendidikan Agama Islam pada SMA, SMK dan Madrasah Aliyah.
Pengawas memiliki tugas dan tanggung jawab yang strategis dalam mengembangkan pendidikan dan pengajaran. Perananan pengawas dalam melaksannakan tugas-tugas kependidikan dan pembelajaran di sekolah, madrasah, dan pondok pesantren (formal dan non formal) yang memberikan supervisi akademik dan manajerial, bukan saja sebagai supervisor pendidikan namun pengawas juga sebagai konselor dan motivator agar dapat menciptakan suasana kondusif dalam proses belajar mengajar di sekolah, madrasah, dan pondok pesantren serta meningkatkan kompetensi dan profesionalisme guru, kepala sekolah, dan pimpinan pondok pesantren serta para stafnya menuju terselenggaranya pendidikan yang bermutu. Melihat pentingnya peranan pengawas tersebut, ibarat ujung tombak pengawas harus mampu menghujamkan mata tombak sebagai perantara berbagai kebijakan pemerintah tentang kependidikan kepada sekolah, madrasah dan pondok pesantren serta dengan kompetensi dan profesional yang dimiliki dapat mewarnai dan menciptakan iklim kondusif dalam pembelajaran dan kemapanan satuan pendidikan.
Pengawas pendidikan agama Islam melaksanakan fungsi supervisi pendidikan baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial. Supervisi akademik adalah bantuan profesional kepada guru dalam rangka meningkatkan mutu, proses dan hasil pendidikan. Sedangkan supervisi manajerial adalah bantuan profesional kepada kepala madrasah dan pimpinan pondok pesantren serta seluruh stafnya dalam meningkatkan mutu pengelolaan penyelenggaraan pendidikan (Depag RI, 2008: 3).
Sedangkan berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah pada pasal 19 ayat (1) dan (2) diterangkan bahwa Pengawas pendidikan agama bertugas melakukan pengawasan terhadap terselenggaranya pendidikan agama pada sekolah yang meliputi penilaian, pembinaan, pemantauan, penelitian, pelaporan dan tindak lanjut dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan agama sesuai dengan standar nasional pendidikan agar tercapai tujuan pendidikan agama dan tujuan pendidikan nasional.
Pada ayat (2) dijelaskan bahwa, Pengawas pendidikan agama berwenang (a). melakukan pemantauan, penilaian, dan evaluasi terhadap, penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah; (b). melakukan pembinaan terhadap guru pendidikan agama; (c). melakukan penelitian tindakan kepengawasan, penelitian sekolah dan penelitian kelas terkait dengan penyelenggaraan pendidikan agama; (d). menyampaikan laporan tentang penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah; (e). memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait tentang penyelenggaraan pendidikan agama; (f). memberikan penilaian guru pendidikan agama dan rekomendasi dalam rangka mutasi dan promosi; (g). menerapkan metode kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan tugas sesuai dengan kode etik profesi; dan (h). memberikan masukan untuk pengembangan pendidikan agama di sekolah.
Secara spesifik diatur dalam Peraturan Menteri Agama No. 2/2012 dalam Bab III Pasal 5 ayat (4) disebutkan bahwa, Pengawas PAI pada Sekolah berwenang: (a). memberikan masukan, saran, dan bimbingan dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dan/atau pembelajaran Pendidikan Agama Islam kepada Kepala sekolah dan instansi yang membidangi urusan pendidikan di Kabupaten/Kota; (b). memantau dan menilai kinerja Guru PAI serta merumuskan saran tindak lanjut yang diperlukan; (c). melakukan pembinaan terhadap Guru PAI; (d). memberikan pertimbangan dalam penilaian pelaksanaan tugas guru PAI kepada pejabat yang berwenang; dan (e). memberikan pertimbangan dalam penilaian pelaksanaan tugas dan penempatan Guru PAI kepada Kepala sekolah dan pejabat yang berwenang.
  1. Fungsi Pengawas Pendidikan Agama Islam
    Menurut Burton dan Bruckner dalam Sahertian (2000: 21), menyatakan bahwa fungsi utama supervisi modern ialah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran peserta didik. Sedangkan Briggs mengungkapkan bahwa fungsi utama supervisi bukan perbaikan pembelajaran saja, tetapi untuk mengkoordinasi, menstimulasi, dan mendorong ke arah pertumbuhan profesi guru.
    Usaha perbaikan merupakan proses yang kontinu sesuai dengan perubahan masyarakat. Masyarakat selalu mengalami perubahan. Perubahan masyarakat membawa pula konsekuensi dalam bidang pendidikan dan pengajaran. Suatu penemuan baru mengakibatkan timbulnya dimensi-dimensi dan persepektif baru dalam bidang ilmu penegetahuan.
    Untuk melaksanakan tugas pokok tersebut, maka pengawas sekolah mempunyai fungsi sebagai fungsi supervisi, baik supervisi akademik maupun supervisi manajerial.
    Supervisi akademik adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pembinaan dan pengembangan kemampuan profesional guru dalam meningkatkan mutu pembelajaran dan bimbingan di sekolah. Sasaran supervisi akademik antara lain membantu guru dalam: (1) merencanakan kegiatan pembelajaran dan atau bimbingan, (2) melaksanakan kegiatan pembelajaran/ bimbingan, (3) menilai proses dan hasil pembelajaran/ bimbingan, (4) memanfaatkan hasil penilaian untuk peningkatan layanan pembelajaran/ bimbingan, (5) memberikan umpan balik secara tepat dan teratur dan terus menerus pada peserta didik, (6) melayani peserta didik yang mengalami kesulitan belajar, (7) memberikan bimbingan belajar pada peserta didik, (8) menciptakan lingkungan belajar yang menyenangkan, (9) mengembangkan dan memanfaatkan alat bantu dan media pembelajaran dan atau bimbingan, (10) memanfaatkan sumber-sumber belajar, (11) mengembangkan interaksi pembelajaran/bimbingan (metode, strategi, teknik, model, pendekatan dan lain-lain) yang tepat dan berdaya guna, (12) melakukan penelitian praktis bagi perbaikan pembelajaran/bimbingan, (13) mengembangkan inovasi pembelajaran/bimbingan. (Nana Sudjana, dkk. 2006: 21)
    Dalam melaksanakan fungsi supervisi akademik seperti di atas, pengawas hendaknya berperan sebagai:
    1. Mitra guru dalam meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
    2. Inovator dan pelopor dalam mengembangkan inovasi pembelajaran dan bimbingan di sekolah binaannya
    3. Konsultan pendidikan di sekolah binaannya
    4. Konselor bagi kepala sekolah, guru dan seluruh staf sekolah
    5. Motivator untuk meningkatkan kinerja semua staf sekolah. (Nana Sudjana, dkk. 2006: 21)
    Supervisi manajerial adalah fungsi supervisi yang berkenaan dengan aspek pengelolaan sekolah yang terkait langsung dengan peningkatan efisiensi dan efektivitas sekolah yang mencakup: (1) perencanaan, (2) koordinasi, (3) pelaksanaan, (3) penilaian, (5) pengembangan kompetensi SDM kependidikan dan sumberdaya lainnya. Sasaran supervisi manajerial adalah membantu kepala sekolah dan staf sekolah lainnya dalam mengelola administrasi pendidikan seperti: (1) administrasi kurikulum, (2) administrasi keuangan, (3) administrasi sarana prasarana/perlengkapan, (4) administrasi personal atau ketenagaan, (5) administrasi kesiswaan, (6) administrasi hubungan sekolah dan masyarakat, (7) administrasi budaya dan lingkungan sekolah, serta (8) aspek-aspek administrasi lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan. (Panduan Pelaksanaan Tugas Pengawas Sekolah/Madrasah, Direktorat Tenaga Kependidikan, 2009: 20)
    Dalam melaksanakan fungsi supervisi manajerial, pengawas hendaknya berperan sebagai:
    1. Kolaborator dan negosiator dalam proses perencanaan, koordinasi, pengembangan manajemen sekolah,
    2. Asesor dalam mengidentifikasi kelemahan dan menganalisis potensi sekolah binaannya
    3. Pusat informasi pengembangan mutu pendidikan di sekolah binaannya
    4. Evaluator/judgement terhadap pemaknaan hasil pengawasan. (Nana Sudjana, dkk. 2006: 22)
    Fungsi supervisor (pengawas) oleh karenanya menjadi penting, sebagaimana tertuang dalam Kepmen PAN Nomor 118/1996 yang menyebutkan bahwa pengawas diberikan tanggung jawab dan wewenang penuh untuk melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan pendidikan, penilaian dan pembinaan teknis serta administratif pada satuan pendidikan.
    Secara spesifik fungsi pengawas PAI terdapat dalam Peraturan Menteri Agama No. 2/2012 dalam Bab II tentang Tugas dan Fungsi Pasal 4 ayat (2) Pengawas PAI Pada Sekolah mempunyai fungsi melakukan:
    1. penyusunan program pengawasan PAI;
    2. pembinaan, pembimbingan, dan pengembangan profesi guru PAI;
    3. pemantauan penerapan standar nasional PAI;
    4. penilaian hasil pelaksanaan program pengawasan;dan
    5. pelaporan pelaksanaan tugas kepengawasan.
  2. Tanggung Jawab dan Wewenang Pengawas Pendidikan Agama Islam
    Dalam PMA No.2/2012 Bab III Pasal 5 ayat (4) bahwa pengawas PAI berwenang:
    1. memberikan masukan, saran, dan bimbingan dalam penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan dan/atau pembelajaran Pendidikan Agama Islam kepada kepala sekolah dan instansi yang membidangi urusan pendidikan di Kabupaten/Kota;
    2. memantau dan menilai kinerja guru PAI serta merumuskan saran tindak lanjut yang diperlukan;
    3. melakukan pembinaan terhadap guru PAI;
    4. memberikan pertimbangan dalam penilaian pelaksanaan tugas guru PAI kepada pejabat yang berwenang;
    5. memberikan pertimbangan dalam penilaian pelaksanaan tugas dan penempatan guru PAI kepada Kepala sekolah dan pejabat yang berwenang
  3. Urgensi Pengawas Pendidikan Agama Islam
    Peranan adalah aspek dinamis yang melekat pada posisi atau status seseorang di dalam suatu organisasi. Peranan pengawas dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya yaitu membantu dan memberi suport kepada guru-guru dalam melaksanankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan.
    Pengawasan pendidikan menduduki peran penting dalam upaya penjaminan mutu pendidikan khususnya dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan. Sayangnya hal tersebut lebih banyak baru sebagai retorika dan urung diimplementasikan secara intensif dalam pengelolaan pendidikan khususnya di tingkat daerah. Tantangan kepengawasan sekolah juga muncul dengan hadirnya internasionalisasi pendidikan yang menuntut pengawas sekolah untuk cepat tanggap dalam merespon perubahan untuk menularkannya kepada para pengelola sekolah.
    Penguatan fungsi pengawas sekolah dapat dipandang sebagai langkah politis sekaligus profesional karena pemberdayaan pengawas sekolah dapat dijadikan sebagai pelaku penjamin mutu di lapis kedua setelah sekolah itu sendiri. Tentu saja penguatan fungsi tersebut memerlukan beberapa syarat, antara lain pengembangan kapasitas dan kapabilitas pengawas sekolah, dan kebijakan pemerintah akan rasio jumlah pengawas terhadap satuan pendidikan yang dibina.
    Dalam melaksanakan tugasnya para guru mata pelajaran agama Islam tidak terlepas dari kesulitan dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh sekolah maupun institusi di atasnya, karena itu dibutuhkan peran pengawas guna membantu mereka menjelaskan dan memperbaiki kekeliruan yang dilakukan para guru mata pelajaran agama Islam di sekolah. Terutama pembuatan rencana pembelajaran, bagaimana proses belajar mengajar menggunakan kurikulum berbasis kompetensi, serta bagaimana mengaktifkan siswa dalam setiap pembelajaran. Akan tetapi jika para pengawas sendiri tidak memahami dengan baik hakekat dan tujuan yang terkandung dalam kurikulum berbasis kompetensi, maka peran pengawas menjadi berkurang dan tidak mungkin diharapkan dapat membantu guru mata pelajaran agama Islam dalam meningkatkan kualitas pembelajaran di kelas. Hal ini antara lain memicu semakin stagnan dan terusnya rendahnya kualitas guru mata pelajaran agama Islam di manapun, termasuk di kabupaten Sukoharjo.
  1. Guru Pendidikan Agama Islam
    Menurut Pidarta (1999: 15) bahwa setiap guru adalah merupakan pribadi yang berkembang. Bila perkembangan ini dilayani, sudah tentu dapat lebih terarah dan mempercepat laju perkembangan itu sendiri, yang pada akhirnya memberikan kepuasan kepada guru-guru dalam bekerja di sekolah sehingga sebagai pekerja, guru harus berkemampuan yang meliputi unjuk kerja, penguasaan materi pelajaran, penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, penguasaan cara-cara menyesuaikan diri dan berkepribadian untuk melaksanakan tugasnya.
    Tugas dan peran guru yang demikian strategis tersebut tentu sangat diharapkan bahwa seluruh guru akan dapat memerankan dirinya sebagaimana yang seharusnya, sehingga proses pendidikan yang ada akan benar-benar dapat membentuk sosok ideal yang diinginkan. Lebih lebih bagi guru Pendidikan Agama Islam, yang memang disamping mempunyai misi yang sama dengan guru pada umumnya, yakni untuk mencerdaskan bangsa, juga mempunyai misi lain yang sangat luhur, yakni mempersiapkan generasi yang pandai, berakhlak mulia, dan taat menjalankan ajaran agamanya. Peran guru PAI memang sangat vital, khususnya dalam membentuk akhlak mulia dan ketaatan terhadap seluruh aturan dan norma yang ada dan berlaku, termasuk norma agama.
    Peran pembentukan akhlak dan kepribadian yang demikian kuat yang dilakukan oleh guru PAI tentunya kita harus terus berupaya memberikan support kepada mereka agar selalu meningkatkan kualitas, baik melalui studi formal maupun melalui berbagai kegiatan keilmuan yang memungkinkan mereka akan dapat terus menambah pengetahuan yang nantinya akan berdampak kepada peserta didik yang menjadi tanggung jawab mereka. Sebab sangat tidak mungkin kita terlalu banyak berharap kalau kita sendiri tidak memberikan dukungan nyata bagi mereka untuk dapat meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan.
    Sedangkan WF Connell dalam E. Mulyasa (1972:50) membedakan tujuh peran seorang guru yaitu (1) pendidik (nurturer), (2) model, (3) pengajar dan pembimbing, (4) pelajar (learner), (5) komunikator terhadap masyarakat setempat, (6) pekerja administrasi, serta (7) kesetiaan terhadap lembaga.
    Peran guru PAI sebagai pendidik (nurturer) merupakan peran-peran yang berkaitan dengan tugas-tugas memberi bantuan dan dorongan (supporter), tugas-tugas pengawasan dan pembinaan (supervisor) serta tugas-tugas yang berkaitan dengan mendisiplinkan anak agar anak itu menjadi patuh terhadap aturan-aturan sekolah dan norma hidup dalam keluarga dan masyarakat.
    Peran guru PAI sebagai model atau contoh bagi anak. Setiap anak mengharapkan guru mereka dapat menjadi contoh atau model baginya. Oleh karena itu tingkah laku pendidik baik guru, orang tua atau tokoh-tokoh masyarakat harus sesuai dengan norma-norma yang dianut oleh masyarakat, bangsa dan negara. Karena nilai nilai dasar negara dan bangsa Indonesia adalah Pancasila, maka tingkah laku pendidik harus selalu diresapi oleh nilai-nilai Pancasila.
    Peranan guru sebagai pengajar dan pembimbing dalam pengalaman belajar. Setiap guru harus memberikan pengetahuan, keterampilan dan pengalaman lain di luar fungsi sekolah seperti persiapan perkawinan dan kehidupan keluarga, hasil belajar yang berupa tingkah laku pribadi dan spiritual dan memilih pekerjaan di masyarakat, hasil belajar yang berkaitan dengan tanggung jawab sosial tingkah laku sosial anak.
    Peran guru sebagai pelajar. Seorang guru dituntut untuk selalu menambah pengetahuan dan keterampilan agar supaya pengetahuan dan keterampilan yang dirnilikinya tidak ketinggalan jaman. Pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai tidak hanya terbatas pada pengetahuan yang berkaitan dengan pengembangan tugas profesional, tetapi juga tugas kemasyarakatan maupun tugas kemanusiaan.
    Peran guru sebagai setiawan dalam lembaga pendidikan. Seorang guru diharapkan dapat membantu kawannya yang memerlukan bantuan dalam mengembangkan kemampuannya. Bantuan dapat secara langsung melalui pertemuan-pertemuan resmi maupun pertemuan insidental.
    Peranan guru sebagai komunikator pembangunan masyarakat. Seorang guru diharapkan dapat berperan aktif dalam pembangunan di segala bidang yang sedang dilakukan. Ia dapat mengembangkan kemampuannya pada bidang-bidang dikuasainya.
    Guru sebagai administrator. Seorang guru tidak hanya sebagai pendidik dan pengajar, tetapi juga sebagai administrator pada bidang pendidikan dan pengajaran. Oleh karena itu seorang guru dituntut bekerja secara administrasi teratur. Segala pelaksanaan dalam kaitannya proses belajar mengajar perlu diadministrasikan secara baik. Sebab administrasi yang dikerjakan seperti membuat rencana mengajar, mencatat hasil belajar dan sebagainya merupakan dokumen yang berharga bahwa ia telah melaksanakan tugasnya dengan baik.
    1. Kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam
      Guru yang profesional pada intinya adalah guru yang memiliki kompetensi dalam melakukan tugas pendidikan dan pengajaran. Kompetensi berasal dari kata competency, yang berarti kemampuan atau kecakapan. Menurut kamus bahasa Indonesia, kompetensi dapat diartikan (kewenangan) kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan suatu hal. (M. Uzer Usman, 2005: 14)
      Menurut Usman, kompetensi adalah suatu hal yang menggambarkan kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun kuantitatif. (Kunandar, 2007: 51). Charles E. Johnson dalam M. Uzer Usman, (2005: 14), mengemukakan bahwa kompetensi merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan.
      Kompetensi merupakan suatu tugas yang memadai atas kepemilikan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang dituntut oleh jabatan seseorang. (Roestiyah N.K, 1989: 4). Kompetensi juga berarti sebagai pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. (Kunandar, 2007: 52)
      Pengertian kompetensi ini, jika digabungkan dengan sebuah profesi yaitu guru atau tenaga pengajar, maka kompetensi guru mengandung arti kemampuan seseorang guru dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban secara bertanggung jawab dan layak atau kemampuan dan kewenangnan guru dalam melaksanakan profesi keguruannya.
      Majid (2005: 6) menjelaskan kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru dalam mengajar. Kompetensi tersebut akan terwujud dalam bentuk penguasaan pengetahuan dan profesional dalam menjalankan fungsinya sebagai guru.
      Pengertian kompetensi guru jika dikaitkan dengan Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang sangat penting bagi kehidupan manusia, terutama dalam mencapai ketentraman bathin dan kesehatan mental pada umumnya. Agama Islam merupakan bimbingan hidup yang paling baik, pencegah perbuatan salah dan munkar yang paling ampuh, pengendali moral yang tiada taranya. Maka kompetensi guru agama Islam adalah kewenangan untuk menentukan Pendidikan Agama Islam yang akan diajarkan pada jenjang tertentu di sekolah tempat guru itu mengajar. (Zakiyah Daradjat, 1995: 95)
      Dari pengertian kompetensi di atas bisa disimpulkan bahwa pengertian kompetensi guru adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
      Guru PAI berbeda dengan guru-guru bidang studi lainnya. Guru PAI disamping melaksanakan tugas pengajaran yang memberikan pengetahuan keagamaan, ia juga melaksanakan tugas pengajaran dan pembinaan bagi peserta didik, ia membantu pembentukan kepribadian, pembinaan akhlak serta menumbuhkembangkan keimanan dan ketaqwaan para peserta didik. (Zakiyah Daradjat, 1995: 99)
      Kemampuan guru khususnya guru agama tidak hanya memiliki keunggulan pribadi yang dijiwai oleh keutamaan hidup dan nilai-nilai luhur yang dihayati serta diamalkan. Namun seorang guru agama hendaknya memiliki kemampuan paedagogis atau hal-hal mengenai tugas-tugas kependidikan seorang guru agama tersebut.
    2. Komponen Kompetensi Guru
      Sedangkan Peraturan Menteri Agama No.16/2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah pada Pasal 16 disebutkan bahwa guru pendidikan agama harus memiliki kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, profesional, dan kepemimpinan.
      1. Kompetensi Pedagogik
        Kompetensi Pedagogik merupakan salah satu jenis kompetensi yang mutlak perlu dikuasai guru. Kompetensi Pedagogik pada dasarnya adalah kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi Pedagogik merupakan kompetensi khas, yang akan membedakan guru dengan profesi lainnya dan akan menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya.
        A. Fatah Yasin (2008: 73-75) mengatakan kompetensi pedagogik adalah kemampuan seorang pendidik dalam mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi kemampuan dalam memahami peserta didik, kemampuan dalam membuat perancangan pembelajaran, kemampuan melaksanakan pembelajaran, kemampuan dalam mengevaluasi hasil belajar, dan kemampuan dalam mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
        Secara lebih terperinci dalam Panduan Kegiatan Penilaian Kinerja Guru terdapat 7 aspek dan 45 indikator yang berkenaan penguasaan kompetensi pedagogik, diantaranya:
        1. Menguasai karakteristik peserta didik. Guru mampu mencatat dan menggunakan informasi tentang karakteristik peserta didik untuk membantu proses pembelajaran. Karakteristik ini terkait dengan aspek fisik, intelektual, sosial, emosional, moral, dan latar belakang sosial budaya:
          1. Guru dapat mengidentifikasi karakteristik belajar setiap peserta didik di kelasnya,
          2. Guru memastikan bahwa semua peserta didik mendapatkan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembelajaran,
          3. Guru dapat mengatur kelas untuk memberikan kesempatan belajar yang sama pada semua peserta didik dengan kelainan fisik dan kemampuan belajar yang berbeda,
          4. Guru mencoba mengetahui penyebab penyimpangan perilaku peserta didik untuk mencegah agar perilaku tersebut tidak merugikan peserta didik lainnya,
          5. Guru membantu mengembangkan potensi dan mengatasi kekurangan peserta didik,
          6. Guru memperhatikan peserta didik dengan kelemahan fisik tertentu agar dapat mengikuti aktivitas pembelajaran, sehingga peserta didik tersebut tidak termarjinalkan (tersisihkan, diolokolok, minder, dsb).
        2. Menguasasi teori belajar dan prinsipprinsip pembelajaran yang mendidik. Guru mampu menetapkan berbagai pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang mendidik secara kreatif sesuai dengan standar kompetensi guru. Guru mampu menyesuaikan metode pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik peserta didik dan memotivasi mereka untuk belajar,
          1. Guru memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menguasai materi pembelajaran sesuai usia dan kemampuan belajarnya melalui pengaturan proses pembelajaran dan aktivitas yang bervariasi,
          2. Guru selalu memastikan tingkat pemahaman peserta didik terhadap materi pembelajaran tertentu dan menyesuaikan aktivitas pembelajaran berikutnya berdasarkan tingkat pemahaman tersebut,
          3. Guru dapat menjelaskan alasan pelaksanaan kegiatan/aktivitas yang dilakukannya, baik yang sesuai maupun yang berbeda dengan rencana, terkait keberhasilan pembelajaran,
          4. Guru menggunakan berbagai teknik untuk memotiviasi kemauan belajar peserta didik,
          5. Guru merencanakan kegiatan pembelajaran yang saling terkait satu sama lain, dengan memperhatikan tujuan pembelajaran maupun proses belajar peserta didik,
          6. Guru memperhatikan respon peserta didik yang belum/kurang memahami materi pembelajaran yang diajarkan dan menggunakannya untuk memperbaiki rancangan pembelajaran berikutnya.
        3. Pengembangan kurikulum. Guru mampu menyusun silabus sesuai dengan tujuan terpenting kurikulum dan menggunakan RPP sesuai dengan tujuan dan lingkungan pembelajaran. Guru mampu memilih, menyusun, dan menata materi pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik:
          1. Guru dapat menyusun silabus yang sesuai dengan kurikulum,
          2. Guru merancang rencana pembelajaran yang sesuai dengan silabus untuk membahas materi ajar tertentu agar peserta didik dapat mencapai kompetensi dasar yang ditetapkan,
          3. Guru mengikuti urutan materi pembelajaran dengan memperhatikan tujuan pembelajaran,
          4. Guru memilih materi pembelajaran yang: (1) sesuai dengan tujuan pembelajaran, (2) tepat dan mutakhir, (3) sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar peserta didik, (4) dapat dilaksanakan di kelas dan (5) sesuai dengan konteks kehidupan seharihari peserta didik.
        4. Kegiatan pembelajaran yang mendidik. Guru mampu menyusun dan melaksanakan rancangan pembelajaran yang mendidik secara lengkap. Guru mampu menyusun dan menggunakan berbagai materi pembelajaran dan sumber belajar sesuai dengan karakteristik peserta didik. Jika relevan, guru memanfaatkan teknologi informasi komunikasi (TIK) untuk kepentingan pembelajaran:
          1. Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran sesuai dengan rancangan yang telah disusun secara lengkap dan pelaksanaan aktivitas tersebut mengindikasikan bahwa guru mengerti tentang tujuannya,
          2. Guru melaksanakan aktivitas pembelajaran yang bertujuan untuk membantu proses belajar peserta didik, bukan untuk menguji sehingga membuat peserta didik merasa tertekan,
          3. Guru mengkomunikasikan informasi baru (misalnya materi tambahan) sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar peserta didik,
          4. Guru menyikapi kesalahan yang dilakukan peserta didik sebagai tahapan proses pembelajaran, bukan sematamata kesalahan yang harus dikoreksi. Misalnya: dengan mengetahui terlebih dahulu peserta didik lain yang setuju/tidak setuju dengan jawaban tersebut, sebelum memberikan penjelasan tentang jawaban yamg benar,
          5. Guru melaksanakan kegiatan pembelajaran sesuai isi kurikulum dan mengkaitkannya dengan konteks kehidupan seharihari peserta didik,
          6. Guru melakukan aktivitas pembelajaran secara bervariasi dengan waktu yang cukup untuk kegiatan pembelajaran yang sesuai dengan usia dan tingkat kemampuan belajar dan mempertahankan perhatian peserta didik,
          7. Guru mengelola kelas dengan efektif tanpa mendominasi atau sibuk dengan kegiatannya sendiri agar semua waktu peserta dapat termanfaatkan secara produktif,
          8. Guru mampu audiovisual (termasuk tik) untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran. Menyesuaikan aktivitas pembelajaran yang dirancang dengan kondisi kelas,
          1. Guru memberikan banyak kesempatan kepada peserta didik untuk bertanya, mempraktekkan dan berinteraksi dengan peserta didik lain,
          2. Guru mengatur pelaksanaan aktivitas pembelajaran secara sistematis untuk membantu proses belajar peserta didik. Sebagai contoh: guru menambah informasi baru setelah mengevaluasi pemahaman peserta didik terhadap materi sebelumnya, dan
          3. Guru menggunakan alat bantu mengajar, dan/atau audiovisual (termasuk tik) untuk meningkatkan motivasi belajar peserta didik dalam mencapai tujuan pembelajaran.
        5. Pengembangan potensi peserta didik. Guru mampu menganalisis potensi pembelajaran setiap peserta didik dan mengidentifikasi pengembangan potensi peserta didik melalui program pembelajaran yang mendukung siswa mengaktualisasikan potensi akademik, kepribadian, dan kreativitasnya sampai ada bukti jelas bahwa peserta didik mengaktualisasikan potensi mereka:
          1. Guru menganalisis hasil belajar berdasarkan segala bentuk penilaian terhadap setiap peserta didik untuk mengetahui tingkat kemajuan masingmasing.
          2. Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk belajar sesuai dengan kecakapan dan pola belajar masingmasing.
          3. Guru merancang dan melaksanakan aktivitas pembelajaran untuk memunculkan daya kreativitas dan kemampuan berfikir kritis peserta didik.
          4. Guru secara aktif membantu peserta didik dalam proses pembelajaran dengan memberikan perhatian kepada setiap individu.
          5. Guru dapat mengidentifikasi dengan benar tentang bakat, minat, potensi, dan kesulitan belajar masing-masing peserta didik.
          6. Guru memberikan kesempatan belajar kepada peserta didik sesuai dengan cara belajarnya masing-masing.
          7. Guru memusatkan perhatian pada interaksi dengan peserta didik dan mendorongnya untuk memahami dan menggunakan informasi yang disampaikan.
        6. Komunikasi dengan peserta didik. Guru mampu berkomunikasi secara efektif, empatik dan santun dengan peserta didik dan bersikap antusias dan positif. Guru mampu memberikan respon yang lengkap dan relevan kepada komentar atau pertanyaan peserta didik:
          1. Guru menggunakan pertanyaan untuk mengetahui pemahaman dan menjaga partisipasi peserta didik, termasuk memberikan pertanyaan terbuka yang menuntut peserta didik untuk menjawab dengan ide dan pengetahuan mereka.
          2. Guru memberikan perhatian dan mendengarkan semua pertanyaan dan tanggapan peserta didik, tanpa menginterupsi, kecuali jika diperlukan untuk membantu atau mengklarifikasi pertanyaan/tanggapan tersebut.
          3. Guru menanggapi pertanyaan peserta didik secara tepat, benar, dan mutakhir, sesuai tujuan pembelajaran dan isi kurikulum, tanpa mempermalukannya.
          4. Guru menyajikan kegiatan pembelajaran yang dapat menumbuhkan kerja sama yang baik antar peserta didik.
          5. Guru mendengarkan dan memberikan perhatian terhadap semua jawaban peserta didik baik yang benar maupun yang dianggap salah untuk mengukur tingkat pemahaman peserta didik.
          6. Guru memberikan perhatian terhadap pertanyaan peserta didik dan meresponnya secara lengkap dan relevan untuk menghilangkan kebingungan pada peserta didik.
        7. Penilaian dan Evaluasi. Guru mampu menyelenggarakan penilaian proses dan hasil belajar secara berkesinambungan. Guru melakukan evaluasi atas efektivitas proses dan hasil belajar dan menggunakan informasi hasil penilaian dan evaluasi untuk merancang program remedial dan pengayaan. Guru mampu menggunakan hasil analisis penilaian dalam proses pembelajarannya:
          1. Guru menyusun alat penilaian yang sesuai dengan tujuan pembelajaran untuk mencapai kompetensi tertentu seperti yang tertulis dalam RPP.
          2. Guru melaksanakan penilaian dengan berbagai teknik dan jenis penilaian, selain penilaian formal yang dilaksanakan sekolah, dan mengumumkan hasil serta implikasinya kepada peserta didik, tentang tingkat pemahaman terhadap materi pembelajaran yang telah dan akan dipelajari.
          3. Guru menganalisis hasil penilaian untuk mengidentifikasi topik/kompetensi dasar yang sulit sehingga diketahui kekuatan dan kelemahan masingmasing peserta didik untuk keperluan remedial dan pengayaan.
          4. Guru memanfaatkan masukan dari peserta didik dan merefleksikannya untuk meningkatkan pembelajaran selanjutnya, dan dapat membuktikannya melalui catatan, jurnal pembelajaran, rancangan pembelajaran, materi tambahan, dan sebagainya.
          5. Guru memanfatkan hasil penilaian sebagai bahan penyusunan rancangan pembelajaran yang akan dilakukan selanjutnya.
        Dari penjabaran kompetensi pedagogik guru, maka sebagaimana dalam Peraturan Menteri Agama No.16/2010 dapat dipersempit menjadi:
        1. Pemahaman karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual;
        2. Penguasaan teori dan prinsip belajar pendidikan agama;
        3. Pengembangan kurikulum pendidikan agama;
        4. Penyelenggaraan kegiatan pengembangan pendidikan agama;
        5. Pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan dan pengembangan pendidikan agama;
        6. Pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki dalam bidang pendidikan agama;
        7. Komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik;
        8. Penyelenggaraan penilaian dan evaluasi proses dan hasil belajar pendidikan agama;
        9. Pemanfaatan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran pendidikan agama; dan
        10. Tindakan reflektif untuk peningkatan kualitas pembelajaran pendidikan agama.
      2. Kompetensi Kepribadian
        Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan, tindakan, ucapan, cara berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan.
        Menurut tinjauan psikologi, kepribadian pada prinsipnya adalah susunan atau kesatuan antara aspek perilaku mental (pikiran, perasaan, dan sebagainya) dengan aspek perilaku behavioral (perbuatan nyata). Aspek-aspek ini berkaitan secara fungsional dalam diri seorang individu, sehingga membuatnya bertingkah laku secara khas dan tetap. (Muhibbin Syah, 2008: 225)
        Menurut Baharuddin (2007: 209) disebutkan bahwa inti mengenai kepribadian adalah sebagai berikut:
        1. Bahwa kepribadian itu merupakan suatu kebulatan yang terdiri dari aspek-aspek jasmaniah dan rohaniah
        2. Bahwa kepribadian seseorang itu bersifat dinamik dalam hubungannya dengan lingkungan
        3. Bahwa kepribadian seseorang itu khas (unique), berbeda dari orang lain
        4. Bahwa kepribadian itu berkembang dengan dipengaruhi faktor-faktor yang berasal dari dalam dan luar.
        Syaiful Sagala (2009: 33-34) menjelaskan bahwa dilihat dari aspek psikologi kompetensi kepribadian guru menunjukkan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian: (1) mantab dan stabil yaitu memiliki konsistensi dalam bertindak sesuai norma hukum, norma sosial, dan etika yang berlaku; (2) dewasa yang berarti mempunyai kemandirian untuk bertindak sebagai pendidik dan memiliki etos kerja sebagai guru; (3) arif dan bijaksana yaitu tampilannya bermanfaat bagi peserta didik, sekolah, dan masyarakat dengan menunjukkan keterbukaan dalam berpikir dan bertindak; (4) berwibawa yaitu perilaku guru yang disegani sehingga berpengaruh positif terhadap peserta didik; dan (5) memiliki akhlak mulia dan memiliki perilaku yang dapat diteladani oleh peserta didik, bertindak sesuai norma religius, jujur, ikhlas, dan suka menolong.
        Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah pada bab VI Pasal 16 ayat 3, bahwa kompetensi kepribadian guru meliputi:
        1. Tindakan yang sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan nasional Indonesia;
        2. Penampilan diri sebagai pribadi yang jujur, berakhlak mulia, dan teladan bagi peserta didik dan masyarakat;
        3. Penampilan diri sebagai pribadi yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa;
        4. Kepemilikan etos kerja, tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi guru, dan rasa percaya diri; serta
        5. Penghormatan terhadap kode etik profesi guru.
        Kepribadian dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan kemauan untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam melakukan pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain perilaku akuntabilitas meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
        Kompetensi kepribadian guru sangat besar pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan pribadi peserta didik. Kompetensi kepribadian ini memiliki peran dan fungsi yang sangat penting dalam membentuk kepribadian anak, guna menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia serta mensejahterakan masyarakat, kemajuan Negara, dan bangsa pada umumnya.
      3. Kompetensi Sosial
        Dalam Standar nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat (3) butir d dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. (E. Mulyasa, 2007: 173)
        Adapun menurut E. Mulyasa (2007: 176), sedikitnya terdapat tujuh kompetensi sosial yang harus dimiliki guru agar dapat berkomunikasi dan bergaul secara efektif, baik di sekolah maupun di masyarakat. Ketujuh kompetensi tersebut dapat diidentifikasikan dalam bentuk sebagai berikut : (1). Memiliki pengetahuan tentang adat istiadat baik sosial maupun agama. (2). Memiliki pengetahuan tentang budaya dan tradisi. (3). Memiliki pengetahuan tentang inti demokrasi. (4). Memiliki pengetahuan tentang estetika. (5). Memiliki apresiasi dan kesadaran sosial. (6). Memiliki sikap yang benar terhadap pengetahuan dan pekerjaan. (7). Setia terhadap harkat dan martabat manusia.
        .Berdasarkan Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah pada bab VI Pasal 16 ayat 4, bahwa kompetensi social guru meliputi:
        1. Sikap inklusif, bertindak objektif, serta tidak diskriminatif berdasarkan jenis kelamin, agama, ras, kondisi fisik, latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi;
        2. Sikap adaptif dengan lingkungan sosial budaya tempat bertugas; dan
        3. Sikap komunikatif dengan komunitas guru, warga sekolah dan warga masyarakat.
        Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat dipisahkan dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan pengguna jasa pendidikan itu.
        Khilstrom dan Cantor dalam Hadi Suyono (2007: 116) merumuskan bentuk-bentuk kompetensi/kecerdasan sosial, diantaranya adalah :
        1. Menerima orang lain. Orang yang memiliki kecerdasan sosial mampu untuk: (a) menerima orang lain dengan segala kelebihan dan kekurangannya; (b) memahami dan memperlakukan secara tepat bahwa orang lain itu memiliki latar belakang pemikiran dan perilaku yang berbeda-beda; (c) selalu membuka diri untuk bergaul dengan orang-orang baru; (d) berusaha untuk selalu memperluas interaksi dengan orang lain; (e) berusaha membuat orang lain yang bersamanya menjadi maju dan berkembang.
        2. Mengakui kesalahan yang diperbuat. Orang tersebut mempunyai kearifan dan keberanian untuk menyadari dan mengakui kesalahan yang diperbuatnya. Kalau ada orang-orang yang berada di sekitarnya merasa tersinggung dan dirugikan atas perilakunya, dia akan segera minta maaf. Jika melakukan kesalahan di suatu lembaga yang ternyata merugikan lembaga tersebut, dia akan mengundurkan diri.
        3. Menunjukkan perhatian pada dunia luas. Orang yang memiliki kecerdasan sosial memberi perhatian pada lingkungan yang lebih luas. Dia tidak hanya memikirkan mengenai situasi sosial dengan segala dinamika dan problematikanya di sekelilingnya. Tetapi dia juga mengamati dan memikirkan peristiwa sosial yang berada di luar lingkungannya. Buah dari perhatiannya terhadap lingkungan yang luas mendorongnya untuk melakukan tindakan perbaikan kondisi lingkungan di sekitarnya atau kalau memungkinkan bisa membantu lingkungan yang lebih luas.
        4. Tepat waktu dalam membuat perjanjian. Orang yang memiliki kecerdasan/kompetensi sosial akan berusaha semaksimal mungkin untuk datang tepat waktu apabila sudah membuat janji dengan orang lain. Orang-orang yang kecerdasan sosialnya baik tidak mudah terpengaruh dengan orang lain.
        5. Mempunyai hati nurani sosial. Mempunyai hati nurani sosial dalam arti dia peka dalam merasakan problematika yang berkembang pada lingkungan sosial. Orang yang berdialog dengan hati nuraninya, dalam berperilaku selalu berupaya membawa kemaslahatan dan kesejahteraan pada lingkungan sosialnya.
        6. Berpikir, berbicara, dan bertindak secara sistemik. Orang yang kecerdasan sosialnya baik akan mngemukakan secara rasional dan runtut mengenai buah pikirannya pada orang lain. Dia akan berbicara pada orang lain untuk menyampaikan gagasannya dengan gaya penyampaian yang mudah dipahami oleh orang lain.
        7. Menunjukkan rasa ingin tahu. Orang yang memiliki kompetensi dan kecerdasan sosial dalam dirinya ada motivasi yang tinggi untuk mendapat khazanah pengetahuan baru. Dia tidak puas dengan ilmu yang sudah dimilikinya, dia terus mencari pengetahuan.
        8. Tidak membuat penilaian tergesa-gesa. Orang yang memiliki kompetensi dan kecerdasan sosial tidak gegabah dalam melakukan penilaian. Bila mengevaluasi peristiwa sebagai dasar menyikapi kejadian untuk ambil suatu tindakan, dia akan memikirkannya secara mendalam. Langkah yang ditempuh ini guna menghindari penyimpangan dalam membuat penilaian.
        9. Membuat penilaian secara obyektif. Orang yang mempunyai kompetensi dan kecerdasan sosial tidak akan melakukan penilaian secara subyektif, dia akan menilai secara obyektif.
        10. Peka terhadap kebutuhan dan hasrat orang lain. Kemampuan ini menjadi bekal bagi seseorang untuk mempertahankan hubungan dengan orang-orang dalam suatu komunitas.
        11. Menunjukkan perhatian segera terhadap lingkungan Apabila lingkungan butuh pertolongan, dia akan segera memberikan bantuan sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya. Dia bersedia meluangkan waktu untuk membantu masyarakat.
      4. Kompetensi Profesional
        Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.
        Guru sebagai pekerjaan profesional maka syarat pokok pekerjaan profesional menurut Wina Sanjaya (2005:142-143) adalah (1) Pekerjaan profesional ditunjang oleh suatu ilmu tertentu secara mendalam yang hanya mungkin didapatkan dari lembaga pendidikan yang sesuai, sehingga kinerjanya didasarkan kepada keilmuan yang dimilikinya yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah; (2) Suatu profesi menekankan kepada suatu keahlian dalm bidang tertentu yang spesifik sesuai dengan jenis profesinya, sehingga antara profesi yang satu dengan yang lainnya dapat dipisahkan secara tegas; (3) Tingkat kemampuan dan keahlian suatu profesi didasarkan kepada latar belakang pendidikan yang dialaminya yang diakui oleh masyarakat, sehingga semakin tinggi latar belakang pendidikan akademik sesuai dengan profesinya, semakin tinggi pula tingkat keahliannya dengan demikian semakin tinggi pula tingkat penghargaan yang diterimanya; (4) Suatu profesi selain dibutuhkan oleh masyarakat juga memiliki dampak terhadap sosial kemasyarakatan, sehingga masyarakat memiliki kepekaan yang sangat tinggi terhadap efek yang ditimbulkan dari pekerjaan profesinya. Sebagai suatu profesi, kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu kompetensi pribadi, kompetensi profesional dan kompetensi sosial kemasyarakatan.
        Kompetensi profesional merupakan kompetensi yang harus dikuasai guru dalam kaitannya dengan pelaksanaan tugas utamanya mengajar. Sementara itu dalam Standar Nasional Pendidikan, penjelasan pasal 28 ayat 3 butir c, dikemuakakan bahwa yang dimaksud dengan kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan.
        Menurut E. Mulyasa (2007: 135) bahwa secara umum, ruang lingkup kompetensi profesional guru adalah sebagai berikut:
        1. Menerapkan landasan kependidikan baik filosofi, psikologis, sosiologis dan sebagainya.
        2. Dapat menerapkan teori belajar sesuai taraf perkembangan siswa.
        3. Mengembangkan bidang studi yang menjadi tanggung jawabnya.
        4. Dapat menerapkan metode pembelajaran yang bervariasi.
        5. Mampu menggunakan berbagai alat, media dan sumber belajar yang relevan.
        6. Mampu mengorganisasikan dan melaksanakan program pembelajaran.
        7. Mampu melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
        8. Mampu menumbuhkan kepribadian siswa.
        Pembinaan dan pengembangan profesi guru bertujuan untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah. Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan tercapai, sebagaimana dalam Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah pada bab VI Pasal 16 ayat 4 adalah meliputi:
        1. penguasaan materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung mata pelajaran pendidikan agama;
        2. penguasaan standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran pendidikan agama;
        3. pengembangan materi pembelajaran mata pelajaran pendidikan agama secara kreatif;
        4. pengembangan profesionalitas secara berkelanjutan dengan melakukan tindakan reflektif; dan
        5. pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi untuk berkomunikasi dan mengembangkan diri.

 
  1. Pentingnya Supervisi Terhadap Guru PAI
    Peranan adalah aspek dinamis yang melekat pada posisi atau status seseorang di dalam suatu organisasi. Peranan pengawas dapat dilihat dari tugas yang dikerjakannya. Suatu tugas yang dilaksanakan memberi status dan fungsi pada seseorang. Dalam berfungsi nampaknya bagi seorang pengawas terlihat jelas peranannya. Sesuai dengan pengertian dari supervisi maka peranan pengawas ialah membantu dan memberi suport kepada guru-guru dalam melaksanankan tugas dan tanggung jawab yang diberikan. Peranan pengawas dalam hal ini adalah menciptakan suasana yang bisa membuat guru-guru merasa aman dan bebas dalam mengembangkan potensi dan daya kreasi mereka dengan penuh tanggung jawab. Suasana yang demikian hanya dapat terjadi apabila seorang pengawas menganut faham demokrasi. Kebanyakan guru-guru seolah-olah mengalami tanpa inisiatif dan daya kreatif karena pengawas dalam berinteraksi dan interelasi human relation yang dikembangkan seorang pengawas bersifat mematikan kemungkinan-kemungkinan perkembangan profesi guru-guru.
    Peranan sebagai pemantau adalah mengawasi kegiatan belajar mengajar, Peranan sebagai supervisor adalah kegiatan melaksanakan supervisi yang meliputi supervisi akademik dan supervisi manajerial. Peranan sebagai pengevaluasi/evaluator pelaporan adalah kegiatan pengendalian, penjaminan, dan penetapan mutu pendidikan terhadap berbagai komponen pendidikan pada setiap jalur, jenjang,dan jenis pendidikan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan. Jadi yang menjadi peranan utamanya adalah mengkaji, menilai, memperbaiki, meningkatkan, dan mengembangkan mutu proses pembelajaran yang dilakukan bersama dengan guru (perorangan atau kelompok) melalui pendekatan dialog, bimbingan, nasihat dan konsultasi dalam nuansa kemitraan yang profesional.
    Menurut Zainal Aqib (2009: 50) peranan pengawas pendidikan, berlaku pula untuk pengawas pendidikan agama Islam, antara lain: supervisor/mensupervisi, evaluator/menilai, counselor/menyuluh, motivator/memotifasi, konsultan/ menasehati. Dilihat dari sifat kerjanya ada empat jenis peranan pengawas pendidikan yaitu pengawasan yang bersifat korektif, pengawasan yang bersifat preventif, pengawasan yang bersifat konstruktif dan pengawasan yang bersifat kreatif (Sahertian, 1981: 32).

 
  1. Kerangka Berpikir
    Masalah pokok pendidikan kita dewasa ini adalah peningkatan mutu pada setiap jenis, jenjang dan jalur pendidikian. Oleh sebab itu, pemerintah menetapkan delapan standar nasional pendidikan yakni: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan (PP. No. 19 Tahun 2005). Standar nasional pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, pada hakekatnya menjadi arah dan tujuan penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain, standar nasional pendidikan harus menjadi acuan sekaligus kriteria dalam menetapkan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
    Supervisi/pengawas merupakan kegiatan untuk membantu dan melayani guru agar mereka dapat melaksanakan tugas kegiatannya dengan baik. Supervisi ini dilakukan oleh pejabat pengawas sekolah yang bertugas untuk melakukan pengawasan terhadap guru di sekolah/madrasah. Begitu pula dengan tugas guru PAI yang tidak dapat meninggalkan peran pengawas agar tugas sebagai guru atau pendidik dapat tercapai sesuai dengan tujuan kegiatan belajar mengajar.
    Pengawas bertugas membina, membimbing, menilai, membantu dan mengawasi proses pendidikan agar berjalan dengan baik dan dapat meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Sukoharjo, khususnya mata pelajaran Pendidikan Agama Islam.
    Piet A. Sahertian dan Frans Mataheru (1982: 31) berpendapat bahwa, peranan supervisor ialah memberikan support (supporting), membantu (assisting), dan mengikutsertakan (sharing). Artinya memberikan support berarti seorang supervisor dengan segala kemampuan memberikan kiat-kiat yang menjadi dorongan (motivasi) kepada sesorang agar mau berbuat sesuatu, memberikan bantuan berarti pengetahuan, pengalaman, ide, atau ketrampilan yang dimiliki supervisor mampu mengarahkan, menuntun, membina maupun membimbing sesorang untuk bisa berbuat sendiri, sedangkan mengikut sertakan berarti supervisor turut serta terlibat langsung dalam menyelesaikan sesuatu. Sehingga memang peranan seorang supervisor ialah menciptakan suasana sedemikia rupa sehingga guru-guru merasa aman dan bebas dalam mengembangkan potensi dan daya kreasi mereka dengan penuh tanggungjawab. Guru harus dapat menjadikan diri sebagai orang tua kedua di sekolah. Ia mampu menarik simpati, sehingga menjadi idola para siswanya. Pelajaran apapun yang diberikan hendaknya dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar. Jika seorang guru dalam penampilannya sudah tidak menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak akan dapat menanamkan benih pengajarannya itu kepada para siswanya.
    Ki Hajar Dewantara berpendapat bahwa pengajaran itu adalah sebagian dari pendidikan. Jelasnya, pengajaran tidak lain dan tidak bukan ialah pendidikan dengan cara memberikan ilmu atau pengetahuan serta kecakapan (Ahmad Tafsir, 2003: 7). Kemudian Driyarkara mengatakan bahwa pendidikan itu adalah memanusiakan manusia muda atau pengangkatan manusia muda ke taraf pendidikan. (Nanang Fattah, 2003: 5)
    Crow and Crow dalam Fuad Ihsan (2007: 4) diungkapkan bahwa, pendidikan adalah proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk kehidupan sosialnya dan membantu meneruskan adat dan budaya serta kelembagaan sosial dari generasi ke generasi. Di sisi lain, Crow and Crow mengungkapkan bahwa pendidikan adalah tidak hanya dipandang sebagai sarana untuk persiapan hidup yang akan datang, tetapi juga untuk kehidupan sekarang yang dialami individu dalam perkembangannya menuju ke tingkat kedewasaannya. (Nanang Fattah, 2003: 5)
    Oleh karena itu dalam upaya peningkatan tujuan supervisor (pengawas) memiliki kewenangan untuk secara langsung ke lapangan untuk menangani proses pendidikan yang sedang berlangsung. Supervisor perlu memiliki kualitas yang memadai agar dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. M. Ngalim Purwanto (1992: 78), menyatakan bahwa ciri-ciri supervisor yang baik adalah berpengetahuan luas tentang seluk beluk semua pekerjaan yang berada dibawah pengawasannya, memahami benar tentang rencana dan program kegiatan, berwibawa dan memiliki kecakapan praktis, memiliki sifat jujur dan konsekuen, dan berkemauan keras.
    Dengan kemampuan atau kompetensi yang dimiliki Pengawas pendidikan Agama Islam (PPAI) melakukan kepengawasan dalam arti supervisi terhadap Guru Pendidikan Agama Islam (GPAI) dalam bentuk: pembinaan, bimbingan/bantuan, pemeriksaan dan penilaian. Pengawasan atau supervisi yang dilakukan oleh PPAI terhadap GPAI mencakup 4 kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional.
    Secara skematis kerangka pemikiran ini dapat digambarkan sebagai berikut:

     

     

     

     

     

     
  2. Telaah Pustaka
    Supervisi pendidikan pada umumnya dan peran pengawas pendidikan agama Islam (PPAI) pada khususnya, memegang peranan yang penting baik dalam peningkatan mutu pembelajaran pendidikan agama Islam (PAI) maupun peningkatan mutu kinerja guru PAI. Berikut peneliti deskripsikan secara singkat beberapa penelitian yang relevan sepanjang peneliti temukan/ketahui, diantaranya:
    1. Hasil penelitian Murhan Zuhri (2001) dalam tesisnya yang berjudul Kinerja Pengawas Sekolah Mata Pelajaran PAI pada Sekolah Umum di Kota Malang. Tesis ini mengungkapkan tentang kinerja pengawas PAI dan hal-hal yang mempengaruhi kinerja pengawas PAI, dan juga mengungkapkan strategi dalam meningkatkan kinerja pengawas di Kota Malang.
    2. Hasil penelitian D. Santosa HS (2004) dalam tesisnya tentang implementasi keputusan Menpan Nomor 118/1996 dalam pengembangan sikap profesional pengawas sekolah tentang kajian deskriptif pelaksanaan kepengawasan sekolah di sekolah dasar negeri di Kota Malang. Dalam tesis ini dipaparkan tentang kondisi rekrutmen pengawas sekolah, pelaksanaan kepengawasan di sekolah, kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan kepengawasan di sekolah dasar, dan persepsi guru terhadap pengawas sekolah.
    3. Hasil penelitian dari Nono Mulyono (2008) dalam disertasinya yang menyatakan bahwa ada beberapa hal yang berpengaruh pada mutu kinerja guru yakni supervisi pengawas sekolah, supervisi kepala sekolah, budaya sekolah, dan kepuasan kerja guru. Hasil temuan dalam riset yang dilakukannya adalah bahwa supervisi pengawas sekolah dan supervisi kepala sekolah yang memperhatikan budaya sekolah lebih besar pengaruhnya terhadap upaya peningkatan mutu kinerja guru dibandingkan dengan supervisi pengawas sekolah dan kepala sekolah berdasarkan kepuasan kerja guru.
    4. Hasil penelitian dari Desti Irja (2008) yang mengungkapkan hubungan antara motivasi kerja dengan efektivitas kerja pengawas sekolah di Kota Pekanbaru. Di dalam kesimpulan penelitiannya itu, Irja menyatakan bahwa motivasi kerja berhubungan positif dengan kinerja pengawas atau efektivitas kerja pengawas sekolah. Namun demikian faktor motivasi kerja saja tidak cukup untuk meningkatkan kinerja pengawas sekolah, tapi faktor pendidikan, ketrampilan, dan kepemimpinan organisasi perlu juga diperhatikan.
    5. Hasil penelitian dari Rensta Adaski (2010) yang mengangkat tema peranan pengawas sekolah dalam pelaksanaan supervisi. Di dalam kesimpulan penelitiannya, dinyatakan bahwa Kementerian Pendidikan Nasional hendaknya memprogramkan peningkatan mutu dan profesionalisme pengawas sekolah secara sistematis dan berkelanjutan. Untuk lebih memotivasi pengawas dalam meningkatkan profesionalismenya, pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada pengawas sekolah melalui pemilihan pengawas berprestasi di seluruh Indonesia.
    Peneliti berpendapat bahwa belum ada sebuah riset atau penelitian lain, semacam skripsi dan tesis yang memotret supervisi pengawas PAI terhadap 4 jenis kompetensi guru dalam rangka peningkatan mutu guru PAI. Sebagaimana posisi guru PAI terhadap guru-guru lain bahwa peranan guru PAI sangat penting karena berkaitan dengan pendidikan akhlaq ataupun pembentukan karakter anak didik melalui PAI, maka peningkatan kompetensi guru PAI adalah sebuah keniscayaan dan keharusan, sehingga peranan pengawas PAI tidak dapat diabaikan.

 

 

 

 

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

 
  1. Metode Penelitian
    Setiap kegiatan penelitian sejak awal sudah harus ditentukan dengan jelas pendekatan/desain penelitian apa yang akan diterapkan, hal ini dimaksudkan agar penelitian tersebut dapat benar-benar mempunyai landasan kokoh dilihat dari sudut metodologi penelitian, disamping pemahaman hasil penelitian yang akan lebih proporsional apabila pembaca mengetahui pendekatan yang diterapkan.
    Obyek dan masalah penelitian memang mempengaruhi pertimbangan-pertimbangan mengenai pendekatan, desain ataupun metode penelitian yang akan diterapkan. Tidak semua obyek dan masalah penelitian bisa didekati dengan pendekatan tunggal, sehingga diperlukan pemahaman pendekatan lain yang berbeda agar begitu obyek dan masalah yang akan diteliti tidak pas atau kurang sempurna dengan satu pendekatan maka pendekatan lain dapat digunakan, atau bahkan mungkin menggabungkannya.
    Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positifistik (penelitian kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan justru dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing, sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan memperhatikan obyek penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah ditetapkan.
    Dalam penelitian ini digunakan metode penelitian kualitatif yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa tulisan atau ucapan, kata-kata, dan perilaku yang dapat diamati oleh peneliti. Data yang terkumpul berbentuk kata-kata atau gambar yang meliputi transkrip wawancara, catatan lapangan, foto, rekaman audio, dokumen pribadi, memo dan catatan atau dokumen lainnya yang mendukung penelitian. Dalam usaha memperoleh pemahaman, maka peneliti tidak mereduksi narasi dan data lain menjadi lambang angka dan berusaha menganalisis data yang ada dengan segala kekayaan maknanya sedekat mungkin dengan kenyataan.
    Namun demikian bukan berarti bahwa penelitian ini mendeskripsikan keadaan atau fenomena sekedar laporan kejadian tanpa suatu intepretasi ilmiah. Penelitian ini, seperti yang diungkapkan oleh Bogdan and Biklen dalam Satori (2009: 27-32) memiliki karakteristik, yang secara ringkas antara lain :
    1. Penelitian kualitatif memiliki latar (setting) alamiah (natural) dengan sumber data langsung dari informannya, dan instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri. Pengumpulan data dengan penyebaran angket akan menjurus pada reduksi data pada angka-angka dan statistik. Sementara data tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial dan konteks pada saat pengambilan data. Oleh karena itu, pada penelitian ini, penggalian data dilaksanakan pada suasana yang alami, berjalan apa adanya sehingga bisa ditangkap konteks dan bahkan gestures secara langsung dari para sumber informasi. Dan dengan demikian pula maka, peneliti bertindak sebagai alat atau instrumen dalam hal memaknai segala sesuatu yang ditampilkan dan diucapkan oleh informan.
    2. Penelitian bersifat deskriptif, yang berarti narasi yang dihasilkan menggambarkan apa, mengapa dan bagaimana suatu fenomena itu terjadi.
    3. Penelitian ini menjadikan fokus penelitian sebagai batas dari pembahasan. Fokus penelitian kemudian dipecah lagi menjadi unit analisis, kategori, dan sub kategori yang dapat dijadikan patokan peneliti dalam mencari, menggali dan menganalisis data.
    4. Desain awal penelitian ini bersifat tentatif dan verifikatif artinya desain bisa berubah sesuai dengan temuan data di lapangan.
    5. Penelitian kualitatif ini menggunakan kriteria khusus untuk ukuran keabsahan data.

 
  1. Pengumpulan Data Penelitian
    Pengumpulan data merupakan salah satu tahapan sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan data yang benar akan menghasilkan data yang memiliki kredibilitas tinggi, dan sebaliknya. Oleh karena itu, tahap ini tidak boleh salah dan harus dilakukan dengan cermat sesuai prosedur dan ciri-ciri penelitian kualitatif (sebagaimana telah dibahas pada materi sebelumnya). Sebab, kesalahan atau ketidaksempurnaan dalam metode pengumpulan data akan berakibat fatal, yakni berupa data yang tidak credible, sehingga hasil penelitiannya tidak bisa dipertanggungjawabkan. Hasil penelitian demikian sangat berbahaya, lebih-lebih jika dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil kebijakan publik.
    Penggunaan istilah "data" sebenarnya meminjam istilah yang lazim dipakai dalam metode penelitian kuantitatif yang biasanya berupa tabel angka. Namun, di dalam metode penelitian kualitatif yang dimaksudkan dengan data adalah segala informasi baik lisan maupun tulis, bahkan bisa berupa gambar atau foto, yang berkontribusi untuk menjawab masalah penelitian sebagaimana dinyatakan di dalam rumusan masalah atau fokus penelitian.
    Pengumpulan data merupakan kegiatan yang terpenting dalam penelitian. Menyusun instrumen memang pekerjaan penting di dalam langkah penelitian, tetapi mengumpulkan data jauh lebih penting lagi, terutama jika peneliti menggunakan metode yang rawan terhadap masuknya unsur subjektif peneliti. Itulah sebabnya menyusun instrumen pengumpulan data harus ditangani secara serius agar diperoleh hasil yang sesuai dengan kegunaannya yaitu pengumpulan data yang tepat.
    Pengumpulan data dalam penelitian perlu dipantau agar data yang diperoleh dapat terjaga tingkat validitas dan reliabilitasnya. Walaupun telah menggunakan instrumen yang valid dan reliabel tetapi jika dalam proses penelitian tidak diperhatikan bisa jadi data yang terkumpul hanya onggokkan sampah. Peneliti yang memiliki jawaban responden sesuai keinginannya akan semakin tidak reliabel. Petugas pengumpulan data yang mudah dipengaruhi oleh keinginan pribadinya, akan semakin condong (bias) data yang terkumpul. Oleh karena itu, pengumpul data walaupun tampaknya hanya sekedar pengumpul data tetapi harus tetap memenuhi persyaratan tertentu yaitu yang mempunyai keahlian yang cukup untuk melakukannya.
    Mengumpulkan data memang pekerjaan yang melelahkan dan sulit. Dalam penelitian sosial, bisa jadi petugas pengumpul data berjalan dari sekolah ke sekolah dan atau dari rumah ke rumah mengadakan interviu atau membagi angket. Suatu saat terkadang sangat mudah menemukan responden tetapi pada saat yang lain sangat sulit sehingga menimbulkan keputus asaan. Karena itu terkadang pekerjaan pengumpul data seperti sering diberikan kepada pembantu-pembantu peneliti yunior, sedangkan para senior cukup membuat desain, menyusun instrumen, mengolah data, dan mengambil kesimpulan.
    Data yang diungkap dalam penelitian dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu fakta, pendapat, dan kemampuan. Untuk mengukur ada atau tidaknya atau besar kecilnya kemampuan objek yang diteliti, seringkali menggunakan tes. Perlu kita ketahui, pelaksanaan tes bukan hanya untuk mengukur kemampuan manusia tetapi tes dapat juga dilakukan untuk mengukur kemampuan mesin atau perlengkapan lainnya. juga. Bahkan seekor binatang seperti anjing pelajar perlu juga dites. Dari tes akan diketahui ada yang memiliki kemampuan yang rendah dan ada pula yang tinggi.
  • Teknik Penentuan Informan
    Untuk mendapatkan data, peneliti membutuhkan data dari informan, yang menurut Koentjaraningrat (1991: 130) adalah orang yang diwawancarai untuk mendapatkan keterangan tentang suatu hal yang dia kuasai atau ketahui sepenuhnya. Oleh karena itu, untuk memilih informan yang baik, peneliti mendasarkan pada kriteria yang dikemukakan Spradley (1997 : 61 – 70) yaitu:
  1. Enkulturasi penuh
    Nama lain dari informan adalah orang yang tahu benar tentang budaya setempat. Dalam konteks penelitian ini adalah orang yang mengetahui secara mendalam tentang kepengawasan yang sebagai profesinya atau ahli dibidangnya. Informan ini adalah kepala sekolah dan guru PAI.
  2. Keterlibatan langsung
    Ketika orang terlibat dalam suasana budaya, mereka menggunakan pengetahuan mereka untuk membimbing tindakannya. Mereka meninjau hal- hal yang mereka ketahui; mereka membuat beberapa interpretasi mengenai berbagai kejadian baru; mereka menerapkannya setiap hari. Maksudnya adalah informan dalam penelitian merupakan orang yang tinggal atau berada di lokasi penelitian dan masih menjalankan profesi kepengawasannya. Informan ini adalah kepala sekolah dan pengawas PAI.
  3. Waktu yang cukup
    Dalam mempertimbangkan calon informan, maka prioritas yang tertinggi harus diberikan kepada seseorang yang mempunyai cukup waktu untuk penelitian itu.
  • Teknik Pengumpulan Data
    Dalam penelitian kualitatif usaha yang dilakukan peneliti adalah untuk mendapatkan gambaran yang holistik tentang suatu fakta atau fenomena. Dalam rangka mendapatkan gambaran yang menyeluruh itu peneliti akan mengumpulkan data dengan proses sebagai berikut:
  1. Wawancara
    Wawancara bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kepengawasan yang akan dijadikan obyek penelitian. Wawancara adalah kegiatan bertanya pada "obyek penelitan" tentang suatu pokok permasalahan yang sangat dia pahami yang juga menjadi tema dari penelitian. Agar wawancara bisa menghasilkan data yang sesuai dengan tema penelitian dan agar wawancara tidak berlangsung tanpa arah yang jelas, dalam penelitian kualitatif digunakan alat bantu yaitu pedoman wawancara.
    Di dalam pedoman wawancara berisi daftar pertanyaan yang detail untuk menggali lebih luas dan mendalam tentang suatu hal yang sesuai dengan apa yang dinyatakan dalam tema penelitian. Namun demikian pedoman wawancara bukanlah sebuah harga mati yang selalu digunakan selama proses penggalian data dilaksanakan. Pedoman ini bersifat elastis dan bisaberubah disesuaikan dengan kebutuhan data, karakteristik informan, dan kenyataan di lapangan lainnya yang tidak menentu dan tidak diketahui peneliti sebelumnya.
    Teknik bertanya dalam wawancara ini adalah teknik wawancara tak terencana (unstandardized interview) dengan mendasarkan diri pada metode wawancara yang berstruktur (structured interview). Maksudnya adalah wawancara yang diberikan pada informan tidak dilakukan sesuai benar dengan daftar pertanyaan dengan urutan dan susunan kata-kata yang tetap. Daftar pertanyaan itu dikembangkan lebih lanjut oleh peneliti dengan bahasa sendiri yang tidak kaku, bisa diterima dengan baik oleh informan sedemikian rupa sehingga sang informan tidak merasa kalau sedang diwawancarai.
    Wawancara bisa berjalan efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni: (1). mengenalkan diri, (2). menjelaskan maksud kedatangan, (3). menjelaskan materi wawancara, (4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010: 358).
    Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana diharapkan peneliti, maka berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan terdapat beberapa kiat sebagai berikut: (1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang, (2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan, (3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, (4). bersikap hormat dan ramah terhadap informan, (5). tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, (6). tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan masalah/tema penelitian, (7). tidak bersifat menggurui terhadap informan, (8). tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, (9). sebaiknya dilakukan secara sendiri, (10) ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap.
    Sebelum seorang peneliti melakukan wawancara, maka ada beberapa hal mengenai persipan sebelum wawancara yakni :
    1. Seleksi orang yang akan diwawancarai
    2. Pendekatan terhadap orang yang akan diwawancarai
    3. Pengembangan suasana lancar dan wajar dalam wawancara.
    Cara memilih dan menentukan informan dalam suatu penelitian adalah memilih orang yang mempunyai keahlian tentang pokok wawancara. Sedangkan responden secara sederhana adalah orang yang kita tanya tentang respon yang bersangkutan terhadap suatu pertanyaan atau masalah yang kita sodorkan. Dari seorang responden kita akan dapatkan keterangan tentang diri pribadi, pendirian atau pandangan, biasanya untuk kepentingan komparatif atau bahwa keterangan yang didapat nantinya mempunyi implikasi pada skoring. Cara pemilihan dan penentuan responden ini berdasarkan pada asas keterwakilan atau reperesentatifitas.
    Metode ini untuk memperoleh data-data tentang kegiatan pengawas PAI khususnya dalam peningkatan kompetensi guru, termasuk faktor pendukung dan penghambat peningkatan mutu kompetensi. Wawancara kepada kepala sekolah untuk memperoleh data tentang keterkaitan pengawas PAI terhadap peningkatan kompetensi guru. Dan wawancara kepada gru PAI untuk memperoleh data tentang efektifitas atau hubungan kerja antara guru PAI dan pengawas.
  2. Observasi dan pengamatan
    Observasi atau pengamatan menurut Moleong (1989 : 137-138) mampu mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasaan. Pengamatan juga memungkinkan peneliti untuk melihat "dunia" sebagaimana yang dilihat oleh subyek penelitian, menangkap arti fenomena dari segi pengertian subyek, dan menangkap kehidupan budaya setempat dari pandangan dan anutan para subyek pada waktu itu. Dalam pelaksanaan observasi, sudah tentu alat utama peneliti adalah indra visual beserta pedoman observasi yang disesuaikan dengan tema penelitian, dan juga didukung oleh kemampuan intrepretasi peneliti terhadap hasil "tangkapan" di lapangan.
    Kemudian dalam rangka pembuktian secara otentik dan pertanggungjawaban ilmiah dalam pelaporan hasil penelitian digunakan pula alat bantu dokumentasi seperti kamera dan alat perekam suara.
    Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
    Bungin (2007: 115-117) mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu:
    1. Observasi partisipasi. Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
    2. Observasi tidak terstruktur. Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
    3. Observasi kelompok. Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian.
    Observasi digunakan untuk memperoleh data yang berkaitan dengan fakta di lingkungan sekolah yakni aktifitas guru PAI dan kunjungan pengawas PAI di sekolah binaannya atau di foruk-forum MGMP PAI, sehingga akan diketahui intensitas pembinaannya.
  3. Dokumentasi
    Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
    Dokumen yang dimaksud adalah penggunaan data berupa tulisan dan catatan resmi, arsip-arsip, statistik, dan tabel yang telah ada dan dikumpulkan oleh pihak lain pada saat penelitan berlangsung. Sumber data ini tersedia dan diperoleh dari dokumentasi baik dari pihak sekolah maupun pengawas PAI. Sumber data yang dimaksud dalam penelitian ini terutama berkaitan dengan data tentang tenaga dan aktifitas kepengawasan di lingkungan dinas pendidikan setempat.

     
  1. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data
    Keabsahan atau keshahihan data mutlak diperlukan dalam penelitian jenis kualitatif ini. Untuk menetapkan keabsahan (trustworthiness) data diperlukan teknik pemeriksaan. Pelaksanaan teknik pemeriksaan didasarkan atas sejumlah kriteria tertentu. Menurut Moleong ada empat kriteria yang digunakan, yaitu derajat kepercayaan (credability), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability). (Lexy J. Moleong, 2010: 3)
    1. Derajat kepercayaan (credability)
      Kredibilitas data digunakan dalam penelitian ini untuk membuktikan kesesuaian antara hasil pengamatan dengan kenyataan di lapangan. Apakah data atau informasi yang diperoleh sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi di lapangan?
      Untuk memperoleh kredibilitas data, peneliti mengacu kepada rekomendasi Lexy J. Moleong yang memberikan tujuh tehnik untuk pencapaian kredibilitas data yaitu : (1) perpanjangan keikut-sertaan, (2) ketekunan pengamatan, (3) Triangulasi, (4) pengecekan sejawat, (5) kecukupan refrensial, (6) kajian kasus negatif, dan (7) pengecekan anggota. Dari ketujuh tehnik pencapaian kredibilitas tersebut peneliti memilih langkah-langkah sebagai berikut:
      1. Perpanjangan keikutsertaan
        Keikutsertaan peneliti sangat menentukan dalam pengumpulan data. Keikutsertaan tersebut tidak hanya dilakukan dalam waktu singkat, tetapi memerlukan perpanjangan keikutsertaan pada latar penelitian (Moleong, 2010: 327). Dengan melakukan perpanjangan keikutsertaan peneliti pada latar penelitian diharapkan data yang telah diperoleh dapat diuji kebenarannya. Selain itu, dengan perpanjangan keikutsertaan dalam latar penelitian ini juga dimaksudkan untuk membangun kepercayaan para subjek terhadap peneliti dan juga kepercayaan peneliti sendiri (Moleong, 2010: 329).
      2. Ketekunan/keajegan pengamatan
        Keajegan pengamatan berarti mencari secara konsisten interpretasi dengan berbagai cara dalam kaitan dengan proses analisis yang konstan atau tentatif. Mencari suatu usaha membatasi berbagai pengaruh. Mencari apa yang dapat diperhitungkan dan apa yang tidak dapat diperhitungkan. Ketekunan pengamatan bermaksud menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang dicari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci. Dengan kata lain,peneliti mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan terhadap faktor-faktor yang menonjol, kemudian faktor-faktor tersebut ditelaah secara rinci sampai pada suatu titik sehingga pada pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau seluruh faktor yang ditelaah sudah dipahami dengan cara yang biasa.
      3. Triangulasi
        Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2010: 330). Dalam penelitian ini triangulasi dilakukan dengan menggunakan:
        1. Triangulasi dengan sumber
          Triangulasi dengan sumber, berarti membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperolah melalui waktu dan alat yang berbeda dalam penelitian kualitatif (Patton dalam Lexy J. Moleong, 2010: 330). Dalam triangulasi dengan sumber ini, peneliti melakukan beberapa hal:
          1. Peneliti membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara,
          2. Peneliti membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakannya secara pribadi,
          3. Peneliti membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu,
          4. Peneliti membandingkan keadaan dan prespektif seseorang dengan berbagai pendapat dan pandangan orang seperti rakyat biasa, orang yang berpendidikan menengah atau tinggi, orang berada, orang pemerintahan,
          5. Peneliti membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
        2. Triangulasi metode
          Yang dimaksud dengan triangulasi metode ialah jika informan atau data yang berasal dari hasil wawancara misalnya, perlu diuji dengan hasil observasi dan seterusnya (Hamidi, 2004: 83).
          Terdapat dua strategi dalam triangulasi metode ini, yaitu :
          1. Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian beberapa teknik pengumpulan data,
          2. Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan metode yang sama.
        3. Triangulasi teori
          Triangulasi teori yaitu penggunaan sudut pandang ganda atau teori lain dalam menafsirkan seperangkat tunggal data.
        4. Triangulasi metodologis
          Triangulasi metodologis yaitu penggunaan metode ganda untuk mengkaji masalah atau program tunggal, seperti wawancara, pengamatan, daftar pertanyaan terstruktur,dan dokumen.
      4. Pengecekan sejawat
        Teknik ini digunakan dengan cara mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi dengan rekan-rekan sejawat. Teknik ini mengandung beberapa maksud sebagai salah satu tekhnik pemeriksaan keabsahan data:
        1. Untuk membuat agar peneliti tetap mempertahankan sikap terbuka dan kejujuran,
        2. Diskusi dengan sejawat ini memberikan suatu kesempatan awal yang baik untuk mulai menjajaki dan menguji hipotesis kerja yang muncul dari pemikiran peneliti.
      5. Pengecekan anggota
        Dalam hal ini peneliti berusaha melibatkan informan untuk mengecek keabsahan data untuk mengkonfirmasikan antara interpretasi peneliti dengan subjek penelitian. Dalam pengecekan anggota ini tidak diberlakukan kepada semua subjek atau informan, tetapi kepada mereka yang dianggap dapat mewakili semua informan.
    2. Keteralihan (transferability)
      Keteralihan sebagai persoalan empiris bergantung pada kesamaan antara konteks pengirim dan penerima. Untuk melakukan pengalihan tersebut dalam penelitian ini, peneliti mencari dan mengumpulkan kejadian empiris tentang kesamaan konteks.
      Keteralihan (transferability) berfungsi untuk membangun keteralihan dalam penelitian ini yang dilakukan dengan cara uraian rinci untuk menjawab sejauh mana hasil penelitian dapat ditransfer pada beberapa konteks lain. Dengan tekhnik ini peneliti akan melaporkan penelitian dengan teliti dan cermat yang menggambarkan konteks tempat penelitian diselenggarakan dengan mengacu pada fokus penelitian.
    3. Kebergantungan (dependability)
      Kebergantungan (dependability) berfungsi untuk menghindari kesalahan dalam memformulasikan hasil penelitian, maka kumpulan dan interpretasi data yang ditulis dikonsultasikan dengan berbagai pihak untuk ikut memeriksa proses penelitian yang dilakukan peneliti, agar temuan penelitian dapat pertahankan (dependable) dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Mereka yang ikut memeriksa adalah dosen pembimbing pada penelitian ini
    4. Kepastian (confirmability)
      Konfirmabilitas dalam penelitian ini dilakukan bersamaan dengan dependabilitas, perbedaannya terletak pada orientasi penilaiannya. Konfirmabilitas digunakan untuk menilai hasil (produk) penelitian, terutama yang berkaitan dengan deskripsi temuan penelitian dan diskusi hasil penelitian. Sedang dependabilitas digunakan untuk menilai proses penelitian, mulai pengumpulan data sampai pada bentuk laporan yang terstruktur dengan penelitian memenuhi standar penelitian kualitatif, yaitu truth value, applicability, consistency dan neutrality.
      Kriteria ini digunakan untuk menilai hasil penelitian yang dilakukan dengan cara mengecek data, informasi dan interpretasi hasil penelitian yang didukung oleh materi yang ada pada pelacakan uadit (audit trail).
    Dalam penelitian ini, keajegan mengacu pada kemungkinan peneliti selanjutnya memeperoleh hasil yang sama apabila penelitian dilakukan sekali lagi dengan subjek yang sama. Hal ini menujukan bahwa konsep keajegan penelitian kualitatif selain menekankan pada desain penelitian, juga pada cara pengumpulan data dan pengolahan data.
    Menurut Satori (2009:126) suatu penelitian harus mengandung nilai terpercaya dan peneliti harus dapat mempertanggungjawabkan kebenaran hasil penelitiannya secara ilmiah kepada khalayak. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan beberapa cara dalam mempertanggungjawabkan keabsahan data yakni:
    1. Perpanjangan keikutsertaan, yaitu rentang waktu yang cukup ketika terjun ke lapangan atau lokasi penelitian. Waktu yang cukup terutama berguna untuk mendeteksi dan memperhitungkan distorsi yang kemungkinan dapat mengotori data atau bahkan mengaburkan dan membelokkan data dan fakta yang ada di lapangan. Selain itu, rentang waktu yang cukup bertujuan untuk membangun kepercayaan para informan terhadap peneliti dan membangun kepercayaan diri peneliti sendiri.
    2. Ketekunan pengamatan, yaitu menemukan segala sesuatu baik itu ciri-ciri, unsur-unsur, kondisi, dan informasi yang relavan dengan fokus penelitian kemudian memfokuskan diri pada hal-hal itu secara lebih detail. Jadidengan demikian, apabila perpanjangan keikutsertaan menyediakan "wilayah" atau "arena" maka ketekunan pengamatan menyediakan "kedalaman" dari wilayah yang dieksplorasi.
    3. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan kebasahan data yang secara umum memakai prinsip check and recheck. Ada beberapa macam triangulasi dalam literatur penelitian kualitatif dan yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah triangulasi sumber dan triangulasi teknik. Triangulasi sumber atau triangulasi subyek adalah cara meningkatkan kepercayaan data penelitian dengan mencari data dari beragam sumber yang masih terkait satu sama lain atau setidaknya sumber tersebut mempunyai pengetahuan di bidang yang menjadi fokus penelitian. Sedangkan triangulasi teknik adalah pengecekan derajat kepercayaan penemuan data penelitian dengan beberapa teknik pengumpulan data misalnya membandingkan hasil wawancara dengan hasil observasi. Cara lain yang ditempuh misalnya membandingkan hasil wawancara di hadapan orang lain atau di tempat publik dengan wawancara secara individual dan suasana informal.

 
  1. Teknik Analisa Data
    Analisis data adalah upaya untuk mencari benang merah atau kaitan antara masalah penelitian dengan dasar teoritis. Dalam hal ini analisis data dilakukan secara berkelanjutan sepanjang proses penelitian, dimulai semenjak pengumpulan data dan dikerjakan secara intensif sesudah meninggalkan lapangan atau data telah tercukupi.
    Analisis data, menurut Paton (dalam Moleong, 1989: 112) adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar.
    Dalam pelaksanaannya, analisis data, pertama, dimulai dengan menelaah seluruh data yang telah terkumpul. Setelah dibaca, dipelajari, dan ditelaah, maka langkah selanjutnya, yaitu yang kedua, adalah mengadakan reduksi data. Reduksi data mengacau pada kegiatan seperti pemilihan, pemilahan, permfokusan, penyederhanaan, abstraksi, dan pentransformasian data mentah sehingga kemudian data yang disarikan memang sesuai dengan "jalur" yang dibatasi oleh fokus penelitian. Selain itu, data kualitatif direduksi dengan beberapa cara khusus antara lain dengan merangkum dan melakukan parafrase dan menjadikannya bagian dari suatu pola yang lebih besar. Langkah ketiga, adalah melakukan display data atau membuat suatu model bagi penarikan kesimpulan. Langkah keempat, adalah melakukan verifikasi kesimpulan dari semua kegiatan pengolahan data kualitatif seperti tersebut diatas (Emzir, 2010: 125, Moleong, 2010: 335).
    Marshall dan Rossman (dalam www.scribd.com/doc/34921187/BAB-III) mengajukan teknik analisa data kualitatif untuk proses analisis data dalam penelitian ini. Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan-tahapan yang perlu dilakukan diantaranya :
    1. Mengorganisasikan Data
      Peneliti mendapatkan data langsung dari subjek melalui wawancara mendalam (indepth inteviwer), dimana data tersebut direkam dengan tape recoeder dibantu alat tulis lainya. Kemudian dibuatkan transkipnya dengan mengubah hasil wawancara dari bentuk rekaman menjadi bentuk tertulis secara verbatim. Data yang telah didapat dibaca berulang-ulang agar penulis mengerti benar data atau hasil yang telah di dapatkan.
    2. Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema dan pola jawaban
      Pada tahap ini dibutuhkan pengertiaan yang mendalam terhadap data, perhatiaan yang penuh dan keterbukaan terhadap hal-hal yang muncul di luar apa yang ingin digali. Berdasarkan kerangka teori dan pedoman wawancara, peneliti menyusun sebuah kerangka awal analisis sebagai acuan dan pedoman dalam mekukan coding. Dengan pedoman ini, peneliti kemudian kembali membaca transkip wawancara dan melakukan coding, melakukan pemilihan data yang relevan dengan pokok pembicaraan. Data yang relevan diberi kode dan penjelasan singkat, kemudian dikelompokan atau dikategorikan berdasarkan kerangka analisis yang telah dibuat.

       
    3. Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data
      Setelah kategori pola data tergambar dengan jelas, peneliti menguji data tersebut terhadap asumsi yang dikembangkan dalam penelitian ini. Pada tahap ini kategori yang telah didapat melalui analisis ditinjau kemabali berdasarkan landasan teori yang telah dijabarkan dalam bab II, sehingga dapat dicocokan apakah ada kesamaan antara landasan teoritis dengan hasil yang dicapai.
    4. Mencari Alternatif Penjelasan bagi Data
      Setelah kaitan antara kategori dan pola data dengan asumsi terwujud, peneliti masuk ke dalam tahap penejelasan. Dan berdasarkan kesimpulan yang telah didapat dari kaitannya tersebut, penulis merasa perlu mencari suatau alternative penjelasan lain tetnag kesimpulan yang telah didapat. Sebab dalam penelitian kualitatif memang selalu ada alternative penjelasan yang lain. Dari hasil analisis, ada kemungkinan terdapat hal-hal yang menyimpang dari asumsi atau tidak terfikir sebelumnya.
    5. Menulis Hasil Penelitian
      Penulisan data subjek yang telah berhasil dikumpulkan merupakan suatu hal yang membantu penulis unntuk memeriksa kembali apakah kesimpulan yang dibuat telah selesai. Dalam penelitian ini, penulisan yang dipakai adalah penulisan data-data hasil penelitian berdasarkan dokumentasi, wawancara mendalam dan observasi. Proses dimulai dari data-data yang diperoleh dari subjek dan significant other, dibaca berulang kali sehinggga penulis mengerti benar permasalahanya, kemudian dianalisis, sehingga didapat gambaran mengenai penghayatan pengalaman dari subjek.

 

No comments:

Post a Comment