Saturday, February 16, 2013

PENGAWAS MADRASAH: ANTARA CITA DAN FAKTA


Sebagaimana tulisan Bapak Musta'in di Majalah Rindang (Edisi Desember 2012) dengan judul "Mewujudkan Pengawas Madrasah yang Profesional", dimana isinya masih dalam tataran teoritis akademis, belum menunjukkan dalam fakta dan data empiris di lapangan, belum menunjukkan pada analisa bagaimana mewujudkan pengawas yang profesional. Padahal kondisi saat ini, pengawas madrasah ataupun pengawas mata pelajaran masih jauh dari kerangka teori yang tercermin dalam Permendiknas 12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah ataupun PMA 2/2012 tentang Pengawas Madrasah dan Pengawas PAI pada Sekolah. Dengan kata lain, masih ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan, maka perlu strategi untuk menjadikan pengawas yang transformatif.
Rendahnya kualitas pendidikan dipercaya sebagai penyebab rendahnya kualitas sumber daya manusia. Tuntutan peningkatan kualitas pendidikan tidak saja terletak pada perbaikan dan peningkatan mutu input dan output, tetapi juga mutu proses yang digerakan oleh kekuatan manajerial dan kepemimpinan. Sehingga rilis di Kompas.com tanggal 2 Maret 2011 melaporkan bahwa Indeks pembangunan pendidikan untuk semua di Indonesia menurun, jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun ini merosot ke peringkat 69.
Dalam meningkatkan profesionalisme, guru dapat dibimbing oleh supervisor yang dalam istilah pendidikan disebut Pengawas. Pengawas mempunyai tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, serta mempunyai peranan yang sangat penting terhadap perkembangan dan kemajuan sekolah keberadaannya sangat diharapkan oleh guru dalam rangka membantu dan membimbing guru ke arah tercapainya peningkatan kualitas pembelajaran guru mata pelajaran, khususnya mata pelajaran agama Islam di lingkungan sekolah-sekolah yang bernaung pada Kementerian Agama.
Dalam pengamatan penulis, setidaknya ada masalah besar yang dialami guru adalah pertama, dalam melaksanakan pembelajaran yang bermutu masih jauh dari harapan. Seringkali guru puas dengan apa yang dilakukan selama ini,banyak guru yang belum memanfaatkan media pembelajaran untuk peningkatan kualitas pembelajaran atau lebih senang menggunakan metode ceramah. Boediningsih (1995: 5) bahwa siswa yang hanya mendengarkan saja, akan memperoleh pengetahuan sebesar 20% sedangkan melaksanakan eksperimen, maka akan melakukan kegiatan melihat, mendengarkan, dan mengungkapkan sendiri mereka akan memperoleh pengetahuan 80%. Kedua, lemahnya kemampuan guru dalam menulis. Menurut Dr. Sugijanto, Kepala Pusat Perbukuan (Pusbuk) Depdiknas menyebutkan guru yang bisa menulis tidak lebih dari satu persen. Indikatornya, yang mengikuti lomba menulis buku di Pusbuk pada tahun 2009 hanya 818 peserta. Padahal jumlah guru di Indonesia 2,7 juta. Menulis bagi guru seakan menjadi pekerjaan yang sangat sulit. Sebagai bukti, banyak guru PNS yang dari IVa ke IVb terganjal disebabkan tidak mempunyai karya tulis atau terhambat dalam pengembangan profesi. Ketiga, banyak guru terjebak adanya formalisme ijazah, baik S1 maupun S2. Seringkali yang terjadi banyak guru berlomba-lomba untuk meneruskan pendidikan S1 atau S2, tetapi setelah lulus tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan baik wawasan maupun pemikiran.
Disinilah peranan pengawas sangat penting sebagai mitra guru dan kepala sekolah, inovator, konselor, motivator, kolaborator, asesor, evaluator dan konsultan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam rangka pembinaan sekolah adalah dengan melakukan monitoring dan penilaian. Kenyataannya pengawas sekolah sebagai pihak eksternal pengendalian mutu pendidikan pada level satuan pendidikan sering dikesampingkan peranannya dalam proses peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Bahkan, tidak jarang pengawas menjadi pihak pertama yang patut disalahkan ketika terjadi kegagalan dalam hasil pendidikan. Tentunya, hal ini menjadi pertanyaan besar mengapa anggapan dan wacana itu dapat terjadi di kalangan sekolah.
Hemat penulis, bahwa keadaan di lapangan kebanyakan pengawas pada mata pelajaran di sekolah/madrasah merupakan sebuah jabatan fungsional yang tidak produktif, salah satu alasannya adalah kurang atau tidak pernah komunikasi dengan pihak-pihak terkait, khususnya guru di madrasah/sekolah, dan jarang/tidak pernah mengadakan bimbingan atau pembinaan di madrasah/sekolah yang menjadi bidang kerjanya. Pengawas datang ke madrasah/sekolah ketika waktu ulangan blok semester dan sebatas meminta bukti administrasi penyelenggaraan ulangan blok tersebut. Dan secara empiris di lapangan dapat dikatakan bahwa pengawas dianggap sebuah jabatan buangan atau "afkiran" yang tidak ada dampak apa-apa terhadap madrasah/sekolah karena beberapa faktor, diantaranya, pertama, rekrutmen pengawas hanya didasarkan pada senioritas atau memperpanjang usia pensiun bagi birokrat. Kedua, masih dipandang sebagai tempat isolasi bagi pegawai tertentu. Ketiga, belum adanya perhatian yang serius dalam pembinaan karir pengawas. Keempat, dalam penyelenggaraan tugasnya belum didukung oleh sarana prasarana dan alokasi pembiayaan yang memadai.
Hal ini diperburuk lagi dengan penugasan pengawas ke sekolah yang tidak pernah di dukung dengan biaya yang memadai sehingga sebagian beban itu menjadi tanggungan sekolah. Akibatnya wibawa pengawas di sekolah terganggu dengan dampak psikologis. Ditambah lagi dengan kekeliruan kebijakan dari pemerintah dengan memberikan bantuan pendidikan dan pelatihan tentang kegiatan supervisi yang hanya terfokus kepada kepala sekolah saja dengan tanpa mengikutsertakan pengawas sekolah. Akibatnya, fungsi supervisi yang dilakukan oleh pengawas semakin tidak bertaring saja di mata sekolah. Terjadinya keterlambatan pengawas merespon dan mengantisipasi kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, disebabkan fasilitas dan dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang sangat kurang dalam memberikan program-program yang mendukung dan terlalu menitikberatkan kepada kepala sekolah dan guru. Seharusnya, sebelum kepala sekolah dan guru mengetahui akan kebijakan dan inovasi pendidikan yang baru, pengawas sekolah harus lebih dulu mengetahui dan memahaminya.
Fakta uniknya adalah tidak ada signifikan antara tingkat kehadiran pengawas atau dalam proses supervisi terhadap kinerja guru-guru mata pelajaran, dan guru mampu melaksanakan tugas belajar mengajar dengan baik. Guru merasa tidak membutuhkan supervisi dari pengawas, tidak memerlukan motivasi pengawas, hal ini karena masing-masing guru sudah mempunyai kemampuan dan wawasan sendiri, dan boleh jadi kemampuan dan daya kreatifitas guru lebih baik dibandingkan kemampuan dan kreatifitas pengawas. Mengapa demikian?
Sebuah Solusi

Paling tidak ada empat hal untuk merevitalisasi peran pengawas pendidikan ke arah yang lebih transformatif. Pertama, sistem rekruitmennya perlu dibenahi. Barangkali perlu dibuat kreteria yang jelas menyangkut kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengawas, misalnya, pengetahuan manajemen pendidikan dan metodologi pembelajaran yang inovatif. Tentu saja masih banyak aspek lain yang harus dikuasai. Tetapi dua hal ini menjadi penting karena menjadi titik lemah hampir semua sekolah di Indonesia. konsekuensinya, pengawas harus direkrut dari praktisi pendidikan, bukan birokrat pendidikan. Kenyataan bahwa pengawas hanya transit sebelum pensiun juga harus diakhiri. Yang muda perlu diberikan hak, asal memiliki kualifikasi seperti di atas. Konsekuensinya, jabatan pengawas harus dihargai, misalnya dengan memberikan gaji dan tunjangan yang tinggi.
Kedua, tak cukup pengetahuan, pengawas diperlukan menguasai model-model pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif yang saya maksudkan adalah pengawasan yang melibatkan kepala sekolah, guru, dan tenaga pendidikan lainnya. Semua yang terlibat dalam pengawasan partisipatif duduk setara, tanpa ada pihak yang merasa lebih tahu. Semua menjadi manusia pembelajar. Dengan model ini, sekolah yang diawasi tidak merasa dihakimi, tetapi dengan sendirinya akan bisa mengawasi, menilai, dan membina sendiri.
Ketiga, hasil dari pengawasan patisipatif sangat penting disampaikan kepada pengambil kebijakan. Peta masalah-masalah di sekolah yang menjadi tanggungjawab pengawas akan bermanfaat bagi pengambil kebijakan pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan yang diputuskan akan nyambung dengan permasalahan yang terjadi di lapangan. Keempat, pengawas diberikan pembiayaan pembinaan yang memadai dan proporsional sesuai tugas pokok dan fungsinya, sehingga madrasah atau sekolah yang menjadi wilayah binaannya tidak terbebani dengan tingkat kehadiran pengawas tersebut. Faktanya saat ini, pengawas datang justru tidak diharapkan oleh "kepala sekolah" karena akan menjadi beban keuangan bagi sekolah itu sendiri.
Dengan demikian, keempat langkah solutif tersebut minimal dapat meningkatkan eksistensi pengawas dan menjadikan pengawas akan berpengaruh pada madrasah/sekolah binaannya. Bagaimanapun juga kehadiran pengawas sangat dibutuhkan dalam proses pendidikan, pengawasan atau supervisi merupakan bagian tidak terpisahkan dalam upaya peningkatan prestasi belajar dan mutu sekolah. Sahertian (2000:19) menegaskan bahwa pengawasan atau supervisi pendidikan tidak lain dari usaha memberikan layanan kepada stakeholder pendidikan, terutama kepada guru-guru, baik secara individu maupun secara kelompok dalam usaha memperbaiki kualitas proses dan hasil pembelajaran. [dipublikasikan di Majalah Rindang Kemenag Propinsi Jateng, Pebruari 2013]

No comments:

Post a Comment