Thursday, December 5, 2013

PENGEMIS & IMPIAN ORANG MISKIN


Sosok pengemis Walang dan rekannya laki-laki, Sa'aran memang menjadi fenomenal ketika ditangkap petugas Sudin Sosial Jakarta Selatan dengan bukti uang sebesar Rp 25juta. Dan celakanya apabila fenomena ini dijadikan inspirasi bagi orang miskin atau merasa miskin di Indonesia untuk melakukan hal yang serupa sekalipun angka Rp. 25 juta untuk aksi 15 hari memang bisa dipermasalahkan akurasinya, namun pesan yang tertangkap dalam masyarakat adalah menjadi mengemis itu bisa kaya, mempunyai mobil, bahkan hebatnya lagi bisa naik haji, seperti Walang (Baca: Haji Walang). Bagaikan selebritas, "Haji" Walang beberapa terakhir menghiasi media elektronik dengan ragam liputan dan wawancaranya, dan dia mengaku justru senang karena terkenal se-Indonesia.
Pemerintah sudah berusaha menekan angka pengemis dengan berbagai cara. Misalnya  tahun 2009 Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur yang didukung MUI Pusat mengeluarkan fatwa haram mengemis. Para ulama, khususnya di daerah Sumenep mulai khawatir dengan aktivitas yang menjadi mata pencaharian sebagian besar warga itu. Demikian juga MUI DKI Jakarta mengeluarkan fatwa haram atas segala aktivitas yang menganggu ketertiban seperti mengemis, berdagang asongan, mengelap mobil, atau memberi uang di jalan raya karena berpotensi merugikan banyak orang dan menimbulkan kerawanan.

Kemiskinan yang telah berjalan dalam ruang dan rentang waktu yang panjang memastikan, bahwa gejala tersebut tidak cukup diterangkan sebagai realitas ekonomi. Artinya kemiskinan tidak sekedar gejala keterbatasan lapangan kerja, pendapatan, pendidikan dan kesehatan masyarakat. Ini sudah menjadi realitas sistem atau struktur dan tata nilai kemasyarakatan. Ia juga memang suatu realitas budaya yang antara lain berbentuk sikap menyerah kepada keadaan.
Pengemis adalah pengemis, fatwa MUI dan kebijakan pemerintah tentang larangan mengemis tidaklah menjadi runtuhnya mental pengemis untuk tidak meminta-minta. Maka perlu mengurai benang merah terjadinya atau penyebab utama orang mengais rezeki dengan jalan mengemis. Paling tidak ada 5 hal: Pertama: Menganggur. Orang menganggur tidak memiliki sense of work (etos kerja), tidak memikirkan jalan lain untuk mengisi kekosongan waktu mereka dengan hal-hal positif yang dapat memenuhi kebutuhan harian mereka, yang kemudian mereka menganggap bahwa mengemis merupakan jalan satu-satunya yang dapat mereka tempuh, padahal Nabi Saw telah mewasiatkan kepada kita untuk bekerja karena lebih baik daripada mengemis. 
Kedua: Serakah. Keserakahan menjadikan jalan mengemis sebagai pekerjaan sampingan (secondary work). Ketiga: Bobroknya Pendidikan Lingkungan Rumah. Seseorang hidup dalam lingkungan rumah yang di dalamnya hidup para pengangguran dan pengemis, sehingga ia tumbuh dan besar sebagai pengangguran dan pengemis. Keempat: Pendidikan Sekolah Mahal. Mahalnya biaya sekolah menjadi faktor penghalang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Sekolah yang berkualitas hanya bagi orang yang kaya, tidak berlaku bagi orang yang tidak mampu. Padahal salah satu  tolak ukur kemajuan bangsa adalah kualitas SDM, dan kualitas SDM diukur berdasakan pendidikan.
Kelima: Rusaknya moral masyarakat. Kerusakan moral masyarakat menjadi salah satu penyebab utama munculnya pengemis, dimana penyebab kerusakan moral sangatlah banyak, sementara lapangan kerja positif sangat kurang, disisi lain terdapat sekolompok masyarakat yang berusaha memenuhi kebutuhan syahwat dan kesenangannya dengan menggunakan berbagai cara, termasuk salah satunya adalah dengan cara mengemis.

Sebuah Solusi
Umami, dalam tesisnya (2005) yang dilakukan dengan mengambil sampel tujuh anak-anak dari keluarga yang tinggal di perkampungan Gajah Wong Yogyakarta, menyebutkan bahwa tindakan mengemis bukanlah lagi sekadar persoalan mengisi perut, tetapi belakangan berkembang menjadi profesi, dengan melibatkan anak-anak. Orangtua kerap kali memanfaatkan anak-anak untuk mencari nafkah di jalanan dan memberikan punishment dan reward diukur dari jumlah uang yang dibawa pulang anak-anak itu ke rumah. Demikian juga Walang yang memimpikan mempunyai rumah bagus dan mobil, serta mampu melunasi ongkos naik haji.
Harus diakui bahwa keberadaan pengemis dan pengamen adalah masalah sosial. Dan masalah pengemis adalah domain pemerintah, baik pemda, pemkot, maupun pemerintah pusat serta tanggung jawab kita bersama. Pemerintah melalui Kementerian Sosial sejatinya telah melakukan penanganan pengemis. pengemis telah diberikan bekal pendidikan ketrampilan dan tempat tinggal di panti sosial dengan harapan agar mereka tidak lagi turun ke jalan untuk mengemis.
Dalam konteks fikih Islam perlu menyadarkan masyarakat dan mengembangkan zakat ke arah zakat produktif. Penggunaan zakat untuk tujuan produktif bagi kepentingan pemberdayaan mustahik juga terjadi di jaman Rasulullah, bahwa nabi telah memberinya zakat dan menyuruhnya untuk mengembangkan dan menyedekahkannya lagi. Hadits tersebut memberi dua makna. Pertama, dalam pengelolaan zakat, ada proporsi dana yang digunakan untuk mengembangkan usaha produktif bagi kepentingan mustahik. Kedua, orientasi utama pemberdayaan zakat adalah untuk mengubah status seorang mustahik menjadi muzakki. BAZNAS termotivasi dengan hadits tersebut dengan mengimplementasikan kedalam bentuk program Indonesia Makmur, yang diharapkan dapat memunculkan microentrepreneur yang memiliki daya tahan dan daya saing.
Dr. Yusuf al-Qardhawy dalam Fiqh Prioritas, mengatakan bahwa sudah saatnya umat Islam menjalankan skala prioritas ibadah. Kewajiban yang perlu dilakukan dengan segera harus didahulukan atas kewajiban yang bisa ditangguhkan. Misalnya menangguhkan ibadah haji yang kedua kali dengan mengalihkan biaya haji untuk dimanfaatkan kepentingan sosial. Demikian juga al-Ghazali mengaggap aib bagi orang kaya yang melakukan ibadah haji berkali-kali sementara meninggalkan tetangganya yang kelaparan. Maka penanaman jiwa kedermawanan, membangun semangat solidaritas adalah menjadi prioritas utama (afdlalul a'mal) bagi Muslim saat ini.
Faktor keteladanan pemimpin negeri ini mutlak diperlukan bahkan wajib diberikan. Kasus-kasus yang menjerat para pemimpin menunjukkan bobroknya moral pejabat dan menjauhkan masyarakat dari sikap empati menuju sikap apatis. Namun keteladanan bukan saja kita menuntut kepada pemerintah saja, akan tetapi para pengusaha dan orang-orang kaya juga diperlukan keteladanan mereka. Maka sikap mempertontonkan kemewahan, rebutan kekuasaan, tidak punya rasa malu ketika bersalah merupakan fenomena hilangkan ruh kultur bangsa yang menjunjung etika bangsa yang beradab dan lemahnya iman seseorang, Nabi bersabda: "barangsiapa yang tidak peduli kepada saudara-saudaranya terhadap persoalan-persoalan saudara-saudaranya maka orang tersebut bukan termasuk kepada ummatku." (Dimuat di Harian Solopos, Kolom Gagasa, 6 Desember 2013)

No comments:

Post a Comment