Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pesantren merupakan lembaga keagamaan yang menempatkan kajian kajian keagamaan sebagai basis utama pengajarannya. Disamping itu pesantren juga sebagai lembaga yang mendidik santri santri untuk bisa menjadi manusia yang menjunjung tinggi etika keagamaan. Dari dua sisi tersebut yaitu pendidikan akhlak dan pengajaran ilmu ilmu keagamaan, pesantren ingin mengarahkan santrinya untuk menjadi ulama dan orang orang yang mampu mewarisi risalah Nabi dan mengambil estafet moralitas keagamaan untuk membimbing masyarakat menuju ke masyarakat relijius yang menempatkan nilai nilai agama dalam kehidupan mereka. Dilihat dari aspek pendidikan, pesantren relatif telah mampu mencetak santri santri yang mempunyai tingkat moralitas yang cukup memadai. Mereka disegani oleh masyarakatnya. Hal itu dibuktikan dengan peranan mereka untuk memimpin berbagai macam upacara keagamaan dilingkungan mereka. Dilihat dari aspek pengajaran, pesantren -terutama yang salaf- tetap mempertahankan kurikulumnya sebagaimana apa yang diajarkan oleh sesepuh mereka terdahulu. Kajian kitab kuning merupakan menu harian yang tidak banyak tersentuh oleh perubahan zaman, baik dari segi materi maupun cara pengajarannya. Pengajaran kitab kuning dengan cara sorogan maupun bandongan merupakan ciri khas sebuah pesantren salaf. Tanpa itu ciri khas “salafiyah”nya menjadi hilang.
Cara bandongan masih menempati peringkat pertama dalam pengajaran kitab kitab kuning. Kiai yang menangani cara ini memang harus menguasai betul seluruh aspek yang ada dalam satu kitab, baik dari segi susunan i’rabnya, maupun makna makna yang terkandung dalam sebuah kitab. Semakin besar sebuah kitab dan semakin rumit persoalan yang dikaji, semakin tinggi pula tingkat kemahiran seorang Kiai. Fenomena ini sangat menantang dan sekaligus membanggakan. Bagaimana tidak, kiai yang model ini seakan menjadi kamus arab yang berjalan. Hebatnya lagi mereka mampu menemukan kosa kata bahasa “jawa” untuk mengartikan semua kata yang ada dalam kitab kuning. Padahal kosa kata bahasa jawa sangat kerdil bila dibandingkan dengan kosa kata arab. Bukan Cuma itu saja, tapi Pak Kiai harus mempraktekkan ilmu nahwu/shorof, I’rab dan kajian balaghahnya setiap kali memberikan makna pada stu ungkapan dalam kitab kuning tersebut. Kekaguman kita akan semakin tinggi manakala seorang Kiai mampu membaca sebuah kitab yang besar dengan cara bandongan, dalam waktu yang relatif singkat. Seperti mengaji kitab “Sahih Bukhari” atau lainnya dalam satu bulan, Pada saat itu kondisi spiritual dan keilmuan Pak Kiai dan santri yang ikut pengajian tersebut betul betul dalam keadaan “on” terus. Hal ini betul betul mengagumkan. Sebuah fenomena yang langka di dunia islam. Sudah tentu keadaan semacam ini terjadi karena kecintaan yang mendalam terhadap ilmu agama.
Kajian Kitab kitab Klasik.
Kajian kitab salaf dan sering juga disebut sebagai kitab kuning merupakan proto type pesantren salafi. Dalam sebuah penelitian tentang “pergeseran Literatur di Pondok Pesantren di Indonesia” yang dilakukan oleh tim Litbang Depag baru baru ini (2004-2005), diperoleh kesimpulan bahwa pesantren pesantren salaf tidak banyak yang mengadakan perubahan pada kajian kitab klasik. Kitab kitab yang diajarkan pada masa kini tidak mengalami perobahan dengan apa yang dikaji pada masa lalu. Namun disisi lain sikap konvensional ini ada unsur positifnya. Pertama : pengkajian terhadap kitab kuning menunjukkan adanya tradisi kesinambungan sanad yang selama ini masih dianggap sebagai tradisi yang disegani. Kedua : Disamping nilai ilmiyah, nilai ketakwaan dan keulamaan penulis kitab kitab kuning selalu menjadi acuan di dunia pesantren. Disini unsur “barakah” tidak terelakkan. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pesantrenlah yang masih terus memepertahankan tradisi pengajian kitab salaf. Pesantren masih banyak yang mengkaji kitab kitab Tafsir semcam tafsir “Ibn Katsir”,“Al-Khazin” dan lain lainnya. Begitu juga kitab kitab Hadis semacam Sahih Bukhari, Sahih Muslim dan lain sebagainya. Selain pesantren barangkali sudah tidak ada lagi yang mempertahankan tradisi mengkaji kitab kuning ini. Tidak disangkal lagi bahwa arus modernisasi menjadi penyebab banyak kalangan yang sudah tidak lagi mengaji kitab kitab kuning. Modernisasi tidak lagi mempersoalkan siapa pengarang satu kitab, yang penting adalah sistimatika, efesiensi waktu dan “instant”.
Kitab klasik terutama kitab kitab yang ditulis pada abad abad pertengahan, dari sisi materi masih menampakkan kekuatan ilmiahnya, walaupun dari sisi warna kekinian dan aktualitas sudah banyak yang ketinggalan. Pembaca harus pandai pandai memilah dalam membaca teks kitab kuning agar supaya tetap hidup dan aktual. Dari sisi penyajiannya kitab salaf juga dipandang oleh akademisi terasa ada kekurangan disana sini.
Kitab kitab tafsir yang dikaji di pesantren hampir bisa dipastikan tidak banyak perbedaan antara satu pesantren dengan pesantren lainnya. Diantara kitab kitab tafsir yang dikaji adalah :
Tafsir Jalalain.
Tafsir “Al-Jalalain” adalah karya dua orang yaitu Al-Imam Jalaluddin Al-Mahalli (Muhammad bin Ahmad bin Ibrahim bin Ahmad bin Hasyim Al-Mahalli, Al-Misri, Asy-Syafi’i (791 h/1389 M-864h) dan Jalaluddin Abdurrahman bin Kamaluddin, Abu Bakr bin Muhammad bin Sabiquddin bin Fakhruddin, Utsman bin Nashiruddin, Muhammad bin Saifuddin, Khadlir, Al-Khudlairi, Sayuthi (849 H/1445 M- 911 H). Tafsir ini merupakan menu utama kajian tafsir di pesantren. Dalam bahasa orang pesantren, tafsir ini penuh berkah, oleh karena itu banyak orang merujuknya. Bahkan seorang seperti Muhammad Abduh sering merujuk tafsir ini sebelum memberikan kuliah tafsir di Masjid Al-Azhar. Perhatian terhadap tafsir ini ditunjukkan oleh adanya pemberi hasyiyah seperti “Hasyiyah Ash-Shawi” dan Kitab Al-Futuhaat Al-Ilahiyyah karya Al-Jamal. Tidak dipungkiri lagi kedua pengarang tafsir ini adalah orang sufi yang wara’. Ada yang menjadikan tafsir ini sebagai “wiridan” dan dikaji ulang dari waktu kewaktu. Alasannya adalah bahwa kitab tafsir ini layak untuk menjadi konsumsi santri.
Dari segi kwantitas, tafsir ini tidak begitu tebal sehingga bisa dikhatamkan dalam waktu yang tidak begitu lama. Dari segi kwalitas materi, tafsir ini tidak begitu menukik, uraiannya sangat sederhana, bahkan nyaris seperti kamus gharib Al-Qur’an. Memang ada uraian Qira’at, I’rab, Sabab Nuzul, Nasikh-mansukh, dan lain sebagainya. Tapi semuanya itu diuraikan dengan redaksi yang sederhana sekali. Tidak ada atau tidak menonjol kecenderungan berfikir baik dalam segi madzhab fikih maupun akidah. Dari segi bahasa, tafsir ini terasa sederhana dan lumayan gampang untuk dicerna.
Dalam pandangan penulis tafsir ini memang sangat sederhana dibandingkan tafsir tafsir lainnya. Ada beberapa tafsir yang mengikuti model tafsir “Al-Jalalain” ini seperti tafsir yang ada pada mushaf mushaf terbitan masa kini seperti yang dikerjakan oleh “Na’im Al-Himshi” dari Syria, atau ringkasan tafsir Ibn Jarir Ath-Thabari, dan lain lainnya. Namun dibalik kesederhanaannya tafsir ini tidak mengedepankan persoalan persoalan kekinian, apakah persoalan fikih, kemasyarakatan, keilmuan (sains dan teknologi) dan lain sebagainya.
Tidak adanya kecenderungan berfikir ini menjadikan penulis menilai bahwa tafsir ini menjadi tafsir tahlili yang paling sederhana. Bahkan penulis bisa mengatakan bahwa tafsir Jalalaian adalah bentuk karya tafsir tahlili yang berada pada titik nadir yang terendah, setelah pada periode sebelumnya tafsir tahlili penuh dengan nuansa ensiklopedis, karena tidak adanya komentar dari penulis. Tapi hanya mensyarahi redaksi yang ada.
Tafsir ini dari satu sisi kurang bisa menggugah pembacanya untuk meneropong masyarakat kontemporer dengan kacamata Al-Qur’an. Banyaknya ayat ayat yang dinasakh dengan ayat qital /ayat saif menunjukkan bahwa tafsir ini masih terbawa oleh masa lalu yaitu diwaktu kaum muslim mampu menyudahi perlawanan kaum musyrikin. Padahal dalam kajian dewasa ini pe”nasakh”an satu ayat dengan ayat qital tidak lagi relevan, sebab begitu satu ayat di nasakh maka ayat tersebut tidak lagi bisa diamalkan, padahal setiap ayat harus bisa dioptimalkan pengamalannya dengan berbagai cara dan juga harus dilihat konteksnya. Teori “Al-Munsa’” yaitu setiap ayat harus dilihat situasi dan kondisinya, adalah yang paling cocok. Bagaimanapun juga tafsir ini merupakan cermin masyarakat masa itu. Kelihatannya masyarakat sudah jenuh dengan uraian yang berpanjang lebar, atau mereka tidak lagi bergairah dan tidak berminat membaca tafsir semacam itu.
Tafsir “Marah Labid” atau Tafsir Munir.
Nama lengkap tafsir ini adalah “At-Tafsir Al-Munir lima’alimittanzil Al-Musfir ‘an Wujuh Mahasin at-tta’wil”.Tafsir ini dikarang oleh seorang ulama Banten yaitu Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani (1813-1897 M) yang dikenal dengan Sayyid Ulama Al Hijaz. Tafsir ini tergolong masyhur. Bahkan pada masa kemunculannya tafsir ini dikenal juga oleh ulama di negeri arab sendiri. Di Indonesia terutama di pesantren, tafsir ini tidak kalah masyhurnya dengan tafsir Jalalain. Metodologinya tahlili. Uraiannya sederhana. Tapi lebih panjang dan lebih banyak dibandingkan dengan tafsir Jalalain. Jika tafsir “Jalalain” hanya menjelaskan kata kata muradif, maka pada tafsir “Marah Labid” Syekh Nawawi akan menjelaskan maksud ayat tersebut secara sederhana. Tidak banyak mendiskusikan persoalan. Bahkan jika mengetengahkan pendapat beliau tidak menyebutkan dalil setiap pendapat. Pengarang cenderung untuk tidak menarjihkan diantara pendapat tersebut. Uraian bahasa, cukup mendominasi. Unsur balaghah juga banyak, begitu juga ilmu nahwu, shorof, Qira’at, Rasm Usmani, dan lain sebagainya. (Lih. Badruzzaman, Dimyati, MA dalam “ Studi Kritis Kisah kisah Israiliyat dalam Tafsir Munir Karya Syekh Nawawi”, Tesis MA di IIQ, Jakarta, 2001). Beliau sengaja menyederhanakan tafsirnya, agar pembaca langsung memahami inti persoalan. Tanpa harus dibawa ke metode ijtihad dalam menafsirkan Al-Qur’an. Dalam hal periwayatan, tafsir ini banyak menukil hadis, perkataan sahabat dan tabi’in tanpa sanad. Dilihat dari sudut ini tafsir ini kombinasi dari tafsir riwayah dan dirayah. Sayangnya tafsir ini banyak mengemukakan riwayat israiliyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan.
Dilihat dari aliran pemikiran, tafsir ini cenderung beraliran salaf yaitu berkhidmah kepada nash. Inilah yang membedakan antara tafsir dengan metode “Tahlili” dengan “Maudlu’I” Pada metode tahlili penafsir pasif, hanya menunggu apa yang diminta oleh teks. Berbeda dengan tafsir Maudlu’i dimana penafsir aktif mencari ayat ayat yang mendukung topik yang dipilihnya. Disamping hal hal diatas, tafsir ini tidak ada sentuhan kemasyarakatan, begitu juga aliran pemikiran lainnya.
Tafsir Khazin.
Tafsir yang bertajuk “Lubab at Ta’wil”. Pengarangnya adalah ‘Alauddin, Abul Hasan, Ali bin Muhammad bin Ibrahim Asy-Syihi Al-Baghdadi. Dikenal dengan nama “Al-Khazin”.(678-741 H/1279-1341 M).
Tafsir ini sebagaimana diakui sendiri oleh pengarangnya merupakan ikhtisar atau ringkasan dari tafsir Al-Baghawi (438-516 H) yang berjudul “Ma’alim At-Tanzil”Tafsir Baghawi sendiri merupakan ringkasan dari Tafsir Ats-Tsa’labi yang bertajuk “Al-Kasyf wal Bayan”.
Harus diakui bahwa tafsir ini banyak faedahnya terutama dalam analisa bahasa, penyebutan berbagai pendapat dan alasannya masing masing. Begitu juga banyaknya hadis hadis yang beliau nukil dari kitab Al-Humaidi yang menggabungkan hadis hadis Bukhari Muslim, dan dari kitab Jami’ Al-Ushul karya Ibn Al- Atsir. Uraian tentang madzhab fikih juga cukup panjang lebar. Begitu juga dengan kisah kisah baik pada masa Nabi sampai kisah israiliyat baik yang bisa dipertanggung jawabkan atau yang tidak. Disayangkan bahwa Al-Khazin tidak banyak komentar terhadap hal ini. Uraian tentang kisah ini menempatkan tafsir ini sebagai tafsir yang mempunyai kecenderungan “qasasi”. Kecenderungan tasawwufnya terlihat dengan banyaknya nasehat nasehat atau banyaknya hadis hadis yang berisi tentang targhib dan tarhib.(Lihat. Adz-Dzhabi, At-Tafsir Wal Mufassirun, I/hal 220, Maktabah Wahbah, Mesir,2000, dan Al-Iyazi, Muhammad Ali, “Al-Mufassirun, Hayatuhum Wa manhajuhum”h.598, Iran, 1414 h.
Ketiga kitab itulah yang masih banyak dikaji dan dibaca dikalangan pesantren. Memang ada juga yang membaca tafsir “Ibnu Katsir” “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim” atau Al- Baidlawi “Anwaruttanzil wa Asrarutta’wil”, bahkan tafsir ensiklopedis “Al-Bahrul Muhith”karya Abu Hayyan, ada yang membacanya tapi tidak sebanyak tiga tafsir yang disebutkan diatas.
Sebuah Pandangan
Dilihat dari uraian yang penulis kemukakan, ternyata kitab kitab tafsir yang dikaji di beberapa pesantren adalah kitab kitab tafsir yang ditulis pada abad ke 7 hijrah (Al-Khazin) abad 10 h (sayuthi) dan akhir abad 19 masehi atau awal abad 14 (Nawawi). Pada abad abad tersebut ditengarai sebagai abad kelesuan keilmuan islam. Karya yang ditulis pada abad abad tersebut tidak banyak yang mempunyai orsinilitas. Pasalnya uraiannya tidak banyak berbeda dengan karya pendahulunya. Tidak bisa dipungkiri bahwa sebuah karangan adalah cermin dari masanya.
Jika dilihat dari materi, ketiga kitab tafsir tersebut tidak banyak memberikan sorotan terhadap fenomena masyarakat pada masa itu (ijtima’i) atau hal hal yang bisa menggugah semangat untuk kembali kepada Al-Qur’an dalam menangani masalah masalah sosial. Inilah kritikan yang banyak dikemukakan oleh Muhammad Abduh terhadap beberapa tafsir pendahulu dan dikatakannya sebagai tafsir yang sudah menjauh dari tujuan utama diturunkannya Al-Qur’an yaitu sebagai kitab hidayah.
Metode Pengajaran Tafsir yang diinginkan.
Kajian kitab tafsir di pesantren masih terbatas pada kajian teks yaitu membaca teks tafsir salaf. Sebagian kiai atau ustadz di pesantren hanya membaca teks kitab tafsir secara bandongan sebagaimana memperlakukan kitab kitab salafi lainnya, tanpa ada penjelasan lebih lanjut.
Sebenarnya cara model bandongan atau sorogan bisa saja diteruskan karena pertama: hal tersebut merupakan teknis atau metode pembelajaran dan kedua : masih belum ada cara lain yang mampu menggantikan kedua model tersebut, khususnya untuk kalangan pesantren. Kitab kitab yang dikaji juga bisa memakai kitab kitab salaf sebagaimana ketiga kitab diatas, namun masalahnya bagaimana cara kita mengajarkan tafsir kepada para santri/ apakah hanya cukup dengan membaca teks dan memaknainya ? atau perlu ada inovasi baru?
Menurut hemat penulis yang perlu diperhatikan dalam pengajaran tafsir masa kini ialah :
1. Kajian kebahasaan, baik mufradat, i’rab, qira’at, maupun kajian balaghah.
2. Munasabah antara satu ayat dengan ayat sebelumnya.
3. Menguraikan kandungan satu atau sekelompok ayat secara global.
4. Menguraikan tentang beberapa pendapat para ulama dan alasan dari masing masing pendapat dan jika mampu ada tarjih. Cara begini bisa memberikan sifat kritis.
5. Menghubungkan setiap kajian dengan kondisi masa kini. Bagaimana Al-Qur’an bisa memberikan solusi terhadap setiap persoalan kehidupan. Untuk hal ini ada baiknya dilakukan pengenalan metode tematik, sehingga solusi yang dikemukakan tidak parsial tapi utuh.
6. Mengambil kesimpulan dan pelajaan yang bisa dipetik dari uraian yang ada. Untuk hal ini bisa kita lihat pada tafsir Al-Munir karya Wahbah Az- Zuhaili, atau Aysaruttafasir karya Syeikh Abu Bakar Al-Jazairi, atau Al-Maraghi.
Seorang guru atau kiai mutlak perlu juga untuk membaca refferensi yang lain baik kitab kitab tafsir masa kini seperti Al-Maraghi, Al-Qasimi, Al-Munir karya Wahbah Azzuhaili, Aysaruttafasir, Asy-Sya’rawi, At-Tahrir wat Tanwir karya Ibnu ‘Asyur, dan lain lainnya. Semuanya bertujuan untuk menambah wawasan agar ada sentuhan hida’i terhadap situasi masa kini. Kisah kisah israiliyat yang tidak bisa dipertanggung jawabkan mestinya tidak dijadikan konsumsi bagi santri, karena hanya meninabobokan saja. Kajian yang njlimet yang atau menukik yang tidak banyak hubungannya dengan kandungan satu ayat mestinya hanya untuk di muthala’ah saja bukan untuk dijelaskan, dan bukan untuk dikonsumsi.
Tidak kalah pentingnya adalah santri perlu diajarkan pengantar ilmu tafsir yang mencakup sejarah tafsir dari masa kemasa, aliran aliran dalam tafsir, begitu juga metodologi penafsiran dan metodologi penulisan tafsir seperti tahlili, maudlu’i, muqaran dan Ijmali. Kajian kajian ulumul Qur’an seperti kitab “Al-Itqan” karya Imam Sayuthi perlu diajarkan agar santri bisa mengetahui seluk beluk Al-Qur’an dari segi sejarah Al-Qur’an, penulisannya, variasi bacaannya dan lain lainnya.
Dengan berbekal kajian kajian tersebut diharapkan santri pada masa kini bisa tergugah untuk mengkaji tafsir secara lebih komprehensip lagi, “njamani” dan kembali menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab “hidayah” sepanjang masa.
Muhammad Abduh sebagaimana dinukil oleh Rasyid Ridla dalam tafsir “Al-Manar”menegaskan:
" التفسير الذى نطلبه هو فهم الكتاب من حيث هو دين يرشد الناس الى ما فيه سعادتهم فى حياتهم الدنيا وحياتهم الآخرة فان هذا هو المقصد الأعلى منه , وما وراء هذا من المباحث تابع له أو وسيلة لتحصيله " ( المنار : 1/17)
Bahwa tafsir yang diinginkan adalah memahami Al-Qur’an sebagai sebuah kitab yang membawa ajaran agama yang bisa memberikan petunjuk kepada manusia untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia maupun akhirat. Pembahasan selain itu dianggap sekunder.
Penutup.
Teks teks Al-Qur’an memang kelihatan mati, tapi dibalik teks teks tersebut terdapat energi yang sangat dahsyat untuk bisa membangun peradaban sebuah bangsa. Sejarah telah mencatat bahwa pada awal kemunculannya Al-Qur’an telah mampu mengerakkan sebuah revolusi baik akidah, sosial, keilmuan, seni dan budaya. Jika hal tersebut telah terbukti pada masa lalu, maka hal ini mestinya juga bisa terealisir pada masa kini. Persoalannya adalah terletak pada siapa yang menjalankan peran ini. Pemahaman terhadap agama secara kaffah, semangat menggali api Al-Qur’an dengan tujuan ‘izzul islam wal muslimin secara ikhlas, adalah kunci dari keberhasilan dalam sosialisasi Al-Qur’an pada kehidupan manusia dewasa ini.
No comments:
Post a Comment