Thursday, November 22, 2012

MANAJEMEN KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DALAM PENDIDIKAN

A.    Pengantar
Kepemimpinan merupakan faktor penting yang paling menentukan berjalan atau tidaknya suatu organisasi atau lembaga. Karenanya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi gagal atau tidaknya sebuah lembaga.[1] Di tangan pemimpin, aktifitas perencanaan program, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi dan sebagainya dialamatkan.
Kepemimpinan atau Leadership merupakan proses pengaruh atau mem-pengaruhi antar pribadi atau antar orang dalam situasi tertentu. Menurut George R. Terry, sebagaimana dikutip oleh Sardjuli, Leadership is the relationship in which one person, or the leader, influences others to work together willingly on related tasks to attain that whick the leader desires.[2]
Semua jenis pemimpin melakukan tugas kepemimpinannya sesuai dengan bidangnya garapnya. Bidang yang menjadi garapannya seringkali membedakan pemimpin satu dengan pemimpin lainnya. Dari sini dapat dimaklumi bahwa lahirnya pemimpin ada dimana mana, baik dalam komunitas besar maupun kecil. Fenomena ini menandakan bahwa tidak ada suatu kelompok masyarakat tanpa pemimpin, kalau memang di sana masih ada pihak-pihak yang dipengaruhi dan diarahkan.[3]
Perilaku pemimpin secara eliditas harus dapat mendorong kinerja staf dan para bawahannya dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap semua pihak, baik sebagai individu maupun kelompok. Perilaku instrumental merupakan tugas-tugas yang diorientasikan dan secara langsung diklarifikasi dalam peranan dan tugas-tugas para staf.
Dengan demikian, keberadaan seorang pemimpin dalam setiap lembaga termasuk di dalamnya lembaga pendidikan dalam tugas dan fungsinya dituntut untuk memiliki kebijaksanaan dan wawasan yang luas, terampil dalam berbagai disiplin ilmu. Pola kepemimpinan pun juga akan berpengaruh dan bahkan menentukan terhadap kemajuan sebuah lembaga pendidikan.[4] Terlebih dalam lembaga pendidikan Islam, selain memiliki wawasan dan kebijaksanaan, seorang pemimpin dituntut terampil dalam ilmu agama, mampu menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi suri tauladan pemimpin yang baik.[5]
Masalah kepemimpinan kependidikan tidak ada. Berbagai pendekatan dalam memecahkan masalah kepemimpinan telah dilakukan. Pendekatan pertama, yaitu pendekatan sifat yang menfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin. Pendekatan kedua, yaitu pendekatan perilaku dalam hubungannya dengan bawahannya. Pendekatan ketiga, perilaku seorang pemimpin dengan karakteristik situasional.
Dan pendekatan yang ketiga inilah yang akan saya paparkan dalam upaya untuk mencari “Model Kepemimpinan Berdasarkan Teori Situasional”. Karena pandangan situasi mengasumsikan bahwa kondisi menentukan efektifitas pemimpin bervariasi menurut situasi, keterampilan dan harapan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa lalu pemimpin dan bawahan.[6] Lebih dari itu, berdasarkan teori ini ciri khas yang ada adalah “kematangan” pada anak buah.
Makalah ini kami sajikan dalam bentuk penjelasan atau pengembangan bebas dari tulisan Judith M. Bardwick dalam judul Peacetime Management and Wartime Leadership.

B.     Pembahasan
1.      Pendekatan Situasional
Pendekatan situasional hampir sama dengan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi daripada sebagai kulitas pribadi, dan merupakan fungsi kualitas yang timbul karena interaksi orang-orang dalam situasi tertentu.[7]
Menurut pandangan perilaku, dengan mengkaji kepemimpinan dari beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku akan memudahkan menentukan gaya kepemimpinan yang paling cocok. Pendekatan ini menitikberatkan pada berbagai gaya kepemimpinan yang paling efektif diterapkan dalam situasi tertentu. Ada beberapa studi kepemimpinan yang menggunakan pendekatan ini, antara lain:[8]
a.       Teori Kepemimpinan Kontingensi
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler dan Chemers, berdasarkan hasil penelitiannya tahun 1950. Dari teori ini dapat disimpulkan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faktor kepribadian yang dimiliki, tetapi juga karena berbagai faktor situasi dan saling hubungan antara pemimpin dengan situasi.
Keberhasilan pemimpin bergantung baik pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi. Menurut Fiedler tak ada gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi, serta ada tiga factor yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan antara pimpinan dan bawahan, struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi.
Ketiga faktor tersebut sesungguhnya merupakan tiga dimensi dalam situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yaitu :
1)      Hubungan antar pemimpin dengan bawahan
2)      Struktur tugas
3)      Kekuasaan yang berasal dari organisasi
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, Fiedler menentukan dua jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang menyenangkan. Pertama, gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas, yaitu ketika pemimpin merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan. Kedua, gaya kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan bahwa efektifitas kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi tertentu.
b.      Teori Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin, seorang guru besar Universitas New Brunswick, Canada. Menurutnya ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi atau tugas, perhatian pada orang, dan dimensi efektifitas.
Gaya kepemimpinan Reddin sama dengan jaringan manajemen, memiliki empat gaya dasar kepemimpinan, yaitu integrated, related, separated, dan dedicated. Reddin mengatakan bawha keempat gaya tersebut dapat menjadi efektif dan tidak efektif, tergantung pada situasi. Keempat gaya dasar tersebut jika dilihat dari segi efektif dan tidak efektif menjadi tujuh gaya kepemimpinan.
c.       Teori Kepemimpinan Situasional
Teori ini merupakan pengembangan dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan antara tiga faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), perilaku hubungan (relationship behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa yang harus dikerjakan, bilamana, dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi mereka secara tepat. Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh pemimpin melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan anak buah dalam pemecahan masalah.
Adapun kematangan adalah kemampuan dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanan tugas yang dibebankan kepadanya. Dari ketiga faktor tersebut, tingkat kematangan anak buah merupakan faktor yang paling dominan. Karena itu, tekanan utama dari teori ini terletak pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan anak buah.
Menurut teori ini gaya kepemimpinan akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan anak buah. Makin matang anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan menambah perilaku hubungan.
Apabila anak buah bergerak mencapai tingkat rata-rata kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat kematangan penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk diterapkan dalam keempat tingkat kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah sebagai berikut:[9]
1)      Gaya Mendikte (Telling)
Gaya ini diterapkan jika anak buah dalam tingkat kematangan rendah, dan memerlukan petunjuk serta pengawasan yang jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa, bagaimana, kapan, dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini menekankan pada tugas, sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.
2)      Gaya Menjual (Selling)
Gaya ini diterapkan apabila kondisi anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Mereka telah memiliki kemauan untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai.
Gaya ini disebut menjual karena pemimpin selalu memberikan petunjuk yang banyak. Dalam tingkat kematangan anak buah seperti ini, diperlukan tugas serta hubungan yang tinggi agar dapat memelihara dan meningkatkan kemauan yang telah dimiliki.
3)      Gaya Melibatkan Diri (Participating)
Gaya ini diterapkan apabila tingkat kematangan anak buah berada pada taraf kematangan moderat sampai tinggi. Mereka mempunyai kemampuan, tetapi kurang memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri.
Gaya ini disebut mengikut sertakan karena pemimpin dengan anak buah bersama-sama berperan di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini, upaya tugas tidak diperlukan, namun upaya hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka komunikasi dua arah.
4)      Gaya Mendelegasikan (Delegating)
Gaya ini diterapkan jika kemampuan dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini disebut mendelegasikan karena anak buah dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri, melalui pengawasan umum.
Hal ini biasa  dilakukan jika anak buah berada pada tingkat kedewasaan yang tinggi. Dalam tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya diperlukan sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.
Dalam setiap realitasnya bahwa pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
a.       Tipe kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini, segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi. Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh pemimpin yang bersangkutan.
b.      Tipe kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi baik rencana atau perintah juga pengawasan.
c.       TIpe kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus ditaati.
d.      Tipe kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama. Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian. Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian tujuan.
e.       Tipe kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
f.       Tipe kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia ikur berkecimpung.[10]

2.      Model Kepemimpinan Berdasarkan Teori Situasional (Refleksi Atas Model Kepemimpinan Rasulullah Saw)
Berdasarkan dasar-dasar kepemimpinannya, maka kepemimpinan Rasulullah SAW pada dasarnya bersifat situasional. Dalam setiap situasi yang berbeda-beda beliau selalu menampilkan kepemimpinan yang tepat dan bijaksana, karena didasari oleh keagungan kepribadian yang beliau miliki. Dilihat dari teori-teori kepemimpinan sekarang ini berarti kepemimpinan situasioanl yang beliau jalankan, selalu berubah-ubah tipenya karena harus di sesuaikan dengan situasi yang dihadapinya.
Setiap tipe kepemimpinan diterapkan aspek-aspeknya yang positif, sehingga berfungsi secara efektif dalam menggerakkan orang-orang yang dipimpin ke arah tujuan mencari dan menjangkau ridha Allah SWT. Di masa damai beliau memimpin dengan lemah lembut dan penuh kasih sayang, namun di masa perang beliau tampil sebagai pemimpin yang gagah berani, berdisiplin dan bertanggung jawab.
Berdasarkan bahan analisis kaitannya dengan tipologi kepemimpinan, maka dapat dilakukan identifikasi kepemimpinan Rasulullah sebagai berikut:[11]
a.       Perwujudan Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah SAW merupakan pemimpin yang sangat keras dalam menghadapi orang-orang kafir dan dalam memberikan hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntutan Allah SWT lainnya. Tidak ada yang boleh dibantah, jika telah diwahyukan Allah SWT. Tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan pemberian saran, pendapat, kreatifitas dan inisiatif, sehingga berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan suatu larangan Allah SWT harus ditinggalkan.
Otoriter mutlak adalah hak Allah SWT, yang bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi, maka secara pasti akan dilaksanakan-Nya setelah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir atau yang menduakan penciptanya, melainkan neraka jahannam dengan siksa yang amat pedih. Perbuatan yang dikategorikan dosa tidak akan berubah kategorinya, meskipun yang menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama, atau rakyat biasa.
Demikian pula kategori perbuatan amal kebaikan, tidak akan berubah kategorinya, meski disampaikan kreatifitas dan inisiatif perbaikannya oleh sejumlah besar pejabat tinggi, atau para ulama atau rakyat seluruh negeri. Sedang balasannya secara pasti pula adalah pahala, yang insya Allah akan mengantarkan seseorang memperoleh surga.
b.      Perwujudan Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam menyeru umat manusia terlihat kepemimpinan Rasulullah SAW yang bersifat laissez faire (bebas). Beliau tidak memaksa dengan kekerasan. Setiap manusia diberi kebebasan memilih agama yang akan dipeluknya. Rasulullah SAW hanya diperintahkan  Allah SWT untuk menyeru dan memperingatkan keberuntungan bagi yang mendengar dan kerugian bagi yang berlaku sombong dan angkuh menolak seruan beliau. Setiap manusia diberi kebebasan untuk mengimani kalimah syahadat : “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.[12]
Jika menolak beriman, Rosulullah SAW tidak akan memaksanya, namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah keliru memilih. Untuk itu Allah SWT telah berfirman di dalam surat Al-Baqarah ayat 256 yang mengatakan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Barang siapa yang ingkar kepada taqhut dan hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
Dan jelaslah bahwa Rasulullah SAW dalam menjalankan kepemimpionannya terhadap umat Islam memberikan kebebasan untuk mencapai tingkat keimanan sesuai dengan kesanggupan dan usahanya masing-masing. Beliau memberi kesempatan pada umatnya untuk meminta petunjuk sebagai perwujudan kepemimpinan konsultatif.
Beliau juga berusaha mengayomi umatnya yang menghadapi masalah-masalah kehidupan. Dengan ketulus ikhlasan dalam melaksanakan kepemimpinan seperti itu, maka kharismanya sangat besar di lingkungan umat Islam di masa hidupnya, sekarang dan di masa datang hingga akhir zaman. Namun pada hakekatnya kepada setiap umat Islam diberikan kebebasan dengan tanggung jawab masing-masing di sisi Allah SWT kelak, sehingga dalam kepemimpinannya berlangsung tipe kepemimpinan laissez faire.
c.       Perwujudan Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan Muhammad SAW yang demokratis terlihat nyata dalam cara hidup beliau sehari-hari. Beliau sebagai Pemimpin Agung, tidak pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri di istana yang gemerlapan, untuk menimbulkan dan menjaga wibawanya. Tetapi sebaliknya wibawa yang anggun justru timbul dan terpelihara karena beliau menjalani kehidupan bersama umatnya. Suka dan duka, sedih dan gembira, senang dan sudah dirasakan bersama.
Beliau tidak pernah meminta diistimewakan, karena keistimewaan itu telah beliau terima dari Allah SWT. Beliau menyatu (in group) dengan umat Islam yang dipimpinnya, dalam kehidupan yang sederhana dan memprihatinkan. Hidup sederhana bukan sekedar diucapkan dan dianjurkan, namun dijalani beliau bersama umatnya. Beliau tidak memerlukan harta kekayaan yang dipergunakan manusia biasa untuk mengangkat harkatnya sebagai pemimpin. Justru keagungan kepribadian yang diterimanya  sebagai karunia Allah SWT, yang merupakan harta kekayaan yang tidak ternilai harganya.[13]
Bersandar pada kelebihan dan keistimewaan kepribadian itulah, beliau menjadi pemimpin yang dihormati, disegani, ditaati / dipatuhi dan bahkan juga disenangi oleh kawan dan lawan. Wibawa yang agung itu bahkan menempatkan beliau di hati umat Islam sebagai pemimpin yang disanjung  dan dipuja, sehingga disebut sebagai junjungan umat Islam.
Kepemimpinan demokratis itu antara lain terlihat pada saat memimpin peperangan, sebagaimana diceriterakan di dalam Hadist sebagai berikut : Dari Ibnu Umar r.a : “Rasulullah SAW mengutus sebuah pasukan ke jurusan Najd, sedang Abdullah (Ibnu Umar) turut didalamnya, lalu mereka memperoleh rampasan unta yang banyak. Maka adalah bagian mereka ada dua belas atau sebelas ekor unta dan kepada mereka ditambah masing-masing dengan seekor unta”.[14]
Kepemimpinan Rasulullah SAW yang bersifat demokratis terlihat pada keganderungan beliau menyelenggarakan musyawarah, terutama jika menghadapi masalah yang belum ada ada wahyunya dari Allah SWT. Bersamaan dengan itu beliau pun banyak menganjurkan umatnya agar selalu bermusyawarah, yang dinyatakan bahwa umat Islam supaya tidak meninggalkan jamaah. Dengan demikian berarti hak seseorang dalam mengemukakan pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai setiap anggota jamaah wajib menghormati dan melaksanakannya.
Rasulullah SAW hanya melarang bermusyawarah untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT, yang berarti beliau sangat membenci musyawarah untuk berbuat kekufuran, kerusakan dan keangkaramurkaan atau keonaran di muka bumi ini. Sehubungan dengan itu selain melarang umat Islam keluar dari jamaah, dan bagi yang berbuat seperti itu berarti kufurlah kategorinya, beliau pernah bersabda mengenai pentingnya suatu masalah dipikirkan bersama. Sabda beliau itu mengatakan bahwa dua lebih daripada satu, tiga lebih baik daripada dua dan empat lebih baik daripada tiga dan seterusnya. Dengan demikian berarti setiap orang diberi kesempatan ikut berpartisipasi, baik dalam memikirkan pemecahan masalah maupun dalam melaksanakan hasilnya.
Kesediaan beliau sebagai pemimpin untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sabdanya, tetapi terlihat dalam praktek kepemimpinannya. Sebuah hadist Rasulullah SWAT mengatakan sebagai berikut : Dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata : “Rasulullah SAW membagi rampasan perang di Ji’ranah, tiba-tiba seorang laki-laki berkata kepada beliau : “Berkata Adillah!” lalu beliau bersabd kepadanya :”Saya celaka, kalau saya tidak adil!”.[15]
Disamping itu dalam praktik kepemimpinannya, Rasulullah SAW selalu bermusyawarah dengan para sahabat sebagai penasihat beliau, mengenai taktik dan strategi yang akan dilaksanakan sebelum berangkat ke Medan perang. Rasulullah SAW melaksanakan musyawarah semata-mata untuk mentaati perintah Allah SWT, bahkan jika perlu boleh dilakukan dengan orang musyrik yang memusuhi umat Islam.
Sifat demokratis dalam kepemimpinan Rasulullah SAW tidak sekedar ditandai dengan musyawarah, tetapi juga dengan memberikan perlindungan pada hak setiap umatnya. Beliau menjalankan sepenuhnya petunjuk Allah SWT dalam memberi kesempatan pada seseorang yang diperlukan secara tidak adil, untuk membela diri.
Dari uraian-uraian tentang kepemimpinan Rasulullah SAW yang bersifat situasional, jenis ketiga tipe utama dalam kepemimpinan diselenggarakan secara terintegrasi (terpadu) dan harmonis. Keterpaduan itu menghasilkan kepemimpinan yang agung, karena tidak sekedar bersifat manusiawi, tetapi merupakan juga sebagai perwujudan  kepemimpinan spiritual Allah SWT.
Di dalam kepemimpinan itu fungsi iman berjalan mendahului fungsi akal/pikiran. Dengan kata lain fungsi akal/pikiran dalam melaksanakan kepemimpinan dikendalikan oleh iman. Dalam kondisi seperti itu emosionalitas terarah pada kecintaan pada Allah SWT karena kesadaran telah memperoleh petunjuk dan tuntunan-Nya.
Kecintaan yang murni itu karena dilandasi keimanan dicurahkan sepenuhnya, melebihi kecintaan terhadap segala sesuatu yang sangat dicintai dimuka bumi ini. Kecintaan itu dimanifestasikan juga pada manusia pilihan-Nya Muhammad SAW, yang dalam kendali iman mendorong untuk menempatkan beliau sebagai junjungan bagi orang-orang yang mengakuinya sebagai utusan Allah SWT.
Dalam keimanan yang sangat tinggi Rasulullah SAW selalu membatasi kharismanya itu, dengan mengingatkan bahwa beliau sekedar seorang utusan. Beliau mencegah agar umat Islam tidak tersesat dengan menempatkan beliau sebagai Pengganti Tuhan atau Anak Tuhan yang harus disembah sebagai dosa syirik yang tidak berampun. Dengan kata lain hanya Rosulullah SAW yang dapat, patut dan boleh dikultuskan sebagai pemimpin umat, sehingga dijadikan sebagai umat Islam, namun bukan untuk disembah karena adalah manusia makhluk ciptaan sebagaimana manusia yang lain.

3.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan
Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :
a.       Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
b.      Harapan dan perilaku atasan.
c.       Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
d.      Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
e.       Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
f.       Harapan dan perilaku rekan.[16]



Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
a.       Sebagai pelaksana (executive)
b.      Sebagai perencana (planner)
c.       Sebagai seorangahli (expert)
d.      Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
e.       Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)
f.       Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)
g.      Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
h.      Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)
i.        Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)
j.        Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)
k.      Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)
l.        Bertindak sebagai seorang aya (father figure)
m.    Sebagai kambing hitam (scape goat).[17]
Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
a.       Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.
b.      Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.
c.       Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[18]
Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan.

C.    Penutup
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan tak lepas dari perbedaan kultur atau budaya. Kepemimpinan dalam teori organisasi mengakui pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya. Kepemimpinan yang tepat dan sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga, pola kepemimpinan dalam suatu kelompok disesuaikan dengan situasi dan kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di madrasah ataupun pesantren.
Dalam teori dan praktik, antara kepemimpinan dan manajemen, sering terjadi disposition job, artinya, kadang seorang pemimpin mengerjakan sesuatu yang sebenarnya pekerjaan itu lebih tepat dikatakan sebagai pekerjaan manajerial, ataupun sebaliknya. Tetapi, biasanya kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur. Hal ini berbeda dalam kepemimpinan sekolah, seorang kepala sekolah dapat mempunyai dwi fungsi, yakni sebagai seorang pemimpin dan manajer sekaligus.



DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Dikmenur, Panduan Manajemen Sekolah, (Jakarta  : Depdiknas, t.t)
Djohar, Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV. Grafika Indah, 2006)
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Fahrurrozi dalam Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, ( Yohyakarta: IRCiSod, 2006)
Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1990)
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999)
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996)
Nasir, M. Ridwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta  ustaka Pelajar, 2005)
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993)
Sardjuli, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia, 2001)
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1999)
Tony Bush dan Marianne Coleman, Leadership dan Strategic Management in Education, (London: Paul Chapman Publishing Ltd, 2000)



[1] Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1999), hal 19
[2] Sardjuli, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia, 2001), hal. 73
[3] Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1990), hal 7
[4] Direktorat Dikmenur, Panduan Manajemen Sekolah, (Jakarta  : Depdiknas, t.t.), hal 8
[5] M. Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta  ustaka Pelajar, 2005), hal. 130
[6] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan,  (Bandung: P. T. Remaja Rosda Karya, 2004), hal. 88
[7] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, hal. 112
[8] E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, hal. 112
[9] Ibid., hal. 116
[10] Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999),  hal. 261-262
[11] Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993), hal. 282
[12] Ibid., hal. 83
[13] Ibid., hal. 286
[14] Ibid.
[15] Ibid., hal. 288
[16] Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996) hal. 102
[17] M. Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber Benih Kecerdasan, 1981)
[18] Ibid., hal. 38-39

No comments:

Post a Comment