MANAJEMEN KEPEMIMPINAN SITUASIONAL DALAM PENDIDIKAN
A.
Pengantar
Kepemimpinan
merupakan faktor penting yang paling menentukan berjalan atau tidaknya suatu
organisasi atau lembaga. Karenanya kepemimpinan merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi gagal atau tidaknya sebuah lembaga.[1] Di
tangan pemimpin, aktifitas perencanaan program, pengorganisasian, pelaksanaan,
pengawasan, evaluasi dan sebagainya dialamatkan.
Kepemimpinan
atau Leadership merupakan proses pengaruh atau mem-pengaruhi antar
pribadi atau antar orang dalam situasi tertentu. Menurut George R. Terry,
sebagaimana dikutip oleh Sardjuli, Leadership is the relationship in which
one person, or the leader, influences others to work together willingly on
related tasks to attain that whick the leader desires.[2]
Semua
jenis pemimpin melakukan tugas kepemimpinannya sesuai dengan bidangnya
garapnya. Bidang yang menjadi garapannya seringkali membedakan pemimpin satu
dengan pemimpin lainnya. Dari sini dapat dimaklumi bahwa lahirnya pemimpin ada
dimana mana, baik dalam komunitas besar maupun kecil. Fenomena ini menandakan
bahwa tidak ada suatu kelompok masyarakat tanpa pemimpin, kalau memang di sana
masih ada pihak-pihak yang dipengaruhi dan diarahkan.[3]
Perilaku
pemimpin secara eliditas harus dapat mendorong kinerja staf dan para bawahannya
dengan menunjukkan rasa bersahabat, dekat, dan penuh pertimbangan terhadap
semua pihak, baik sebagai individu maupun kelompok. Perilaku instrumental
merupakan tugas-tugas yang diorientasikan dan secara langsung diklarifikasi
dalam peranan dan tugas-tugas para staf.
Dengan
demikian, keberadaan seorang pemimpin dalam setiap lembaga termasuk di dalamnya
lembaga pendidikan dalam tugas dan fungsinya dituntut untuk memiliki
kebijaksanaan dan wawasan yang luas, terampil dalam berbagai disiplin ilmu.
Pola kepemimpinan pun juga akan berpengaruh dan bahkan menentukan terhadap
kemajuan sebuah lembaga pendidikan.[4]
Terlebih dalam lembaga pendidikan Islam, selain memiliki wawasan dan
kebijaksanaan, seorang pemimpin dituntut terampil dalam ilmu agama, mampu
menanamkan sikap dan pandangan serta wajib menjadi suri tauladan pemimpin yang
baik.[5]
Masalah
kepemimpinan kependidikan tidak ada. Berbagai pendekatan dalam memecahkan
masalah kepemimpinan telah dilakukan. Pendekatan pertama, yaitu pendekatan
sifat yang menfokuskan pada karakteristik pribadi pemimpin. Pendekatan kedua,
yaitu pendekatan perilaku dalam hubungannya dengan bawahannya. Pendekatan
ketiga, perilaku seorang pemimpin dengan karakteristik situasional.
Dan
pendekatan yang ketiga inilah yang akan saya paparkan dalam upaya untuk mencari
“Model Kepemimpinan Berdasarkan Teori Situasional”. Karena pandangan situasi
mengasumsikan bahwa kondisi menentukan efektifitas pemimpin bervariasi menurut
situasi, keterampilan dan harapan bawahan, lingkungan organisasi, pengalaman masa
lalu pemimpin dan bawahan.[6]
Lebih dari itu, berdasarkan teori ini ciri khas yang ada adalah “kematangan”
pada anak buah.
Makalah
ini kami sajikan dalam bentuk penjelasan atau pengembangan bebas dari tulisan
Judith M. Bardwick dalam judul Peacetime Management and Wartime Leadership.
B.
Pembahasan
1.
Pendekatan Situasional
Pendekatan situasional hampir sama
dengan pendekatan perilaku, keduanya menyoroti perilaku kepemimpinan dalam
situasi tertentu. Dalam hal ini kepemimpinan lebih merupakan fungsi situasi
daripada sebagai kulitas pribadi, dan merupakan fungsi kualitas yang timbul
karena interaksi orang-orang dalam situasi tertentu.[7]
Menurut pandangan perilaku, dengan
mengkaji kepemimpinan dari beberapa variabel yang mempengaruhi perilaku akan
memudahkan menentukan gaya kepemimpinan yang paling cocok. Pendekatan ini
menitikberatkan pada berbagai gaya kepemimpinan yang paling efektif diterapkan
dalam situasi tertentu. Ada beberapa studi kepemimpinan yang menggunakan
pendekatan ini, antara lain:[8]
a.
Teori
Kepemimpinan Kontingensi
Teori ini dikembangkan oleh Fiedler
dan Chemers, berdasarkan hasil penelitiannya tahun 1950. Dari teori ini dapat
disimpulkan bahwa seseorang menjadi pemimpin bukan saja karena faktor kepribadian
yang dimiliki, tetapi juga karena berbagai faktor situasi dan saling hubungan
antara pemimpin dengan situasi.
Keberhasilan pemimpin bergantung
baik pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi. Menurut Fiedler tak
ada gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi, serta ada tiga factor
yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan antara pimpinan dan bawahan,
struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi.
Ketiga faktor tersebut sesungguhnya
merupakan tiga dimensi dalam situasi yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yaitu
:
1)
Hubungan
antar pemimpin dengan bawahan
2)
Struktur
tugas
3)
Kekuasaan
yang berasal dari organisasi
Berdasarkan tiga dimensi tersebut,
Fiedler menentukan dua jenis gaya kepemimpinan dan dua tingkat yang
menyenangkan. Pertama, gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas, yaitu ketika
pemimpin merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan. Kedua, gaya kepemimpinan
yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan, hal tersebut menunjukkan bahwa
efektifitas kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara gaya
kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi tertentu.
b.
Teori
Kepemimpinan Tiga Dimensi
Teori ini dikemukakan oleh Reddin,
seorang guru besar Universitas New Brunswick, Canada. Menurutnya ada tiga
dimensi yang dapat dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian
pada produksi atau tugas, perhatian pada orang, dan dimensi efektifitas.
Gaya kepemimpinan Reddin sama dengan
jaringan manajemen, memiliki empat gaya dasar kepemimpinan, yaitu integrated,
related, separated, dan dedicated. Reddin mengatakan bawha keempat gaya
tersebut dapat menjadi efektif dan tidak efektif, tergantung pada situasi.
Keempat gaya dasar tersebut jika dilihat dari segi efektif dan tidak efektif
menjadi tujuh gaya kepemimpinan.
c.
Teori
Kepemimpinan Situasional
Teori ini merupakan pengembangan
dari model kepemimpinan tiga dimensi, yang didasarkan pada hubungan antara tiga
faktor, yaitu perilaku tugas (task behavior), perilaku hubungan (relationship
behavior) dan kematangan (maturity). Perilaku tugas merupakan pemberian
petunjuk oleh pemimpin terhadap anak buah meliputi penjelasan tertentu, apa
yang harus dikerjakan, bilamana, dan bagaimana mengerjakannya, serta mengawasi
mereka secara tepat. Perilaku hubungan merupakan ajakan yang disampaikan oleh
pemimpin melalui komunikasi dua arah yang meliputi mendengar dan melibatkan
anak buah dalam pemecahan masalah.
Adapun kematangan adalah kemampuan
dan kemauan anak buah dalam mempertanggungjawabkan pelaksanan tugas yang
dibebankan kepadanya. Dari ketiga faktor tersebut, tingkat kematangan anak buah
merupakan faktor yang paling dominan. Karena itu, tekanan utama dari teori ini
terletak pada perilaku pemimpin dalam hubungannya dengan anak buah.
Menurut teori ini gaya kepemimpinan
akan efektif jika disesuaikan dengan tingkat kematangan anak buah. Makin matang
anak buah, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan menambah perilaku
hubungan.
Apabila anak buah bergerak mencapai
tingkat rata-rata kematangan, pemimpin harus mengurangi perilaku tugas dan
perilaku hubungan. Selanjutnya, pada saat anak buah mencapai tingkat kematangan
penuh dan sudah dapat mandiri, pemimpin sudah dapat mendelegasikan wewenang
kepada anak buah.
Gaya kepemimpinan yang tepat untuk
diterapkan dalam keempat tingkat kematangan anak buah dan kombinasi yang tepat
antara perilaku tugas dan perilaku hubungan adalah sebagai berikut:[9]
1)
Gaya
Mendikte (Telling)
Gaya ini diterapkan jika anak buah
dalam tingkat kematangan rendah, dan memerlukan petunjuk serta pengawasan yang
jelas. Gaya ini disebut mendikte karena pemimpin dituntut untuk mengatakan apa,
bagaimana, kapan, dan dimana tugas dilakukan. Gaya ini menekankan pada tugas,
sedangkan hubungan hanya dilakukan sekedarnya saja.
2)
Gaya
Menjual (Selling)
Gaya ini diterapkan apabila kondisi
anak buah dalam taraf rendah sampai moderat. Mereka telah memiliki kemauan
untuk melakukan tugas, tetapi belum didukung oleh kemampuan yang memadai.
Gaya ini disebut menjual karena
pemimpin selalu memberikan petunjuk yang banyak. Dalam tingkat kematangan anak
buah seperti ini, diperlukan tugas serta hubungan yang tinggi agar dapat
memelihara dan meningkatkan kemauan yang telah dimiliki.
3)
Gaya
Melibatkan Diri (Participating)
Gaya ini diterapkan apabila tingkat
kematangan anak buah berada pada taraf kematangan moderat sampai tinggi. Mereka
mempunyai kemampuan, tetapi kurang memiliki kemauan kerja dan kepercayaan diri.
Gaya ini disebut mengikut sertakan
karena pemimpin dengan anak buah bersama-sama berperan di dalam proses
pengambilan keputusan. Dalam kematangan seperti ini, upaya tugas tidak
diperlukan, namun upaya hubungan perlu ditingkatkan dengan membuka komunikasi
dua arah.
4)
Gaya
Mendelegasikan (Delegating)
Gaya ini diterapkan jika kemampuan
dan kemauan anak buah telah tinggi. Gaya ini disebut mendelegasikan karena anak
buah dibiarkan melaksanakan kegiatan sendiri, melalui pengawasan umum.
Hal ini biasa dilakukan jika anak buah berada pada tingkat
kedewasaan yang tinggi. Dalam tingkat kematangan seperti ini upaya tugas hanya
diperlukan sekedarnya saja, demikian pula upaya hubungan.
Dalam setiap realitasnya bahwa
pemimpin dalam melaksanakan proses kepemimpinannya terjadi adanya suatu
permbedaan antara pemimpin yang satu dengan yang lainnya, hal sebagaimana
menurut G. R. Terry yang dikutif Maman Ukas, bahwa pendapatnya membagi
tipe-tipe kepemimpinan menjadi 6, yaitu :
a.
Tipe
kepemimpinan pribadi (personal leadership). Dalam system kepemimpinan ini,
segala sesuatu tindakan itu dilakukan dengan mengadakan kontak pribadi.
Petunjuk itu dilakukan secara lisan atau langsung dilakukan secara pribadi oleh
pemimpin yang bersangkutan.
b.
Tipe
kepemimpinan non pribadi (non personal leadership). Segala sesuatu
kebijaksanaan yang dilaksanakan melalui bawahan-bawahan atau media non pribadi
baik rencana atau perintah juga pengawasan.
c.
TIpe
kepemimpinan otoriter (autoritotian leadership). Pemimpin otoriter biasanya
bekerja keras, sungguh-sungguh, teliti dan tertib. Ia bekerja menurut
peraturan-peraturan yang berlaku secara ketat dan instruksi-instruksinya harus
ditaati.
d.
Tipe
kepemimpinan demokratis (democratis leadership). Pemimpin yang demokratis
menganggap dirinya sebagai bagian dari kelompoknya dan bersama-sama dengan
kelompoknya berusaha bertanggung jawab tentang terlaksananya tujuan bersama.
Agar setiap anggota turut bertanggung jawab, maka seluruh anggota ikut serta
dalam segala kegiatan, perencanaan, penyelenggaraan, pengawasan, dan penilaian.
Setiap anggota dianggap sebagai potensi yang berharga dalam usahan pencapaian
tujuan.
e.
Tipe
kepemimpinan paternalistis (paternalistis leadership). Kepemimpinan ini
dicirikan oleh suatu pengaruh yang bersifat kebapakan dalam hubungan pemimpin
dan kelompok. Tujuannya adalah untuk melindungi dan untuk memberikan arah
seperti halnya seorang bapak kepada anaknya.
f.
Tipe
kepemimpinan menurut bakat (indogenious leadership). Biasanya timbul dari
kelompok orang-orang yang informal di mana mungkin mereka berlatih dengan
adanya system kompetisi, sehingga bisa menimbulkan klik-klik dari kelompok yang
bersangkutan dan biasanya akan muncul pemimpin yang mempunyai kelemahan di
antara yang ada dalam kelempok tersebut menurut bidang keahliannya di mana ia
ikur berkecimpung.[10]
2.
Model Kepemimpinan Berdasarkan Teori Situasional (Refleksi Atas
Model Kepemimpinan Rasulullah Saw)
Berdasarkan dasar-dasar
kepemimpinannya, maka kepemimpinan Rasulullah SAW pada dasarnya bersifat
situasional. Dalam setiap situasi yang berbeda-beda beliau selalu menampilkan
kepemimpinan yang tepat dan bijaksana, karena didasari oleh keagungan
kepribadian yang beliau miliki. Dilihat dari teori-teori kepemimpinan sekarang
ini berarti kepemimpinan situasioanl yang beliau jalankan, selalu berubah-ubah
tipenya karena harus di sesuaikan dengan situasi yang dihadapinya.
Setiap tipe kepemimpinan diterapkan
aspek-aspeknya yang positif, sehingga berfungsi secara efektif dalam
menggerakkan orang-orang yang dipimpin ke arah tujuan mencari dan menjangkau
ridha Allah SWT. Di masa damai beliau memimpin dengan lemah lembut dan penuh
kasih sayang, namun di masa perang beliau tampil sebagai pemimpin yang gagah berani,
berdisiplin dan bertanggung jawab.
Berdasarkan bahan analisis kaitannya
dengan tipologi kepemimpinan, maka dapat dilakukan identifikasi kepemimpinan
Rasulullah sebagai berikut:[11]
a.
Perwujudan
Kepemimpinan Otoriter
Rasulullah SAW merupakan pemimpin
yang sangat keras dalam menghadapi orang-orang kafir dan dalam memberikan
hukuman serta pelaksanaan petunjuk dan tuntutan Allah SWT lainnya. Tidak ada
yang boleh dibantah, jika telah diwahyukan Allah SWT. Tidak dibenarkan dan
tidak diperbolehkan pemberian saran, pendapat, kreatifitas dan inisiatif,
sehingga berarti suatu perintah harus dilaksanakan dan suatu larangan Allah SWT
harus ditinggalkan.
Otoriter mutlak adalah hak Allah
SWT, yang bilamana tidak diperlakukan-Nya di muka bumi, maka secara pasti akan
dilaksanakan-Nya setelah seseorang kembali kehadirat-Nya. Tidak ada keringanan
hukuman sebagai balasan bagi yang ingkar atau kufur / kafir atau yang menduakan
penciptanya, melainkan neraka jahannam dengan siksa yang amat pedih. Perbuatan
yang dikategorikan dosa tidak akan berubah kategorinya, meskipun yang
menyampaikan saran perubahan atau perbaikan seorang raja, presiden, ulama, atau
rakyat biasa.
Demikian pula kategori perbuatan
amal kebaikan, tidak akan berubah kategorinya, meski disampaikan kreatifitas
dan inisiatif perbaikannya oleh sejumlah besar pejabat tinggi, atau para ulama
atau rakyat seluruh negeri. Sedang balasannya secara pasti pula adalah pahala,
yang insya Allah akan mengantarkan seseorang memperoleh surga.
b.
Perwujudan
Kepemimpinan Laissez Faire
Dalam menyeru umat manusia terlihat
kepemimpinan Rasulullah SAW yang bersifat laissez faire (bebas). Beliau tidak
memaksa dengan kekerasan. Setiap manusia diberi kebebasan memilih agama yang
akan dipeluknya. Rasulullah SAW hanya diperintahkan Allah SWT untuk menyeru dan memperingatkan
keberuntungan bagi yang mendengar dan kerugian bagi yang berlaku sombong dan
angkuh menolak seruan beliau. Setiap manusia diberi kebebasan untuk mengimani
kalimah syahadat : “Aku bersaksi tiada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi
bahwa Muhammad adalah utusan Allah”.[12]
Jika menolak beriman, Rosulullah SAW
tidak akan memaksanya, namun tetap memperingatkan celakalah dirinya yang telah
keliru memilih. Untuk itu Allah SWT telah berfirman di dalam surat Al-Baqarah
ayat 256 yang mengatakan bahwa: “Tidak ada paksaan dalam menganut agama, sebab
sudah jelas jalan yang benar dari jalan yang salah. Barang siapa yang ingkar
kepada taqhut dan hanya percaya kepada Allah, berarti ia berpegang pada tali yang
berbuhul kuat yang tidak mungkin putus. Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui.”
Dan jelaslah bahwa Rasulullah SAW
dalam menjalankan kepemimpionannya terhadap umat Islam memberikan kebebasan
untuk mencapai tingkat keimanan sesuai dengan kesanggupan dan usahanya
masing-masing. Beliau memberi kesempatan pada umatnya untuk meminta petunjuk
sebagai perwujudan kepemimpinan konsultatif.
Beliau juga berusaha mengayomi
umatnya yang menghadapi masalah-masalah kehidupan. Dengan ketulus ikhlasan
dalam melaksanakan kepemimpinan seperti itu, maka kharismanya sangat besar di
lingkungan umat Islam di masa hidupnya, sekarang dan di masa datang hingga
akhir zaman. Namun pada hakekatnya kepada setiap umat Islam diberikan kebebasan
dengan tanggung jawab masing-masing di sisi Allah SWT kelak, sehingga dalam
kepemimpinannya berlangsung tipe kepemimpinan laissez faire.
c.
Perwujudan
Kepemimpinan Demokratis
Kepemimpinan Muhammad SAW yang
demokratis terlihat nyata dalam cara hidup beliau sehari-hari. Beliau sebagai
Pemimpin Agung, tidak pernah sekedar duduk di singgasana atau memisahkan diri
di istana yang gemerlapan, untuk menimbulkan dan menjaga wibawanya. Tetapi
sebaliknya wibawa yang anggun justru timbul dan terpelihara karena beliau
menjalani kehidupan bersama umatnya. Suka dan duka, sedih dan gembira, senang
dan sudah dirasakan bersama.
Beliau tidak pernah meminta
diistimewakan, karena keistimewaan itu telah beliau terima dari Allah SWT.
Beliau menyatu (in group) dengan umat Islam yang dipimpinnya, dalam kehidupan
yang sederhana dan memprihatinkan. Hidup sederhana bukan sekedar diucapkan dan
dianjurkan, namun dijalani beliau bersama umatnya. Beliau tidak memerlukan
harta kekayaan yang dipergunakan manusia biasa untuk mengangkat harkatnya
sebagai pemimpin. Justru keagungan kepribadian yang diterimanya sebagai karunia Allah SWT, yang merupakan
harta kekayaan yang tidak ternilai harganya.[13]
Bersandar pada kelebihan dan
keistimewaan kepribadian itulah, beliau menjadi pemimpin yang dihormati,
disegani, ditaati / dipatuhi dan bahkan juga disenangi oleh kawan dan lawan.
Wibawa yang agung itu bahkan menempatkan beliau di hati umat Islam sebagai
pemimpin yang disanjung dan dipuja,
sehingga disebut sebagai junjungan umat Islam.
Kepemimpinan demokratis itu antara
lain terlihat pada saat memimpin peperangan, sebagaimana diceriterakan di dalam
Hadist sebagai berikut : Dari Ibnu Umar r.a : “Rasulullah SAW mengutus sebuah
pasukan ke jurusan Najd, sedang Abdullah (Ibnu Umar) turut didalamnya, lalu
mereka memperoleh rampasan unta yang banyak. Maka adalah bagian mereka ada dua
belas atau sebelas ekor unta dan kepada mereka ditambah masing-masing dengan
seekor unta”.[14]
Kepemimpinan Rasulullah SAW yang
bersifat demokratis terlihat pada keganderungan beliau menyelenggarakan
musyawarah, terutama jika menghadapi masalah yang belum ada ada wahyunya dari
Allah SWT. Bersamaan dengan itu beliau pun banyak menganjurkan umatnya agar
selalu bermusyawarah, yang dinyatakan bahwa umat Islam supaya tidak
meninggalkan jamaah. Dengan demikian berarti hak seseorang dalam mengemukakan
pendapat sangat dihormati, namun setelah kesepakatan dicapai setiap anggota
jamaah wajib menghormati dan melaksanakannya.
Rasulullah SAW hanya melarang
bermusyawarah untuk berbuat maksiat kepada Allah SWT, yang berarti beliau
sangat membenci musyawarah untuk berbuat kekufuran, kerusakan dan
keangkaramurkaan atau keonaran di muka bumi ini. Sehubungan dengan itu selain
melarang umat Islam keluar dari jamaah, dan bagi yang berbuat seperti itu
berarti kufurlah kategorinya, beliau pernah bersabda mengenai pentingnya suatu
masalah dipikirkan bersama. Sabda beliau itu mengatakan bahwa dua lebih
daripada satu, tiga lebih baik daripada dua dan empat lebih baik daripada tiga
dan seterusnya. Dengan demikian berarti setiap orang diberi kesempatan ikut berpartisipasi,
baik dalam memikirkan pemecahan masalah maupun dalam melaksanakan hasilnya.
Kesediaan beliau sebagai pemimpin
untuk mendengarkan pendapat, bukan saja dinyatakan dalam sabdanya, tetapi
terlihat dalam praktek kepemimpinannya. Sebuah hadist Rasulullah SWAT
mengatakan sebagai berikut : Dari Jabir bin Abdullah r.a. ia berkata :
“Rasulullah SAW membagi rampasan perang di Ji’ranah, tiba-tiba seorang
laki-laki berkata kepada beliau : “Berkata Adillah!” lalu beliau bersabd
kepadanya :”Saya celaka, kalau saya tidak adil!”.[15]
Disamping itu dalam praktik
kepemimpinannya, Rasulullah SAW selalu bermusyawarah dengan para sahabat
sebagai penasihat beliau, mengenai taktik dan strategi yang akan dilaksanakan
sebelum berangkat ke Medan perang. Rasulullah SAW melaksanakan musyawarah
semata-mata untuk mentaati perintah Allah SWT, bahkan jika perlu boleh
dilakukan dengan orang musyrik yang memusuhi umat Islam.
Sifat demokratis dalam kepemimpinan
Rasulullah SAW tidak sekedar ditandai dengan musyawarah, tetapi juga dengan
memberikan perlindungan pada hak setiap umatnya. Beliau menjalankan sepenuhnya
petunjuk Allah SWT dalam memberi kesempatan pada seseorang yang diperlukan
secara tidak adil, untuk membela diri.
Dari uraian-uraian tentang
kepemimpinan Rasulullah SAW yang bersifat situasional, jenis ketiga tipe utama
dalam kepemimpinan diselenggarakan secara terintegrasi (terpadu) dan harmonis.
Keterpaduan itu menghasilkan kepemimpinan yang agung, karena tidak sekedar
bersifat manusiawi, tetapi merupakan juga sebagai perwujudan kepemimpinan spiritual Allah SWT.
Di dalam kepemimpinan itu fungsi
iman berjalan mendahului fungsi akal/pikiran. Dengan kata lain fungsi akal/pikiran
dalam melaksanakan kepemimpinan dikendalikan oleh iman. Dalam kondisi seperti
itu emosionalitas terarah pada kecintaan pada Allah SWT karena kesadaran telah
memperoleh petunjuk dan tuntunan-Nya.
Kecintaan yang murni itu karena
dilandasi keimanan dicurahkan sepenuhnya, melebihi kecintaan terhadap segala
sesuatu yang sangat dicintai dimuka bumi ini. Kecintaan itu dimanifestasikan
juga pada manusia pilihan-Nya Muhammad SAW, yang dalam kendali iman mendorong
untuk menempatkan beliau sebagai junjungan bagi orang-orang yang mengakuinya
sebagai utusan Allah SWT.
Dalam keimanan yang sangat tinggi
Rasulullah SAW selalu membatasi kharismanya itu, dengan mengingatkan bahwa
beliau sekedar seorang utusan. Beliau mencegah agar umat Islam tidak tersesat
dengan menempatkan beliau sebagai Pengganti Tuhan atau Anak Tuhan yang harus
disembah sebagai dosa syirik yang tidak berampun. Dengan kata lain hanya
Rosulullah SAW yang dapat, patut dan boleh dikultuskan sebagai pemimpin umat,
sehingga dijadikan sebagai umat Islam, namun bukan untuk disembah karena adalah
manusia makhluk ciptaan sebagaimana manusia yang lain.
3.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam
Manajemen Pendidikan
Dalam melaksanakan aktivitasnya
bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut
sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah,
sebagai berikut :
a.
Kepribadian
(personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup
nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan
gaya kepemimpinan.
b.
Harapan
dan perilaku atasan.
c.
Karakteristik,
harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
d.
Kebutuhan
tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
e.
Iklim
dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
f.
Harapan
dan perilaku rekan.[16]
Berdasarkan faktor-faktor tersebut,
maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh
factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh
sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam
hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping
dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri
untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan
sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin
sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
a.
Sebagai
pelaksana (executive)
b.
Sebagai
perencana (planner)
c.
Sebagai
seorangahli (expert)
d.
Sebagai
mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
e.
Sebagai
mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal
relationship)
f.
Bertindak
sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and
punishments)
g.
Bentindak
sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
h.
Merupakan
bagian dari kelompok (exemplar)
i.
Merupakan
lambing dari pada kelompok (symbol of the group)
j.
Pemegang
tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual
responsibility)
k.
Sebagai
pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)
l.
Bertindak
sebagai seorang aya (father figure)
m.
Sebagai
kambing hitam (scape goat).[17]
Berdasarkan dari peranan pemimpin
tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki
peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki
tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
a.
Menyelami
kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.
b.
Dari
keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang
benar-benar dapat dicapai.
c.
Meyakinkan
kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis
dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.[18]
Tugas pemimpin tersebut akan
berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya.
Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang
mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran,
perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Untuk keberhasilan dalam pencapaian
suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami
akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan
peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin
hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja
yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam
mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah
ditetapkan.
C.
Penutup
Kepemimpinan dalam manajemen pendidikan tak lepas
dari perbedaan kultur atau budaya. Kepemimpinan dalam teori organisasi mengakui
pentingnya interaksi pemimpin dan lingkungannya. Kepemimpinan yang tepat dan
sukses akan berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada. Sehingga,
pola kepemimpinan dalam suatu kelompok disesuaikan dengan situasi dan
kondisinya. Misalnya, kepemimpinan di Sekolah, berbeda dengan kepemimpinan di
madrasah ataupun pesantren.
Dalam teori dan praktik, antara kepemimpinan dan
manajemen, sering terjadi disposition job, artinya, kadang seorang
pemimpin mengerjakan sesuatu yang sebenarnya pekerjaan itu lebih tepat
dikatakan sebagai pekerjaan manajerial, ataupun sebaliknya. Tetapi, biasanya kepemimpinan diidentikkan dengan visi dan
nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikkan dengan proses dan struktur. Hal
ini berbeda dalam kepemimpinan sekolah, seorang kepala sekolah dapat
mempunyai dwi fungsi, yakni sebagai seorang pemimpin dan manajer sekaligus.
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat Dikmenur, Panduan Manajemen Sekolah, (Jakarta : Depdiknas, t.t)
Djohar,
Pengembangan Pendidikan Nasional Menyongsong Masa Depan, (Yogyakarta: CV.
Grafika Indah, 2006)
E. Mulyasa, Manajemen
Berbasis Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2005)
Fahrurrozi
dalam Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan, ( Yohyakarta: IRCiSod, 2006)
Kartodirdjo, Sartono, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial,
(Jakarta : LP3ES, 1990)
Maman Ukas, Manajemen Konsep,
Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa Promo, 1999)
Nanang Fattah, Landasan Manajemen
Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya, 1996)
Nasir, M. Ridwan, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal,
(Yogyakarta ustaka Pelajar, 2005)
Nawawi, Hadari, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 1993)
Sardjuli,
Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia, 2001)
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1999)
Tony Bush dan
Marianne Coleman, Leadership dan Strategic Management in Education,
(London: Paul Chapman Publishing Ltd, 2000)
[1]
Sukamto, Kepemimpinan Kyai dalam Pesantren, (Jakarta : LP3S, 1999), hal
19
[2]
Sardjuli, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Solo: Era Intermedia,
2001), hal. 73
[3]
Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Dimensi Sosial, (Jakarta :
LP3ES, 1990), hal 7
[4]
Direktorat Dikmenur, Panduan Manajemen Sekolah, (Jakarta : Depdiknas, t.t.), hal 8
[5] M.
Ridwan Nasir, Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal, (Yogyakarta ustaka Pelajar, 2005), hal. 130
[6]
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung: P. T. Remaja Rosda Karya, 2004),
hal. 88
[7] E.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, hal. 112
[8] E.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah, hal. 112
[9] Ibid.,
hal. 116
[10]
Maman Ukas, Manajemen Konsep, Prinsip, dan Aplikasi, (Bandung : Ossa
Promo, 1999), hal. 261-262
[11]
Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, 1993), hal. 282
[12]
Ibid., hal. 83
[13]
Ibid., hal. 286
[14]
Ibid.
[15]
Ibid., hal. 288
[16]
Nanang Fattah, Landasan Manajemen Pendidikan, (Bandung : Rosdakarya,
1996) hal. 102
[17] M.
Ngalim Purwanto, Administrasi Pendidikan, (Jakarta : Mutiara Sumber-Sumber
Benih Kecerdasan, 1981)
[18] Ibid.,
hal. 38-39
No comments:
Post a Comment