Guru profesional adalah guru yang meramu kualitas dan integritasnya.
Mereka tidak hanya memberikan pembelajaran bagi peserta didiknya tapi mereka
juga harus menambah pembelajaran bagi mereka sendiri karena jaman terus
berubah. Ia harus terus meningkatkan kemampuan serta keterampilannya dalam
berbagai bidang.
Perningkatan kualitas ini tidak hanya didapat melalui ruang formal
saja. Tapi juga bisa melalui pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas guru.
Namun untuk menjadi seorang guru profesional, tidak lah semudah kita
mengucapkan kata-kata. Membutuhkan kerja keras dan loyalitas terhadap apa yang
harus dilakukan seorang guru profesional.
Dari hasil pengamatan di lapangan paling tidak terdapat “26 PENYAKIT”
yang menjangkiti guru saat ini adalah :
1.
ASAM URAT yaitu asal
sampai, meski kurang akurat.
2.
ASMA yaitu asal masuk.
3.
BATUK yaitu baca ngantuk.
4.
DIABETES yaitu dihadapan
anak bekerja tidak serius.
5.
DIARE yaitu dikelas
anak-anak remehkan (guru hanya menang belajar 1 malam saja).
6.
GAPTEK yaitu gagap
teknologi.
7.
GATAL yaitu gaji tambah
aktifitas lesu.
8.
GINJAL yaitu gajinya nihil
jarang aktif dan terlambat.
9.
HIPERTENSI yaitu hiruk
pikuk persoalkan tentang sertifikasi.
10.
KANKER yaitu kantong
kering.
11.
KRAM yaitu kurang terampil.
12.
KUDIS yaitu kurang
disipilin.
13.
KURAP yaitu kurang rapih.
14.
KUSTA yaitu kurang
strategi.
15.
LESU yaitu lemah sumber.
16.
LIPER yaitu lekas ingin
pergi.
17.
MUAL yaitu mutu amat lemah.
18.
PROSTAT yaitu program dan
strategi tidak dicatat.
19.
REMATIK yaitu rendah
motivasi anak tidak simpatik.
20.
SAKAW yaitu status kalaw
(baca: galau).
21.
SALESMA yaitu sangat lemah
sekali membaca.
22.
STROKE yaitu suka
terlambat, rupanya kebiasaan.
23.
TBC yaitu tak bisa
computer.
24.
THT yaitu tukang hitung
transport.
25.
TIPUS yaitu tidak punya
selera.
26.
WTS yaitu wawasan tidak
luas
Pada kenyataannya, program pemerintah atas guru dan dosen tersebut
masih jauh dari asa. Sebagaimana diberitakan Kemendiknas, hingga Juli 2011
diperkirakan ada lima ratus ribu guru per hari malas mengajar. Terlepas dari
keakuratan data, sesungguhnya ini merupakan cermin buram wajah pendidikan kita.
Bukan kecil angka tersebut. Sebab, lima ratus ribu itu sama dengan jumlah guru
yang ada di Malaysia dan Thailand.
Tidak sedikit guru menanggapi secara praktis adanya sertifikasi guru,
yakni sekadar mendapatkan tunjangan lebih. Guru rela meninggalkan tugas utama
(mengajar) demi mengikuti aneka workshop. Bukan rahasia umum manakala guru
malah tertidur atau ngobrol di saat pelatihan berlangsung, lantas menjinjing
sertifikat ketika acara usai. Lebih parah lagi, sebagian teman seprofesi justru
melakukan kecurangan dengan jalan meminjam sertifikat teman untuk difoto kopi.
Tentunya, setelah mengganti nama yang tertera.
Penyelenggaraan pelatihan jadi muspro. Seperti sediakala, guru mengajar
sekenanya, asal menyampaikan materi. Tidak ditemukan variasi dalam penggunaan
metode pembelajaran. Ceramah, termasuk metode andalan. Pada takaran ini, siswa
dianggap tidak tahu apa-apa, sementara guru maha kuasa. Siswa ibarat tong
sampah yang siap menerima segala yang keluar dari guru.
Perlu diketahui bahwa pembelajaran bukan seperti sedang menonton pertunjukan film; siswa tidak
sekadar duduk di kelas untuk mendengarkan penjelasan guru, menghafal paket
materi, lantas menjawab pertanyaan guru. Pembelajaran adalah proses pendewasaan
dengan cara mengasah dua sisi terpenting siswa: kognitif dan afektif. Siswa
harusnya berbicara tentang apa yang mereka pelajari dan dapat menuliskannya,
mengaitkan dengan pengalaman masa lalu, serta menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Siswa menjadikan apa
yang dipelajari sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Oleh sebab itu, siapa memilih profesi guru, seyogyanya bisa terbuka dan
mau membuka wawasan siswa. Setidaknya guru mengenali potensi peserta didiknya.
Menurut Howard Gandner, kecerdasan siswa yang wajib mendapat perhatian guru,
antara lain: linguistik, logis matematis, spasial visual, musik, interpersonal,
intrapersonal, kinestetis, dan naturalis.
Guru juga disarankan mengetahui tipe belajar siswa yang tentunya
berbeda antara satu dengan lainnya: ada visual, auditif, dan kinestetik.
Kecenderungan belajar siswa ini penting dimengerti agar metode pembelajaran
yang diterapkan bisa tepat, sehingga materi pelajaran mudah diserap. Adapun
cara menentukan tipe belajar apa yang ada di masing-masing siswa maka
memerlukan eksperimen, pengamatan, dan penelitian mendalam oleh guru.
Secara sederhana, guru ideal akan menunjukkan keterbukaan dalam
perencanaan mengajar dan kegiatan belajar mengajar, di samping juga
mempertimbangkan berbagai cara menyampaikan isi pelajaran kepada siswa. Guru
tidak hanya terpaku pada satu atau dua metode mengajar tanpa mempertimbangkan
kesesuaiannya dengan materi pelajaran serta potensi siswa. Dalam menciptakan
kegiatan belajar mengajar yang menarik maka guru akan mencoba menyelingi dengan
humor sampai akhirnya semua siswa merasakan jikalau materi yang diberikan guru
itu mudah.
Inilah sesungguhnya yang diperlukan dalam suatu proses pembelajaran.
Metode pembelajaran yang baik seharusnya selaras dengan tujuan kurikulum.
Undang-Undang Sisdiknas pasal 3 nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa setiap pembelajaran
harusnya dapat mengembangkan potensi peserta didik secara holistik. Bukan hanya
mengembangkan aspek kognitif atau akademik saja, tetapi juga harus mampu
membentuk manusia utuh (whole person) yang cakap dalam menghadapi dunia yang
penuh tantangan, serta mempunyai kesadaran spiritual bahwa dirinya adalah
bagian dari keseluruhan (the person within a whole).
“Betapa cantiknya sebuah proses belajar dalam sebuah kelas apabila guru
memandang semua siswanya pandai dan cerdas dan para siswanya merasakan semua
pelajaran yang diajarkan mudah dan menarik. Kelas tersebut akan hidup. Keluar
dari kelas tersebut, semua siswa mendapat pengalaman pertama yang luar biasa
dan tak akan pernah lupa seumur hidup. Apabila kelas seperti itu terjadi pada
jutaan kelas di sekolah-sekolah di Indonesia , pasti negara ini akan menjadi
negara maju yang diperhitungkan oleh dunia,” kata Munif Chatib, seorang
praktisi pendidikan.
Kiranya, menjadi kebutuhan setiap guru untuk selalu berusaha memahami
beberapa penyakit guru sebagaimana di atas yang bisa datang sewaktu-waktu.
Banyak membaca buku sebagai inspirasi untuk dapat menyembuhkan berbagai
penyakit kronis. Hingga pada akhirnya, jalannya proses pencapaian tujuan
pendidikan tidak terganggu. Selamat mencoba menjadi guru yang disenangi siswa!
No comments:
Post a Comment