Wednesday, April 4, 2012

7 HURUF DALAM ALQUR'AN

I. Pendahuluan

Sulit dibayangkan sekiranya umat Islam tidak memiliki al-Qur’an. Padahal ia adalah umat terakhir, umat yang diutus Allah sebagai saksi atas perbuatan semua manusia, dan umat terbaik yang rasulnya menjadi rahmat bagi alam semesta (rahmatan lil ‘a>lamin). Atau sulit dibayangkan sekiranya al-Qur’an yang ada di tangan umat ini bukan berasal dari ‘Tangan’ Zat yang maha mengetahui segala sesuatu yang gaib dan yang zahir.

Fenomena al-Qur’an sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad saw ternyata bagaikan magnet yang selalu menarik minat manusia untuk mengkaji dan meneliti kandungan makna dan kebenarannya. Al-Qur’an yang diturunkan atas ‘tujuh huruf’(sab’at ahruf) menjadi polemik pengertiannya di kalangan ulama, polemik ini bermuara pada pengertian sab’ah dan ahruf itu sendiri, dan korelasinya dengan cakupan mushaf Usman.



II. Pengertian Sab’at Ahruf


Tidak terdapat nas sarih yang menjelaskan maksud dari sab’at ahruf. Sehingga menjadi hal yang lumrah kalau para ulama,-berdasarkan ijtihadnya masing-masing, berbeda pendapat dalam menafsirkan pengertiannya. Ibn Hibban al-Busti (w. 354 H) sebagaimana dikutip al-Suyuti mengatakan bahwa perbedaan ulama dalam masalah ini sampai tiga puluh lima pendapat.
Sementara al-Zarqani dalam kitabnya hanya menampilkan sebelas pendapat secara detail dari perbedaan-perbedaan ulama tersebut. Perbedaan ulama mengenai pengertian sab’at ahruf ini tidak berasal dari tingkatan kualifikasi mereka atas hadis-hadis tentang tema dimaksud. Perbedaan itu justru muncul dari lafaz sab’at dan ahruf yang masuk kategori lafaz-lafaz musytarak, yaitu lafaz-lafaz yang mempunyai banyak kemungkinan arti, sehingga memungkinkan dan mengakomodasi segala jenis penafsiran. Selain itu juga disebabkan adanya fenomena historis tentang periwayatan bacaan al-Qur’an yang memang beragam. Berikut ini sebagian dari pendapat-pendapat tersebut:

Pendapat pertama. al-Tabari, dan jumhur ulama fiqh, dan hadis mengartikan sab’at ahruf sebagai tujuh bentuk bahasa yang berbeda lafalnya, tetapi sama maknanya. Dengan bahasa lain, sab’at ahruf di sini dapat diartikan tujuh bahasa dari bahasa-bahasa Arab tentang lafaz-lafaz tertentu yang berbeda lafaznya tetapi sama maknanya, seperti lafaz halumma, qasdi, ta’al, nahwi, dan aqbil. Meskipun kata-kata tersebut berbeda dalam pelafalan namun maknanya satu, yaitu perintah untuk datang. Al-Tabari, dan ulama yang sepakat dengannya mendasarkan pendapatnya ini pada hadis Abu bakrah yang meriwayatkan permintaan Rasulullah kepada Jibril untuk memberikan alternatif pembacaan al-Qur’an lebih dari satu.

Alasan lain adalah hadis Anas yang membaca Q.S. al-Muzammil (73): 6, dengan bacaan أشد وطأ وأقوم قيلا ketika ditanya tentang bacaannya tersebut, Anas menjawab bahwa lafaz أصوب أقوم أهياء adalah satu arti. Begitu pula hadis yang diirwayatkan Ubay ibn Ka’ab yang membaca surat al-Baqarah: 20 dengan tiga variasi bacaan. Namun demikian tidak semua makna mempunyai tujuh lafaz yang senada dengan makna tersebut. Tetapi semua makna yang bisa diwakili oleh suatu lafaz, lafaz ini sajalah yang dipakai. Adapun jika ungkapan makna itu bisa diwakili dengan dua lafaz, maka dua lafaz inilah yang dipakai, begitu seterusnya hingga tujuh lafaz Riwayat dan dalil-dalil yang dikemukakan di atas tidak hanya dipegangi oleh ulama-ulama zaman klasik dan pertengahan semacam al-Tabari, Sufyan ibn Uyainah, Ibn Wahb, Khalaiq, dan al-Tahawi, tetapi diikuti pula oleh penulis-penulis kontemporer semisal Manna’ al-Qattan, Abd al-Mun’im al-Namr, Abd al-Sabur Syahin, Umar Shihab, dan Hasbi ash-Shiddieqy.

Dalam membangun argumentasi, al-Tabari tidak hanya mendasarkan kepada teks-teks kitab suci, alasan-alasan rasionalpun ia pergunakan untuk memperkuat pendapatnya ini. al-Tabari berpendapat bahwa perbedaan yang terjadi di antara sahabat dalam pembacaan al-Qur’an hanya sebatas perbedaan lafaz bukan pada perbedaan makna, karena menurutnya tidak mungkin Rasulullah membenarkan semua yang diperselisihkan sahabat bila yang diperselisihkan itu berkaitan dengan masalah makna (hukum) seperti mengenai halal-haram, janji dan ancaman, dan sebagainya. Ini sebagai bukti bahwa perbedaan yang ada hanya pada pelafalan bahasa atau dialek al-Qur’an yang telah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat. Ibn Kasir mengutip perkataan al-Tahawi dan yang lainnya, “Bahwasanya adanya tujuh huruf itu adalah sebagai rukhsah(dispensasi) agar orang-orang boleh membaca al-Qur’an dalam tujuh bahasa”. Hal ini berlaku tatkala kebanyakan orang Islam kesulitan untuk membaca dalam bahasa Quraisy dan bacaan Rasulullah, dikarenakan keterbatasan kemampuan yang dimiliki sebagian umat Islam saat itu.

Pendapat kedua, Ibn Qutaibah menafsirkan sab’at ahruf dengan tujuh bentuk (awjuh) perubahan, yaitu:
  1. Perubahan harakat (tanda baca) tetapi makna dan bentuk tulisannya tidak berubah.
  2. Perubahan pada kata kerja (fi’il)
  3. Perubahan pada lafaz, seperti “nunsyiruha” dengan ra’ dan “nunsyizuha” dengan za’
  4. Perubahan dengan pergantian huruf yang berhampiran mahrajnya
  5. Perubahan dengan penambahan dan pengurangan kalimat.
  6. Perubahan dengan cara mengemudiankan dan mendahulukan.
  7. Perubahan dengan penggantian suatu kata dengan kata yang lain.
Pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Ibn al-Jazari dan Qadi Ibn Tayyib. Bahkan pada substansinya kedua pendapat terakhir ini tidak berbeda dengan penafsiran yang dikemukakan oleh Ibn Qutaibah, kecuali dalam hal ungkapan, urutan, dan contohnya. Dalam hubungannya dengan qira’ah, ketiga pendapat in juga tidak jauh dengan penafsiran yang dikemukakan al-Razi.

Pendapat ketiga, kelompok ini mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah tujuh bahasa bagi tujuh kabilah Arab. Tujuh bahasa ini adalah tujuh bahasa yang paling fasih di antara suku-suku Arab, yang terbanyak adalah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Pendapat ini dibenarkan oleh al-Baihaqi dan al-Abhari. Ibn Mansur al-Azhari (w. 370 H) menyebutkan bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang mukhtar, dengan alasan perkataan Usman ketika menyuruh mereka menulis mushaf, “Dan sesuatu yang yang kamu perselisihkan antara kamu dan Zaid, maka kamu tulislah dengan bahasa Quraisy, karena al-Qur’an banyak turun dengan bahasa mereka”.

Dari penelitian al-Sijistani mengenai bahasa al-Qur’an ternyata ditemukan lebih banyak dari bahasa-bahasa yang sudah disebutkan di depan, ia menyebutkan sekitar dua puluh delapan bahasa, sementara Abu Bakr al-Wasiti menyebutkan empat puluh bahasa, termasuk bahasa di luar rumpun bahasa Arab, seperti Nabat, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti. Pendapat keempat, Qadi ‘Iyad, dan ulama yang sepakat dengannya menganggap pengertian sab’at ahruf yang terdapat dalam hadis Nabi sebagai sesuatu yang pelik dan tidak dapat dipahami makna sebenarnya. Sebab kata ahruf termasuk lafaz musytarak yang secara literal (harfiyah) dapat berarti ejaan, kata, makna, sisi, ujung, bentuk, bahasa, dan arah. Sementara kata Sab’ah ada yang mengartikannya tidak dengan bilangan tujuh yang sebenarnya. Akan tetapi maksudnya hanyalah untuk memberikan kemudahan dan keleluasaan bagi umat. Sebab kata sab’ah digunakan untuk menunjukkan arti banyak (kasrah) dalam hal satuan, sebagaimana kata sab’un dalam hal puluhan dan sab’umiyah dalam hal ratusan.

Dengan demikian kata sab’ah(tujuh) di sini tidak dimaksud bilangan tertentu. Pendapat kelima, Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud sab’at ahruf adalah qira>’at sab’ah. Ada yang menegaskannya dengan tujuh qira>’ah dari tujuh sahabat Nabi, yaitu Abu Bakr, Umar, Usman, ‘Ali, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, dan Ubay Ibn Ka’ab, adapula pula yang menghubungkannya dengan qira>’ah tujuh yang populer. Ibn al-Jazari mengemukakan bahwa sesungguhnya pendapat ini tidak diucapkan oleh seorangpun dari ulama-ulama, hanya pendapat ini merupakan perkataan yang memberatkan ulama dari dulu dalam menceritakan, membantah, dan menyalahkannya. Pendapat ini adalah suatu sangkaan orang-orang awam yang bodoh, tidak lain. Sesungguhnya mereka mendengar turunnya al-Qur’an dalam tujuh huruf dan tujuh riwayat, maka kemudian mereka menghayalkan hal tersebut. Hasbi ash-Shiddieqy menilai bahwa pendapat yang menyatakan bahwa sab’at ahruf sebagai sab’at qira’ah merupakan pendapat yang lemah. Pernyatan Hasbi ini memang beralasan, sebab sekalipun tujuh ahli qira’ah itu sangat berpengaruh dalam pembacaan ayat-ayat al-Qur’an, namun masih ada ahli qira’ah lain yang digunakan juga qira’ahnya. Qira’ah mutawatirah yang masyhur di kalangan umat Islam, tidak hanya qira’ah sab’ah. Dikenal pula qira’ah sittah, qira’ah asyrah, qira’ah ihda asyrah. Dengan demikian pendapat ini tidak diakui, karena tidak ada seorang ulamapun yang sepakat dengan pendapat ini.

III. Cakupan Mushaf Usmani atas Sab’at Ahruf  

Inisiatif Usman untuk mengkodifikasi dan menggandakan al-Qur’an muncul setelah ada usulan dari Khuzaifah, yang melaporkan adanya perselisihan dan perbedaan antara pengikut Ubay Ibn Ka’ab dan Ibn Mas’ud tentang bacaan al-Qur’an. Inisiatif ini kemudian ditindak lanjuti Usman dengan membentuk tim kecil yang diketuai dengan Zaid Ibn Sabit. Tim ini diinstruksikan mengkodifikasi dan menggandakan al-Qur’an dengan bahasa standar (Quraisy), berbasiskan data yang ada pada mushaf Abu Bakr yang ada pada Hafsah. Setelah tim tersebut menyelesaikan tugasnya, khalifah Usman mengembalikan mushaf orisinal kepada Hafsah. Kemudian beberapa mushaf hasil kerja tim tersebut dikirim ke berbagai kota besar Islam, sementara mushaf-mushaf yang lain yang ada pada saat itu diperintahkan khalifah Usman untuk dibakar. Pembakaran mushaf dimaksudkan untuk mencegah terjadinya pertikaian di kalangan umat, karena masing-masing mushaf yang dibakar itu mempunyai kekhususan. Adanya mushaf Usmani yang menggantikan posisi mushaf Abu Bakar dan menjadi mushaf standar tidak menyelesaikan semua persoalan yang ada, tetapi menyisakan beberapa persoalan.

Salah satu persoalan yang muncul adalah mengenai cakupannya, apakah mushaf Usmani ini telah mencover atau menghimpun keseluruhan sab’at ahruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan atau tidak?. Persoalan ini menjadi polemik dikalangan ulama, sehingga mereka terpolarisasi dalam beberapa pendapat. Al-Tabari berpendapat bahwa mushaf Usmani tidak mencover keseluruhan sab’at ahruf, tetapi hanya mencakup satu huruf saja. Alasan yang mendasarinya adalah usaha ‘Usman untuk mempersatukan umat Islam saat itu dalam satu bacaan, sehingga Usman hanya menetapkan satu huruf dan meninggalkan enam huruf yang lainnya. Berkenaan dengan permasalahan ini al-Tabari menuliskan, “Usman menyatukan umat Islam dalam satu mushaf dan satu huruf, dan merobek-robek yang lainnya. Ia memerintahkan dengan tegas agar setiap orang yang mempunyai mushaf berbeda dengan mushaf yang disepakati untuk membakar mushaf tersebut. Umat mendukung dengan taat, dan mereka melihat bahwa dengan begitu Usman melakukannya sesuai petunjuk dan sangat bijaksana. Umat kemudian meninggalkan qira’ah enam huruf yang lainnya, sesuai dengan permintaan pemimpinnya yang adil, sebagai bukti ketaatan mereka pada pemimpin, dan karena pertimbangan demi kebaikan mereka dan generasi sesudahnya”.

Disamping menjelaskan alasan yang melatarbelakangi diambilnya kebijakan untuk memegangi satu huruf, al-Tabari juga melakukan rasionalisasi permasalahan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ia jawab sendiri: “Mengapa huruf-huruf yang enam lainnya tidak ada ?” al-Tabari menjawab “Umat Islam diperintah untuk menghapalkan al-Qur’an, dan diberi kebebasan untuk memilih dalam bacaan dan hapalannya, salah satu dari tujuh yang diperintahkan, sesuai dengan keinginannya, sebagai mana seseorang diberi kebebasan untuk memilih kafarah yang harus ditunaikannya, antara memilih memerdekakan budak, memberi makan dan atau memberi pakaian”. Al-Tabari melanjutkan rasionalisasi permasalahan ini.

Berikut kita kutip secara lengkap beberapa pertanyaan yang ia tulis untuk menjawab keraguan penentangnya: “Bagaimana mereka meninggalkan qira’at yang telah dibacakan rasulullah dan diperintahkan pula membaca dengan cara seperti itu?”. Maka jawabnya “Sesungguhnya perintah Rasulullah kepada mereka itu bukan perintah yang menunjukkan wajib dan fardu, tetapi hanya menunjukkan kebolehan dan keringanan (rukhsah). Sebab bila qira’at dengan tujuh huruf diwajibkan kepada mereka, tentulah pengetahuan tentang setiap huruf dari ketujuh huruf itu wajib pula orang yang mempunyai hujjah untuk menyampaikannya, beritanya harus pasti dan keraguan harus dihilangkan. Dan karena mereka tidak menyampakan hal tersebut, ini merupakan bukti dalam masalah qira’at boleh memilih”. Dalam hal ini menjadi jelas, umat Islam tidak dipandang meninggalkan tugas menyampaikan semua qira’at yang tujuh tersebut, yang menjadi kewajiban mereka untuk menyampaikannya. Kewajiban mereka ialah apa yang telah dilakukannya itu. Karena apa yang sudah mereka kerjakan ternyata sangat berguna bagi Islam dan kaum muslimin.

Sementara sekelompok kecil ulama mutakallimin, qurra’, dan sebagian fuqaha’ berbeda pendapat dengan apa yang telah diungkapkan al-Tabari, mereka berpendapat bahwasanya mushaf-mushaf Usmani telah mencakup (mengcover) keseluruhan sab’at ahruf, dan umat tidak boleh menelantarkan sedikitpun dari sab’at ahruf yang dengannya al-Qur’an diturunkan. Para sahabat telah sepakat menyalin mushaf-mushaf Usmani dari mushaf orisional yang dikodifikasi pada masa Abu Bakr. Kemudian mengirimkan kesetiap kota utama satu mushaf. Mereka sepakat meninggalkan mushaf yang selain itu, dan tidak boleh melarang seseorang yang ingin membaca dengan sebagian sab’at ahruf, juga tidak diperkenankan bersepakat meninggalkan satupun dari al-Qur’an. Serupa dengan pendapat mutakallimin, jumhur ulama berpendapat bahwa mushaf Usmani yang ada sekarang telah mencakup atau menghimpun sab’at ahruf, bedanya di sini cakupannya sebatas yang dapat diakomodasi oleh bentuk tulisan (rasm)nya. Mushaf Usman menurut jumhur telah mencakup atau menghimpun apa yang telah ditetapkan pada al-’ardah al-akhirah, yang diperlihatkan Rasulullah kepada malaikat Jibril tanpa menyisakan satu hurufpun. Pendapat ini dibenarkan oleh Ibn al-Iazari. Menurut kelompok ini tidak dibenarkan mengatakan mushaf-mushaf Usmani telah mencakup keseluruhan dari sab’at ahruf, juga tidak dibenarkan mengatakan ia hanya teringkas dalam satu huruf, atau bilangan tertentu, karena ucapan itu semuanya tidak berdasar (berdalil).

IV. Kesimpulan

Dari berbagai riwayat yang ada dapat disimpulkan bahwa permohonan Rasulullah untuk tambahnya variasi bacaan al-Qur’an terjadi dua belas tahun pasca kenabian, tepatnya setelah Rasulullah melakukan hijrah ke Madinah. Mengenai hal ini Abd al-Sabur Syahin menuliskan dalam kitabnya :
إنّ منطوق الاحاديث ومفهومها يدلاّن على أنّ زمن التصريح بقراءة القرآن على سبعة أحرف لم يكن خلال الفترة المكيّة, وإنما كان خلال الفترة المدينة. فأمّا منطوق : فإن يرد فى بعضها أن النبيّ كان خلال الفترة المدينة كان عند أحجار المراء بالمدينة, وعند أضاة بنى غفّار, وهو موضع بالمدينة. وأما المفهوم : فإن أغلب الأحاديث التي ذكرت خلافًا بين الصحابة حول شيء من القرآن أشارت إلى حدوثه بالمسجد, كما أشارت الى صور من الإحتـكام الى النبيّ. والمسجد : هو المسجد المدينة, بلا مراء

Pernyataan ini menjelaskan bahwa permohonan keringanan bacaan atas tujuh huruf (sab’at ahruf) tidak terjadi kecuali setelah hijrah. Hal ini tentunya menimbulkan pertanyaan bagi kita, mengapa permohonan itu baru muncul di Madinah sementara ayat-ayat al-Qur’an sudah turun selama dua belas tahun di Mekkah? Peristiwa ini menunjukkan bahwa kebutuhan kepada bentuk bacaan yang bervariasi, baru dirasakan di Madinah setelah tersiarnya Islam ke berbagai kabilah dengan berbagai bahasa dan dialek yang kadang-kadang satu kabilah sulit mengikuti dialek kabilah lainnya termasuk dialek Quraisy.

Dari sini dapat dipahami bahwa turunnya al-Qur’an dalam berbagai variasi bacaan (sab’at ahruf), sifatnya kontekstual dan bukan suatu yang normatif. Hal ini dapat diketahui dari konteks turunnya di Madinah yang awalnya berfungsi sebagai keringanan dan kemudahan bagi umat Islam yang saat itu terdiri dari berbagai kabilah dengan beragam bahasa dan dialek, yang hal itu tidak terjadi di Mekkah karena umat Islam masih minoritas dan tidak butuh pada adanya variasi bacaan al-Qur’an. Analisa ini menjadi relevan dengan pernyataan al-Tabari yang menyatakan bahwa pembacaan al-Qur’an atas tujuh huruf bukan sesuatu yang fardu dan wajib (normatif), melainkan hanya menunjukkan keringanan (rukhsah) dan kebolehan. Oleh karena itu bila konteksnya sudah tidak relevan lagi, maka materi-materi yang bersifat partikular dengan sendirinya dapat ditinggalkan atau dihilangkan, sebagaimana kebijakan ‘Usman untuk hanya menetapkan satu huruf dan meninggalkan enam huruf yang lainnya ketika melakukan kodifikasi al-Qur’an (mushaf Usmani). Al-Tabari tampil konsisten dengan pemikiran yang menafsiri sab’at ahruf sebagai tujuh dialek yang berbeda lafaznya tetapi satu artinya. Karena konsekwensi dari pemikirannya itu ia harus meyakini bahwa mushaf Usmani hanya tersusun dari satu huruf, tidak enam huruf yang lainnya.

Dengan bahasa lain dapat dikatakan bahwa mushaf Usmani hanya menggunakan satu bahasa/dialek dalam setiap lafaz dan kalimatnya. Alasan lain yang memperkuat pernyataan bahwa mushaf Usmani hanya memuat satu huruf adalah perbedaan motiv yang melatarbelakangi usaha kodifikasi al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar dengan motivasi yang melatarbelakangi kodifikasi serupa pada masa khalifah Usman. Pada masa Abu Bakar motivasi yang melatarbelakangi adalah kekhawatiran sebagian sahabat Nabi akan hilangnya al-Qur’an dikemudian hari. Ini disebabkan banyak sahabat Nabi penghapal al-Qur’an yang syahid di medan peperangan, sementara tulisan yang ada masih sangat sederhana dan terbatas sekali. Tulisan al-Qur’an saat itu masih berserakan dalam daun-daun, tulang-tulang dan kulit binatang.

Sementara motivasi yang muncul pada masa Usman adalah keinginan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu bacaan. Semangat ini munculnya karena adanya kekhawatiran sebagian kaum muslimin dengan adanya perbedaan dan perselisihan pembacaan al-Qur’an di antara umat. Fenomena ini pada akhirnya mendorong Khalifah Usman untuk melakukan upaya penyelamatan dengan menyeragamkan pembacaan al-Qur’an pada satu huruf. Manna’ al-Qattan menjelaskan bahwa pilihan atas satu huruf pada masa khalifah Usman adalah merupakan ijma’ sahabat, hal tersebut menjadi penting untuk segera dilakukan, karena untuk persatuan umat dan menghindari perselisihan yang ada.

Sementara jumhur ulama yang tidak sepakat dengan pendapat al-Tabari, lebih menonjolkan aspek kesalehan kolektif dan kehatian-hatian dalam menanggapi cakupan mushaf Usmani ini. Mereka beranggapan bahwa mushaf Usmani telah mencakup sab’at ahruf sebatas yang dapat diakomodasi dalam bentuk tulisannya. Mushaf usmani menurut kelompok ini sudah menghimpun apa yang telah ditetapkan pada al-‘ardah al-akhirah, yaitu bacaan terakhir yang diperlihatkan Rasulullah kepada malaikat Jibril tanpa menyisakan satu hurufpun. Mereka beranggapan bahwa mengatakan mushaf Usmani hanya teringkas dalam satu huruf atau mencakup keseluruhan sab’at ahruf adalah ucapan yang tidak berdasar. Alasan lain yang dapat disimpulkan dari penolakan kelompok ini adalah kekhawatiran akan munculnya kesan bahwa al-Qur’an dapat diriwayatkan dengan makna. Kekhawatiran ini muncul dari asumsi bahwa pilihan atas satu huruf, tidak enam huruf yang lainnya, adalah bukti bahwa al-Qur’an dapat diriwayatkan sesuai dengan selera bahasa umat, juga kekhawatiran akan munculnya kesan bahwa bacaan yang enam lainnya sudah dianggap tidak perlu atau boleh ditinggalkan. Dari deskripsi di atas dapat disimpulkan bahwa jumhur ulama dalam masalah ini cenderung mengambil jalan akomodatif, dengan tidak membenarkan pendapat yang menyatakan mushaf Usmani hanya memuat satu huruf, juga tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani sudah mencakup keseluruhan sab’at ahruf.

Dari pandangan ini jumhur terlihat ambivalen, di mana pada satu sisi mereka tidak membenarkan pendapat yang menyatakan bahwa mushaf Usmani telah mencover keseluruhan sab’at ahruf, ini berarti ada bagian dari sab’at ahruf yang dihilangkan, namun pada sisi lain mereka juga tidak membenarkan pendapat al-Tabari yang menyatakan bahwa mushaf Usmani hanya memuat satu huruf saja. Padahal argumentasi al-Tabari mengenai permasalahan ini selaras dan dapat dipertanggung jawabkan secara historis.




Maraji'

  1. Akaha, Abduh Zulfidar. al-Qur’an dan al-Qira’at. Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1996.
  2. Al-Baghdadi, Sayyid Mahmud al-Alusi. Ruh al-Ma’ani fi al-Tafsir al-Qur’an al-Azim wa Sab’ al Masani. Jilid XIX. Beirut: Da>r al-Fikr, 1978.
  3. Al-Bukhari, Abu Abd Allah Muhammmad Ibn Ismail. Sahih al-Bukhari. Juz II, III. Kairo, Maktabah al-Nasriyah, t.th. Munjid, M. Nur al-Din. al-Taraduf fi al-Qur’an al-Karim (baina al-nazriyah wa al-tadbiq). Beirut: Dar al-Fikr al-Ma’asir, 1997.
  4. Al-Qardawi, Yusuf. Bagaimana Berinteraksi dengan al-Qur’an, terj. Kathur Suhardi, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 2000.
  5. Al-Qattan, Manna. Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an. t.tp. Mansyurat al-‘Asri al-Hadis, t.th. Al-Salih, Subhi. Membahas Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1996.
  6. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
  7. ---------Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
  8. Al-Suyuti, Jala>l al-Di>n. al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. jilid I Beirut: Da>r al-Fikr, t.th.
  9. Al-Tabari, Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir. Jami’ al-Bayan fi ta’wil al-Qur’an. Jilid I. Beirut, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th.
  10. Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996.  
  11. Al-Zarkasyi, Muhammad Ibn Abd Allah. al-Burha>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Kairo, Isa al-Babi al-Halabi wa Syirkah, t.th.
  12. Al-Zarqani, Muhammad Ibn Abd al-Azim. Mana>hil al-Irfa>n fi ‘Ulu>m al-Qur’a>n, jilid I. Beirut: Da>r al-Fikr, 1988.  

1 comment: