Meski pun berbeda pendapat
itu dibolehkan, namun tetap ada batasan dimana kebolehan itu berlaku. Di luar
garis yang telah dibolehkan, maka perbedaan pendapat itu menjadi tidak
produktif lagi.
1.
Masalah Cabang dan Bukan Fundamental
Kita
sering membagi tema agama menjadi dua, yaitu hal-hal yang bertema aqidah dan
syariah. Di dalam tema aqidah, kita menemukan wilayah dasar dan wilayah cabang,
sebagaimana di dalam tema syariah pun kita menemukan ada yang berada di wilayah
dasar dan cabang.
Perbedaan
pendapat di kalangan ulama hanya diperbolehkan bila berada di wilayah cabang,
baik dalam tema aqidah maupun dalam tema fiqih. Contoh tema aqidah yang
merupakan dasar adalah kita beriman bahwa Allah SWT bersifat Esa tidak
berbilang dan tidak ada yang menyamai Dirinya.
Sedangkan
tema aqidah tapi wilayah cabang adalah apa saja yang termasuk nama dan sifat
Allah. Seperti apa yang dimaksud dengan kursi Allah, termasuk juga masalah
wajah, tangan, kaki, dan lainnya. Para ulama boleh berbeda pendapat dalam
masalah cabang seperti ini dan tidak akan membuat mereka menjadi kafir atau
masuk neraka.
Contoh
tema syariah yang menjadi bagian dasar misalnya bahwa shalat lima waktu itu
hukumnya wajib bagi setiap muslim. Sedangkan contoh tema syariah yang menjadi
bagian furu' adalah apakah qunut pada shahat shubuh itu hukumnya sunnah atau
bid'ah. Para ulama dibolehkan berbeda pendapat dalam hukum qunut shubuh ini,
tetapi tidak boleh berbeda pendapat tentang disyariatkan lima waktu shalat yang
wajib.
Sayangnya
dalam alam nyata, orang seringkali terbolak-balik dalam berbeda pendapat.
Kadang masalah yang fundmental masih saja diperdebatkan bahkan dipermasalahkan,
padahal bila hal itu dilakukan, justru sendi agama yang paling dasar akan
dirusak. Kalangan orientalis dan liberalis biasanya menyerang pada bagian dasar
ini, teetapi dengan kamuflase seolah-olah kita masih boleh berdebat dan berbeda
pendapat.
2.
Beda Pendapat Bukan Perpecahan
Yang
juga seringkali kurang dipahami oleh banyak orang adalah kesan bahwa perbedaan pendapat
pada tingkat cabang berarti perpecahan. Padahal antara perbedaan pendapat
dengan perpecahan masih ada jarak yang sangat jauh, bagi mereka yang tahu
aturan main.
Memang
terkadang orang-orang yang kurang ilmunya memandang bahwa perbedaan pendapat itu
harus bermakna perpecahan. Karena berbeda pendapat dalam batas-batas tertentu
dibenarkan, tetapi berpecah-belah itu diharamkan. Dan haramkan berpecah-belah
itu ditegaskan di dalam Al-Quran.
وَاعْتَصِمُواْ بِحَبْلِ اللّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُواْ
Dan berpeganglah
kamu semuanya kepada tali Allah, dan janganlah kamu bercerai berai. (QS. Ali Imran : 103)
Perpecahan
di dalam masalah fundamental agama pernah dialami oleh umat sebelum kita, yaitu
para ahli kitab, baik yahudi maupun nasrani. Mereka adalah contoh yang tidak
baik dan tidak boleh ditiru. Oleh karena itu Allah SWT telah berpesan agar kita
jangan terperosok sebagaimana mereka terperosok.
وَلاَ تَكُونُواْ كَالَّذِينَ تَفَرَّقُواْ وَاخْتَلَفُواْ مِن
بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُوْلَـئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan
janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih
sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang
yang mendapat siksa yang berat. (QS.
Ali Imran : 105)
Tugas
para ulama adalah menegakkan agama Islam, oleh karena itu diharamkan bagi
mereka berpecah-belah. Dan ini merupakan wasiat tiap nabi yang pernah turun,
sebagaimana firman Allah SWT :
شَرَعَ لَكُم مِّنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي
أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ
أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
Dia
telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu : Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya. (QS.
Asy-Syura : 13)
وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ
بَغْيًا بَيْنَهُمْ
Dan
mereka tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu
pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. (QS. Asy-Syura : 14)
3.
Beda Pendapat Bukan Permusuhan
Perbedaan
pendapat yang diharamkan adalah yang melahirkan permusuhan dengan sesama
muslim, apalagi sesama para ulama dan juru dakwah.
Kalau
pun secara lahiriyah terpaksa umat ini berpisah, tidak berada dalam satu
kelompok atau jamaah, minimal mereka tidak boleh bermusuhan. Sebab permusuhan
itu akan sangat melemahkan umat, sebaliknya lawan akan nampak semakin tangguh.
مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء
عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ
Muhammad
itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras
terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. (QS. Al-Fath : 29)
Maka
sepanas apapun berbedaan pendapat di antara sesama umat Islam, tidak boleh
sampai terjadi permusuhan, dendam, atau pun tindakan-tindakan anarkis.
Ketika
Nabi Musa menarik rambut dan jenggot saudaranya, Nabi Harun, alaihimassalam,
beliau pun diingatkan untuk tidak melakukannya.
قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا
بِرَأْسِي إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ
تَرْقُبْ قَوْلِي
Harun
menjawab,"Hai putera ibuku, janganlah kamu pegang janggutku dan jangan
kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata,"Kamu telah
memecah antara Bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku".(QS. Thaha : 94)
4.
Adab dan Akhlaq Berbeda Pendapat
Dan
biasanya permusuhan itu akan semakin berkobar, manakala perbedaan pendapat itu
diwarnai pula dengan tindakan dan ucapan yang tidak terpuji. Maka kalau pun
terpaksa harus berbeda pendapat, haram hukumnya untuk saling melempar cacian,
hinaan, cemoohan, bahkan mendoakan keburukan dan tindakan-tindakan negatif
lainnya.
وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ
الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Dan
sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya
seburuk-buruk suara ialah suara keledai.
(QS. Luqman : 19)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ
الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب
بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا
فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
Hai
orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka , karena sebagian
dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka
memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. (QS.
Al-Hujurat : 12)
4.a.
Tidak Mencaci
Perilaku
tidak terpuji dari mereka yang berbeda pendapat adalah melontarkan makian,
hinaan dan cemoohan kepada pihak yang pendapatnya tidak sejalan dengan pendapat
mereka.
Sayangnya,
kita masih sering membaca atau mendengar ungkapan-ungkapan yang kurang simpatik
dari mereka yang berbeda pendapat, seperti ungkapan berikut :
·
Pendapat ini tidak keluar kecuali dari
mulut orang-orang yang bodoh, dungu dan tidak berilmu.
·
Mereka yang berpendapat seperti ini
tidak lain hanyalah sekumpulan orang-orang bodoh, dungu, sesat, tidak punya
akal dan ideot.
·
Pendapat ini tidak keluar kecuali dari
orang-orang yang lemah iman, tidak punya keteguhan hati, serta orang-orang yang
jiwana mudah terbawa nafsu duniawi.
Di
antara adab mulia yang wajib dilakukan oleh mereka yang berbeda pendapat adalah
bukan dengan langsung mengeluarkan vonis yang menjatuhkan, apalagi menghina.
Masih ada begitu banyak ungkapan yang lebih sopan dan halus, seperti ungkapan :
·
Meski tidak menolak, namun saya lebih
cenderung pada pendapat yang berbeda.
·
Pendapat ini tidak sepenuhnya salah,
namun menurut hemat saya agak kurang sesuai dengan situasinya.
·
Dalam masalah ini para ulama memang
berbeda pendapat, ada yang berpendapat A, B atau C.
·
Tanpa mengurangi rasa hormat pada
pendapat lain, saya agak cenderung sependapat dengan pendapat C.
·
Tanpa mengurangi rasa hormat kita
kepada beliau, namun rasanya pendapat beliau ini kurang tepat, wallahua'lam.
4.b.
Mengutip Dengan Lengkap
Salah
satu adab dalam berbeda pendapat adalah tidak langsung menyalahkan pendapat
orang lain, tetapi etikanya harus dikutipkan dulu apa yang menjadi pendapat
orang, serta dilengkapi dengan alasan dan argumentasinya.
Dan
yang lebih tepat lagi adalah mencoba membenarkan pendapat itu sebagai hasil
sebuah ijtihad, lalu menampilkan pendapat yang berbeda, juga lengkap dengan
dalil dan argumentasinya.
Dua
pendapat yang berbeda ini harus secara jujur dikemukakan dengan adil dan
seimbang, tanpa harus menambahi atau mengurangi. Disini wajib ada amanah
ilmiyah yang harus dipertanggung-jawabkan.
Sehingga
para dasarnya kita tidak asal melakukan tuduhan atau melempar kesalahan orang
lain. Yang kita lakukan sekedar memberikan penilaian, yang kita upayakan
seobjektif mungkin, tanpa diiringi dengan fanatisme buta.
4.c.
Tidak Mendominasi Kebenaran
Terakhir,
barulah kita boleh memberikan penilaian yang bersifat subjektif, serta
dilengkapi dengan ungkapan yang sopan dan beretika. Juga akan menjadi lebih
baik bila kita sampaikan juga bahwa pendapat yang kita pilih ini bukan
kebenaran yang bersifat mutlak, tetapi bisa saja salah. Sementara pendapat yang
ditolak, bukan berarti pendapat itu salah atau menyesatkan. Pendapat itu bisa
saja menjadi benar.
No comments:
Post a Comment