Di tengah
gempuran arus informasi yang cenderung tidak jelas sumber pemberitaannya, umat
Islam lagi-lagi dipojokkan dengan berbagai stigmatisasi yang buruk.
Term-term yang ‘sakral’ dalam ajaran Islam dibuat menjadi bias pengertiannya
dan seringkali distigmatisasi dengan istilah-istilah negatif.
Lafaz-lafaz
semisal ‘daulah Islamiyyah’, ‘khilafah Islamiyyah’, ‘jihad’,
‘bai’at’, ‘syariat islam’ dan lain-lain seringkali diidentikkan
dengan hal-hal yang berbau negatif semisal estrimisme, intoleran, terorisme,
radikalisme, gerakan sparatis, inkonstitusional dan takfir.
Padahal,
lafaz-lafaz tersebut (daulah Islamiyyah, khilafah Islamiyyah, jihad, bai’at,
syariat islam) memiliki akar yang kuat dalam bangunan ajaran Islam. Bahkan
dapat dikatakan di antara lafaz-lafaz ini merupakan pondasi ajaran Islam itu
sendiri (seperti jihad) dan lafaz yang khusus dimiliki oleh Islam.
Memang,
lafaz-lafaz ini memungkinkan untuk ditafsirkan secara salah dan tak mendasar
sebagaimana tafsiran orang-orang khawarij terhadap ayat al Qur’an ‘tidak ada
hukum kecuali hukum Allah’ yaitu dengan mengkafirkan para shahabat dan umat
Islam lainnya yang tidak sependapat dengan mereka. Namun apa yang mereka
lakukan juga membuka ruang bagi orang-orang yang dengki dengan ajaran Islam
untuk mendeskriditkan dan menstigmatisasi ajaran Islam dengan stigma-stigma
yang buruk.
Namun
banyak juga kalangan yang kurang paham, kepada siapakah sebenarnya slogan ini
kita arahkan, dan dalam konteks apa seharusnya disampaikan?
Slogan
kembali kepada Al-Quran dan Sunnah lebih tepat untuk disampaikan kepada mereka
yang telah menukar Al-Quran dan Sunnah dengan paham dan ideologi asing atau
sekuler. Misalnya di Turki yang sekuler, ada gerakan untuk kembali kepada
Al-Quran dan Sunnah. Atau di negeri Islam yang menjadi korban Westernisasi,
sehingga ideologi Islam yang ada diganti dengan ideologi yang datang dari
Barat.
Kepada
mereka inilah sebenarnya slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah kita
arahkan. Maksudnya kembali kepada Al-Quran dan Sunnah dengan meninggalkan
ideologi yang bukan datang dari Allah SWT dan Rasululullah SAW.
Tetapi
ketika kita mengarahkan kepada sesama umat Islam yang sudah menggunakan
Al-Quran dan Sunnah sebagai dasar sumber hukum, lalu dengna slogan kembali
kepada Al-Quran dan Sunnah kita malah menafikan sumber-sumber hukum Islam
selain keduanya, maka senjata telah digunakan dengan cara yang keliru dan salah
sasaran.
Tidak
bisa dibenarkan kalau dengan slogan kembali kepada Al-Quran dan Sunnah, kita
lantas menginjak-injak Ijma' dan Qiyas yang telah dijadikan sumber sekaligus
metode dalam memahami hukum Islam. Dan bukan ciri orang yang paham Islam
apabila menafikan pendapat para ulama dan mazhab fiqih dalam memahami Al-Quran
dan Sunnah.
Sebenarnya
tidak ada yang salah ketika kita berseru untuk kembali kepada Al-Quran dan
Sunnah. Tetapi menjadi sangat sesat kalau pemahamannya dibelokkan menjadi
memusuhi ijtihad, tafsir, fiqih dan mazhab para ulama.
Oleh
sebab itulah, simpang-siurnya informasi terkait makna hakiki dan bagaimana
aplikasi lafaz-lafaz ini hendaknya dikembalikan kepada yang berhak untuk
menjelaskannya, yaitu para ulama yang mumpuni dan dikenal istiqamah serta
amanah dalam menjalankan dan menyampaikan ajaran agama.
Yaitu
para ulama yang digambarkan oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah sebagai orang-orang
yang memegang stempel Allah SWT (al muwaqqi’ ‘an rabb al ‘alamin). Tidak
heran jika Rasulullah SAW menyatakan mereka sebagai ahli waris para nabi.
Sebab, selain keutamaan yang ada pada mereka dan kedudukannya yang sama dengan
nabi dalam urusan dakwah, mereka pun membawa beban amanah yang berat untuk
menyampaikan ajaran Islam dengan perspektif yang benar. (Abd al Karim Ali an
Namlah, al Muhazzab fi ‘Ilm Ushul al Fiqih al Muqaran, 1/7).
Masyarakat
muslim yang awam, memang masyarakat yang mudah untuk diarahkan oleh arus media
yang meinstrim. Namun kita tidak harus selalu menyalahkan media tersebut, namun
para ulama pun harus berintropeksi diri dan menilai dirinya, apakah ia sudah
menyampaikan ajaran Islam yang benar secara massif dan konsisten.
Selain
itu, meskipun masyarakat awam tidak selalu bisa disalahkan atas ketidak tahuan
mereka. Namun mereka pun harus tahu bahwa agama Islam yang telah mereka peluk
juga telah mewajibkan mereka untuk kembali kepada para ulama, untuk mencari
jawaban yang sebenarnya, terlebih lagi di saat syiar-syiar Islam sekarang ini
sering kali distigmatisasikan dengan buruk dan cenderung menyebabkan umat Islam phobia/benci
terhadap ajaran agamanya sendiri. Bukankah Allah SWT telah memerintahkan kita
untuk bertanya dan kembali kepada para ulama:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ (43)
“Maka
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ulama) jika kamu tidak
mengetahui.” (QS. An Nahl/16: 43, dan QS. al Anbiya’/21: 7).
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ
وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai
orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (QS. An Nisa’/5: 59).
Wahbah az
Zuhaili, seorang mufassir dan ahli fiqih kontemporer berkata mengomentari ayat
di atas (QS. An Nisa’/5: 59):
فطاعة الله والرسول واجبة، بتنفيذ أحكام الله،
واتباع سنة رسول الله، وكذلك تجب طاعة ولاة الأمر من أهل الحل والعقد في الأمة، أي
السلطة التنفيذية في الأمة، وأولي الاجتهاد في التشريع من العلماء والحكام والولاة
العدول، فإن حدث تنازع واختلاف في وجهات النظر، فالواجب رد الأمر إلى نظيره ومثيله
في القرآن والسنة، ولا يفهم ذلك إلا العلماء الأعلام المخلصون لله ورسوله
“Maka
ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya merupakan kewajiban, yaitu dengan
melaksanakan aturan-aturan Allah dan mengikuti sunnah Rasulullah. Demikian pula
wajib untuk taat kepada para pemangku urusan umat ini, yaitu para penguasa yang
melaksanakan urusan umat. Dan juga para ahli ijtihad dalam syariat dari para
ulama dan penguasa yang adil. Dan jika terjadi perselisihan dalam argumentasi,
maka wajib menilainya dengan kembali kepada al Qur’an dan as Sunnah. Dan
hal itu (merujuk kepada al Qur’an dan as Sunnah) tidak dapat dilakukan kecuali
berdasarkan pemahaman para ulama yang ikhlas untuk Allah dan rasul-Nya.”
(Wahbah az Zuhaili, at Tafsir al Wasith, 1/336).
Itulah
sebabnya, para ulama terdahulu sepakat bahwa, sikap yang selamat adalah dengan
mengikuti para ulama. Dan jika ulama salah dalam ijtihadnya, maka masyarakat
awam tidak akan menanggung dosa/kesalahan sang mujtahid, bahkan sang mujtahid
akan mendapatkan satu pahala. (Abd al Karim Ali an Namlah, al Muhazzab
fi ‘Ilm Ushul al Fiqih al Muqaran, 5/2358). Namun tentunya yaitu dengan
mengikuti para ulama yang benar-benar berkarekter ulama.
No comments:
Post a Comment