Kasur, dapur, dan
sumur adalah tiga kata yang sangat akrab dengan sosok perempuan. Penulis
sendiri tidak mengetahui siapa gerangan yang pertama kali mengenalkan tiga
istilah ini. Tiga kata ini kadang menjadi dalil untuk pembenaran, baik bagi
wanita itu sendiri atau pun bagi yang lainnya.
Sebagian
menggunakannya agar orang tuanya cepat menikahkan atau bahkan orang tuanya
sendiri yang seakan memaksakan itu, dengan dalih bahwa sudah tidak ada lagi
yang ditunggu, seakan tidak ada manfaatnya sekolah hingga perguruan tinggi, toh ujung-ujungnya
juga kembali ke tiga kata tadi.
Tiga kata ini
juga mungkin sangat akrab dalam pemikiran sebagian orang tua kita di rumah.
Bagi sebagian orang tua tiga kata ini bahkan seakan wahyu yang turun dari
langit. Tidak boleh dibantah, apalagi ditolak. Ini mungkin berangkat dari
pemahaman yang melarang wanita keluar rumah, tanpa adanya pengecualian.
Padahal pemahaman
seperti ini tidak bisa dibenarkan begitu saja tanpa adanya penjelasan yang
cukup, terlebih jika pendapat seperti itu diyakini sebagai pesan agama, maka
sudah barang tentu harus lebih mendapatkan penjelasan yang memadai.
Hidup Untuk Bekerja
Laki-laki dan
perempuan adalah sepasang hamba Allah yang diciptakanNya untuk menghuni bumi
yang luas ini. Kehidupan yang mereka jalani sama, bahwa dalam hidup ini
keduanya dituntut untuk bekerja. Tidak membedakan apakah dia laki-laki atau
perempuan.
فَاسْتَجَابَ
لَهُمْ رَبُّهُمْ أَنِّي لَا أُضِيعُ عَمَلَ عَامِلٍ مِنْكُمْ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ
أُنْثَى بَعْضُكُمْ مِنْ بَعْضٍ
“Sesungguhnya aku
tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik
laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian
yang lain” (QS.
Ali-Imran: 195)
Bahkan kedunya
sama-sama akan diberikan balasan atas apa yang sudah mereka kerjakan nanti diakhirat:
مَنْ
عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ
حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا
يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang
mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman,
Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang telah mereka kerjakan”(QS.
An-Nahl: 97)
Jika inti
berkarir itu adalah bekerja, maka sedari awal kita bisa memahami bahwa tidak
ada yang melarang wanita bekerja, karena pada dasarnya inti hidup
ini adalah bekerja, dan bahwa semua hamba Allah; baik laki-laki maupun
perempuan diminta untuk bekerja, pada giliranya nanti hasil bekerja itu lah
yang nanti akan dinilai oleh Allah dan diberikan balasan senilai apa yang dia
kerjakan di bumi.
Tidak bisa
dibayangkan jika seandainya setengah dari penduduk bumi ini ‘pengangguran’,
tidak bekerja sama sekali, mereka hanya di rumah saja, tanpa terlibat satu
aktivitaspun di luar sana.
Tidak Boleh Keluar Rumah?
Sebagian kalangan
menyandarkan kewajiban perempuan untuk berdiam diri di rumah dengan ayat
Al-Quran;
وَقَرْنَ
فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“Dan hendaklah
kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang Jahiliyah yang dahulu” (QS.
Al-Ahdzab: 33)
Dalam teori sebab
turun, ayat ini pada dasarnya turun diperuntukankhusus untuk
istri-istri nabi Muhammad SAW. Dalam hal ini memang benar bahwa banyak ulama
lebih menggunakan kaidah: al-ibrotu biumumi al-lafzhi la bikhusus
as-sabab; bahwa keumuman lafazh yang harus diambil bukan sebab yang
khusus.
Dalam terapannya,
maka ayat ini harus dipandang dari keumuman lafazhnya saja, yaitu perintah
untuk berdiam diri di dalam rumah, dan ini juga berlaku untuk perempuan
lainnya, bukan hanya dipandang bahwa ayat ini turun untuk istri nabi lalu tidak
berlaku untuk perempuan lainnya.
Namun tetap saja
bahwa kadidah di atas belum menjadi kesepakatan utuh semua ulama, karena justru
sebagian ulama lainnya dalam hal ini lebih berpegang kaidah sebaliknya; al-ibrotu
bikhusus as-sabab la biumum al-lafzh; bahwa sebab yang khusus harus lebih
diambil ketimbang keumuman lafazh.
Namun diluar itu
semua para ulama menyepakati bahwa perintah untuk berdiam diri di rumah itu
bukan harga mati tanpa adanya pengecualian. Karena potongan ayat berikutnya
memberikan kepada kita isyarat bahwa bahwa istri-istri nabi dan
perempuan lainnya pun boleh keluar rumah.
وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”
Kata tabarruj yang
dimaksud adalah berhias yang berlebihan di luar rumah. Jika para perempuan itu
berhias didalam rumah untuk suaminya, bahkan berlebihan sekalipun masih
dibolehkan.
Jadi dari
potongan ayat ini bisa kita fahami bahwa berdiam diri di rumah itu bukan tanpa
pengecualian, namun ternyata para perempuan itu boleh keluar dari rumahnya jika
ada kebutuhan yang penting dan keluar rumahnya dengan memperhatikan adab-adab
keluar rumah, dan ini yang diungkap oleh ulama-ulama tafsir kita dalam banyak
kitab mereka.
Apalagi sekarang
ini kaum perempuan harus siap keluar rumah untuk kebutuhan pendidikan mereka,
dan ini dinilai menjadi kebutuhan yang paling penting yang harus diusahakan
tercapai, bahwa kaum perempuan harus cerdas dan berilmu pengetahuan.
Ibu Rumah Tangga
Tidak ada satupun
yang menyangkal bahwa sebelum segala sesuatu pekerjaan perempuan pertama itu
adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan mereka bertanggung jawab atas
suami dan anak-anaknya.
Membuat suasana
rumah menjadi ceria, penuh dengan cinta dan kasih sayang adalah tugas yang
sangat mulia yang juga dibebankan dipundak perempuan, dan tak kalah pentingnya
adalah mendidik anak menjadi generasi terbaik, bukan menitipkannya dengan
pembantu.
Jika kehadiran
pembantu rumah tangga untuk meringankan pekerjaan dapur; memasak, mencuci,
menyetrika, menyapu, dsb, maka ini adalah hal yang disukai, bahkan sebisa
mungkin istri tidak harus dibebeni dengan semua itu, namun kehadiran pebantu
jangan sampai menjadi alasan untuk menyerahkan tugas mendidik anak-anak.
Kebutuhan Lainnya
Namun kita tidak
menutup mata akan kebutuhan masyarakat terhadap perempuan terutama dalam bidang
pekerjaan yang memang sangat baik dijalankan oleh perempuan. Menjadi dokter
kandungan misalnya, terkadang miris rasanya jika sebagian istri bersalin di
rumah sakit dengan pelayanan dokter laki-laki, kemana perempuannya? Bukankah
dalam hal karir menjadi dokter bersalin lebih utama dipegang oleh perempuan?
Atau terkadang
kebutuhan untuk bekerja itu justru didorong karena faktor internal keluarga.
Ibu janda yang ditiggal oleh suaminya pasti lebih merasakan bagaimana kehidupan
memaksanya untuk keluar rumah, berkarir mencari harta untuk kebutuhannya dan
kekebutuhan anak-anaknya.
Atau dalam
keluarganya yang pendapatan suaminya tidak mencukupi untuk kebutuhan rumah
tangga, dan kondisi seperti ini sudah menjadi rahasia umum, terutama oleh kita
masyarakat Indonesia, hampir setiap keluarga biasanya kebutuhan finansialnya
didapat dari hasil pekerjaan suami dan istri.
Atau terkadang
ada sebagian anak gadis yang masih tinggal dengan orang tua yang
sudah lanjut usia, dengan kondisi badan yang sudah tidak memungkinkan bagi
mereka untuk bekerja. Sehingga faktor inilah yang membuat mereka memberanikan
diri keluar rumah untuk berkerja atau berkarir, mencai harta untuk tidak
menghinakan diri dengan meminta-minta.
Kondisi seperti
ini pernah terjadi di zaman dahulu, dan bahkan Al-Quran merekam kejadian
bersejarah ini, bukan dengan maksud mengejek atau menghina. Allah berfirman:
وَلَمَّا وَرَدَ
مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ
دُونِهِمُ امْرَأَتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لَا نَسْقِي
حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ
“dan tatkala ia
sampai di sumber air negeri Mad-yan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang
sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: "Apakah
maksudmu (dengan berbuat at begitu)?" kedua wanita itu menjawab: "Kami
tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu
memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut
umurnya” (QS.
Al-Qashas: 23)
Belum lagi
ditambah dengan kenyataan bahwa Siti Khodijah, istri Rasulullah SAW yang eksis
dalam dunia bisninya, sehingga bisa membiayai ongkos dakwah Rasulullah SAW pada
fase Makkah, dan kisah-kisah perempuan terhormat lainnya yang pernah ada dalam
sejarah Islam.
Dan dari
kesemuanya ini para ulama menyimpulkan tidak ada larangan bagi perempuan untuk
bekerja atau berkarir, asalkan dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Syarat dan Ketentuan Berlaku
Namun kebolehan
perempuan untuk bekerja diluar rumah tetap harus memenuhi syarat dan ketentuan
berikut ini, diantaranya:
1.
Bahwa
pekerjaan yang dikerjadaan memang bagian dari pekerjaan yang diizinkan oleh
syariat, dan bukan juga pekerjaan yang bisa menimbulkan dosa lainnya.
Menjadi guru, dokter, bidan, pedagang,
pebisnis, salon, penjahit, dan lain sebagainya adalah pekerjaan yang tidak
terlarang, bahkan sebagian dari pekerjaan tersebut memang harusnya dikerjakan
oleh perempuan.
Namun menjadi biduan orgen tunggal yang
berjoget ria dihadapan laki-laki, bekerja di klub malam dengan menyuguhkan bir
dan seterusnya, atau bahkan menjadi pekerja seks komersil semuanya merupakan
pekerjaan yang memang dasarnya haram, maka disini haram melakukannya.
Atau bekerja sebagai sekretaris pribadi yang
pekerjaannya kadang membuat dia ‘berduaan’ dengan bosnya, dan ini dinilai
sebagai pekerjaan yang bisa membuat pelakunya berbuat zina, atau mesum lainnya.
Berduaan itu saja sudah dinilai bahaya apalagi jika terjadi hal-hal lainnya.
2.
Memperhatikan
adab-adab keluar rumah, mulai dari cara berpakaian hingga berprilaku.
وَقُلْ
لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ
عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman:
"Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah
mereka Menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya” (QS. An-Nur: 31)
فَلَا
تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا
مَعْرُوفًا
“Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara
sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah
Perkataan yang baik” (QS.
Al-Ahdzab: 32)
3.
Mendapat
izin orang tua atau suami
Karena walau bagaimanapun kewajiban anak tetap
harus direstui oleh orang tua, jangan sampai berkarirnya mereka justru mendapat
penolakan dari orang tuanya sendiri. Pun begitu dengan perempuan yang sudah
bersuami, kiranya izin suami sudah harus dikantongi terlebih dahulu sebelum
melangkahkan kaki keluar rumah.
4.
Tidak
mengabaikan kewajiban asasi lainnya.
Jangan sampai karena berkarir diluar lalu
pekerjaan mengurus suami dan memperhatikannya terabaikan, juga mendidik
anak-anak di rumah yang memang membutuhkan perhatian dari ibu dan kasih
sayangnya.
Tidak mudah untuk
memenuhi syarat-syarat di atas, namun seperti itulah aturannya, bahwa kehidupan
ini tidak dijalankan dengan semaunya saja, tanpa memperhatikan bagaimana Allah
menginginkan cara kita hidup.
No comments:
Post a Comment