Saturday, May 18, 2013

KESEHATAN PONDOK PESANTREN: SEBUAH KENISCAYAAN


Tulisan Saudara Wajihudin, Alh dalam artikel di rubrik Ilpeng Majalah Rindang Mei 2013 dengan judul "Memotret Sanitasi Pondok Pesantren" merupakan fakta di lapangan bahwa sebagian pondok pesantren belum menerapkan sistem kesehatan yang modern, dimana kesehatan merupakan sebuah hal yang urgen, tidak hanya berguna bagi santri-santrinya tetapi menunjukkan kualitas pondok pesantren itu sendiri. Tetapi dalam tulisan tersebut masih perlu dipertajam dengan beberapa data yang menunjukkan lemahnya sanitasi, dan pembatasan karakteristik atau corak pondok pesantren karena tidak semua pondok pesantren lemah dalam pengelolaan kesehatan lingkungan.

Berdasarkan data di Pusat Pengembangan Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama tahun 2011, jumlah santri pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang tersebar di 25.000 pondok pesantren. Sedangkan penyakit menular yang sering ditemukan di pondok pesantren adalah tuberkulosis paru, infeksi saluran pernapasan atas, diare dan penyakit kulit (Depkes, 2000). Prevalensi penyakit skabies disebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70% sedangkan di kabupaten Pasuruan sebesar 66,70% (Kuspriyanto, 2002). Sebagamana sanitasi rumah, sanitasi pondok pesantren pada dasarnya adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990).
 
Pada dasarnya lemahnya sanitasi (baca: kebersihan lingkungan) tidak hanya terhadap pada pondok pesantren tetapi sudah merata ke setiap tempat. Uniknya adalah penduduk Indonesia yang mayoritas muslim belum mampu menempatkan kebersihan lingkungan sebagai sebuah dogma namun masih sebatas slogan saja. Sebagai contoh berdasarkan rilis vacationshome.net bahwa 10 kota terbersih di dunia tahun 2012 adalah Calgary Kanada, Adelaide Australia, Honolulu Hawaii, Minneapolis AS, Kobe Jepang, Copenhagen Denmark, Wellington Selandia Baru, Helsinki Finlandia, Kathmandu Nepal, dan Freiburg Jerman. Setuju atau tidak setuju dari rilis tersebut, menggambarkan tidak ada satupun kota-kota yang mayoritas penduduknya Muslim yang masuk dalam urutan teratas, padahal secara konsep ajaran agama kebersihan merupakan bagian dari keimanan seseorang.
Baru-baru ini Bank Dunia merilis laporan mengenai studi sanitasi di dunia bahwa salah satu kerugian buruknya sanitasi karena turunnya kondisi kesehatan masyarakat, rusaknya lingkungan serta hiangnya potensi wisata. Perbaikan sanitasi menjadi syarat untuk menghapus kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Data World Bank's Water and Sanitation (WSP) menunjukkan di antara total populasi penduduk Indonesia belum memiliki akses untuk sanitasi yang baik, bahkan menurut penelitiannya di tahun 2010 menyebutkan bahwa 63 juta penduduk Indonesia masih buang air besar di sembarang di sungai, danau, laut atau daratan.

Tipologi Persantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam  dengan mementingkan moral agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Sukur, 2004). Pada dasarnya, pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional tempat para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah pengajaran kyai. Asrama bagi santri inilah yang disebut pondok. Sehingga Zamachsjari Dlofier (1982) mengatakan bisa dikatakan pesantren jika telah memenuhi elemen-elemen dasar, diantaranya pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.
Hemat penulis, apabila kondisi pondok pesantren dilihat dari kondisi fisik bangunan dan pengelolaan sarana dan prasarana, paling tidak ada 2 tipe. Pertama, tipe tradisional. Tipe ini menggambarkan kondisi pesantren yang apa adanya semenjak awal berdiri, kurang banyak sentuhan modern kondisi fisik bangunan karena lebih mementingkan kegiatan pembelajaran dan pengajaran untuk penguasaan kitab-kitab klasik, disamping itu dalam penyelenggaraan pendidikan sebagian besar pesantren menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah. Dalam hal ini, perhatian untuk sanitasi pondok kurang optimal, misalnya kurangnya pengelolaan MCK yang bersih dan sehat, kondisi dapur yang rapi dan bersih, sampah yang terlokalisasi, air limbah yang tidak membahayakan. Melihat kondisi seperti ini, maka tidak heran apabila ada pepatah yang sebagaimana Saudara Wajihudin Alh tulis bahwa bila santri belum mengalami penyakit gudigen (scabies) dianggap kurang sempurna.
Kedua, tipe modern. Tipe ini pesantren sudah menerapkan sistem negara dengan melengkapi pembelajarannya dengan mata pelajaran umum. Adanya keseimbangan ini karena sebagian besar pesantren-pesantren jenis ini sudah melaksanakan ujian negara. Dan dalam mata pelajaran tertentu mengikuti kurikulum Kementrian Agama yang dimodifikasi oleh pesantren yang bersangkutan sebagai cirri kepesantrenan. Sistem belajar secara klasikal dan meninggalkan sistem tradisional. Kurikulum yang dipakai adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Secara fisik bangunan pondok pesantren dengan perancangan tata kelola sudah baik dibandingkan dengan pondok pesantren tradisional, misalnya aspek ventilasi dan pencahayaan toilet, bak air pada toilet dan kamar mandi, serta fasilitas kebersihan toilet.
Maka tidaklah heran apabila tahun 2009 Pondok Pesantren Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo meraih juara 1 lomba kebersihan dan sanitasi Pondok Pesantren Se-Jawa Tengah. Assalaam mampu membuktikan sebagai pesantren dengan kebersihanan dan sanitasi lingkungan terbaik yang meliputi kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, pembuangan limbah, kebersihan dan ketersediaan MCK, pengelolaan sampah, sanitasi ruangan kelas, asrama dan lain-lain.

Sebuah Tindakan
Saudara Wajihudin, Alh menawarkan sebuah solusi tindakan dengan term "jihad kesehatan" yang dimulai dari penyediaan kualitas air karena ada hubungan langsung dengan kesehatan antara sanitasi dan air. Air dan sanitasi merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling bergantung satu dengan lainnya. Masyarakat perkotaan umumnya sudah terbiasa melihat, bahkan menikmati berbagai fasilitas penunjang sanitasi, mulai dari sarana cuci tangan hingga buang air besar. Penulis pernah menugaskan siswa sebagai bentuk aplikasi materi mata pelajaran untuk mengadakan survey terhadap kebersihan toilet di masjid-masjid disekitar mereka tinggal, dan data yang diperoleh dari 15 masjid yang disurvey hanya 1 masjid yang kondisi toilet baik dan terjaga, sedangkan masjid yang lain dalam kondisi kurang terawat dan kotor. Kemungkinan besar fakta ini juga terjadi di toilet-toilet pesantren, khususnya di pondok pesantren tradisional dimana fasilitas sanitasi kurang diperhatikan.
Toilet dan kamar mandi merupakan garda terdepan sanitasi. Dari toilet dan kamar mandi, semua awal dari kebersihan diri kita. Jika kondisi toilet dan kamar mandi kita tidak sehat maka akan berpengaruh pula pada tingkat kesehatan penggunanya. Di Indonesia, kesadaran untuk menjaga kebersihan toilet dan kamar mandi masih sangat rendah, apalagi toilet umum. Kondisi toilet kita ini ternyata sedikit banyak menggambarkan kondisi sanitasi di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa jumlah rumah tangga di Indonesia baik di perkotaan maupun perdesaan pada tahun 2010 baru mencapai angka 55,53 persen yang telah memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Artinya masih ada sekitar 45 persen penduduk yang belum memiliki akses sanitasi yang baik.
Maka perlu adanya rencana strategis bidang kesehatan di pondok pesantren yang dimulai dari sebuah roadshow ke pesantren-pesantren oleh pihak terkait khususnya Kementerian Agama guna untuk mengetahui kualitas kesehatan dan kuantitas fasilitas kesehatan. Sebagaimana hasil kegiatan Inspeksi Sanitasi di Pondok Pesantren yang dilakanakan oleh Direktorat Penyehatan Lingkungan tahun 2006 diperoleh informasi bahwa 50% dari jumlah Pondok Pesantren tergolong dalam kategori medium" yang berarti 40-95% faktor berisiko menimbulkan gangguan. Faktor resiko yang ditemukan adalah masalah sanitasi, ruang dan bangunan, perilaku masyarakat di pondok pesantren. Kenyataan tersebut perlu upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas perilaku sehat agar dapat mencegah terjadinya gangguan kesehatan.
Pesantren merupakan sentral pendidikan dan agen perubahan perlu dukungan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mendukung kegiatan pemberdayaan kesehatan pondok pesantren atau membangun pos kesehatan pesantren beserta perlengkapannya. Dalam hal ini, pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu ditiru dan dilanjutkan programnya bahwa pernah menjadikan proyek percontohan untuk kesehatan pesantren pada Pondok Pesantren Langitan (Tuban), Darul Ulum (Jombang), Bahrul Ulum (Jombang), At Tawir (Bojonegoro) dan Roudhotul Muta'alimin (Babat).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pondok pesantren yang sehat, maka di setiap pesantren perlu dibentuk satgas siaga kesehatan yang mempunyai tugas 3 hal. Pertama, usaha promotif, berupa: (1) Pelatihan kader kesehatan Pondok Pesantren yaitu kegiatan pelatihan kepada para santri yang berada di Pondok Pesantren untuk menjadi kader kesehatan yang akan membantu kegiatan pelayanan kesehatan di Pondok Pesantren tersebut; (2) penyuluhan kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan pihak Pondok Pesantren tentang pesan-pesan kesehatan guna meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku santri dan masyarakat Pondok Pesantren mengenai kesehatan jasmani, mental dan social. (3) perlombaan bidang kesehatan yaitu kegiatan yang sifatnya untuk meningkatkan minat terhadap kegiatan kesehatan di Pondok Pesantren, misalnya lomba kebersihan, lomba kesehatan dan lain-lain.
Kedua, usaha preventif, berupa: (1) imunisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh pihak kesehatan terkait dibantu pihak Pondok Pesantren dalam rangka pencegahan terhadap penyakit tertentu pada santri-santri yang masih berusia sekolah; (2) pemberantasan sarang penyakit, misalnya nyamuk, tikus, ulat, kutu, dan lain-lain; (3) kesehatan lingkungan, yaitu suatu kegiatan berupa pengawasan dan pemeliharaan lingkungan pondok pesantren berupa tempat pembuangan sampah, air limbah, kotoran dan sarana air bersih; (4) penjaringan kesehatan santri baru guna mengetahui status kesehatan dan sedini mungkin menemukan penyakit yang diderita para santri.
Ketiga, upaya kuratif dan rehabilitatif, berupa: (1) pengobatan dilakukan oleh petugas kesehatan terhadap santri dan masyarakat pondok pesantren yang sakit; (2) rujukan kasus yaitu kegiatan merujuk santri dan masyarakat pondok pesantren yang mengidap penyakit tertentu ke fasilitas rujukan lebih lanjut untuk mencegah penyakit berkembang lebih lanjut. Dengan demikian, peran aktif pondok pesantren di bidang kesehatan bisa diwujudkan di lingkungan pesantren dan masyarakat sekitar, sehingga kesan pondok pesantren merupakan tempat kumuh akan hilang seiring dengan kesadaran kebersihan para santri. Dan yang lebih penting misi PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah bisa terwujud adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata, bermutu dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan.


No comments:

Post a Comment