Tulisan Saudara Wajihudin, Alh dalam artikel di
rubrik Ilpeng Majalah Rindang Mei 2013 dengan judul "Memotret Sanitasi
Pondok Pesantren" merupakan fakta di lapangan bahwa sebagian pondok
pesantren belum menerapkan sistem kesehatan yang modern, dimana kesehatan
merupakan sebuah hal yang urgen, tidak hanya berguna bagi santri-santrinya
tetapi menunjukkan kualitas pondok pesantren itu sendiri. Tetapi dalam tulisan
tersebut masih perlu dipertajam dengan beberapa data yang menunjukkan lemahnya
sanitasi, dan pembatasan karakteristik atau corak pondok pesantren karena tidak
semua pondok pesantren lemah dalam pengelolaan kesehatan lingkungan.
Berdasarkan data di Pusat Pengembangan
Penelitian dan Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama tahun 2011, jumlah santri
pondok pesantren di 33 provinsi di seluruh Indonesia mencapai 3,65 juta yang
tersebar di 25.000 pondok pesantren. Sedangkan penyakit menular yang sering
ditemukan di pondok pesantren adalah tuberkulosis paru, infeksi saluran
pernapasan atas, diare dan penyakit kulit (Depkes, 2000). Prevalensi penyakit
skabies disebuah pondok pesantren di Jakarta mencapai 78,70% sedangkan di kabupaten
Pasuruan sebesar 66,70% (Kuspriyanto, 2002). Sebagamana sanitasi rumah,
sanitasi pondok pesantren pada dasarnya adalah usaha kesehatan masyarakat yang
menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik, dimana orang menggunakannya
sebagai tempat berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana
sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian,
penerangan alami, konstruksi bangunan, sarana pembuangan sampah, sarana
pembuangan kotoran manusia, dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990).
Pada dasarnya lemahnya sanitasi (baca:
kebersihan lingkungan) tidak hanya terhadap pada pondok pesantren tetapi sudah
merata ke setiap tempat. Uniknya adalah penduduk Indonesia yang mayoritas
muslim belum mampu menempatkan kebersihan lingkungan sebagai sebuah dogma namun
masih sebatas slogan saja. Sebagai contoh berdasarkan rilis vacationshome.net bahwa
10 kota terbersih di dunia tahun 2012 adalah Calgary Kanada, Adelaide Australia,
Honolulu Hawaii, Minneapolis AS, Kobe Jepang, Copenhagen Denmark, Wellington
Selandia Baru, Helsinki Finlandia, Kathmandu Nepal, dan Freiburg Jerman. Setuju
atau tidak setuju dari rilis tersebut, menggambarkan tidak ada satupun
kota-kota yang mayoritas penduduknya Muslim yang masuk dalam urutan teratas,
padahal secara konsep ajaran agama kebersihan merupakan bagian dari keimanan
seseorang.
Baru-baru ini Bank Dunia merilis laporan
mengenai studi sanitasi di dunia bahwa salah satu kerugian buruknya sanitasi
karena turunnya kondisi kesehatan masyarakat, rusaknya lingkungan serta
hiangnya potensi wisata. Perbaikan sanitasi menjadi syarat untuk menghapus
kemiskinan ekstrem pada tahun 2030. Data World Bank's Water and Sanitation
(WSP) menunjukkan di antara total populasi penduduk Indonesia belum memiliki
akses untuk sanitasi yang baik, bahkan menurut penelitiannya di tahun 2010
menyebutkan bahwa 63 juta penduduk Indonesia masih buang air besar di sembarang
di sungai, danau, laut atau daratan.
Tipologi Persantren
Pesantren merupakan lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran-ajaran
agama Islam dengan mementingkan moral
agama Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari (Sukur, 2004). Pada
dasarnya, pesantren merupakan sebuah asrama pendidikan Islam tradisional tempat
para santrinya tinggal bersama dan belajar di bawah pengajaran kyai. Asrama
bagi santri inilah yang disebut pondok. Sehingga Zamachsjari Dlofier (1982) mengatakan
bisa dikatakan pesantren jika telah memenuhi elemen-elemen dasar, diantaranya
pondok, masjid, santri, pengajaran kitab-kitab Islam klasik, dan kyai.
Hemat penulis, apabila kondisi pondok pesantren
dilihat dari kondisi fisik bangunan dan pengelolaan sarana dan prasarana,
paling tidak ada 2 tipe. Pertama, tipe tradisional. Tipe ini
menggambarkan kondisi pesantren yang apa adanya semenjak awal berdiri, kurang
banyak sentuhan modern kondisi fisik bangunan karena lebih mementingkan
kegiatan pembelajaran dan pengajaran untuk penguasaan kitab-kitab klasik, disamping
itu dalam penyelenggaraan pendidikan sebagian besar pesantren menyediakan
asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang
rendah. Dalam hal ini, perhatian untuk sanitasi pondok kurang optimal, misalnya
kurangnya pengelolaan MCK yang bersih dan sehat, kondisi dapur yang rapi dan
bersih, sampah yang terlokalisasi, air limbah yang tidak membahayakan. Melihat
kondisi seperti ini, maka tidak heran apabila ada pepatah yang sebagaimana
Saudara Wajihudin Alh tulis bahwa bila santri belum mengalami penyakit gudigen
(scabies) dianggap kurang sempurna.
Kedua,
tipe modern. Tipe ini pesantren sudah menerapkan sistem negara dengan
melengkapi pembelajarannya dengan mata pelajaran umum. Adanya keseimbangan ini
karena sebagian besar pesantren-pesantren jenis ini sudah melaksanakan ujian negara.
Dan dalam mata pelajaran tertentu mengikuti kurikulum Kementrian Agama yang dimodifikasi
oleh pesantren yang bersangkutan sebagai cirri kepesantrenan. Sistem belajar
secara klasikal dan meninggalkan sistem tradisional. Kurikulum yang dipakai
adalah kurikulum sekolah atau madrasah yang berlaku secara nasional. Secara
fisik bangunan pondok pesantren dengan perancangan tata kelola sudah baik
dibandingkan dengan pondok pesantren tradisional, misalnya aspek ventilasi dan
pencahayaan toilet, bak air pada toilet dan kamar mandi, serta fasilitas
kebersihan toilet.
Maka tidaklah heran apabila tahun 2009 Pondok Pesantren
Modern Islam (PPMI) Assalaam Sukoharjo meraih juara 1 lomba kebersihan dan
sanitasi Pondok Pesantren Se-Jawa Tengah. Assalaam mampu membuktikan sebagai
pesantren dengan kebersihanan dan sanitasi lingkungan terbaik yang meliputi kebersihan
lingkungan, penyediaan air bersih, pembuangan limbah, kebersihan dan
ketersediaan MCK, pengelolaan sampah, sanitasi ruangan kelas, asrama dan
lain-lain.
Sebuah Tindakan
Saudara Wajihudin, Alh menawarkan sebuah solusi
tindakan dengan term "jihad kesehatan" yang dimulai dari
penyediaan kualitas air karena ada hubungan langsung dengan kesehatan antara
sanitasi dan air. Air dan sanitasi merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan
dan saling bergantung satu dengan lainnya. Masyarakat perkotaan umumnya sudah
terbiasa melihat, bahkan menikmati berbagai fasilitas penunjang sanitasi, mulai
dari sarana cuci tangan hingga buang air besar. Penulis pernah menugaskan siswa
sebagai bentuk aplikasi materi mata pelajaran untuk mengadakan survey terhadap
kebersihan toilet di masjid-masjid disekitar mereka tinggal, dan data yang
diperoleh dari 15 masjid yang disurvey hanya 1 masjid yang kondisi toilet baik
dan terjaga, sedangkan masjid yang lain dalam kondisi kurang terawat dan kotor.
Kemungkinan besar fakta ini juga terjadi di toilet-toilet pesantren, khususnya di
pondok pesantren tradisional dimana fasilitas sanitasi kurang diperhatikan.
Toilet dan kamar mandi merupakan garda terdepan
sanitasi. Dari toilet dan kamar mandi, semua awal dari kebersihan diri kita. Jika
kondisi toilet dan kamar mandi kita tidak sehat maka akan berpengaruh pula pada
tingkat kesehatan penggunanya. Di Indonesia, kesadaran untuk menjaga kebersihan
toilet dan kamar mandi masih sangat rendah, apalagi toilet umum. Kondisi toilet
kita ini ternyata sedikit banyak menggambarkan kondisi sanitasi di Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) merilis bahwa jumlah rumah tangga di Indonesia baik
di perkotaan maupun perdesaan pada tahun 2010 baru mencapai angka 55,53 persen
yang telah memiliki fasilitas sanitasi yang layak. Artinya masih ada sekitar 45
persen penduduk yang belum memiliki akses sanitasi yang baik.
Maka perlu adanya rencana strategis bidang
kesehatan di pondok pesantren yang dimulai dari sebuah roadshow ke
pesantren-pesantren oleh pihak terkait khususnya Kementerian Agama guna untuk
mengetahui kualitas kesehatan dan kuantitas fasilitas kesehatan. Sebagaimana hasil
kegiatan Inspeksi Sanitasi di Pondok Pesantren yang dilakanakan oleh Direktorat
Penyehatan Lingkungan tahun 2006 diperoleh informasi bahwa 50% dari jumlah
Pondok Pesantren tergolong dalam kategori medium" yang berarti 40-95%
faktor berisiko menimbulkan gangguan. Faktor resiko yang ditemukan adalah
masalah sanitasi, ruang dan bangunan, perilaku masyarakat di pondok pesantren.
Kenyataan tersebut perlu upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan
kualitas perilaku sehat agar dapat mencegah terjadinya gangguan kesehatan.
Pesantren merupakan sentral pendidikan dan agen
perubahan perlu dukungan pemerintah mengalokasikan anggaran untuk mendukung
kegiatan pemberdayaan kesehatan pondok pesantren atau membangun pos kesehatan pesantren
beserta perlengkapannya. Dalam hal ini, pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu
ditiru dan dilanjutkan programnya bahwa pernah menjadikan proyek percontohan untuk
kesehatan pesantren pada Pondok Pesantren Langitan (Tuban), Darul Ulum
(Jombang), Bahrul Ulum (Jombang), At Tawir (Bojonegoro) dan Roudhotul Muta'alimin
(Babat).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pondok
pesantren yang sehat, maka di setiap pesantren perlu dibentuk satgas siaga
kesehatan yang mempunyai tugas 3 hal. Pertama, usaha promotif, berupa:
(1) Pelatihan kader kesehatan Pondok Pesantren yaitu kegiatan pelatihan kepada
para santri yang berada di Pondok Pesantren untuk menjadi kader kesehatan yang
akan membantu kegiatan pelayanan kesehatan di Pondok Pesantren tersebut; (2) penyuluhan
kesehatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan dan pihak Pondok Pesantren
tentang pesan-pesan kesehatan guna meningkatkan pengetahuan sikap dan perilaku
santri dan masyarakat Pondok Pesantren mengenai kesehatan jasmani, mental dan
social. (3) perlombaan bidang kesehatan yaitu kegiatan yang sifatnya untuk
meningkatkan minat terhadap kegiatan kesehatan di Pondok Pesantren, misalnya
lomba kebersihan, lomba kesehatan dan lain-lain.
Kedua,
usaha preventif, berupa: (1) imunisasi, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh
pihak kesehatan terkait dibantu pihak Pondok Pesantren dalam rangka pencegahan
terhadap penyakit tertentu pada santri-santri yang masih berusia sekolah; (2) pemberantasan
sarang penyakit, misalnya nyamuk, tikus, ulat, kutu, dan lain-lain; (3) kesehatan
lingkungan, yaitu suatu kegiatan berupa pengawasan dan pemeliharaan lingkungan pondok
pesantren berupa tempat pembuangan sampah, air limbah, kotoran dan sarana air
bersih; (4) penjaringan kesehatan santri baru guna mengetahui status kesehatan
dan sedini mungkin menemukan penyakit yang diderita para santri.
Ketiga, upaya
kuratif dan rehabilitatif, berupa: (1) pengobatan dilakukan oleh petugas
kesehatan terhadap santri dan masyarakat pondok pesantren yang sakit; (2) rujukan
kasus yaitu kegiatan merujuk santri dan masyarakat pondok pesantren yang
mengidap penyakit tertentu ke fasilitas rujukan lebih lanjut untuk mencegah
penyakit berkembang lebih lanjut. Dengan demikian, peran aktif pondok pesantren
di bidang kesehatan bisa diwujudkan di lingkungan pesantren dan masyarakat
sekitar, sehingga kesan pondok pesantren merupakan tempat kumuh akan hilang
seiring dengan kesadaran kebersihan para santri. Dan yang lebih penting misi
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) yang dicanangkan pemerintah bisa
terwujud adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan
masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat madani; melindungi kesehatan
masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya kesehatan yang paripurna, merata,
bermutu dan berkeadilan; menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya
kesehatan.
No comments:
Post a Comment