Friday, April 15, 2016

IRMA BULE: POTRET KORBAN HEDONISME HIBURAN

Jagad hiburan dikejutkan dengan meninggalnya penyanyi dangdut dari Kerawang, Irma Bule yang tragis terkena patukan ular king kobra yang menemaninya dalam aksi panggung di Dusun Selang Hajat, Desa Ciwaringin Kecamatan Lemahabang tanggal 4 April 2016 dengan membawa ular untuk diajak menari bersamanya. Irma Bule dikenal sebagai penyanyi organ tunggal di grup X-DJ yang biasa manggung ke desa-desa sekaligus sebagai penari ular.

Bagi seorang artis, termasuk penyanyi dituntut mempunyai daya pikat tersendiri, penampilan dan gaya merupakan bagian dari eksotis yang harus dipertontonkan di publik. Muncullah bentuk-bentuk performing art sebagai bentuk jatidirinya, misalnya goyang gergaji Dewi Persik, goyang itik Zaskia Shintia, goyang patah-patah Anisa Bahar, goyang ngecor Uut Permatasari, goyang kayang Putri Vinata, goyang drible Duo Serigala, atau goyang ngebor versi Inul Daratista yang pernah menjadi heboh dan fenomenal, bahkan menjadi kontroversial. Bisa jadi akan lahir pula model, gaya atau istiah-istilah lain sebagai trademark penyanyi untuk dijadikan daya tarik tersendiri dengan mengeksplorasi dan mengaktualkan jiwa dan potensi seninya.

Setiap artis level lokal sekalipun mempunyai obsesi untuk menjadi artis papan atas, taruhlah seorang Inul Daratista yang dulu manggung dari kampung ke kampung, tetapi karena blowup media dan menjadi kontroversi tentang goyang ngebornya justru menjadi pemicu go nasional. Barang kali hal ini menjadi inspirasi kaum artis lokal untuk memburu asa yang lebih tinggi, termasuk Irma Bule sang penari ular. Bagaimanapun juga, gaya hidup dan tuntutan profesi sangat mempengaruhi perilaku diri seorang pelaku seni, maka tidak heran jika mereka melakukan berbagai cara yang ditempuh untuk mewujudkan impian sekaligus harapan menjadi artis terkenal.

Keinginan manusia untuk mendapatkan suatu kebahagiaan atau kesenangan sebetulnya adalah sesuatu yang alamiah. Namun jika dalam upaya seseorang dalam mencapai kebahagiaan dilakukan secara paksa dan berlebihan maka tentu saja dapat menimbulkan efek negatif. Sosiolog Universitas Indonesia, Musni Umar menjelaskan bahwa ketika masuk lingkaran sosial baru, seseorang akan melakukan proses imitasi. Dalam hal ini dia terjebak dalam alur hidup para model dan artis yang cenderung glamor. Jika bergaul di lingkungan tertentu, pada umumnya pendatang baru akan ikut atau terpengaruh dengan lingkungan barunya. Sejauhmana Irma Bule terjebak dalam lingkaran baru tersebut? Yang pasti obsesi, hasrat, dan eksplorasi ada pada setiap orang untuk mencari kelas yang lebih tinggi.

Gaya hidup dan model pergaulan penyanyi (baca: artis) cenderung hedonis dan borjuis yang timbul karena lingkungan dan tuntutan kerja yang instan serta keinginan untuk mendapatkan kesenangan dan eksistensi serta kelas yang tinggi di masyarakat. Kedua hal tersebut memiliki daya tarik masing-masing bagi seseorang yaitu popularitas dan kehidupan bebas dalam mengekslporasi profesinya. Alih-alih mendapatkan popularitas yang diinginkan, justru berbalik arah menjadi malapetaka dan bumerang yang berkepanjangan. Taruhlah, kasus prostitusi selebritas bagaikan gunung es yang sewaktu-waktu mencuat, ataupun prostitusi online yang melibatkan banyak kalangan termasuk kaum pelajar dan mahasiswa. Ini merupakan bagian dari dinamika korban hedonisme dan memburu popularitas tanpa batas.


Hedonisme Hiburan
Lily Wahid, Penasihat Dewan Kreatif Rakyat (DKR) mengkritik tayangan sinetron Indonesia yang menurutnya hanya menjual perilaku hedonisme. Hampir sebagian sinetron kita menampilkan kehidupan glamor. Itu akhirnya membentuk perilaku masyarakat kita. Kesederhanaan seolah hilang dari wacana kehidupan. Padahal orang Indonesia selama ini dikenal penuh kesederhanaan.

Bagi para penganut paham ini, bersenang-senang, pesta-pora, dan pelesiran merupakan tujuan utama hidup, entah itu menyenangkan bagi orang lain atau tidak. Karena mereka beranggapan hidup ini hanya satu kali, sehingga mereka merasa ingin menikmati hidup senikmat-nikmatnya. di dalam lingkungan penganut paham ini, hidup dijalanani dengan sebebas-bebasnya demi memenuhi hawa nafsu yang tanpa batas. Pandangan mereka terangkum dalam pandangan Epicurus yang menyatakan, “Bergembiralah engkau hari ini, puaskanlah nafsumu, karena besok engkau akan mati.”

Hedonisme dan borjuisme bukanlah gaya hidup yang asing di masyarakat Indonesia. Dengan adanya globalisasi dan westernisasi, gaya hidup dan model pergaulan masyarakat cenderung mengikuti trend dunia. Gaya hidup yang perlente dan sangat menjunjung tinggi status dalam pergaulan di masyarakat itu tanpa kita sadari telah menjadi identitas banyak individu dan kelompok. Khususnya remaja yang pada dasarnya sedang berada di masa di mana mereka mencari jati diri dan lingkungan pergaulan yang menurut mereka paling sesuai dan paling benar.

Saat ini, seiring kemajuan teknologi informasi, seni kemudian menjadi bagian budaya popular dalam bentuk yang baru. Tentu banyak orang yang memiliki suara bagus dan pandai menyanyi. Namun tidak sempat dipopulerkan oleh media sebagai artis. Oleh karena itu, artis membutuhkan media untuk mempublikasinya, dan media membutuhkan artis untuk mengisi acaranya. Seiring dengan semakin tergantungnya masyarakat terhadap media, maka keberadaan artis pun semakin populer ditengah masyarakat. Dalam budaya massa, media mengeksplorasi bahkan mengeksploitasi para artis melampaui kewajarannya. Bukan lagi profesionalisme sebagai pelaku seni yang dipublikasikan, tetapi masalah pribadi yang diangkat, misalnya kasus perceraian.

Secara realita dan logika, menghilangkan pengaruh hedonisme tidaklah hanya mengendalikan emosi diri saja, tetapi dibutuhkan keterlibatan semua elemen untuk aktif berperan mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat dan keterlibatan negara untuk mengontrol dan membuat regulasi yang menjunjung harkat martabat bangsa. Serta mengenalkan budaya bangsa yang penuh nilai luhur dan menghargai kearifan lokal sebagai modal menahan pengaruh budaya-budaya luar yang liar. Melestarikan budaya asli bangsa, bukan berarti kita tidak menerima kemajuan globalisasi dan modernisasi, akan tetapi semata-mata untuk mempertahankan identitas diri. Dalam hal ini, kita dapat berkaca terhadap Negara Jepang, Jepang merupakan salah satu negara yang modern dan maju, namun Jepang tetap mempertahankan identitas diri mereka sebagai masyarakat Jepang.

Maka tidaklah heran ketika Busyro Muqoddas, mantan KPK mengatakan, bahwa banyak anggota dewan yang memamerkan kekayaan dan bergaya hidup hedonis. Pernyataan itu sebenarnya tidak hanya ditujukan kepada politisi saja tetapi menyasar semua elemen masyarakat, siapapun yang berhubungan dengan masyakarat banyak, khususnya kaum marginal dan yang termarjinalkan, untuk lebih peka dan peduli. Tontonan yang menyajikan glamor, kamuflase dan kemunafikan dengan mengejar rating tertentu bagi media, dan mengejar popularitas bagi pelaku, setidaknya mulai diminimalkan dengan mengganti dengan daya kreatifitas yang tinggi dan profesioalisme.


1 comment: