Saturday, May 30, 2015

PESANTREN: BENTENG GERAKAN RADIKALISME – VANDALISME

Penolakan radikalisme akhir-akhir ini marak menjadi topik bahasan dan bahan kajian para akademisi hingga di majelis-majelis taklim, bahkan dikemas dalam acara tabligh akbar. Radikalisme merupakan musuh utama dalam kerangka persatuan dan kesatuan NKRI, ancaman kebhinekaan dan teror untuk pendirian khilafah baru (baca: khilafah utopia). Karena pasca reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran demokratisasi telah menjadi lahan subur tumbuhnya kelompok radikal. Fenomena radikalisme di kalangan umat Islam seringkali disandarkan dengan paham keagamaan, disamping blowup media barat yang selalu mendiskreditkan Islam, sekalipun pencetus radikalisme bisa lahir dari berbagai pemicu, seperti budaya, ekonomi, politik, sosial dan sebagainya.

Dalam kasus Islam, Hassan Hanafi (2001) menyebut paling tidak ada dua sebab kemunculan aksi radikalisme. Pertama, karena tekanan rejim politik yang berkuasa. Kedua, kegagalan-kegagalan ideologi sekuler rejim yang berkuasa, sehingga kehadiran radikalisme dianggap sebagai alternatif ideologis. Sedangkan Horace M Kallen, radikalisme ditandai oleh tiga kecenderungan umum. Pertama, radikalisme merupakan respons terhadap kondisi yang sedang berlangsung. Kedua, radikalisme tidak berhenti pada upaya penolakan, melainkan terus berupaya mengganti tatanan lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Ketiga, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa. Dalam gerakan sosial, kaum radikalis memperjuangkan keyakinan yang mereka anggap benar dengan sikap emosional yang menjurus pada kekerasan.

Radikalisme akan dipermudah oleh rendahnya pendidikan, kemiskinan, budaya, dan kehidupan sosial. Keterbelakangan pendidikan, perubahan politik, kemiskinan atau rendahnya peradaban budaya dan sosial seseorang akan memicu radikalisme yang berujung pada kekerasan, ekstrimisme dan terorisme. Semua agama apapun di dunia ini, termasuk agama Islam tidak mengajarkan kekerasan. Islam adalah agama yang penuh toleransi. Melihat kompleksitas permasalahan tersebut tampaknya terorisme bukan semata-mata masalah agama, melainkan masalah seluruh umat manusia dalam berbagai aspek.

Sebuah Stigma Islam

Harun Nasution (1995: 124) mendefinisikan radikalisme adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Nurcholis Madjid (1995: 260) mengatakan bahwa, Islam merupakan agama kedamaian yang mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Artinya bahwa stigma radikalisme Islam lahir dari pers barat untuk menunjuk gerakan Islam garis keras, (lihat Akbar S. Ahmed, 1993: 30). Banyak label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.

Stigma ini diperkuat dengan statemen-statemen tokoh dunia dan pemberitaan media yang besar-besaran. Islam selalu tertuduh dan termarginalkan, gerakan dakwah Islam selalu diawasi dan dimata-matai, isu HAM menjadi trending topic untuk menghantam Islam. Misalkan, adakah PBB mengambil sikap atas terbantainya Muslim Rohingya, Palestina, Moro Filipina,dan sebagainya?. Ketika penyerbuan kantor majalah Charlie Hebdo karena balas dendam atas kartun penghinaan Nabi Muhammad dengan serta merta label Islam teroris menggema seluruh dunia, tetapi adakah sebutan teroris ketika pesawat Germansair ditabrakkan di Pegunungan Alphen oleh Kopilotnya? Ketidakadilan inilah menjadi sumbu munculnya gerakan radikalisme yang mengarah kepada tindakan vandalisme – terorisme hingga menyebar ke berbagai negara, termasuk Indonesia yang bukan negara darul harb.

Realitas historis-sosiologis ini adalah bukti betapa Barat menggunakan standar ganda dan bersikap tidak adil terhadap Islam. Ketika masjid dilihat sebagai simbul radikalisme atau ketika gejala-gejala kultural Muslim diproyeksikan sebagai bentuk fanatisme dan ekstrimisme maka terjadilah pengekangan dan pemenjaraan peradaban Islam. Misalnya pelarangan menara masjid di Swiss, dan Perancis yang masih mempersoalkan jilbab.

Pemikiran-pemikiran tokoh semacam Hasan al-Banna, Sayyid Quthub, dan Nasr Hamid Abu Zaid yang pada awalnya ingin mengembalikan keterpurukan Islam kembali pada kebangkitan Islam menjadi rujukan bagi kelompok radikal yang justru kontraproduktif di wilayah negara tertentu, misalkan di Indonesia, mereka bermimpi menciptakan tatanan baru ala Rasulullah dan Shahabat yang terbingkai dalam khilafah Islam. Dari titik ini, muncul ghaswul fikr (baca: perang pemikiran) antar sesama umat Islam yang saling menjadikan pandangannya sebagai worldview, sehingga menyebabkan adanya truth claim antarpaham keagamaan karena interpretasi pada teks keagamaan akan campur aduk dengan kepentingan kelompok seperti kepentingan politik, misalkan. (lihat, Hilman Latief, ( 2003: 135).

Term-term Radikalisme

Ketika penulis mengikuti workshop BNPT tentang deradikalisasi melalui pemahaman agama dalam pendidikan agama Islam di Solo, mengusulkan kepada Prof. Dr. Irfan Idris selaku Direktur Deradikalisasi BNPT bahwa perlu membuat buku saku bagi para guru, khatib ataupun ustadz yang berkaitan dengan tema-tema tertentu yang mengarah kepada pemikiran yang radikal, misalkan jihad, kafir, qital, fasiq, dan lain-lainnya. Hal ini disebabkan istilah-istilah tersebut mempunyai kecenderungan pemikiran yang radikal, memiliki makna yang eksklusif karena radikalisme merupakan kode yang terkadang tidak disadari dan terkadang eksplisit bagi Islam (Ahmed, 1993: 30).

ISIS yang dituduh sebagai pencerminan gerakan radikalisme – terorisme mempunyai beberapa term dan istilah-istilah yang dijadikan motor penggerak organisasi, diantaranya tauhid (unity), manhaj (truth-seeking), hijrah (migration), jihad (holy war), dan jama'ah(community).

Takfir dan tabdi' istilah yang digunakan oleh kalangan eksklusif dalam menyebarkan paham kelompoknya, terkadang dijadikan propaganda teologis dalam memperkokoh jaringan organisasinya. Takfir, mengkafirkan orang lain yang tidak sepaham dengan kelompoknya merupakan sinyal kuat bahwa kelompok tersebut mempunyai gerakan militan yang intoleransi, tertutup, dan radikal. Sedangkan tabdi', menjual murah kata-kata bid'ah, digunakan untuk "memaksa" orang lain agar menjadi pengikut, setidaknya mempunyai rasa simpatik dan tidak menganggu gerakannya. Obral bid'ah mempunyai kecenderungan yang intoleransi berdampak kacaunya pemahaman keagamaan yang sejak lama sudah menjadi diskursus fuqaha. Sehingga takfir dan tabdi' merupakan propaganda kaum radikalis dalam rangka mewujudkan cita-cita gerakannya tanpa memandang gerakan dahwah yang lainnya. Imam Ghazali dalam kitabnya Faishal al-Tafriqah menilai bahwa takfir itu termasuk doktrin yang amat berbahaya dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Ada pepatah jihad, seribu kali kebohongan maka hasilnya adalah kebenaran, pepatah ini tepat untuk menjelaskan upaya-upaya sebagian orang untuk mendaur ulang pengertian jihad. Jihad selalu didekatkan dengan tindakan terorisme, jihad sama dengan tindakan kekerasan, jihad identik dengan usaha merusak tanpa pandang bulu. Padahal jihad juga diartikan dengan usaha keseharian mencari nafkah dengan sungguh-sungguh, jihad melawan korupsi, jihad dalam menuntut ilmu, bekerja keras, disiplin, mengekang hawa nafsu dan makna-makna lain yang menyimpang dari makna hakikinya (syara’).

Umat Islam bisa menyaksikan sampai hari ini, penanganan aksi teror selalu di ekspos di media secara sengaja dengan mengkaitkan simbol-simbol Islam, misalkan barang bukti adalah buku-buku, web, sosial media yang menjelaskan tentang jihad dan semisalnya. Sekalipun kita juga harus obyektif, barang kali ada segelintir orang muslim yang bias menterjemahkan jihad dalam konteks yang tidak tepat, atau bisa jadi mereka pun dijebak dan direkayasa. Sehingga jihad fi sabilillah bukan hanya karena adanya musuh (jihad defensif), akan tetapi juga mempertahankan diri dari penganiayaan, penjaahan dan penjajahan (jihad ofensif).

Khilafah dijadikan alat propaganda kaum radikalis, sehingga menurut Masdar F Mas’udi bahwa, terdapat kesalahpahaman serius dan merata perihal konsep khilafah di kalangan umat pada umumnya dan pegiat politik kekuasaan Islam khususnya sejak dahulu sampai sekarang. Oleh kelompok tersebut, khilafah dikiranya adalah konsep kekuasaan yang di satu pihak memiliki klaim global ('alamiyah) dan di lain pihak bersifat sektarian.

Bangsa Indonesia ini bukanlah miliki orang islam semata, namun didalamnya terkandung banyak suku, banyak kepercayaan, dan berbagai jenis agama. Jika ingin melihat Indonesia menjadi bangsa yang besar, tentunya kita harus memiliki sikap toleransi dan tidak menang sendiri. NU sebagai salah satu pendiri bangsa ini sepertinya juga tidak bosan-bosan mensyiarkan islam yang rahmatan lil 'alamin. Bahkan para ulama Afghanistan yang negerinya beberapa saat yang lalu dilanda perang, dan penuh dengan kegiatan radikalisme, ternyata telah sepakat bahwa konsep NU yang rahmatan lil' alamin saat ini dipilih sebagai jalan untuk membenahi negerinya.

Konsep khilafah yang diusung oleh mereka saat ini tidak lebih adalah konsep politik saja, itu sama dengan konsep demokrasi yang kita kembangkan saat ini. Pertanyaannya, jika pendiri bangsa ini telah sepakat untuk memilih jalan demokrasi, lantas buat apa kita berfikir tentang khilafah?

Pondok Pesantren Pusat Toleransi dan Deradikalisasi
Salah satu pendidikan tertua bercirikhas, unik, serta memiliki akar tradisi holistik ke-Indonesiaan- adalah pesantren. Kemampuannya dalam menjaga nilai primordial secara swadaya, membuat lembaga ini menjadi satu-satunya lembaga pendidikan yang mampu bertahan dan memposisikan diri sebagai aktor penting terhadap penyebaran nilai-nilai keIslaman dalam pranata sosial di masyarakat. Maka tidak mengherankan kalau kemudian pesantren dianggap sebagai lembaga yang tertutup dan kebal terhadap perkembangan jaman, kemudian muncul sosok fenomenal KH. Abdurrahman Wahid yang berupaya untuk menamnpilkan wajah pesantren yang lebih Inklusif dan humanis, sebuah paradigma yang secara historis merupakan watak dasar keilmuan pesantren namun terpendam selama berabad-abad.

Pada era kolonial, pesantren tampil sebagai pusat perlawanan, baik kultural maupun politik, ekonomi, dan menjadi basis-basis kekuatan militer perang terhadap kaum kolonialis-imperialis. Maka seiring dengan laju perkembangan masyarakat maka pendidikan pesantren baik tempat bentuk hingga substansi telah jauh mengalami perubahan. Pesantren tidak lagi sesederhana seperti apa yang digambarkan seseorang akan tetapi pesantren dapat mengalami perubahan sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan jaman. Sehingga Azyumardi Azra dalam Abuddin Nata (2001: 1112), menawarkan adanya tiga fungsi pesantren sebagai transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam yang mencakup seluruh ilmu pengetahuan yang ada; sebagai pemeliharaan tradisi Islam; dan produksi ulama.

Perkembangan model pendidikan pesantren semakin banyak dan menjamur dengan segala variannya, misalnya madrasah, boarding, terpadu, program khusus, dan sebagainya. Model pendidikan pilihan karena secara internal, pesantren kini bukan hanya mengajarkan ilmu agama, namun juga memadukan antara ilmu agama dengan sains. Bahkan memadukan antara ilmu agama dengan kewirausahaan (ekonomi). Itulah sebabnya banyak pesantren menggunakan kata "terpadu" karena memadukan ilmu agama dengan life skill yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Dan secara eksternal, sekolah-sekolah umum telah "gagal” membangun karakter siswa yang berbudi pekerti mulia. Faktor inilah yang membuat masyarakat kini kurang memberi kepercayaan kepada sekolah-sekolah umum, baik swasta maupun negeri.

Hal ini merupakan peluang dan aset bangsa yang sangat besar bagi kepentingan dan tujuan negara itu sendiri. Pondok pesantren telah banyak membantu negara dalam bidang pendidikan, politik, ekonomi, keagamaan, lapangan pekerjaan, budaya dan sosial kemasyarakatan. Disisi lain, yang mesti diakui bersama, bahwa pesantren mempunyai karakter berbeda dengan karakter pesantren sebagai agen perubahan bidang pendidikan dan moral. Bahwa pesantren mempunyai pandangan keagamaan tertentu sebagai pilihan yang mengikat dan absolut dan dianggap sebagai doktrin yang final dan abadi, sehingga muncul karakter pesantren yang radikal, fundamentalis, dan cenderung pro "teroris". Oleh karena itu, karakter pesantren yang dimaksud sebagai agent of change paling tidak mempunyai 4 karakter, adalah inklusif, tawassuth, tawazun, dan adalaah.

Pesantren inklusif merupakan bentuk baru pesantren dengan wajah yang lebih terbuka dan ramah terhadap perubahan, serta memuat nilai-nilai universalitas Islam yang kental seperti optimisme, halus, dan mudah beradaptasi. Keterbukaan ini bukan berarti menjadikan kitab-kitab klasik yang menyokong pondasi pesantren menjadi bias, tetapi justru menjadi alat penyeimbang atas peristiwa yang terjadi di masyarakat. Jika pada awalnya pesantren menundukkan realitas pada kebenaran fiqh, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan fiqh sebagai diskursus tandingan dalam blantika politik pemaknaan yang tengah berlangsung. Contohnya adalah Pesantren al-Ittihad yang berada di Cianjur, Jawa Barat yang mempunyai program pemberdayaan perempuan yang berada di sekitar pesantren. Demikian juga pesantren Darussalam Gontor Ponorogo yang sangat terbuka untuk dunia luar, dan memberdayakan masyarakat dengan program-program nyata yang terekam dalam berbagai bentuk usaha barang dan jasa, dus mampu melahirkan tokoh-tokoh nasional dengan model pendidikan modern di setiap jenjangnya.

Tawassuth adalah sikap moderat yang tidak mengandung keberpihakan terhadap ekstrimisme kanan (liberalisme) atau ekstrimisme kiri (radikalisme). Sikap ini merupakan bentuk toleransi yang tinggi atas dinamika perkembangan pemikiran dan pergumulan realitas. Pesantren mempunyai karakteristik dalam memanajemen pendidikan, termasuk kurikulum yang antar pesantren berbeda-beda sesuai penguatan/spesifikasi dan kultur pesantren itu sendiri. Perbedaan kultur ataupun manajemen pesantren menuntur para key-person dan seluruh civitas pesantren bersikap menghargai, mengapresiasi dan mengakomodasi antar pesantren sebagai hukum tidak tertulis, hal ini merupakan faktor holistik pesantren yang ta'dhim kepada kyai/ustadz/seniornya.

Tawazun adalah keseimbangan dalam segala hal, keseimbangan dalam hal yang naqli dan aqli, keseimbangan antara yang tekstual dan yang kontekstual. Pemahaman jihad, kafir, khilafah, bid'ah secara tektual atau harfiyah tanpa melihat konteks yang menyangkut dimensi waktu, tempat, kondisi dan budaya masyarakat muslim yang ada dapat menimbulkan pemahaman yang bernuansa radikalis, atau menimbulkan pemahaman yang sepihak dan tidak komprehensif. Maka peran pesantren terhadap negara adalah akomodatif, bahwanhubungan antara agama dan negara merupakan bersifat akomodatif dan kooperatif. Agama dan negara tidak dipisahkan, melainkan keberadaannya satu sama lain saling menopang dan mendukung. Di dalamnya cenderung tidak ada perjuangan yang berusaha mewujudkan adanya negara agama.

I`tidal adalah keteguhan dalam memegang pendapat dan istiqamah dalam mengamalkannya, dalam istilah lain disebut adaalah, keadilan. Kebencian atau perbedaan tidak boleh menimbulkan ketidakadilan dan kekerasan. Bom bunuh diri, misalkan tidak bisa dikatagorikan mati syahid, justru termasuk penentangan terhadap otoritas Allah, dan akan melahirkan kebencian, dendam dan rusaknya citra jihad itu sendiri. Dengan demikian, jihad harus diartikulasikan sesuai dengan konteks kebangsaan dan keantarbangsaan, sehingga akan memiliki nilai kesempurnaan dalam menegakkan agama Islam, dengan meningkatkan aspek pendidikan dan aspek sosial lainnya yang lebih penting dan mendesak yang hanya dapat dilaksanakan dengan baik dalam keadaan damai dan tenang.

Pondok Pesantren dan Penguatan NKRI

Posisi pondok pesantren bagi umat Islam sangat penting dan mempunyai akar kuat dalam sejumlah tradisi keIslaman di Indonesia. Pondok pesantren yang ada mempunyai varian kegiatan dan orientasi ideologis berbeda-beda. Setiap pondok pesantren mempunyai patronase, struktur keorganisasian, dan corak pengembangan pendidikan tertentu. Sudah tentu, posisi dan sikap pondok pesantren terhadap negara, tidak sama baik dalam intensitas serta jarak hubungan yang telah terbentuk secara akomodatif, kooperatif atau pun antipati.

Keberadaan pondok pesantren secara keseluruhan merupakan aset bangsa yang penting. Dalam kedudukannya, sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial, lembaga keagamaan atau pun lembaga ekonomi, pondok pesantren langsung berhubungan dengan kepentingan dan keinginan masyarakat yang membentuk nilai, orientasi, keyakinan dan tujuan-tujuan tertentu. Dalam setiap tahunnya keluaran dan keinginan masyarakat untuk memasukkan anak-anak mereka ke pondok pesantren, tidak dapat disebut sebagai jumlah yang kecil. Artinya, keberadaan pondok pesantren mempunyai tempat tersendiri dalam menerima kepercayaan masyarakat bagi proses pendidikan.

Kenyataan bahwa pesantren bisa diterima masyarakat merupakan suatu hal yang menarik, ketika gerakan dan pemikiran terhadap penguatan negara, lahir dan dikembangkan dari pusat-pusat pendidikan kepesantrenan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan perkataan lain, bagaimana menginisiasi pondok pesantren yang dalam jangka dan periode waktu tertentu, lebih banyak dipersepsikan sebagai lembaga pendidikan yang muted group ditarik ke dalam pusat pusaran yang lebih kuat di dalam program kegiatan penguatan negara.

Pondok pesantren dapat ditempatkan sebagai lembaga yang melakukan penguatan kesejarahan bangsa yang menjelaskan tentang akar kesejarahan bangsa, kesejarahan keIndonesiaan dan kesejarahan NKRI. Pemikiran mereka di dalam merumuskan dan mendefinisikan akar kesejarahan yang memperkuat keberadaan NKRI. Demikian pula penguatan terhadap ideologi negara, konstitusi atau pun penguatan ekonomi negara.

Arus besar ini, perlahan-lahan akan menarik berbagai varian ideologi yang dikembangkan dalam berbagai pondok pesantren ke dalam forum bersama, pertukaran pikiran, sumbangsih dan saran serta pendapat di dalam melakukan penguatan-penguatan kenegaraan. Di sini, satu sisi inisiasi yang menempatkan pondok pesantren sebagai sentral pemikiran dan gerakan terhadap penguatan negara, akan mempertemukan berbagai corak pondok pesantren yang berbeda, sedangkan di sisi lain, pertemuan itu menempatkan kedudukan pondok pesantren sebagai tempat yang secara politis penting.

Penutup

Kekerasan bukanlah tipe agama-agama. Agama selalu menerapkan doktrin keselamatan dan kesejahteraan. Peter L. Berger sebagaimana dikutip Nur Syam, menawarkan dua konsep penting supaya tidak terjadi kekerasan agama, religious revolution, dan religion subcultures (Nur Syam, 2005: 94). Arahan pertama terkait dengan bagaimana elite agama dapat menumbuhkan dengan cepat kesadaran akan pentingnya model agama yang modern. Di dalam agama yang modern ditandai dengan adanya penghargaan terhadap pluralitas yang tidak vakum diversitas dan vakum budaya.

Di Pondok Pesantren Agro Nuur el-Falah, Pulutan Salatiga, Menteri Agama menegaskan, bahwa tidak ada pondok pesantren yang anti NKRI, yang mengharamkan hormat bendera dan melarang menyanyikan Indonesia Raya. Ahmad Mansyur Suryanegara (2009: 138), menyebutkan bahwa pesantren sebagai kancah penjenang calon pemimpin. Pemimpin yang berkemampuan sebagai pembangkit kesadaran cinta pada tanah air, bangsa, dan agama serta kemerdekaan. Oleh karena itu, tidak heran jika kehadiran pesantren berfungsi sebagai tempat pengaderan pemimpin bangsa.

Berangkat dari sejarah kaum Pesantren dalam membentuk NKRI yang begitu militan dalam memperjuangkan kehormatan Islam dan menyatukan berbagai etnis di Indonesia sehingga membentuk NKRI, maka seyogyanya kaum pesantren saat ini meraih estafet perjuangan, karena penindasan selalu ada dalam setiap zaman; bahwa haq selalu ada lawannya yakni kebathilan.

(Lomba Penulisan Artikel PKS, 2015)

No comments:

Post a Comment