Ketika Anas
Urbaningrum akan tersandung kasus korupsi, serta merta mengeluarkan jurus
mempertahankan diri "gantung saya di Monas jika melakukan korupsi",
begitulah kira-kira kata yang meluncur dari mulutnya. Dan gelombang
protes-protes baik turun ke jalan maupun di media sosial sangat mewarnai dalam
menanggapi perkataan Anas tersebut, mumcullah lagu plesetan, gantung-gantung-gantung
urbaningrum, gantung Anas di puncak Monas. Akhir kisah, Anas Urbaningrum
benar-benar di prodeo KPK, dan tuntutan gantung Monas tinggal kenangan, apakah
ini sifat masyarakat yang pemaaf?.
Lalu mengapa
banyak pejabat negara ataupun tokoh-tokoh yang selama ini dikenal oleh publik
yang tersandung kasus korupsi? Baik itu dari kalangan pejabat tinggi negara,
politisi, akademisi, birokrat, maupun pengusaha. Bukankah seharusnya mereka bekerja
sebagai pembawa amanah. Diberikan kekuasaan berdasarkan kontrak sosial guna
mengurusi urusan masyarakat. Tidakkah itu pengkhianatan moral skala besar yang
sulit termaafkan? Karena korupsi mengambil hak-hak rakyat secara tidak wajar.
Yang sebenarnya bisa untuk biaya pendidikan dan kesehatan. Ternyata komitmen
memerangi korupsi hanya omong kosong.
Seorang murid
bertanya, bukankah koruptor yang beragama Islam sudah mengetahui dosa dan
bahayanya korupsi, mereka tahu ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi tentang riswah,
mengapa masih berani korupsi? Dan saya jawab dengan meminjam pernyataan
Almarhum KH. Zainuddin MZ bahwa, apa bedanya orang dahulu dengan orang
sekarang?. Orang dahulu sedikit yang mengenyam pendidikan tetapi banyak orang
yang jujur, namun orang sekarang banyak yang berpendidikan tinggi tetapi
sedikit yang berprilaku jujur. Artinya pendidikan tinggi bukan jaminan
seseorang bisa berbuat baik walaupun idelanya harus lebih baik, dan disinilah
letak kelemahan pendidikan dalam mewujudkan mental, akhlaq, karakter yang baik.
Sebagai contoh budaya menyontek, curang dalam ujian adalah diantara budaya
korupsi nilai, termasuk para pengajar yang sering "ngaji dikir",
ngarang biji dikiro-kiro (mengarang nilai dengan perkiraan nilai).
Banyak koruptor
yang sudah nyata dipenjara, mengapa masih banyak pula pejabat-pejabat lain
masih korupsi juga? Tidaklah mudah dan sederhana untuk menjawab hal tersebut,
banyak masalah yang saling mengkait, diantaranya, kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah, kampanye-kampanye
politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang
normal, proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar, lingkungan
tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan “teman lama”, lemahnya ketertiban hukum, rakyat yang cuek-tidak tertarik atau mudah dibohongi yang
gagal memberikan perhatian yang cukup ke pemilihan umum.
Gagasan pinggir
dalam efek jera korupsi adalah pertama, hukuman berat sebagai sanksi
hukum, seperti hukuman mati, pemiskinan, pengasingan di pulau tertentu tanpa
adanya remisi sedikitpun, dan mengembalikan ke kas negara nominal 100% yang
dikorupsi. Hal ini melihat data dari ICW, bahwa tren vonis korupsi semester I
tahun 2015, rata-rata putusan pidana hanya 2 tahun 1 bulan. Rendahnya putusan
pidana tidak terlepas dari jatah remisi yang diterima terpidana korupsi. Jika
mereka bisa menerima empat kali jatah remisi seperti remisi Hari Raya Idul
Fitri, remisi 17 Agustus, remisi tahun baru, dan remisi lainnya dengan
rata-rata pengurangan hukuman 1 sampai 2 bulan. Bisa dibayangkan akan sangat
mungkin seorang terpidana korupsi tidak menjalani separuh vonis pidana yang
diterima di dalam proses persidangan.
Kedua, sanksi sosial, masyarakat akan tahu siapa saja orang yang
melakukan korupsi. Sehingga diharapkan bisa membuat jera para pelaku tindak
korupsi. Selain itu, hal ini diharapkan juga sebagai bahan pemikiran bagi
mereka yang akan melakukan tindak korupsi. Sebagai contoh: (1) Perlu dibuatkan
museum koruptor yang didalamnya terpasang replika diri koruptor, dan ditulisi
data nama anak isterinya atau keturunannya. Sehingga dari jaman ke jaman akan
terus diketahui oleh publik. (2) Dicabut hak politik seumur hidup, di KTP
tertulis EK, eks koruptor sebagaimana dulu diberlakukan untuk anggota atau
simpatisan komunis dengan kode ET, eks tahanan politik. (3) Kerja paksa sosial, seorang pelaku korupsi
dihukum buat melakukan kerja sosial seperti menyapu jalanan atau membersihkan fasilitas
umum lainnya dengan menggunakan seragam khusus. Hal ini akan memunculkan rasa
malu pada pelaku korupsi. Tiga gagasan pinggir itu barangkali terasa aneh,
tetapi dari segi efek jera akan lebih membuktikan daripada hanya sekedar di
penjara yang setiap tahun mendapat beberapa kali remisi.
(dikirim untuk berpartisipasi gerakan anti korupsi KPK 2015)