oleh GP ANSOR, BANSER, & IPNU-IPPNU PAKISAJI MALANG pada 8 Juni 2012 pukul 14:24 ·
Baru-baru ini beredar pidato menghebohkan dari mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim Muzadi melalui pesan berantai BlackBerry Messenger (BBM) dan media sosial.
Bagi umat Muslim yang komitmen dengan syariat Islam, pidato Hasyim Muzadi itu adalah pidato yang brilian dan patut mendapat acungan jempol. Namun, bagi kalangan liberal dan pihak-pihak yang “memusuhi” Islam, pidato itu dianggap “radikal.”
Seperti apa pidato yang menghebohkan itu? Berikut isi pidato Hasyim Muzadi yang juga Presiden WCRP (World Conference on Religions for Peace) dan Sekjen ICIS (International Conference for Islamic Scholars) tentang tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia oleh Sidang PBB di Jeneva :
"Selaku Presiden WCRP dan Sekjen ICIS, saya sangat menyayangkan tuduhan INTOLERANSI agama di Indonesia. Pembahasan di forum dunia itu, pasti karena laporan dari dalam negeri Indonesia. Selama berkeliling dunia, saya belum menemukan negara muslim mana pun yang setoleran Indonesia.
Kalau yang dipakai ukuran adalah masalah AHMADIYAH, memang karena Ahmadiyah menyimpang dari pokok ajaran Islam, namun selalu menggunakan stempel Islam dan berorientasi Politik Barat. Seandainya Ahmadiyah merupakan agama tersendiri, pasti tidak dipersoalkan oleh umat Islam.
Kalau yang jadi ukuran adalah GKI YASMIN Bogor, saya berkali-kali ke sana, namun tampaknya mereka tidak ingin selesai. Mereka lebih senang Yasmin menjadi masalah nasional & dunia untuk kepentingan lain daripada masalahnya selesai.
Kalau ukurannya PENDIRIAN GEREJA, faktornya adalah lingkungan. Di Jawa pendirian gereja sulit, tapi di Kupang (Batuplat) pendirian masjid juga sangat sulit. Belum lagi pendirian masjid di Papua. ICIS selalu melakukan mediasi.
Kalau ukurannya LADY GAGA & IRSHAD MANJI, bangsa mana yang ingin tata nilainya dirusak, kecuali mereka yang ingin menjual bangsanya sendiri untuk kebanggaan Intelektualisme Kosong ?
Kalau ukurannya HAM, lalu di Papua kenapa TNI / Polri / Imam Masjid berguguran tidak ada yang bicara HAM? Indonesia lebih baik toleransinya dari Swiss yang sampai sekarang tidak memperbolehkan Menara Masjid, lebih baik dari Perancis yang masih mempersoalkan Jilbab, lebih baik dari Denmark, Swedia dan Norwegia, yang tidak menghormati agama, karena di sana ada UU Perkawiman Sejenis. Agama mana yang memperkenankan perkawinan sejenis ?!
Akhirnya kembali kepada bangsa Indonesia, kaum muslimin sendiri yang harus sadar dan tegas, membedakan mana HAM yang benar (humanisme) dan mana yang sekedar Weternisme".
Banyak orang hidup dalam komunitas individualis dan apatis, hal tersebut jelas tidak tepat karena manusia makhluq sosial. Maka kebahagiaan, keselamatan dan informasi perlu disebarluaskan agar menjadi investasi amal
Thursday, June 21, 2012
Wednesday, June 20, 2012
SALAH KAPRAH DALAM BID'AH-2
Semoga Kyai Ini Masuk Neraka!
Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang Pencipta.
Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid- ia 'titipkan' pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang 'alim' lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam dilahirkan.
Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.
Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid'ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.
Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, --sebut saja Kyai Umar-- memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: "Tidak ada tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid'ah dan doa orang yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil insani illa ma sa'a (dan sungguh tidaklah bermanfaat bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakannya). Sekian terima kasih!".Lalu ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget.
Lalu, Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. "Benar saudara-saudaraku sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa'a. Karena Gus Zaid sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan. Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan kedalam Surga!".
Para pelayat serentak meneriakkan, "Amiiiiin!".
Gus Zaid: "?????". "Kok mendoakan begitu untuk bapakku".
Kyai Umar dengan enteng menjawab: "Kan Allah berfirman, wa an laysa lil insani illa ma sa'a?".
Gus Zaid: Ya sudah nanti malam tahlilan.....!
Sumber: Salah satu isi mauidhoh hasanah dalam rangka Haul XVII KH. Jauhari Zawawi Kencong Jember
Disebuah desa di daerah Banyuwangi, terdapat seorang Kyai yang cukup disegani dan memiliki lembaga pendidikan dengan jumlah santri yang cukup banyak, sebut saja Kyai Fulan. Kyai Fulan, tampaknya kurang begitu puas dengan ilmu yang diperoleh dari berbagai pondok pesantren yang pernah ia singgahi waktu muda dulu. Dia mempunyai seorang putra yang ia gadang-gadang menjadi penggantinya kelak jika ia sudah menghadap Sang Pencipta.
Sebagai calon pengganti si Anak -sebut saja Gus Zaid- ia 'titipkan' pada lembaga-lembaga pendidikan agama yang dibilang favorit di negeri ini. Dikatakan favorit, karena lembaga ini dikelola dengan manajemen yang rapi, dan moderen, juga ditangani oleh guru-guru yang 'alim' lulusan universitas-universitas di Arab Saudi, negara tempat Islam dilahirkan.
Saat Gus Zaid masih dalam penyelesaian pendidikannya di lembaga favorit itu, Kyai Fulan wafat. Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un. Gus Zaid pun diminta pulang oleh keluarganya.
Seperti lazimnya adat kalangan NU, upacara pemakaman Kyai Fulan dilakukan dengan tradisi-tradisi yang indentik dengan kalangan nahdliyin. Ketika Gus Zaid sampai di rumah dan melihat acara pemakaman yang sedang berlangsung, ia kaget dan menahan amarah, karena semua acara yang dilaksanakan dianggapnya bid'ah. Tapi saat ini ia mampu bersabar.
Saat seorang Kyai tetangga yang juga teman Kyai Fulan, --sebut saja Kyai Umar-- memberikan sambutan atas nama wakil tuan rumah, ketika jenazah akan diberangkatkan, setelah bicara ini dan itu, ia menyampaikan bahwa nanti malam sampai malam ke-7 kematian Kyai Fulan akan diadakan acara tahlilan setelah maghrib. Mendengar hal itu, Gus Zaid yang semenjak kedatangannya sudah memendam amarah dan kebencian, tanpa ba bi bu, ia langsung menyambar mikrofon dari Kyai Umar dan berkata: "Tidak ada tahlil bagi bapakku malam nanti. Tahlil adalah bid'ah dan doa orang yang masih hidup untuk orang yang telah meninggal dunia tidak sampai, wa an laysa lil insani illa ma sa'a (dan sungguh tidaklah bermanfaat bagi seseorang kecuali apa yang telah dikerjakannya). Sekian terima kasih!".Lalu ia berikan lagi mikrofon itu kepada Kyai Umar.
Para pelayat tersentak kaget.
Lalu, Kyai Umar hanya tersenyum dan melanjutkan sambutannya. "Benar saudara-saudaraku sekalian, wa an laysa lil insani illa ma sa'a. Karena Gus Zaid sudah mengatakan demikian, maka nanti malam dan seterusnya tahlil tidak diadakan. Sekarang mari kita berdoa semoga Kyai Fulan di siksa dalam Kubur!. Semoga dosa-dosa tidak terampuni, semoga dia menjadi bahan bakar api neraka dan tidak pernah dimasukkan kedalam Surga!".
Para pelayat serentak meneriakkan, "Amiiiiin!".
Gus Zaid: "?????". "Kok mendoakan begitu untuk bapakku".
Kyai Umar dengan enteng menjawab: "Kan Allah berfirman, wa an laysa lil insani illa ma sa'a?".
Gus Zaid: Ya sudah nanti malam tahlilan.....!
Sumber: Salah satu isi mauidhoh hasanah dalam rangka Haul XVII KH. Jauhari Zawawi Kencong Jember
Wednesday, June 13, 2012
PETA DAKWAH KECAMATAN GROGOL KAB. SUKOHARJO
Upaya
Penanganan Pluralitas Aliran, Paham dan Gerakan Keagamaan
A.
LATAR BELAKANG
Fenomena aliran sesat atau gerakan
sempalan di kalangan umat Islam Indonesia dewasa ini menjadi sangat populer
seiring dengan sepak terjang dan catatan yang menyertainya. Aliran sesat atau
gerakan sempalan menunjuk berbagai gerakan atau aliran agama yang dianggap
menyimpang (devian) dari aqidah, ibadah, amalan atau pendirian mayoritas umat
yang baku. Istilah sempalan itu sendiri ini memiliki konotasi
negatif, seperti protes terhadap dan
pemisahan diri dari mayoritas, sikap eksklusif, pendirian tegas tetapi kaku,
klaim monopoli atas kebenaran dan fanatisme.
Di Indonesia kesan negatif terhadap
kelompok sempalan semakin menguat setelah kecenderungan gerakannya menjadi
ancaman terhadap stabilitas dan keamanan berbangsa dan bernegara. Fakta terbaru
tentang stigma ini seperti terlihat dari kelompok Ahmadiyyah di Kabupaten
Kuningan Jawa Barat yang mengarah kepada perilaku anarkis. Tak pelak pemerintah
merasa perlu membatasi gerakan-gerakan sempalan untuk mewujudkan keamanan dalam
berbangsa dan bernegara. Keterlibatan pemerintah yang terkesan intervensi
terhadap kelompok sempalan sangat beralasan, lantaran gerakan yang pernah dicap
"sempalan" pada umumnya telah
dilarang atau sekurang-kurangnya diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Beberapa contoh yang terkenal
adalah Islam Jamaah, Ahmadiyah
Qadian, DI/TII, kelompok
Mujahidin Warsidi
(Lampung), Syi'ah, Baha'i, Inkarus Sunnah, Darul Arqam
(Malaysia), al-Qiyadah al-Islamiyah, gerakan Usroh, aliran-aliran tasawwuf berfaham
wahdatul wujud, Tarekat Mufarridiyah, dan gerakan Bantaqiyah, Lia Eden, dan
lain-lain. (lihat juga Fanny Febiana, “MUI: Ada 9 Aliran sesat”, http://www.
tempointeraktif.com/hg/nasional/2007/11/02/brk, 20071102-110679,id.html, pada
22 Januari 2008.)
MAKNA DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
Oleh: Siti
Rochmijatun, S.Ag.
Ada ketidaksingkronan antara harapan dan kenyataan menyangkut
pendidikan. Kita berharap akan muncul masyarakat yang cerdas, berakhlak mulia,
dan peduli terhadap lingkungannya, tapi pada kenyataannya sekolah hanya
menghasilkan lulusan-lulusan yang tidak kreatif, bermental penjahat, dan
terasing dari masyarakat sekitarnya. Ini menandakan ada masalah dalam
pendidikan kita.
Ada beberapa problem besar sulitnya mewujudkan pendidikan sebagai
agen perubahan masyarakat. Pertama, belum berubahnya paradigma pada
masyarakat tentang makna pendidikan. Selama ini, pendidikan dianggap sama
dengan sekolah yang lebih menekankan pada proses mendapatkan pengetahuan
(pengajaran) atau usaha mengembangkan potensi intelektualitas saja. Padahal,
lebih dari itu, yang perlu dikembangkan dari seorang individu mencakup berbagai
potensi lain seperti budi pekerti dan pembentukan karakter yang memiliki sifat
seperti integritas, kerendahan hati, tenggang rasa, menahan diri, kesetiaan,
keadilan, kesabaran, kesederhanaan, dan sebagainya. Yang terakhir ini, tidak
dapat dan tidak mungkin dilakukan hanya lewat pengajaran di sekolah. Tetapi
juga pendidikan dalam masyarakat individu tersebut, termasuk di dalamnya
pendidikan keluarga dan lingkungannnya.
Dalam Islam, pendidikan memiliki makna sentral dan berarti proses
pencerdasan secara utuh, dalam rangka mencapai sa’adatuddarain, kebahagiaan
dunia akhirat, atau keseimbangan materi dan religious-spiritual. Oleh
karenanya, untuk menjadi insan kamil seseorang harus memiliki kesempurnaan
iman, ilmu, dan amal. Dan untuk mencapai tingkatan tersebut, seorang anak
seharusnya tidak dididik di sekolah formal saja tapi juga dalam kehidupan
mereka di masyarakat.
PENGEMBANGAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Catatan Pribadi: Seandainya ِAku Menjadi Kepala Madrasah/Sekolah
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar dan menengah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan, pengadaan buku dan alat pelajaran, pengadaan dan perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang berarti. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian lainnya masih memprihatinkan.
Berdasarkan masalah ini, maka berbagai pihak mempertanyakan apa yang salah dalam penyelenggaraan pendidikan kita? Dari berbagai pengamatan dan analisis, sedikitnya ada tiga faktor yang menyebabkan mutu pendidikan tidak mengalami peningkatan secara merata.
Faktor pertama, kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional menggunakan pendekatan education production function atau input-output analysis yang tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input (masukan) yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti pelatihan guru, pengadaan buku dan alat pelajaran, dan perbaikan sarana serta prasarana pendidikan lainnya dipenuhi, maka mutu pendidikan (output) secara otomatis akan terjadi. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak terjadi. Mengapa? Karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusatkan pada input pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. Padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DALAM PENINGKATAN MUTU
Tinjauan Pada Pembiayaan
Pendidikan (Manajemen Keuangan)
dipresentasikan di Pasca IAIN Surakarta, Juni 2012 Oleh Siti Rochmiyatun (SMPN 1 Sukoharjo)
Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dapat diartikan sebagai model pengelolaan sekolah dengan memberikan
kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah untuk mengelola sekolahnya
sendiri secara langsung.[1] Menurut
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah
merupakan suatu konsep yang menawarkan otonomi pada sekolah untuk
menentukan kebijakan sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan
pemerataan pendidikan agar dapat mengakomodasi keinginan masyarakat setempat
serta menjalin kerja sama yang erat antara sekolah masyarakat dan pemerintah.[2]
Sedangkan Sudarwan Danim MBS dapat didefinisikan sebagai suatu proses kerja
komunitas sekolah dengan cara menerapkan kaidah-kaidah, otonomi, akuntabilitas,
partisipasi, dan sustainabilitas untuk mencapai tujuan penddikan dan
pembelajaran secara bermutu.[3]
Manajemen Berbasis Sekolah dapat
diartikan sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan memberikan kewenangan
yang lebih besar pada sekolah dalam rangka meningkatkan mutu, efisiensi, dan
pemerataan pendidikan supaya lebih baik dan lebih memadai agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerja sama yang erat
antara sekolah, masyarakat dan poemerintah.
Manajemen berbasis sekolah menurut Syaiful Sagala
diartikan sebagai wujud reformasi pendidikan yang meredesain dan memodifikasi
struktur pemerintah ke sekolah dengan pemberdayaan sekolah dalam meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah pertama kali
muncul di Amerika Serikat. Latar belakangnya ketika itu masyarakat
mempertanyakan tentang relevansi dan korelasi pendidikan yang diselenggarakan
di sekolah dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kinerja sekolah pada saat itu
dianggap tidak sesuai dengan tuntutan pesera didik untuk terjun keduani usaha dan sekolah dianggap tidak mampu
memberikan hasil dalam konteks kehidupan ekonomi kompetitif secara global.
Fenomena tersebut segera diantisipasi dengan melakukan upaya perubahan manajemen
sekolah. Pemerintah dan sekolah sepakat untuk melakukan perubahan terhadap manajemen sekolah. Manajemen
Berbasis Sekolah di
selenggarakan melaui beberapa model, yaitu model (1) peningkatan peranan guru;
(2) peningkatan wawasan pengelolaan pengajaran melalui studi penelitian dan
kajian pustaka, dan (3) penyamaan visi semua pihak dalam proses perubahan untuk
memfokuskan arah barau merealisasikan penyelenggaraan program dengan sistem
manajemen berbasis sekolah.[4]
KONSEP PENDIDIKAN AL-ZARNUJI
Manajemen Pengelolaan Kelas
Selengkapnya... silahkan donlot di sini
Pemikiran al-Zarnuji Terhadap Pendidikan
Al Quran
secara khusus tidak menyebutkan istilah manajemen, akan tetapi menyinggung
istilah manajemen dengan menggunakan kalimat yudabbiru mengandung arti
mengarahkan, melaksanakan, menjalankan, mengendalikan, mengatur, mengurus
dengan baik, mengkoordinasikan, membuat rencana yang telah ditetapkan.
Dalam manajemen mengandung istilah lain adalah mengelola, mengelola
sesuatu dibutuhkan perangkat-perangkat tersediri, perangkat-perangkat untuk
mengelola sesuatu dibutuhkan ketrampilan, ketrampilan akan muncul apabila
sering diaplikasikan atau dipraktektek perangkat-perangkat tersebut. Oleh
karena itu, dalam dunia pendidikan juga mengenal suatu konsep ketrampilan
mengelola kelas.
Selengkapnya... silahkan donlot di sini
Pemikiran al-Zarnuji Terhadap Pendidikan
A. Riwayat
Hidup al-Zarnuji
Plessner
mengatakan al-Zarnuji adalah salah seorang filosof Arab yang tidak diketahui
nama dan waktu hidupnya secara pasti.[1]
Ada yang menyebutnya dengan Burhān al-Dīn, ada juga yang menyebutnya dengan
Burhan al-Islam. Namun, kedua nama itu diperkirakan sebagai julukan saja atas
jasa-jasanya dalam menyebarkan Islam. Nama "al-Zarnuji" sendiri
diyakini bukan nama asli, tetapi nama yang dinisbahkan kepada tempat, yakni
Zurnuj atau Zaranj. Al-Qurasyi mengatakan Zurnuj adalah sebuah tempat di
wilayah Turki. Sedangkan menurut Hamawi, Zurnuj adalah sebuah tempat yang
terkenal di ma wara’a al-nahr wilayah Turkistan,[2]
tetapi menurut para pakar geografi daerah ma wara’a al-nahr itu bukan di
Turkistan, melainkan di Turki.[3]
Dengan demikian diperkirakan bahwa ia berasal dari Turki. Mengenai masa
hidupnya juga masih belum jelas, kecuali sebatas perkiraan-perkiraan saja.
Satu-satunya penulis yang menunjuk tahun wafatnya adalah Fuad al-Ahwani.
Menurut dia al-Zarnuji wafat tahun 591/1194.[4]
Namun, tahun yang ditunjuk oleh al-Ahwani ini terbantahkan, karena bila
ditelusuri dari guru-gurunya ternyata al-Zarnuji merupakan salah seorang murid
dari Syekh Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakar al-Farghani al-Marghinani (w. 1197),
penulis Kitab al-Hidayah fî Furu’ al-Fiqh.[5]
Subscribe to:
Posts (Atom)